Tapi rencana unjuk rasa Langen cs itu ternyata hanya tinggal rencana. Rei, Bima, dan Rangga malah punya rencana yang lebih dahsyat lagi. Begitu keluar kelas, Langen langsung curiga karena menemukan sederajat wajah gelisah.
"Ada apa sih?" tanyanya.
"Ada yang mau kami omongin." Rei langsung meraih tangan Langen. "Lo juga, Fan."
Tangan Bima sudah terulur, tapi Fani buru-buru menolak dengan tegas.
"Nggak usah gandeng-gandeng. Gue bisa jalan sendiri, dan gue juga nggak buta!"
Bima mendesis marah, tapi terpaksa mengalah. Cuma Febi dan Rangga yang kelihatan tenang.
Wajah-wajah itu semakin gelisah begitu mereka duduk berhadapan di salah satu bangku semen di taman kampus. Kalau melihat tempat yang dipilih bangku yang terjauh dari koridor tempat orang berlalu-lalang sepertinya ada masalah gawat!
Rei berdeham sebelum memulai.
"Begini. Kami bukannya lagi-lagi mau melanggar janji. Cuma kadang kesempatan yang kami anggap nggak mungkin atau kecil kemungkinannya untuk diraihm bisa datang tiba-tiba. Tapi ada harga yang mesti dibayar. Ada pengorbanan yang mau nggak mau harus kami berikan. Tapi ini sifatnya cuma sementara. Cuma sampai....."
"Langsung aja deh....," potong Langen. Dia paling benci prolog kayak gini. Muter-muter nggak jelas. Rei menatapnya. Langen balas menatap. Suasana mulai mencekam. Ketiga cowok itu sadar, parah-tidaknya akibat dari bom yang mereka lempar tergantung cewek satu ini.
"Kami bertiga ditawarin Bang Imenk untuk ikut ke Jayawijaya. Carstenz Pyramid!"
"Sekarang? Bolos kuliah, gitu?"
"Bukan sekarang. Nanti libur semesteran. Masalahnya adalah karena itu nggak lama lagi, jadi kami harus memanfaatkan setiap hari libur untuk olah fisik."
"Maksudnya?"
Belum sempat Langen mendapatkan jawaban, tiba-tiba...... "OOOIII!!!!"
Enam-enamnya menoleh. Bang Imenk dedengkotnya anak-anak Maranon tanpa merasa dirinya sudah menyulut perang, menyodorkan selembar kertas.
"Ini jadwal latihannya. Inget bener-bener ya? Jangan pernah absen satu kali pun! Kita langsung start hari Sabtu besok, ke Sukabumi!"
Bima menerima kertas itu dan buru-buru dilipat lalu dimasukkan ke kantong. Takut disambar salah satu cewek di depannya dan berubah jadi serpihan.
"Oke, ya?" Bang Imenk pamit. Tak lupa dia memberikan senyum ke tiga cewek itu sambil menyapa, "Halo, cewek-cewek manis. Apa kabar?" Dia nggak nyadar kalau ketiganya ingin sekali menceburkannya ke kali di belakang kampus. Dan sapaan tadi ternyata asli basa-basi. Buktinya, belum juga dijawab dia sudah ngeloyor pergi.
"Semua pilihan itu ada risikonya," ucap Rei pelan.
Langen membisu di bawah pandang mata Rei. Dia tidak ingin bicara. Percuma. Suasana jadi hening. Fani, yang heran Langen tidak bersuara sama sekali, menoleh dan jadi tertegun. Muka Langen datar. Dan itu membuatnya jadi sedih dan tiba-tiba saja meledak marah.
"Ini pilihan lo bertiga, tapi kenapa kami yang mesti nanggung risikonya!?" bentaknya. Kontan Rei cs kaget. Tidak mengira Fani yang akan bereaksi. "Mestinya lo bertiga mikir dong. Jangan punya cewek kalo masih menganggap diri sendiri harus selalu yang nomer satu!"
"Bukan begitu, Fan....," kata Rei.
"Bukan begitu apa?" potong Fani seketika. "Kami bertiga emang selalu diem. Tapi bukan berarti lo semua bisa seenaknya aja. Cuma mikirin diri sendiri!"
"Fan, denger dulu," bujuk Rangga.
"Denger apa lagi? Selama ini kami selalu jadi pendengar. Sekarang saatnya elo-elo untuk ganti denger! Dasar egois!"
Sepasang mata Bima menyipit. Ada senyum tertahan di bibirnya. Jadi ini cewek bisa galak juga ya? Hm.....harus dijajal nih! Apa iya?
Tiba-tiba Rei berdiri, mengulurkan tangan kirinya ke Langen yang tak bersuara, dan menariknya lembut sampai berdiri. Sementara matanya menatap Bima dan Rangga bergantian. Kedua temannya itu langsung tahu, mereka harus menyelesaikan ini secara pribadi. Sendiri-sendiri.
Fani yang tadinya dengan gagah berani melancarkan protes keras, langsung panik begitu tinggal berdua dengan Bima. Sama seperti Rei bagi Langen, monyet ini juga cowok pertamanya. Bedanya, Langen fall in love, sementara dirinya fall in hell. Langen penuh bayangan indah, namanya juga cinta pertama. Sementara dirinya penuh bayangan drakula!
Sambil menahan tawa, Bima melipat kedua tangannya di depan dada. Dua mata elangnya menatap tajam. Dia begitu kecil, rapuh, dan mengarukan. Sekaligus pembalasan atas sikap nyolotnya kalau di rumah.
"Kok diem?" suara baritonnya menyapa lembut. "Terusin aja kalo masih ada ganjelan."
Mana Fani berani!
continue~
Link Bab 5 part 2: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-5-part-2-novel-cewek-by-esti-kinasih_10.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar