Sabtu, 08 Maret 2014

Bab 3 part 4 novel cewek!!! by esti kinasih

Jam dua belas tepat, kuliah hari ini berakhir.
"Makan somay dulu yuk, La? Dari semalem gue belom makan nih. Terus itu kita makan rujak sebentar."
"Rujak melulu lo. Diare baru tau rasa. Kita makan di rumah Febi aja. Pasti deh ntar ditawarin makan."
"Tidak! Cukup sekali!"

Langen tertawa. Dia tahu kenapa Fani ogah. Mereka memang pernah makan malam di rumah Febi. Sekali. Namanya ditawari makan, jelas saja langsung mereka sambut dengan girang. Barangkali saja mereka akan menemukan masakan zaman kerajaan-kerajaan dulu.

Tapi ternyata, suasana di meja makan di rumah Febi jauh lebih khidmat daripada upacara tujuh belasan di Istana Negara! Mirip di film-film horor, begitu hening dan sunyi mencekam! Hanya bunyi desau-desau angin yang menggoyang pucuk-pucuk didaunan di luar sana.

Gimana nggak? Makan tidak boleh sambil ngomong, apalagi cekikikan kayak kuntilanak. Mulut juga harus terus ditutup. Bibir harus rapat dan baru boleh dibuka kalau makanan mau masuk. Saat sendok beradu dengan garpu atau piring, tidak boleh sampai mengeluarkan suara. Dan makannya juga harus sampai benar-benar bersih. Satu butir nasi pun tidak boleh ada yang tertinggal.

Alhasil, dimana-mana yang namanya habis makan kan biasanya jadi kenyang. Tapi kalau di rumah Febi, habis makan malah jadi puyeng!

Sementara itu Febi sedang melamun di teras rumahnya, menunggu. Ini pertama kalinya dia membuka diri. Tadinya dia berpikir, dirinya takkan pernah membutuhkan Langen dan Fani. Karena di mata Febi, dua cewek itu benar-benar cewek kasar! Tipikal masyarakat golongan kasta rendah. Urakan, tidak tahu tata krama. Kalau bicara seenak udel. Ketawanya juga mirip Buto Ijo! Kalau bercanda tidak peduli tempat, tidak peduli situasi. Meskipun sedang makan, mulut penuh, keduanya bisa saling mencela dengan sangat seru dan riuh.

Dan yang sempat membuat Febi shock, tiba-tiba saja dia dianggap bukan siapa-siapa. Langen dan Fani sama sekali tidak terkesan dengan darah biru tulen dan gelar kebangsawanan di depan namanya. Boro-boro hormat seperti kebanyakan orang memperlakukan dia dan keluarganya. Memandangnya saja cuma dengan sebelah mata.

"Permisiiii....."
Febi tersentak dari lamunan. Dia berdiri dan segera melankah menuju pintu gerbang.
"Masuk," ajaknya. Langen dan Fani melangkah masuk dengan tertiba lalu duduk dengan sopan di kursi teras. "Makan dulu yuk? Udah jam satu lewat nih."

Keduanya kontan menjawab kompak, "Nggak usah, Feb. Terima kasih. Kami udah makan kok. Nggak usah repot-repot deh."
"Ya udah kalo begitu," Febi tidak memaksa. "Kita ke kamar gue aja yuk?" Dia berjalan ke dalam. Langen dan Fani buru-buru berdiri dan mengekor di belakannya.
"Jadi rencana gue itu begini, Feb," Langen langsung menjelaskan rencananya, setelah mereka duduk berhadapan di dalam kamar. Tentu saja dengan tidak lupa berakting seolah-olah dia sudah tidak ada niat untuk balas dendam lagi. Seperti kebiasaanya, Febi mendengarkan tanpa menyela, sampai Langen selesai menjelaskan semuanya. "Begitu, Feb, rencana gue."

Febi mengangguk lambat-lambat. Ditatapnya dua wajah di depannya. Tanpa dia tahu, wajah-wajah itu cuma polos luarnya saja.
"Kalo kita jadiin, gimana?" tanya Febi.
"Maksudnya?" tanya Langen, dalam hati siap sorak-sorak.
"Maksudnyaa....ya kita bikin mata mereka melek!"
Wajah-wajah di depannya langsung tersentak dan menatapnya lurus. Tidak percaya.
"Bener nih? Lo setuju?" seru Langen tertahan.
"Iya dong! Cowok-cowok kita kan pada kompak. Jadi kita harus kompak juga!"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar