Rei menghentikan langkah lalu menghadapkan tubuhnya ke arah Langen dan Fani. Kedua cewek itu masih berakting sebagai dayang dan ratu.
"Bim!" panggilnya tanpa tatapannya beralih. Bima menoleh dan langsung paham apa yang ingin ditanyakan sobatnya itu. "Seret mereka turun!" perintahnya.
''Eist!'' Langen langsung melompat berdiri diikuti Fani. ''Jangan sampe gue menjerit sampe tujuh oktaf ya!'' ancamnya. Dia gerakkan dagu ke arah suara-suara di ke jauhan. ''Jangan sampe gue sama Fani jerit gila-gilaan, yang akan bikin orang-orang itu lari ke sini! Karena kalo sampe itu terjadi, kami nggak bisa berbuat lain kecuali menunjukkan....'' Langen menggantung kalimatnya. Ditatapnya Rei lurus dan tajam, menunjukkan keseriusan ancamannya. ''.....betapa perempuan itu selalu teraniaya, di mana pun keberadaannya! Dan kami berdua akan menangis terisak-isak, seakan-akan sesuatu yang begitu berharga telah direnggut dengan paksa!''
''Sip!'' Fani menjentikkan jari. "Kalo perlu kami tunjukkan ekspresi muka dan bahasa tubuh yang seakan-akan memperlihatkan, bahwa kami sangat trauma! Bahwa peristiwa ini akan menghantui kami seumur hidup!"
"Nah!" Langen bersiul. Menunjuk sahabatnya dengan jari telunjuk dan jempol membentuk pistol. "Setuju!"
Rei cs tercengang.
"Licik lo berdua!" desis Rei geram.
"Lihai!" ralat Langen langsung.
"Cepet tarik mereka turun! Nggak usah banyak ngomong lagi!" seru Bima keras. Dia jengkel dan berang. "Lo bantuin Rei, Ga! Biar gue bebat sendiri!"
Rangga menyerahkan gulungan perban di tangannya, lalu melangkah cepat menyusul Rei. Langen dan Fani saling pandang dengan cemas. Dan tak dinyana, keduanya kemudian menjerit sekeras-kerasnya!
Sekejap, suasana berubah jadi sangat hening. Tubuh Rei, Bima, dan Rangga kontan membeku. Mereka tidak menyangka, kedua cewek itu akan membuktikan ancamannya.
"Bim!" panggilnya tanpa tatapannya beralih. Bima menoleh dan langsung paham apa yang ingin ditanyakan sobatnya itu. "Seret mereka turun!" perintahnya.
''Eist!'' Langen langsung melompat berdiri diikuti Fani. ''Jangan sampe gue menjerit sampe tujuh oktaf ya!'' ancamnya. Dia gerakkan dagu ke arah suara-suara di ke jauhan. ''Jangan sampe gue sama Fani jerit gila-gilaan, yang akan bikin orang-orang itu lari ke sini! Karena kalo sampe itu terjadi, kami nggak bisa berbuat lain kecuali menunjukkan....'' Langen menggantung kalimatnya. Ditatapnya Rei lurus dan tajam, menunjukkan keseriusan ancamannya. ''.....betapa perempuan itu selalu teraniaya, di mana pun keberadaannya! Dan kami berdua akan menangis terisak-isak, seakan-akan sesuatu yang begitu berharga telah direnggut dengan paksa!''
''Sip!'' Fani menjentikkan jari. "Kalo perlu kami tunjukkan ekspresi muka dan bahasa tubuh yang seakan-akan memperlihatkan, bahwa kami sangat trauma! Bahwa peristiwa ini akan menghantui kami seumur hidup!"
"Nah!" Langen bersiul. Menunjuk sahabatnya dengan jari telunjuk dan jempol membentuk pistol. "Setuju!"
Rei cs tercengang.
"Licik lo berdua!" desis Rei geram.
"Lihai!" ralat Langen langsung.
"Cepet tarik mereka turun! Nggak usah banyak ngomong lagi!" seru Bima keras. Dia jengkel dan berang. "Lo bantuin Rei, Ga! Biar gue bebat sendiri!"
Rangga menyerahkan gulungan perban di tangannya, lalu melangkah cepat menyusul Rei. Langen dan Fani saling pandang dengan cemas. Dan tak dinyana, keduanya kemudian menjerit sekeras-kerasnya!
Sekejap, suasana berubah jadi sangat hening. Tubuh Rei, Bima, dan Rangga kontan membeku. Mereka tidak menyangka, kedua cewek itu akan membuktikan ancamannya.
Suara-suara orang bergantian di kejauhan pun ikut lenyap, berganti dengan suara orang-orang berlarian. Mendekat dan dalam jumlah banyak!
''Elo....?'' Rei menatap Langen dengan mata menyala. Tak lagi bisa bicara.
''Kalo lo nggak mau mereka ngeliat gue dalam kondisi kayak gini....'' Langen menyambar carrier-nya dan menarik keluar sebuah agenda. Dari bagian tengah agenda itu, ditariknya selembar kertas dan diulurkannya pada Rei. ''Tanda tangan!''
Rei membuka lipatan kertas itu dan tercengang. Baris paling atas, tepat di tengah, tertulis dalam huruf-huruf besar dan tebal.
SURAT PERNYATAAN PENGAKUAN KEKALAHAN.
Di bawahnya, tertulis dalam ukuran huruf yang lebih kecil, beberapa baris kalimat.
Kalimat-kalimat yang membuat Bima dan Rangga, yang langsung bergabung begitu melihat ketercengangan Rei tadi, ikut tercengang juga. Kalimat-kalimat itu menerangkan dengan rinci, fakta yang diputar-balik dari apa yang saat ini tengah terjadi. Diawali pada paragraf pertama, dengan pencantuman hari, tanggal, bulan, serta tahun, dan ditutup dengan lokasi.
Paragraf kedua menerangkan bahwa di lokasi tersebut, telah terjadi pendakian bersama. Antara Tim Cewek (nama lengkap Langen dan Fani tertulis dengan underline, juga nama lengkap Febi berikut dengan semua gelar kebangsawanannya), dan Tim Cowok (nama lengkap Rei cs juga tertera dengan underline).
Paragraf ketiga menerangkan bagaimana pendakian tersebut kemudian terpaksa dihentikan, karena Tim Cowok tidak mampu lagi untuk meneruskan. Dengan berat hati, Tim Cewek terpaksa menyetujui untuk menghentikan pendakian, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, berkenaan dengan kondisi fisik Tim Cowok.
Paragraf keempat, yang merupakan paragraf terakhir, menerangkan bahwa isi surat pernyataan tersebut auntentik, dipertegas dengan pembubuhan tanda tangan ketiga anggota Tim Cowok, di bagian paling bawah surat pernyataan tersebut.
Begitu seluruh kalimat telah terbaca, kertas itu segera menjelma jadi gumpalan, karena diremas Rei dengan seluruh kekuatan.
Ketika ketiga wajah itu mendongak, Langen dan Fani mendapati tiga pasang mata menatap dengan sinar kemarahan yang seperti sanggup menembus tengkorak.
''Nggak masalah. Masih banyak cadangannya,'' ucap Langen tenang.
''Febi nggak ada!'' tegas Rangga.
''Gue, Fani dan Febi, adalah satu paket. Ada nggak ada, tetep namanya harus dicantumkan,'' Langen berkelit. ''Cepet tanda tangan! Nggak usah protes!''
''Sayangnya, gue nggak bersedia!'' ucap Rangga kalem. ''Silakan lo berdua terus berdiri di atas sana sampe orang-orang itu dateng, dan gue akan bergabung dengan mereka.....'' Cowok itu lalu tersenyum nakal. ''Harus gue akuin, lo berdua.....seksi. Sangat seksi!''
Rei dan Bima menoleh bersamaan dan menatapnya tajam. Rangga mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
''Sori. Kali ini gue nggak bisa sejalan. Bener-bener penghinaan kalo gue harus tanda tangan.''
''Nggak masalah,'' jawab Langen tak acuh. Lalu dia menyambung dalam hati. Tunggu aja sampe Febi nongol di depan idung lo. Baru tau rasa!
Sikap tegas Rangga seketika membuat Rei dan Bima bimbang. Keduanya menoleh ke arah suara-suara orang berlari di kejauhan, kemudian saling pandang. Mereka segera memperhitungkan apakah di sisa waktu yang benar-benar sempit mereka sanggup melumpuhkan kedua rival.
Langen dan Fani seketika bergerak mundur. Tegak tepat di titik pusat batu oval. Mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan dilakukan Rei cs secara mendadak. Seperti mencekal pergelangan kaki, menarik tangan, atas tindakan-tindakan lain yang bisa membuat mereka berdua ''terlempar'' dari atas batu dan jadi pecundang.
Benar saja. Dengan gerakan cepat, tiba-tiba Rei dan Bima bergerak ke dua arah yang berlawanan, lalu melompat ke atas batu dari sisi kiri dan kanan. Langen dan Fani terkesiap. Refleks mereka menyambar carrier masing-masing. Sekuat tenaga, mereka hantamkan carrier itu ke masing-masing lawan. Rei dan Bima, yang belum sempat menjejakkan kaki dengan benar, terlempar kembali ke bawah dan terkapar di sana. Rangga terperangah menyaksikan itu dan seketika geleng-geleng kepala dengan mulut ternganga.
''Lo berdua gue kasih peringatan..... Jangan macem-macem!'' bentak Langen. ''Tanda tangan atau gue terpaksa ngarang cerita yang akan bikin lo bertiga sekarat dihajar tuh orang-orang!''
Rei bangkit berdiri dengan kedua tangan terkepal kuat. Kemarahan yang ditekan mati-matian membuat wajahnya merah padam. Sementara beberapa langkah di sebelahnya, Bima menatap Fani dengan sinar segarang Rei.
''Lo kira lo siapa!?'' Dengan sorot tajam, Langen menatap Rei dan Bima bergantian. ''Arnold? Sylvester Stallone? Van Damme? Gue nggak ngeliat lo berdua punya pilihan lain.....selain tanda tangan!''
''Nggak ada tulang yang nggak bisa patah!'' timpal Fani. Bima seketika mengepalkan tangan sampai seluruh buku-buku jarinya memutih. Tapi itu malah membuat Fani semakin menantangnya, dengan cara menaikkan dagu tinggi-tinggi. ''Dan tulang sangat diperlukan untuk menyangga otot-otot Hercules lo itu, tau!''
Tidak ada yang bergerak dari kedua buku. Detik demi detik yang kemudian terlewat, benar-benar satu pertaruhan. Masing-masing kubu sama-sama berharap, di detik berikut berhasil mereka temukan celah untuk melumpuhkam lawan.
Ketegangan yang memuncak membuat Langen dan Fani tidak lagi merasakan dingin yang memeluk tubuh bagian atas mereka yang bisa dibilang semi telanjang. Bima yang sama sekali tidak menyadari bebatan lukanya melonggar dan rembesan darah tidak lagi tertahan.
Gemuruh suara orang-orang berlari itu semakin dekat, dan semakin dekat, dan.....semakin dekat!
Rei mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Kemudian dipejamkannya kedua matanya rapat-rapat.
Tidak ada yang harus dipertimbangkan. Saat ini saja dia sudah harus membagi apa yang seharusnya jadi miliknya sendiri, dengan kedua sahabatnya. Dan dari gemuruh derap kaki berlari yang terdengar, kemungkinan lebih dari lima belas orang sedang menuju ke sini sekarang.
Ditariknya napas panjang-panjang. Kemudian dibukanya kedua matanya dan ditatapnya Langen lurus-lurus.
''Mana surat pernyataannya?''
Rangga terperangah. Begitupun Bima, tapi kali ini dia mengerti dan memahami tindakan Rei.
''Apa?'' Langen juga tercengang. Dia bertanya karena masih tak percaya.
''Mana surat pernyataannya? Cepet!'' sentak Rei.
Akhirnya.....salah satu kubu menyerah!
Senyum kemenangan seketika tercetak di bibir Langen dan Fani. Cepat-cepat Langen meraih carrier, mengeluarkan agendanya, dan menarik selembar kertas dari sana. Diulurkannya kertas itu pada Rei dengan waspada. Jangan sampai cowok itu memanfaatkan peluang tersebut untuk menangkap tangannya lalu menariknya turun.
''Sebentar,'' ucap Langen. Rei yang akan melangkah menuju tempat Bima berdiri, seketika membatalkan langkahnya. ''Jangan coba-coba nipu. Gue hafal tanda tangan lo berdua. Jadi jangan coba-coba bikin tanda tangan palsu!''
Sesaat sepasang mata Rei melumat Langen dalam kilat kemarahan yang memuncak. Sesudahnya, kembali dua meneruskan langkah mendekati Bima, meletakkan kertas itu di punggung sahabatnya, dan mulai membubuhkan tanda tangan seperti permintaan pihak lawan.
''Masukin kipas-kipasnya, Fan! Trus beresin carrier!'' perintah Langen.
Fani segera melaksanakan perintah itu. Dibereskannya carriernyw juga carrier Langen, sementara Langen mengawasi dengan sikap waspada jalannya proses "pemindahan kekuasaan" yang terjadi di depannya.
Lima detik kemudian, Surat Pernyataan Pengakuan Kekalahan itu selesai ditandatangani. Hanya dalam lima detik, kekuasaan Rei dan Bima yang selama ini begitu mutlak dan absolut.....berakhir!
Langen menerima kertas yang diulurkan Rei, dan tersenyum puas saat melihay kedua tanda tangan tertera di sana, sama persis seperti yang sering dilihatnya.
''Ini nanti mau gue laminating. Dan begitu elo-elo menyangkal atau melakukan hal-hal yang gue dan Fani nggak suka, kopi surat pernyataan ini akan langsung beredar di kampus!'' ucapnya sambil melipat kertas itu dan menyelipkannya di antara halaman-halaman agenda.
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar