Jeritan Febi melengking panjang. Membelah keheningan. Seketika semuanya tersadar. Iwan berusaha menuruni tebing dengan cepat. semua menahan napas ketika kemudian dia menghilang di antara lebatnya pepohonan di bawah. Detik-detik kemudian berlalu dalam tegang dan cemas yang benar-benar mencekik saraf.
Tiba-tiba lebatnya daun-daun di bawah terkuak. Iwan muncul bersama Rizal. Iwan bertelanjang dada karena kausnya disobek untuk membebat luka di kepala dan lengan kanan Rizal. Ada noda darah di kedua tempat itu.
Lagi-lagi Febi menjeritkan nama Rizal, lalu ribut bertanya di mana kantong P3K. Sementara Evan berjalan hati-hati meniti langkan tebing untuk menjemput Rizal.
Semuanya lalu mengikuti dengan diam, sepotong adegan ala film-film perang, saat seorang tentara ganteng yang terluka dirawat seorang gadis relawan Palang Merah yang cantik. Yang membersihkan lukanya bukan hanya dengan tangan-tangannya yang halus, tapi juga ekspresi cemas plus ait mata. Ditambah permohonan berjuta maaf yang begitu mengundang iba dan mengharumkan hati siapa saja.
"Wih, enaknya!" komentar Theo sambil geleng-geleng kepala. "Gue juga mau, kepala gue bocor kiri-kanan-depan-samping!"
Semua tertawa.
"Emang kepala lo bisa bocor?" tanya Evan. "Orang kejedot jendela aja, kacanya yang pecah!"
"Jendela lo aja yang kacanya murahan!" balas Theo langsung. semuanya tertawa lagi.
Kembali mereka terpaksa mengambil istirahat agak lama. soalnya, walaupun luka Rizal tidak serius, ketegangan yang ditimbulkan telah menguras cukup banyak energi. Setelah dirasa semuanya sudah cukup istirahat, Iwan berdiri. diraihnya carrier Rizal.
"Sementara lo nggak usah bawa apa-apa dulu."
"Nggak! Nggak usah! Nggak usah!" Rizal buru-buru menolak. meskipun tubuhnya serasa benar-benar remuk, luka dipelipisnya juga, terasa sangat sakit, berhubung di depan ada cewek-cewek apalagi ada yang sudah menangisinya sampai keduanya matanya bengkak begitu, dia mesti kelihatan strong bak Hercules! Perkara nanti sampai rumah kolaps, itu urusan belakang!
"Serius, nih?" Iwan menatap Rizal, tak yakin.
"Iya. Lagian juga udah deket."
Mestipun khawatir dan sebenarnya tidak percaya, keempat temannya akhirnya membiarkan Rizal tetap menyandang beban berat di pungguh.
***
Lima belas menit terakhir, Langen, Fani, dan Febi merasakan apa yang dirasakan setiap pendaki gunung di saat menapaki menit-menit terakhir perjalanan mereka. Perasaan yang sulit digambarkan.
Padang-padang edelweis dengan bunga-bunga- bunga putihnya mengapit di kiri-kanan. Kabut datang dan pergi bergantian. Kesunyian yang begitu dominan. dingin yang menggigit tulang. Dan langit yang sepertinya tergapai tangan.
Ini pendakian mereka yang pertama. Bukan bersama orang-orang yang mereka sayangi, tapi justru bersama orang-orang yang baru mereka kenal___kecuali Iwan tentu saja. Tanpa sadar, semua terdiam. Sampai mereka tiba di satu tempat terbuka. Tidak begitu luas dan penuh rumpun edelweis. Tiba-tiba Iwan dan keempat temannya memisahkan diri. Membentuk jarak dengan Langen, Fani, dan Febi. Cewek-cewek yang selama lima jam lebih mereka bimbing untuk sampai ke tempat ini, melewati begitu banyak kesulitan. Ketiganya menatap heran, tak mengerti. Iwan melangkah maju. Mendekati Langen lalu mengulurkan tangan.
"Selamat, La....." Diguncang-guncang tangan Langen. "Lo udah berhasil sampe puncak. Hebat!"
Langen tergugu. Keharuan itu begitu saja datang. tiba-tiba dia terisak.
"Makasih, Wan....." Suaranya hampir tak terdengar. Iwan melepaskan genggamannya kemudian beralih ke cewek di sebelah Langen. Fani, yang juga sudah menggigit bibir.
"Selamat ya, Fan," ucap Iwan lembut. "Elo udah berhasil sampe puncak. Top!"
Suasana lansung berubah seperti acara perpisahan. Meskipun sudah ditahan mati-matian, suara isak tangis itu tetap terdengar. Pelan, tapi malah membuat suasana jadi semakin mengharumkan. Apalagi sewaktu Rizal mengucapkan selamat untuk Febi. Part two adegan di pinggir jurang tadi.
"Ya ampun, Feb! Udah dong nangisin Rizal-nya. Orang dia nggak kenapa-napa!" kata Theo dongkol.
"Nggak kenapa-napa gimana? Dia luka dalam, kan? Harus sering-sering diperhatiin!" jawab Yudhi cepat. Iwan dan Evan menyeringai, tertawa tanpa suara.
"Apanya yang luka dalam? Mana sini, gue ketok sekalian!" dengus Theo sambil balik badan. "Siapa yang mau sosis panggaaang!!!?" dia berteriak nyaring. berhasil. teriakannya langsung merusak suasana penuh haru itu.
"Oke, deh. met pesta. Biar gue jaga....." Iwan berjalan ke mulut salah satu jalan setapak dengan membawa segelas kopi dan seplastik roti. "Yud! Jangan lupa tuh urusannya cewek-cewek!"
"Sip!" Yudhi mengangguk.
"Mau liat-liat, nggak?" ajak Riza. "Kita sekarang ada di tempat tertinggi ketiga di Jawa Barat!"
"Mau! Mau!"
continue~
Link Bab 7 part 5: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-7-part-5-novel-cewek-by-esti-kinasih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar