Begitu kerimbunan pepohonan menghalangi mereka dari pandangan ketiga lawan, Langen dan Fani langsung mengganti langkah-langkah tenang mereka dengan langkah-langkah lintang-pukang. Sekuat tenaga mereka berusaha menyusuri jalan setapak yang terus mendaki itu, secepat kemampuan kedua kaki mereka yang sudah sangat lelah. Sesekali mereka menoleh kebelakang untuk memastikan apakah mereka langsung dikejar. Tapi perut yang melilit karena lapar dan semua anggota badan yang sudah kelelahan memperberat usaha pelarian itu. Beberapa kali mereka terpaksa berhenti.
Iwan cs terus mengawasi jalan setapak di bawah mereka dari satu tempat tersembunyi. Begitu melihat bayang keduanya timbul-tenggelam di antara rapatnya pepohonan, mereka langsung bergerak. Dengan cepat mereka menerobos pepohonan rapat yang menutupi jalur potong kompas, tidak peduli ranting dan daun melecuti kulit mereka.
''Nggak usah ditunggu!'' seru Iwan saat melihat ketiga temannya akan berhenti di mulut jalan. ''Jemput aja mereka!''
Keempat tiba di saat Langen dan Fani hampir tak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Tubuh keduanya sudah ''melambai-lambai'' parah.
Yudhi bergegas melompat dan menyambar Fani yang hampir ambruk ke tanah. Sementara Langen terhuyung meraih sebatang pohon, lalu menyandarkan tubuhnya di sana. Terengah-engah kehabisan napas.
''Gue.....nggak kuat lagi, Wan....,'' ucapnya putus-putus saat Iwan sampai di sebelahnya.
''Lepas carrier lo!''
Langen melepaskan carrier-nya. Iwan langsung melempar carrier itu ke Theo. Sementara carriernya Fani langsung diambil alih Evan. Kedua pejuang emansipasi penerus perjuangan dan cita-cita Ibu Kartini yang sangat mulia kemudian terpaksa dipapah meninggalkan tempat itu.
Di jalur potong kompas, Langen dan Fani yang sudah kehabisan tenaga, tidak mampu lagi menapaki medan yang keterjalannya jauh lebih parah. Iwan dan Yudhi terpaksa menarik keduanya dari satu pijakan ke pijakan berikut, sementara Evan dan Theo berjaga-jaga di belakang masing-masing cewek.
Sesampainya di atas, dijalan setapak, Iwan dan Theo yang ikut perkumpulan bela diri, mendapatkan sedikit pengetahuan tentang pijat refleksi. Mereka segera mempraktikkannya pada Langen dan Fani.
Tidak lama ketegangan dan keletihan kedua cewek itu berkurang. Iwan mengeluarkan satu kantong plastik ransum makanan siap santap. Arem-arem.
''Lo berdua punya waktu....,'' diliriknya jam tangannya, ''tujuh menit. Jadi manfaatin bener-bener.''
Dua kepala di depannya mengangguk tanpa suara, soalnya perut sudah kelaparan parah dan mulut sibuk mengunyah dengan rakus. Iwan menatap keduanya dengan kedua rahang terkatup keras. Kemudian ditepuknya bahu Theo pelan.
''Kayaknya jaraknya harus dideketin, Yo. Kondisinya parah.''
''Kayaknya!'' Theo mengangguk dan langsung berdiri. ''Yuk, Van!''
Evan menyusul berdiri. Diberikannya untuk Langen dan Fani masing-masing sebutir kapsul. Doping untuk mendongkrak stamina keduanya. Setelah itu bergegas disusulnya Theo.
Dalam rencana yang telah disusun, sebenarnya Iwan cs hanya membantu di jalur potong kompas saja, dan langsung pergi begitu tugas mereka selesai. Tapi melihat kondisi Langen dan Fani, Iwan jadi tidak tega dan akhrinya bersama Yudhi memutuskan untuk menemani. Sementara Evan dan Theo terpaksa membuat beberapa pijakan lagi di tebing tegak lurus yang sebentar lagi akan dilalui.
Dari arah bawah, samar terdengar suara-suara orang berlari. Iwan dan Yudhi segera berdiri.
''Bertahan, ya? Tinggal sebentar lagi!'' Iwan membungkukkan badan dan menepuk bahu Langen dan Fani. Kedua cewek itu mengangguk.
Karena cemas, Iwan dan Yudhi terus berdiri menemani. Baru setelah suara-suara orang berlari itu semakin dekat, mereka beranjak. Mengucapkan ''selamat berjuang'' dan bergegas pergi.
Rei cs muncul di ujung jalan dengan ekspresi berang.
''Ada apa ini?'' desis Rei begitu sampai di hadapan kedua lawannya yang sedang duduk santai dan asyik mengunyah.
''Nggak ada apa-apa,'' jawab Langen tenang. ''Kami udah bawa arem-arem. Banyak. Makanya tadi males diajak makan.''
''Kenapa nggak bilang?''
''Orang nggak ditanya.''
Rei menyambar plastik hitam di sebelah Langen lalu membolak-balik isinya. Tak lama diletakkannya kembali plastik itu, karena tidak satu pun dari kumpulan arem-arem di dalamnya bisa mengatakan padanya apa yang telah terjadi sebenarnya.
Sementara itu Bima dan Rangga langsung memeriksa areal di sekitar mereka. Keduanya bahkan sampai jauh masuk ke hutan. Agar tidak tersesat, bisa kembali ke jalan setapak, keduanya menggunakan metode yang hampir sama seperti yang digunakan Iwan cs. Masing-masing mengeluarkan segulung pita kuning terang, lalu menariknya sambil berjalan hingga membentuk seperti police line. Tapi sampai di pita senti terakhir, keduanya tetap tidak menemukan sesuatu mencurigakan.
Akhirnya mereka kembali ke jalan setapak, lalu menghampiri Rei yang masih berdiri di hadapan Langen dan Fani dan sedang menguliti kedua cewek itu dengan tatap tajam. Tapi tanpa hasil. Dua orang yang dipelototinya tetap mengunyah arem-arem dengan santai. Bima lalu berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah. Persis di depan Fani. Disambarnya sisa arem-arem di tangan Fani lalu dilemparnya jauh-jauh ke tengah hutan.
''Ada apa, sayang?'' desisnya tajam.
''Nggak ada.....''
''Gue nggak tanya elo, La!'' di potongnya kalimat Langen tanpa menoleh.
''Nggak ada apa-apa,'' jawab Fani.
''Angkat mukanya kalo ngomong!''
Perlahan Fani mengangkat kepala dan sepasang mata elang Bima langsung menghunjam.
''Ada yang nggak beres? Hm'' desis Bima dengan kedua alis terangkat tinggi.
''Nggak ada!'' Fani menjawab tandas.
''Kalo nggak ada, kenapa nggak makan bareng kami? Kenapa harus jalan duluan? Jauh pula jaraknya.''
''Nggak ada apa-apa!'' tandas Fani sekali lagi. ''Kami nggak mau makan bareng elo-elo. Itu aja. Nggak ada alasan lain!''
Bima jelas tidak percaya. Kedua mata hitamnya menikam semakin tajam. Tapi Fani menentang tatapan itu dengan berani, terhasut kalimat yang diucapkan Langen begitu Iwan dan Yudhi pergi tadi. ''Inget! Lo udah 'ditelanjangin'! Lo harus lawan dia. Jangan sampe kalah dua kali!''
Bima bukannya tidak tahu dari mana Fani mendapatkan keberanian itu. Hanya saja, keberadaan Rei membuatnya tidak bisa ''menyentuh'' Langen untuk mematahkan penentangan Fani.
Setelah beberapa saat tikaman matanya tidak berhasil melumpuhkan Fani, akhirnya Bima berdiri. Ditatapnya Rei dan Rangga bergantian. Meskipun tidak berhasil membuat lawan-lawan mereka buka mulut, ada satu kejanggalan yang tertangkap sangat jelas. Kedua cewek ini bisa melangkah dua kali lebih cepat saat.....tidak bersama-sama mereka!
***
Kejanggalan yang tertangkap jelas itu menyebabkan bencana. Rei cs kemudian memutuskan untuk tidak lagi membiarkan lawan mereka sendirian. Untuk alasan apa pun.
Tapi itu sudah diduga Iwan cs. Karena itu pertemuan mereka dengan Langen dan Fani tadi adalah pertemuan terakhir. Satu lagi yang juga telah mereka prediksikan tidak akan ada lagi istirahat. Dan prediksi mereka tepat!
Tidak akan ada lagi sesi istirahat atau break yang akan diberikan Rei cs untuk kedua lawan mereka. Sama sekali. Yang ada hanya.....menyerah, dengan multiple choice. Direct speech atau bicara langsung ''Kami kalah'' atau ''Kami menyerah''. Atau indirect speech alias pingsan!
Tapi tentu saja Iwan cs tidak akan membiarkan itu terjadi. Selepas tebing tegak lurus nanti, akan mereka hentikan perang ini setiap sepuluh menit, untuk memberikan kesempatan sejenak beristirahat bagi kedua cewek itu. Dan apabila telah mencapai target waktu, akan mereka hentikan perang terbuka ini.
Sayangnya, bencana terbesar justru tidak terprediksi. Untuk mengetahui bagaimana kedua lawan mereka bisa melangkah lebih cepat pada saat tidak bersama-sama mereka, Rei cs memutuskan untuk meningkatkan kecepatan!
Dan itu langsung terjadi begitu Bima memerintahkan kedua lawannya untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan, dengan intonasi seperti memerintahkan tawanan untuk cepat keluar dari sel dan memulai kerja paksa. Bisa ditebak, kecepatan yang ditingkatkan itu kemudian menelan energi yang dikumpulkan Langen dan Fani saat istirahat.
Iwan cs, yang sedang mengecek kembali pijakan-pijakan yang mereka buat di lintasan tegak lurus yang sebentar lagi akan dilalui, kaget saat mendengar suara-suara langkah kai. Jauh lebih cepat dari waktu yang mereka perhitungkan. Bergegas mereka merambati tebing yang dipenuhi pepohonan itu, dan hilang di atas. Beberapa detik kemudian Rei cs, yang masih dalam kondisi prima, dan kedua lawannya yang telah kehilangan separuh energi yang dikumpulkan saat istirahat tadi, tiba.
Sekali lagi gambaran kasar di atas kertas dengan realita di depan mata adalah dua hal yang benar-benar berbeda. Langen dan Fani kontan ternganga lebar. Tapi mereka cemas juga ketiga Rei cs menangkap kepanikan mereka. Mulut Langen dan Fani segera terkatup kembali.
Etape berikut terbentang di depan mata. Sebuah tebing tanah tegak lurus. Pepohonan rapat menutupi seluruh permukaannya. Untuk melewatinya hanya ada satu cara. Memanjat dari dahan ke dahan! Dan tebing itu begitu tinggi, hingga seperti menyentuh langit, melukiskan dengan baik dan amat tepat sebuah lagu kanak-kanak yang dulu sekali kerap dinyanyikan. Naik, naik, ke puncak gunung. Tinggi....tinggi sekali.....
Tebing ini akan menjadi tempat pembantaian. Bukan hanya Iwan cs, Rei cs ternyata juga telah merancang agar perang terbuka ini berlangsung singkat.
Di kalangan pendaki, jalur ini dikenal dengan sebutan ''Jalan Setan''. Tingkat kesulitannya yang cukup tinggi membuat jalur ini lebih sering digunakan untuk latihan fisik. Dan bisa ditebak, jumlah pendaki cewek yang pernah melewati jalur ini bisa dihitung dengan jari.
''Siap?'' tanya Rei. Sikap dan intonasi suaranya seakan-akan dia baru saja mendapatkan konfirmasi bahwa kedua lawan dipastikan akan menyerah di lintasan tegak lurus ini.
Langen dan Fani tidak bisa memberikan jawaban lain selain mengangkat dagu tinggi-tinggi, membusungkan dada, dan menampilkan ekspresi ready to fight till the last blood!
Berdiri di kiri-kanan Rei, Bima dan Rangga juga mengamati kedua lawan mereka. Kelelahan kedua cewek itu sebenarnya terlihat sangat nyata. Sayangnya yang mereka ingin lihat adalah.....kejatuhan yang nyata!
''Gue lupa!'' Rei berdecak. ''Ini perang. Jadi harusnya nggak perlu basa-basi,'' kalimatnya membuat kedua sobatnya di kiri-kan kontan ketawa pelan. ''So, ladies first or gentlemen first?'' sambung Rei dengan nada sopan.
''Kenapa? Lo takut diem-diem kami balik badan terus ngibrit pulang?'' tanya Langen langsung. Dia pura-pura tersinggung. Padahal yang sebenarnya, dia perlu waktu untuk mencari pijakan-pijakan yang telah dibuat Iwan cs di antara cabang dan ranting pohon. Yang tidak mungkin bisa dilakukan di bawah pandangan ketiga lawan.
''Oke. Gentlemen first!''
Rei menepuk bahu kedua sobatnya. Begitu ketiga cowok itu balik badan, kedua mata Langen dan Fani kontan jelajatan. Menggerayangi seluruh permukaan tebing. Berusaha secepatnya menemukan tanda-tanda yang ditinggalkan Iwan cs, yang benar-benar tersembunyi seperti dalam lukisan tiga dimensi.
Akhirnya mereka temukan tanda-tanda itu. Cabang dan ranting-ranting pohon yang telah dibentuk sedemikian rupa untuk memudahkan pemanjatan. Keduanya sejenak menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kuat-kuat. Saatnya untuk menyusul ketiga lawan..
Dan pembantaian langsung terjadi!
Di tebing tegak lurus dan tinggi ini, Langen dan Fani bukan saja dipaksa untuk melihat bukti bahwa gunung adalah dunia cowok, dan bahwa cowok adalah makhluk superior, tapi juga bahwa teori evolusi Charles Darwin kemungkinan bisa diyakini kebenarannya.
Iwan cs terus mengawasi jalan setapak di bawah mereka dari satu tempat tersembunyi. Begitu melihat bayang keduanya timbul-tenggelam di antara rapatnya pepohonan, mereka langsung bergerak. Dengan cepat mereka menerobos pepohonan rapat yang menutupi jalur potong kompas, tidak peduli ranting dan daun melecuti kulit mereka.
''Nggak usah ditunggu!'' seru Iwan saat melihat ketiga temannya akan berhenti di mulut jalan. ''Jemput aja mereka!''
Keempat tiba di saat Langen dan Fani hampir tak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Tubuh keduanya sudah ''melambai-lambai'' parah.
Yudhi bergegas melompat dan menyambar Fani yang hampir ambruk ke tanah. Sementara Langen terhuyung meraih sebatang pohon, lalu menyandarkan tubuhnya di sana. Terengah-engah kehabisan napas.
''Gue.....nggak kuat lagi, Wan....,'' ucapnya putus-putus saat Iwan sampai di sebelahnya.
''Lepas carrier lo!''
Langen melepaskan carrier-nya. Iwan langsung melempar carrier itu ke Theo. Sementara carriernya Fani langsung diambil alih Evan. Kedua pejuang emansipasi penerus perjuangan dan cita-cita Ibu Kartini yang sangat mulia kemudian terpaksa dipapah meninggalkan tempat itu.
Di jalur potong kompas, Langen dan Fani yang sudah kehabisan tenaga, tidak mampu lagi menapaki medan yang keterjalannya jauh lebih parah. Iwan dan Yudhi terpaksa menarik keduanya dari satu pijakan ke pijakan berikut, sementara Evan dan Theo berjaga-jaga di belakang masing-masing cewek.
Sesampainya di atas, dijalan setapak, Iwan dan Theo yang ikut perkumpulan bela diri, mendapatkan sedikit pengetahuan tentang pijat refleksi. Mereka segera mempraktikkannya pada Langen dan Fani.
Tidak lama ketegangan dan keletihan kedua cewek itu berkurang. Iwan mengeluarkan satu kantong plastik ransum makanan siap santap. Arem-arem.
''Lo berdua punya waktu....,'' diliriknya jam tangannya, ''tujuh menit. Jadi manfaatin bener-bener.''
Dua kepala di depannya mengangguk tanpa suara, soalnya perut sudah kelaparan parah dan mulut sibuk mengunyah dengan rakus. Iwan menatap keduanya dengan kedua rahang terkatup keras. Kemudian ditepuknya bahu Theo pelan.
''Kayaknya jaraknya harus dideketin, Yo. Kondisinya parah.''
''Kayaknya!'' Theo mengangguk dan langsung berdiri. ''Yuk, Van!''
Evan menyusul berdiri. Diberikannya untuk Langen dan Fani masing-masing sebutir kapsul. Doping untuk mendongkrak stamina keduanya. Setelah itu bergegas disusulnya Theo.
Dalam rencana yang telah disusun, sebenarnya Iwan cs hanya membantu di jalur potong kompas saja, dan langsung pergi begitu tugas mereka selesai. Tapi melihat kondisi Langen dan Fani, Iwan jadi tidak tega dan akhrinya bersama Yudhi memutuskan untuk menemani. Sementara Evan dan Theo terpaksa membuat beberapa pijakan lagi di tebing tegak lurus yang sebentar lagi akan dilalui.
Dari arah bawah, samar terdengar suara-suara orang berlari. Iwan dan Yudhi segera berdiri.
''Bertahan, ya? Tinggal sebentar lagi!'' Iwan membungkukkan badan dan menepuk bahu Langen dan Fani. Kedua cewek itu mengangguk.
Karena cemas, Iwan dan Yudhi terus berdiri menemani. Baru setelah suara-suara orang berlari itu semakin dekat, mereka beranjak. Mengucapkan ''selamat berjuang'' dan bergegas pergi.
Rei cs muncul di ujung jalan dengan ekspresi berang.
''Ada apa ini?'' desis Rei begitu sampai di hadapan kedua lawannya yang sedang duduk santai dan asyik mengunyah.
''Nggak ada apa-apa,'' jawab Langen tenang. ''Kami udah bawa arem-arem. Banyak. Makanya tadi males diajak makan.''
''Kenapa nggak bilang?''
''Orang nggak ditanya.''
Rei menyambar plastik hitam di sebelah Langen lalu membolak-balik isinya. Tak lama diletakkannya kembali plastik itu, karena tidak satu pun dari kumpulan arem-arem di dalamnya bisa mengatakan padanya apa yang telah terjadi sebenarnya.
Sementara itu Bima dan Rangga langsung memeriksa areal di sekitar mereka. Keduanya bahkan sampai jauh masuk ke hutan. Agar tidak tersesat, bisa kembali ke jalan setapak, keduanya menggunakan metode yang hampir sama seperti yang digunakan Iwan cs. Masing-masing mengeluarkan segulung pita kuning terang, lalu menariknya sambil berjalan hingga membentuk seperti police line. Tapi sampai di pita senti terakhir, keduanya tetap tidak menemukan sesuatu mencurigakan.
Akhirnya mereka kembali ke jalan setapak, lalu menghampiri Rei yang masih berdiri di hadapan Langen dan Fani dan sedang menguliti kedua cewek itu dengan tatap tajam. Tapi tanpa hasil. Dua orang yang dipelototinya tetap mengunyah arem-arem dengan santai. Bima lalu berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah. Persis di depan Fani. Disambarnya sisa arem-arem di tangan Fani lalu dilemparnya jauh-jauh ke tengah hutan.
''Ada apa, sayang?'' desisnya tajam.
''Nggak ada.....''
''Gue nggak tanya elo, La!'' di potongnya kalimat Langen tanpa menoleh.
''Nggak ada apa-apa,'' jawab Fani.
''Angkat mukanya kalo ngomong!''
Perlahan Fani mengangkat kepala dan sepasang mata elang Bima langsung menghunjam.
''Ada yang nggak beres? Hm'' desis Bima dengan kedua alis terangkat tinggi.
''Nggak ada!'' Fani menjawab tandas.
''Kalo nggak ada, kenapa nggak makan bareng kami? Kenapa harus jalan duluan? Jauh pula jaraknya.''
''Nggak ada apa-apa!'' tandas Fani sekali lagi. ''Kami nggak mau makan bareng elo-elo. Itu aja. Nggak ada alasan lain!''
Bima jelas tidak percaya. Kedua mata hitamnya menikam semakin tajam. Tapi Fani menentang tatapan itu dengan berani, terhasut kalimat yang diucapkan Langen begitu Iwan dan Yudhi pergi tadi. ''Inget! Lo udah 'ditelanjangin'! Lo harus lawan dia. Jangan sampe kalah dua kali!''
Bima bukannya tidak tahu dari mana Fani mendapatkan keberanian itu. Hanya saja, keberadaan Rei membuatnya tidak bisa ''menyentuh'' Langen untuk mematahkan penentangan Fani.
Setelah beberapa saat tikaman matanya tidak berhasil melumpuhkan Fani, akhirnya Bima berdiri. Ditatapnya Rei dan Rangga bergantian. Meskipun tidak berhasil membuat lawan-lawan mereka buka mulut, ada satu kejanggalan yang tertangkap sangat jelas. Kedua cewek ini bisa melangkah dua kali lebih cepat saat.....tidak bersama-sama mereka!
***
Kejanggalan yang tertangkap jelas itu menyebabkan bencana. Rei cs kemudian memutuskan untuk tidak lagi membiarkan lawan mereka sendirian. Untuk alasan apa pun.
Tapi itu sudah diduga Iwan cs. Karena itu pertemuan mereka dengan Langen dan Fani tadi adalah pertemuan terakhir. Satu lagi yang juga telah mereka prediksikan tidak akan ada lagi istirahat. Dan prediksi mereka tepat!
Tidak akan ada lagi sesi istirahat atau break yang akan diberikan Rei cs untuk kedua lawan mereka. Sama sekali. Yang ada hanya.....menyerah, dengan multiple choice. Direct speech atau bicara langsung ''Kami kalah'' atau ''Kami menyerah''. Atau indirect speech alias pingsan!
Tapi tentu saja Iwan cs tidak akan membiarkan itu terjadi. Selepas tebing tegak lurus nanti, akan mereka hentikan perang ini setiap sepuluh menit, untuk memberikan kesempatan sejenak beristirahat bagi kedua cewek itu. Dan apabila telah mencapai target waktu, akan mereka hentikan perang terbuka ini.
Sayangnya, bencana terbesar justru tidak terprediksi. Untuk mengetahui bagaimana kedua lawan mereka bisa melangkah lebih cepat pada saat tidak bersama-sama mereka, Rei cs memutuskan untuk meningkatkan kecepatan!
Dan itu langsung terjadi begitu Bima memerintahkan kedua lawannya untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan, dengan intonasi seperti memerintahkan tawanan untuk cepat keluar dari sel dan memulai kerja paksa. Bisa ditebak, kecepatan yang ditingkatkan itu kemudian menelan energi yang dikumpulkan Langen dan Fani saat istirahat.
Iwan cs, yang sedang mengecek kembali pijakan-pijakan yang mereka buat di lintasan tegak lurus yang sebentar lagi akan dilalui, kaget saat mendengar suara-suara langkah kai. Jauh lebih cepat dari waktu yang mereka perhitungkan. Bergegas mereka merambati tebing yang dipenuhi pepohonan itu, dan hilang di atas. Beberapa detik kemudian Rei cs, yang masih dalam kondisi prima, dan kedua lawannya yang telah kehilangan separuh energi yang dikumpulkan saat istirahat tadi, tiba.
Sekali lagi gambaran kasar di atas kertas dengan realita di depan mata adalah dua hal yang benar-benar berbeda. Langen dan Fani kontan ternganga lebar. Tapi mereka cemas juga ketiga Rei cs menangkap kepanikan mereka. Mulut Langen dan Fani segera terkatup kembali.
Etape berikut terbentang di depan mata. Sebuah tebing tanah tegak lurus. Pepohonan rapat menutupi seluruh permukaannya. Untuk melewatinya hanya ada satu cara. Memanjat dari dahan ke dahan! Dan tebing itu begitu tinggi, hingga seperti menyentuh langit, melukiskan dengan baik dan amat tepat sebuah lagu kanak-kanak yang dulu sekali kerap dinyanyikan. Naik, naik, ke puncak gunung. Tinggi....tinggi sekali.....
Tebing ini akan menjadi tempat pembantaian. Bukan hanya Iwan cs, Rei cs ternyata juga telah merancang agar perang terbuka ini berlangsung singkat.
Di kalangan pendaki, jalur ini dikenal dengan sebutan ''Jalan Setan''. Tingkat kesulitannya yang cukup tinggi membuat jalur ini lebih sering digunakan untuk latihan fisik. Dan bisa ditebak, jumlah pendaki cewek yang pernah melewati jalur ini bisa dihitung dengan jari.
''Siap?'' tanya Rei. Sikap dan intonasi suaranya seakan-akan dia baru saja mendapatkan konfirmasi bahwa kedua lawan dipastikan akan menyerah di lintasan tegak lurus ini.
Langen dan Fani tidak bisa memberikan jawaban lain selain mengangkat dagu tinggi-tinggi, membusungkan dada, dan menampilkan ekspresi ready to fight till the last blood!
Berdiri di kiri-kanan Rei, Bima dan Rangga juga mengamati kedua lawan mereka. Kelelahan kedua cewek itu sebenarnya terlihat sangat nyata. Sayangnya yang mereka ingin lihat adalah.....kejatuhan yang nyata!
''Gue lupa!'' Rei berdecak. ''Ini perang. Jadi harusnya nggak perlu basa-basi,'' kalimatnya membuat kedua sobatnya di kiri-kan kontan ketawa pelan. ''So, ladies first or gentlemen first?'' sambung Rei dengan nada sopan.
''Kenapa? Lo takut diem-diem kami balik badan terus ngibrit pulang?'' tanya Langen langsung. Dia pura-pura tersinggung. Padahal yang sebenarnya, dia perlu waktu untuk mencari pijakan-pijakan yang telah dibuat Iwan cs di antara cabang dan ranting pohon. Yang tidak mungkin bisa dilakukan di bawah pandangan ketiga lawan.
''Oke. Gentlemen first!''
Rei menepuk bahu kedua sobatnya. Begitu ketiga cowok itu balik badan, kedua mata Langen dan Fani kontan jelajatan. Menggerayangi seluruh permukaan tebing. Berusaha secepatnya menemukan tanda-tanda yang ditinggalkan Iwan cs, yang benar-benar tersembunyi seperti dalam lukisan tiga dimensi.
Akhirnya mereka temukan tanda-tanda itu. Cabang dan ranting-ranting pohon yang telah dibentuk sedemikian rupa untuk memudahkan pemanjatan. Keduanya sejenak menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kuat-kuat. Saatnya untuk menyusul ketiga lawan..
Dan pembantaian langsung terjadi!
Di tebing tegak lurus dan tinggi ini, Langen dan Fani bukan saja dipaksa untuk melihat bukti bahwa gunung adalah dunia cowok, dan bahwa cowok adalah makhluk superior, tapi juga bahwa teori evolusi Charles Darwin kemungkinan bisa diyakini kebenarannya.
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar