"Sini ta' kasih tau," Febi memulai wejangannya. "Mereka pasti punya alasan untuk nggak ngajak kita."
"Alasannya, jelas karena mereka nggak mau direpotin! Apa lagi?" jawab Langen cepat.
"Bukan juga. Aku, eh, gue liat bukan itu. Mereka itu kan emang senengnya kegiatan-kegiatan keras begitu. Sementara kita.....," Febi mengangkat kedua alisnya, "boro-boro!"
"Kan bisa belajar!"
"Belajar emang bisa. Tapi untuk apa, coba? Kalo tujuannya cuma untuk menyaingi mereka, gue rasa nggak bagus. Kegiatan-kegiatan yang kayak begitu kan emang udah dunianya cowok. Kalopun ada ceweknya, itu cewek-cewek yang pada dasarnya emang bener-bener suka. Bukan karena ikut-ikutan atau punya tujuan lain. Jadi nggak usahlah kita ribut. Nuntut ini, nuntut itu. Jadi perempuan itu mesti tau kodrat, La. Kamu juga, Fan. Mesti bisa mawas diri. Mesti tau mana yang pantes dan mana yang nggak."
iiiiuuugh! Langen mendesis pelan. Jadi tambah dongkol lagi.
"Terus juga....," sambung Febi. Kali ini nada suaranya sangat hati-hati. "Mereka itu kan udah semester enam, dua tahun lebih tua dari kita. Jadi elo seharusnya manggil Rei itu 'Mas Rei', La. Elo juga, Fan, jangan panggil 'Bima' gitu aja. 'Mas Bima', atau 'Bang Bima' kalo pake adat Betawi. Atau 'Kak Bima'-lah, kalo elo malu panggil dia 'Abang'."
Langen dan Fani sontak terperangah.
Mas Rei? Abang Bima? Oh, Tuhan......berikanlah petunjuk-Mu kepada teman kami yang sungguh sangat budiman ini! Keduanya berdoa dalam hati dengan kata-kata yang nyaris sama.
Febi kemudian meneruskan kalimatnya, tak peduli dengan sorot kengerian di dua pasang mata di depannya akibat kata-katanya barusan.
"Kita harus hormat pada orang yang lebih tua. Apalagi kalo langgeng nih mereka akan jadi calon suami. Dan selamanya, suami adalah tuan!"
Makin tercenganglah Langen dan Fani.
Oh, no! No! Tidak! Tidak!!!
Benar-benar deh, si Febi ternyata memang produk zaman Majapahit!
***
"Febi itu kok bisa sampe kuno banget gitu ya, La? Amit-amit deh!" Fani geleng-geleng kepala.
"Emang! Sebel!" dengus Langen.
"Pantesan aja Rangga cinta mati sama dia. Hari gini bo, di mana lagi bisa dapet cewek kece, tajir, tapi geblek banget gitu! Lo denger tadi? Kita disuruh manggil cowok-cowok itu 'Mas' atau 'Abang'? Kebayang nggak sih lo?Bang Bimaaaa!?" Fani membelalakkan matanya lebar-lebar. "Gue pilih nyikatin Monas dari tangga paling bawah sampe ke ujung emasnya, daripada manggil Bima 'Abang'!"
"Iya, emang gila tuh anak!" Langen serentak bergidik. "Hampir aja gue epilepsi denger usulnya tadi."
"Jadi sekarang gimana nih?"
Langen mendecakkan lidah, lalu mengetukkan jari-jarinya di dasbor. Mencari akal bagaimana caranya melibatkan Febi ke dalam rencana besar mereka. Harus! Karena kalau tidak, itu akan jadi bahaya besar. Bukan karena Febi tukang ngadu, tapi karena cewek satu itu terlalu polos dan sama sekali tidak bisa berbohong. Selama ini dia selalu kena hasutan Rei dan Bima dengan gampang dan sukses. Kalau kedua cowok itu merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan cewek-ceweknya, mereka akan langsung mencari tahu lewat Febi. Dan Febi, dengan falsafah hidup ''Bohong itu dosa'', jelas saja langsung membeberkan semua yang dia tahu.
Makanya, setelah tahu bahwa Febi ternyata sangat ''berbudi luhur'' begitu, Langen dan Fani jadi ekstra hati-hati. Jangan sampai kelepasan ngomong di depannya.
"Ah, iya! Ya ampun!" seru Fani. "Gampang banget, lagi. Kita minta tolong Salsha aja."
Langen terbelalak sesaat, lalu dipukulnya kuat-kuat jok yang didudukinya.
"Ide lo brilian banget! Puter arah, Fan. Kita ke tempat Salsha sekarang!"
"Oke, Bos!"
***
Salsha itu teman sekelas mereka waktu kelas 1 SMA. Seru banget sekelas sama dia. Mukanya sih sangat kalem. Genderung innocent malah. Badannya juga imut, kecil. Tapi, kalau kelas jadi ribut atau ingar-ingar, 75% itu pasti gara-gara dia.
Salsha langsung ketawa-ketiwi begitu Langen menceritakan maksud kedatangannya. Dia memang paling senang kalau ada yang minta pertolongan model-model begitu.
"Itu sih gampang. Urusan gini aja pake nyari gue."
"Nggak usah sok penting deh lo!" Langen menjitak kepala temannya. "Ada alasannya kenapa kami sampai terpaksa nyariin elo. Tapi itu ntar aja. Cerita lengkapnya menyusul."
Sekali lagi Salsha memerhatikan tiga lembar foto yang tadi diserahkan Langen padanya. Foto-foto Rei, Bima, dan Rangga.
"Oke deh!" Dia acungkan satu jempolnya. "Serahin ke gue!
continue~
Link Bab 2 part 3: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-2-part-3-novel-cewek-by-esti-kinasih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar