Minggu, 09 Maret 2014

bab 6 part 3 novel cewek!!! by esti kinasih

"Apa sih maksud lo?" Rei tidak mengerti.
"Maksud gue...." Langen menoleh. Menatap sepasang mata hitam Rei dengan sikap menantang. "Gimana kalo gue tantang elo....kebut gunung!?"

Hukk!!! Rei terhuyung mundur. Ditatapnya gadis di depannya dengan mata melotot lebar.
"A-apa, La?"
"Kebut gunung. Masa elo nggak denger sih? Kayaknya gue ngomongnya udah keras deh," jawab Langen centil. Tapi Rei sedang shock, jadi tidak sempat memerhatikan gaya kenesnya Langen itu.
"La, elo.....elo bercanda, kan?"
"Serius dong! Orang gue latihan fisiknya aja sampe di Bumi Marinir Cilandak sana. Bareng sama tentara-tentara. Makanya pake baju loreng. Ini bukan beli nih. Jangan salah!"
"Langen, elo kan....."
"Nggak pernah naik gunuuuuung?" potong Langen manis. "Makanya ini gue mau naik gunung....." Cewek itu menoleh ke pemilik warung. "Ada kopi, Mang?"
"Oh, aya! Aya, Neng!" jawab bapak si empunya warung. "Berapa?"

Langen menoleh keluar.
"Elo mau kopi nggak, Fan?" tanyanya. Suaranya sengaja nyaring. Biar Bima mendengar. Cowok itu memang mendengarnya dan jelas kaget. Fani minum kopi? Nggak mungkin! Karena yang dia tahu, Fani itu tidak suka kopi sama sekali.
"Mau!" jawab Fani sambil berdiri dan masuk ke warung.
"Elo, Feb?" Langen menoleh ke Febi, yang berdiri diam di sudut.

Persoalan antara Febi dan Rangga memang tidak terlalu menghebohkan. Bukan karena dianggap sepele. Tapi sekali lagi, lingkungan tempat Febi lahir dan tumbuh besar membuatnya tidak bisa berbuat lain selain diam. Di sana perempuan cuma jadi pelengkap. Dan yang namanya pelengkap kan kewajibannya cuma mendengarkan, dan bukan menuntut penjelasan. Makanya Febi jadi bingung dam akhirnya cuma diam. Kasus Ratih sepertinya belum cukup untuk Febi memompa keberanian.

"Boleh." Febi mengangguk.
"Feb!" Rangga tercengang. "Kamu doyan kopi sekarang?"

Febi tertawa, agak sinis. Didekatinya Fani lalu duduk di sebelahnya.
"Kopi tiga, Mang," kata Langen dan ikut bergabung duduk dengan kedua temannya.

Kopi datang. Diam-diam ketiganya mengucapkan syukur. Untuuuung gelasnya kecil. Masalahnya, mereka nggak doyan kopi, dan ini sebenarnya juga cuma untuk eksyen. Di bawah tiga pasang mata yang menatap lurus dan tajam, ketiga cewek itu mati-matian berusaha terlihat wajar. Seperti orang yang sudah biasa minum kopi. Padahal sih.....uuugh, yekh! Pengen muntah!

Apalagi mereka latihannya salah. Pakai kopi merek ngetop, yang ada krim dan gulanya pula. Sementara yang sekarang diminum, kopi yang ampasnya segede-gede jagung dan baunya mirip dedak makanan ayam.

"Jadi...," sambung Langen. Tangan kanannya buru-buru mencomot sepotong pisang goreng. Soalnya kopinya sudah naik lagi ke ulu hati dan siap mencelat keluar. "Udah lo bilangin, Fan?" tanyanya.

Fani geleng kepala. Menutup bibirnya rapat-rapat. Perutnya mual. Bima gemas sekali melihatnya.
"Elo, Feb?" Langen menoleh ke Febi. Yang juga geleng kepala tanpa menjawab. Sibuk makan kerupuk sebanyak-banyaknya supaya kopi itu tersedak sampai ke usus.
"HAAA!!!?"

Bima terperangah. Rangga terhuyung mundur. Keduanya kaget luar biasa. Sementara Rei cuma berdiri diam karena sampai sekarang rasa kagetnya belum hilang.
"Apa, La?" Bima tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Jangan-jangan telinganya yang salah tangkap.

"Kebut gunung!" ulang Langen. Gaya bicaranya masih santai, sepertinya kebut gunung itu masalah sepele baginya.
"La, ini serius? Fan? Febi?" Bima menatap cewek-cewek di depannya bergantian. Tiga-tiganya mengangguk tegas.
"Udah yuk?" Febi ikut berdiri. Rei langsung mencekal satu tangan Langen dan menarik cewek itu ke hadapannya.
"Kapan!?" suaranya bergetar. Sepasang matanya menyorot tajam. Menembus jauh ke dalam dua manik cokelat milik Langen. Berusaha mencari tahu tantangan barusan itu bukan sekadar gertak sambal.
"Sekarang," jawab Langen santai.
"SEKARANG?" ketiga cowok itu tersentak.
"Iya, sekarang! Ini kami udah mau berangkat. Jam....," Langen melihat pergelangan tangannya, "setengah delapan lah....."
"Dari mana!?" tanya Rei langsung. Suaranya sampai mendesis. Langen tersenyum manis.
"Sori. Kalo itu kami nggak bisa bilang. Kan kalian selama ini lebih suka jalan sendiri. Nah, sekarang kami juga begitu. Nggak pengen ditemenin. Kita jalan sendiri-sendiri. Oke?" Dia melepaskan cekalan Rei di lengannya, lalu menyusul Fani dan Febi yang sudah berjalan ke luar warung.
"Sampai ketemu di pucak!" seru Febi. Dia lambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.

Ketiga cowok itu berdiri kaku. Sama sekali tidak membalas lambaian itu. Masih belum bisa percaya pada tantangan yang barusan dilempar Langen. Begitu masuk mobil, Fani langsung panik mencari-cari.

"Nih!" Febi menyodorkan benda yang dicari dan langsung disambar. Begitu permen rasa jeruk itu sudah melewati tenggorokan, Fani langsung tertawa keras-keras.
"Lo berdua ngeliat mukanya Bima, nggak? Shock abis dia! Dia pikir karena dia beruk, siamang, orangutan, jadi udah pasti nggak mungkin terkalahkan. Mampus dia sekarang!"

"Gue juga puas!" seru Langen riang. "Lo tadi kenapa diem aja sih, Feb? Aturannya lo sikat aja si Rangga.
Abisin sekalian!"
"Males ah. Dia juga udah kaget banget kok tadi. Cukuplah," kilah Febi.

Di tempat mereka akan start untuk naik, Iwan cs langsung berdiri begitu ketiga cewek itu muncul.
"Berhasil, nggak?" sambut Iwan. "Pada kaget tadi?"
"Waaah, bukan kaget lagi! Muka mereka udah kayak napi yang mau dieksekusi!" Fani terkekeh riang.
"Masa segitunya?" Yudhi jadi ikut ketawa.
"Pokoknya seru banget deh!" Langen menjentikkan jaru kita nggak banyak. “Siap berjuang?"
"Siap dong!" Langen cs langsung menjawab kompak.
"Bagus! Kita berangkat sekarang!"
Mereka bergerak. Untuk menjejakkan kaki di tempat tertinggi. Kejutan pertama Langen cs untuk Rei cs!

continue~ 

Link Bab 7 part 1: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-7-part-1-novel-cewek-by-esti-kinasih_10.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar