Langen dan Fani memang pada dasarnya ramah. Cowok-cowok itu langsung suka. Tapi begitu dikenalnya dengan Febi, senyum mereka langsung lenyap dan jadi pada kikuk.
Lagi-lagi Febi menunjukkan siapa dirinya. Senyumnya terpaksa. Ekspresi mukanya sedatar garis cakrawala. Dan cewek itu cuma menyebutkan nama tanpa bersedia menyambut uluran tangan perkenalan keempat cowok di depannya. Langsung dia mendapatkan setumpuk celaan yang pasti akan membuat mukanya merah kalau mendengarnya.
Sok cakep! Sok anggun! Sok juall mahal! Sok kelas tinggi! Sombong! Belagu! Jaim! Rese!
"Dia sebenernya baik kok. Karena kalian belom pada kenal aja. Ntar lama-lama pasti elo-elo jadi suka," Langem berbohong. Dan memang tidak ada yang percaya kata-katanya.
Karena perjalanannya lumayan lama, dua setengah jam, salah satu cowok ikut di mobil Langen. Jadi sopir. Evan yang terpilih. Dengan pertimbangan, dari kacamata Febi sepertinya memang cuma dia yang mendekati ''manusia''. Tidak botak bertato seperti Theo, dan tidak gondrong seperti tiga yang lainnya.
Evan jelas girang banget, semobil dengan cewek-cewek manis meskipun yang satu ngeselin. Jelas jauh lebih asyik ketimbang semobil dengan empat beruk. Sebelum naik, dengan sopan dia minta izin dulu pada Febi. Cowok itu membungkukkan badan rendah-rendah di sisi mobil tempat Febi duduk dengan gaya lebih anggun dari Queen Elizabeth, si Ratu Inggris.
"Permisiii...."
Fani menggigit bibir. Menahan tawa. "Izinnya ke dia, lagi." Fani menunjuk Langen, yang sudah duduk manis di kiri depan.
"Mari. Mari. Silakan naik!" Langen langsung saja menjawab padahal ''permisi'' itu jelas-jelas bukan untuknya.
***
Begitu sampai di lokasi, mereka berkumpul di sebuah warung. Isi perut dulu.
"Ini base kami. Kalo ke sini, kami pasti nongkrongnya di sini. Dan ini kepala sukunya...." Iwan menepuk bahu laki-laki yang berdiri di sebelahnya. "Mang Asep. Di sebelahnya, Teh Neneng. Kami udah kayak sodara. Betul nggak, Mang?"
"Iya, betul." laki-laki desa yang sederhana itu menangguk sambil tersenyum lebar.
"Soalnya ada wajah baru nih, Mang. Awewe (perempuan).'' Iwan memberikan isyarat tangan. Langen dan Fani berdiri, menghampiri Mang Asep, lalu mengulurkan tangan dan menyebutkan nama masing-masing.
Tapi Yang Mulai Raden Ajeng Febriani Kesumoningrat tentu saja tidak berkenan. Dia tetap bergeming, duduk dengan anggun di tempatnya. Cewek itu cuma menganggukkan kepala plus memberikan sedikit senyum saat Iwan dengan dongkol menyebutkan namanya.
Keempat teman Iwan saling melirik. Rasa muak mereka mulai melewati ambang batas. Cewek tuh ya, biar kecenya kayak apa juga, kalau kelakuannya kayak gini sih enaknya cuma satu. Dibantai!
Tapi biar tidak terlalu ekstrem, untuk awal-awal cukup dibikin shock dulu. Iwan memang telah menceritakan latar belakang Febi kepada teman-temannya. Langen yang wanti-wanti meminta mereka agak bertata krama. Tapi kalau sudah kayak gini sih, siapa yang bersedia? Mau dia keturunan prabu siapa kek, bodo amat!
Makanan datang, dan Febi langsung menyaksikan tata cara makan ala rakyat jelata. Yang penting perut kenyang. Persetan tata krama!
Begitu sepiring perkedek jagung diletakkan di meja, langsung disambut dengan histeris. Tangan-tangan yang tidak dicuci, cuma dilap di baju, berebut mencomot. Saling dorong. Saling tarik. Yudhi malah didorong Theo sampai keluar warung. Buru-buru Yudhi balik. Dan dibantu Rizal, ganti Theo yang dilempar ke halaman!
Langen dan Fani sempat terkesima sesaat, dan langsung ikut memeriahkan acara perebutan perkedel itu sambil tertawa dan menjerit-jerit. Untuk Febi, yang suasana makan di rumahnya selalu lebih senyap dari kuburan, pemandangan di depannya itu jelas lebih meriah daripada pergelaran wayang orang, bahkan yang kolosal! Iwan menahan tawa menyaksikan tampang shock Febi.
"Eh, lo nggak kedapetan ya, Feb? Nih, ambil cepetan!" Rizal mengulurkan tangan. Dua potong perkedel tergenggam kuat di antara jari-jarinya. Sampai bentuknya tidak lagi seperti perkedel.
"Nggak. Nggak. Terima kasih." Febi langsung geleng kepala. Selera makannya makin hilang melihat kelima cowok di dekatnya, makanya berisik seperti sekawan itik.
Sendok ribut beradu dengan piring. Mulut selain sibuk mengunyah, juga sibuk membicarakan segala macam hal. Masih ditambah ketawa pula. Rizal dan Yudhi malah sambil adu piting segala, gara-gara Yudhi dapat rezeki nomplok. Di dalam pepes tahunya ada udang nyelip. Cuma satu sih, tapi kan lumayan ketimbang tahu doang. Tapi cuma ditinggal menoleh sekejap, itu udang telah raib. Dan yang kena tuduh sudah pasti Rizal, yang duduk di sebelahnya. Rizal jelas langsung membantah keras.
"Terus, tuh udang ke mana?" tanya Yudhi.
"Mana gue tau. Balik ke laut, kali!"
"Terus, lo ngunyah apa tuh?"
"Udang."
"Dari mana?"
"Dari pepes."
"Ya itu udang gue, bego!"
Dua-duanya meneruskan adu piting. Yang lain berdiri dan menyingkir dari situ dengan membawa piring masing-masing, meneruskan makan sambil berdiri dan menyoraki para atlet yang sedang berlaga itu.
Cuma Febi yang tidak. Ditinggalkannya piringnya yang memang kosong. Berdiri sendirian di sudut, ditatapnya para kaum sudra itu dengan pandangan dingin.
Dia tidak tahu, perjalanan ini hanya akan aman untuk Langen dan Fani. Tapi untuknya.....belum tentu!
Mereka berdiri di mulut jalan setapak mendaki yang lumayan terjal. Iwan membalikkan badan dan menatap ketiga cewek di depannya.
"Oke? Siap belajar naik gunung?"
"Siap dong!" Langen dan Fani menjawab serentak. Sementara Febi sama sekali tidak membuka mulut.
"Sip! Ok, Van. Jalan!" perintah Iwan. Evan, yang posisinya terdepan, mulai mendaki jalan setapak terjal itu. Iwan menyusul, kemudian Langen.
Langen dan Fani masing-masing mendapatkan pengawalan ketat dari Iwan dan Yudhi. Dan meskipun Iwan dan Yudhi membiarkan kedua cewek itu menapaki sendiri setiap jengkal perjalanan, tapi begitu kaki tergelintir atau tubuh Langen dan Fani limbung, kedua cowok itu langsung gerak cepat. Menyambar tangan, pinggang, bahkan merengkuh tubuh kalau itu terpaksa. Yah, apa boleh buat. Daripada kedua cewek itu terluka.
Tapi tidak demikian halnya dengan Sri Paduka Yang Mulia Ndoro Gusti Ajeng Febriani Your Highness. Berhubung beliau adalah orang yang sangat mulia an terhormat, jangankan memegang-megang, menyentuh kulitnya meskipun tidak sengaja dan cuma sebentaaar dan sedikiiiit, tetap itu sudah merupakan perbuatan yang sangat kurang ajar.
continue~
Link Bab 4 part 3: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-4-part-3-novel-cewek-by-esti-kinasih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar