Sabtu, 15 Maret 2014

Bab 13 part 1 novel cewek!!! by esti kinasih


Salah satu kakak Langen, Erlangga, sedang berdiri di pinggir jalan saat Bima datang.
''Rei ada di sini, Er?''
''Nggak. Langen-nya aja nggak di rumah.''
''Oh, ya?'' Bima pura-pura kaget. ''Ke mana?''
''Paling di tempat Fani. Kalo nggak pulang, di mana lagi tuh anak kalo nggak di sana.''
''Emangnya Langen nelepon kalo sekarang dia di tempat Fani?''
''Nggak sih. Kenapa? Lo perlu sama Rei apa sama adek gue?''
''Rei. Tapi gue lagi males muter-muter nih. Pasti di tempat Fani, ya?''
''Pasti!''

Bima mengangguk-angguk, heran kenapa Rei bisa ''kelewatan'' padahal jawabannya gampang sekali dicari. Diucapkannya terima kasih, lalu pergi. Di tikungan menuju rumah Fani, cowok itu menghentikan mobil sejenak. Dia mengucir rambut panjangnya, lalu menyembunyikan ekor kuda itu di bawah topi. Tidak perlu penyamaran yang njelimet karena Baleno ayahnya yang terpaksa dia bajak semua kacanya sudah cukup gelap.

Saat menjelang tiba di tujuan, diturunkannya ujung topinya. Di balik dua lensa gelap, sepasang matanya lalu melirik tajam. Mengamati setiap sudut rumah Fani dengan saksama. Kedua orangtua Fani sepertinya akan pergi, karena mereka sudah berdiri di teras dengan dandanan rapi.
''Fani! Jangan lupa itu, telepon Langen. Suruh ke sini. Sayang itu empek-empeknya!'' kata mama Fani sambil berjalan ke mobil.
''Oke deh, Maaa!'' jawab anaknya dari dalam. Dan tak lama, Bima mendengar suara Fani meneriaki Ijah, ''JAAAH! TELEPON LANGEN GIH! SURUH KE SINI! CEPET GITU! JANGAN LAMA-LAMA KALO NGGAK MAU EMPEK-EMPEKNYA GUE ABISIN!''

Cewek itu tidak sadar bahwa teriakan yang sebenarnya untuk mengelabui orangtuanya itu berhasil membuat detektif dadakan yang barusan saja lewat ikut tertipu. Bima tersentak. Baleno-nya berhenti mendadak. Ternyata masalahnya memang gawat!

Segera diinjaknya pedal gas, buru-buru pulang. Rei sedang berjalan mondar-mandir di teras. Penampilannya tidak lebih baik. Begitu mobil Bima muncul, dia langsung melesat ke pintu gerbang. Di belakangnya, Rangga mengikuti dengan langkah lambat.
''Ketemu!?''
Bima geleng kepala. Harapan di mata Rei pupus seketika.
''Ini serius, Rei. Orang-orang di rumah Langen nyangka tuh anak di rumah Fani. Sementara dia nggak ada di sana.''
''Jadi gimana?'' tanya Rei putus asa.
''Mau nggak mau lo harus ngasih tau keluarganya.''
Rei tambah lunglai. ''Mendingan kita cari dulu.''
''Kemana lo mau cari?''
''Temennya bukan cuma Fani.''
''Dan gimana caranya lo cari tau siapa-siapa aja temennya?'' tanya Bima. Rei tidak bisa menjawab. Bima menarik napas. Lembut, ditepuk-tepuknya bahu sahabatnya itu. ''Ayo, gue temenin. Sebelom semuanya jadi semakin parah.''
''Gue setuju.'' Rangga mengangguk.

Dengan diapit kedua sahabatnya, Rei berjalan lambat ke arah Baleno yang masih diparkir di pinggir jalan.

Begitu tiba di depan rumah Langen, yang pertama terbayang di mata Rei adalah dua sosok orangtua Langen. Gimana bisa dia memberitahu mereka bahwa anak perempuan mereka satu-satunya.....hilang? Soalnya, meskipun nakal, Langen itu anak kesayangan. Salah satu kakaknya, Bagas, malah senpat membuat Rei cemburu karena kelewat menyayangi adik ceweknya itu.
''Balik, Bim.'' Rangga menepuk pelan bahu Bima.
Bima langsung setuju dan Baleno itu kemudian meninggalkan ruas jalan tempat dia sejenak diam.

***

Senin pagi, Fani berangkat ke kampus sendiri. Langen cabut kuliah. Sementara itu Rei datang ke kampus dengan penampilan yang benar-benar berantakan. Cowok itu memang cuma tidur kurang dari tiga jam selama hampir 48 jam terakhir, karena sebagian besar waktu dihabiskannya untuk berkeliaran ke mana-mana. Mencari sang kekasih yang hilang!

Start sejak pertengkaran hebat yang berujung perpisahan itu, dan finish menjelang fajar. Dengan melibatkan kedua sahabatnya, pencarian diteruskan Minggu siang sampai Senin dini hari. Dengan hasil kembali nihil. Sang missing person tetap missing!

Dan yang tersisa pagi ini tinggal khawatir, cemas, dan kalut yang semakin menjadi. Tadi pagi dia telepon lagi ke rumah Langen, dan pembantunya bilang Langen belum pulang. Satu jam kemudian diteleponnya kembali. Dan sekali lagi pula mendapatkan jawaban yang sama.
''Paling ditempatnya Fani,'' kata Bagas. Rei tidak berani mengatakan bahwa si bungsu itu tidak ada di sana.

Lunglai, Rei berjalan ke kelas sang kekasih yang hilang itu. Berharap ada kabar dari Fani.
''Kenapa lo?'' Fani berlagak bego meskipun sebenarnya terkejut melihat kondisi Rei yang berantakan. Sama sekali tak disangkanya. Dia pikir cuma Langen yang parah. ''Ke kampus acak-acakan gitu. Nggak mandi pula, ya?''
''Langen mana, Fan?'' Rei bertanya dengan nada memohon.
''Belom dateng.''
''Lo bukannya kalo pagi dijemput Langen?''
''Biasanya emang gitu. Tapi tadi gue tungguin sampe jam tujuh lewat, tuh anak belom dateng juga. Gue teleponin berkali-kali ke HP-nya, eh dicuekin. Ya udah. Gue cabut duluan.''
''Kenapa nggak lo tungguin? Kali aja dia dateng terlambat?'' Rei sepertinya menyalahkan.
''Oh, lo harus tau kalo gue ini mahasiswi yang sangat rajin!'' jawab Fani diplomatis. ''Gue nggak mau telat masuk kuliah cuma gara-gara nunggu jemputan.''

Mulut Rei sudah terbuka, ingin mengatakan bahwa Langen menghilang sejak Sabtu malam, tapi urung. Cowok itu lalu terduduk lunglai di sebelah Fani.
''Heh! Ini kursinya Langen. Maen duduk aja. Sana! Sana! Cari tempat laen kenapa?''
''Numpang sebentar, Fan. Gue nunggu Langen,'' ucap Rei lemah. Duh, kasihan banget deh denger suaranya.
''Sebentar bener, ya? Ntar kalo orangnya dateng pindah, ya?''

Rei mengangguk tanpa suara. Kemudian cowok itu benar-benar tidak mengeluarkan suara. Blas! Duduk diam dengan kepala menunduk dalam-dalam, dan baru berdiri begitu dosen datang.
''Pergi dulu, Fan,'' pamitnya lirih, lalu berjalan keluar. Fani mengikuti dengan pandangan.
''Gantung diri sana!'' dengusnya mangkel.



continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar