"Nggak! Nggak pernah! Ngarang tuh si Bima. Nyalahin cowok gue. Orang Rei nggak pernah ngomon gitu kok. Nggak pernah komplain elo sering ikut kami jalan atau nonton. Bener, Fan! Sumpah!"
"Tapi Bima bilang, Rei sering ngeluh ke dia, La."
"Bohong! Eh, tapi dia nyatainnya dimana?"
"Ya kayak rampok dapet mangsa. Cinta atau nyawa!"
"Ih!" Langen ternganga. "Jadi sekarang lo jadian sama dia, gitu?"
"Tau! Udah ah, nggak usah dibahas deh, La! Bete banget gue!"
Telepon ditutup. Fani lalu termenung menatap hujan yang turun deras di luar. Sedang serius-seriusnya merenungi nasibnya yang teramat tragis itu, pintu diketuk. Ijah masuk membawa segelas susu cokelat panas.
"Ijah!" teriak Fani menjulurkan kepala ke dalam."
"Sekarang gue punya pacar!"
"Genderuwo yang kemaren sore?"
Fani kontan ketawa, tapi ingin menangis juga. Ijah yang baru sekali melihat saja sudah bisa bilang begitu!
"Gimana cara nolaknya dong, Jah? Gue juga ngeri banget sama dia."
Ijah berdecak. Mengerutkan dahinya, berpikir keras. Cowok sangar gitu, kalau Non-nya ini nekat menolak, jangan-jangan nanti urusannya malah gawat, lagi!
"Nggak apa-apalah, Non. Terima aja, daripada nggak selamet." Ditutupnya pintu sambil meringis. Tapi tidak berapa lama berselang, dia muncul lagi. "Ada telepon Non. Dari Mas Genderuwo," lapornya cemas.
"Hah!?" Fani terlonjak. Jantungnya juga langsung ikut loncat-loncat. "Bilang apa dia?" tanyanya pelan sambil mengikuti Ijah ke ruang tengah.
"Ya nanyain Non."
Sebelum meraih gagang telepon, Fani berdiri diam selama beberapa detik di sebelah meja telepon. Menarik napas panjang-panjang dan berkomat-kamit entah apa. Ijah menatapnya dengan pandang prihatin.
"Halo?" ucapnya kemudian. Pelan dan hati-hati.
"Hai." suara bariton di seberang menyapanya lembut. "Katanya sakit?"
"Ah, nggak kok. Eh, iya! Tapi cuma meriang-meriang aja kok."
Di seberang, Bima tertawa tanpa suara mendengar kalimat yang berantakan itu.
"kalo gitu aku ke situ, ya?"
Fani tersentak.
"Eh, tapi gue sakitnya nggak parah kok. Bentar lagi, sejam lagi deh, paling juga udah sembuh. Nggak usah repot-repot ditengokin deh!"
Bima semakin menyeringai. Semakin susah menahan tawanya.
"Emang harus nunggu sampe kamu sakit parah ya, baru boleh ditengokin?"
"Ya nggak begitu maksudnya. Lo kan lagi mau kuliah, kan? Iya, kan?"
"Dosennya nggak dateng."
"Masa semuanya nggak dateng? Nggak mungkin! Paling cuma satu orang!"
"Hari ini emang cuma satu mata kuliah, Say. Kamu nggak usah kuatir begitu. Nggak usah merasa bersalah karena aku terpaksa harus cabut untuk nengokin kamu," ucap Bima lembut, sambil menyeringai lebar-lebar.
"Bukan! Bukan gitu maksud gue! Cuma....cuma.....jarak dari kampus ke sini kan jauh!"
"Oh ya!?" Bima pura-pura kaget. "Kamu pasti kecapekan ya, tiap hari harus bolak-balik? Kalo begitu, mulai besok kamu aku jemput. Kita berangkat ke kampus sama-sama. Nanti kasih tau jadwal kuliahmu ya, biar kusesuaikan sama jadwalku."
AAAADUH!!! Fani sampai bengong-ngong-ngong saking tak percayanya dengan apa yang barusan didengarnya.
"Haloooo?" panggil Bima halus. "Kenapa diem? Kepalanya tambah pusing ya?"
Saking sudah sangat kebingungan, Fani menjawab tanpa sadar. "Iyaaa...."
Hampir saja tawa Bima meledak.
"Oke deh. Tunggu aku kalo begitu."
"Eh, tapi....! Tapi....!"
"Kenapa?"
"Di sini lagi ujan lho. Deres banget, lagi!" buru-buru Fani membacakan ramalan cuaca di rumahnya. Lagi-lagi Bima jadi setengah mati menahan tawa.
"Terima kasih kamu udah sebegitu pedulinya, nggak mau aku keujanan. Tapi malah bagus begitu sebenernya. Bisa sakit berdua kan kesannya malah jadi lebih romantis. Iya, kan? Tapi jangan kuatir. Aku bawa mobil, bukan jalan kaki. Jadi aku minta sedikit ruang di garasimu, supaya aku keluar dari mobil tanpa kena ujan setes pun. Supaya kamu nggak kuatir lagi. Oke?"
"Ng.....ng.....," Fani sudah tidak mampu bicara lagi.
"Oke? Sekarang tunggu akuuu....," sambung Bima dengan suara yang semakin lembut. "Dan jangan coba-coba nyuruh pembantu kamu untuk bilang kamu udah tidur ya. Karena itu nggak mungkin. Kenapa? Soalnya ini masih pagi dan kamu tadi bilangnya kan meriang-meriang gitu aja. Nggak sakit parah. Jadi pasti bisa duduk manis setengah jam lebih sedikit untuk nunggu aku. Juga jangan coba-coba untuk melarikan diri. Karena aku paling ahli dalam melacak jejak! Dicoba aja kalo nggak percaya. Oke? Paham? Hmmm.....terus aku juga minta, bisa kan bahasa kamu itu diganti? Karena kita bukan lagi sekadar temen, coba tolong ''gue'' sama ''elo''-nya itu diilangin. Biar agak manis sedikit. Oke?"
klik!
Telepon di seberang sudah ditutup, tapi Fani masih mematung dengan mulut ternganga lebar. Ijah yang datang membawa kemoceng, mau bersih-bersih, mendekat dengan bingung.
"Non? Non Fani? Ada apa?" Diguncang-guncangnya tangan Fani. Gadis itu tersadar.
"Aduh, Jah. Gawat!"
"Kenapa? Ada apa?"
"Itu Genderuwo mau dateng lagi sekarang."
"Apa!?" Ijah terbelalak. "Apa juga Ijah bilang! Coba kalo kemaren sore minumnya kita racunin, pasti sekarang dia udah jadi genderuwo beneran dan nggak nelepon-nelepon bilang mau dateng!"
"Iya deh. Ntar minumnya lo kasih racun. Yang banyak ya, Jah. Biar tuh orang cepet mati!"
"Eh, tapi....." Ijah mengerutkan alis. "Dia mempan diracunin nggak, Non? Soalnya kalo tampangnya aja udah kayak gitu, biasanya kebal tuh. Nggak mempan dibacok, nggak mempan disantet, apalagi diracunin!"
"Ntar, jadi gimana dong?"
"Ya udah, terima ajalah. Emang nasibnya Non Fani lagi apes!"
Fani terbelalak.
"Yaaaah, Ijaaaah."
***
Itu sebabnya, tidak ada yang perlu diselesaikan di antara Bima dan Fani. Soalnya mereka masih dalam taraf ''satu mengejar sedang yang lain setengah mati berusaha menghindar''. Jadi dalam masalah ini, Fani satu-satunya pihak yang tidak punya kepentingan pribadi.
Kalau menurut cewek itu sih, Jayawijaya masih terlalu dekat. Kalau bisa ke Himalaya sekalian. Dan mudah-mudahan saja di sana nanti Bima tertimpa glester, di makan yeti, dilalap beruang, ditelan yak, atau apa sajalah. Yang penting cowok itu tidak kembali lagi!
continue~
Link Bab 5 part 5: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-5-part-5-novel-cewek-by-esti-kinasih_10.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar