Setelah cukup beristirahat dan yakin tidak ada yang menderita luka serius akibat tindakan balas dendam Febi, perjalanan dilanjutkan. Tapi sebelumnya cewek itu ditanya dengan saksama, masih dendam atau tidak. Dijawab ''nggak'' tapi sambil meringis yang mengundang curiga. Perjalanan itu dilanjutkan dengan Febi berada dalam pengawasan ketat.
Tapi perjalanan yang penuh tawa dan canda itu pelan-pelan berubah. Jalan setapak yang terjal dan terus menanjak menelan keceriaan itu dan menggantinya dengan keheningan tanpa suara. Cuma tarikan napas yang terengah berat. Tenaga mulai terkuras, kepala mulai sakit, dada mulai sesak, kaki-tangan mulai lemas, dan mata mulai berkunang. Puncaknya, Fani tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Mukanya pucat dan dia mengeluh dadanya sakit setiap kali mengambil napas. Langen meringis menekan ulu hatinya yang terasa sakit. Sementara Febi hampir saja pingsan.
Iwan dan keempat temannya saling pandang. Pengenalan pendakian ini sepertinya harus dihentikan. Dihampirinya Langen lalu berjongkok di depannya satu lutut menyentuh tanah.
"Gimana, La? Capek?"
Langen tidak langsung menjawab. Dia tahu ke mana arah pertanyaan itu.
"Istirahat sebentar. Sampai tenaga pulih. Nanti kita pasti kuat jalan sampai puncak. Pasti!" jawabnya dengan suara yang dipaksa untuk terdengar gagah. Iwan tersenyum tipis.
"Sayangnya gue ngeliatnya nggak begitu."
Tatapan Langen langsung berubah cemas. ''Yaaah, Iwan. Jangan gitu dong. Gue pasti kuat. Bener deh!"
"Gue juga!" timpal Fani. "Gue cuma butuh istirahat sebentar aja. Ini karena badan gue shock, tiba-tina diforsir."
"Betul!" Febi ikut mengangguk tegas, membuat Langen dan Fani menatapnya surprise. Mereka tidak menyangka Febi akan memberi dukungan. Febi memang tengah dilanda euforia. Benar-benar tidak disangkanya, menjadi rakyat jelata yang tidak terikat tata krama ternyata sangat menyenangkan!
"Tapi kita tetep ngubah rencana. Gue nggak mau ambil risiko. Ini belum ada seperlima jarak ke puncak dan stamina lo udah pada ancur begini....." Iwan berdiri. "Udah mendingan?" Tanya iwan. Ketiga cewek itu mengangguk. "Ayo kalo gitu. Ada satu tempat bagus yang mau gue tunjukin ke elo bertiga."
Tempat bagus ini ternyata air terjun, yang gemuruh suaranya telah terdengar jauh sebelum mereka mencapai tempat itu. Saat ketig cewek itu terpaku takjub. Tanpa dikomando, mereka langsung berlari ke tepi kolam alam yang terbentuk di arir terjun itu. Setelah melepas sepatu, kaus kaki, dan menurunkan ransel dari punggung, mereka langsung melompat ke air. Sesaat mereka terpekik karena dingin. Tapi tak lama kemudian ketiganya sudah asyik, dan jadi benar-benar lupa pada tujuan semula.
Di tepi kolam, Iwan mencari permukaan tanah yang datar lalu menggelar ponco. Evan menyalakan kompor, lalu memasak air. Kemudian dengan masing-masing secangkir badrek di hadapan, kelimanya berpikir keras mencari jalam keluar. Sementara yang punya hajat malah masa bodo amat. Asyik berkecipak-kecipak di kolam. Dipanggil untuk diajak berunding karena mereka yang punya kepentingan, jawabannya pada gampang.
"Terserag elo-elo aja deh. Kami pokoknya setuju aja. Yang penting aksi unjuk gigi kami itu kudu terlaksanakan dengan sukses. Oke? Paham?" ucap Langen, dan ketiganya balik lagi ke kolam. Tapi Fani kemudian menghampiri Iwan cs lagi.
"Badreknya kayaknya enak nih. Bagi ya?" dan cangkir di depan Iwan, Theo, dan Rizal kemudian diangkut pergi tanpa tanya sama yang punya, boleh apa nggak.
"Dasar nggak sopan!" gerutu Iwan. "Masih ada air panas nggak, Van?" Evan mengangguk sambil ketawa.
Setelah beberapa saat, perundingan yang dilakukan kelima cowok itu selesai dengan satu kesepakatan. Mereka terpaksa harus campur tangan, mendampingi ketiga cewek itu dalam aksi unjuk rasa mereka. Dan supaya tidak tercium, satu-satunya jalan mereka harus curi start.
"jelas?" Iwan menatap satu per satu ketiga cewek di depannya, yang terpaksa duduk di atas rumput karena baju mereka yang basah kuyup terus meneteskan air.
"Jelas!" ketiganya menjawab bersamaan.
"Dan tugas lo, La, begitu kita udah keluar Jakarta, telepon cowok lo. Kasih tau, lo bertiga mau naik gunung dan suruh mereka nyusul! Paham?"
"Paham dong!" Langen tertawa cerah, mengacungkan kedua ibu jarinya tinggi-tinggi. "Brilian banget sih rencana. Idenya siapa sih?"
"Nggak penting ini idenya siapa....." Iwan menatap tajam ketiga cewek di depannya. "Sekarang, lo bertiga ganti baju, terus masak. Cepet. Kami udah laper!"
Tapi perjalanan yang penuh tawa dan canda itu pelan-pelan berubah. Jalan setapak yang terjal dan terus menanjak menelan keceriaan itu dan menggantinya dengan keheningan tanpa suara. Cuma tarikan napas yang terengah berat. Tenaga mulai terkuras, kepala mulai sakit, dada mulai sesak, kaki-tangan mulai lemas, dan mata mulai berkunang. Puncaknya, Fani tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Mukanya pucat dan dia mengeluh dadanya sakit setiap kali mengambil napas. Langen meringis menekan ulu hatinya yang terasa sakit. Sementara Febi hampir saja pingsan.
Iwan dan keempat temannya saling pandang. Pengenalan pendakian ini sepertinya harus dihentikan. Dihampirinya Langen lalu berjongkok di depannya satu lutut menyentuh tanah.
"Gimana, La? Capek?"
Langen tidak langsung menjawab. Dia tahu ke mana arah pertanyaan itu.
"Istirahat sebentar. Sampai tenaga pulih. Nanti kita pasti kuat jalan sampai puncak. Pasti!" jawabnya dengan suara yang dipaksa untuk terdengar gagah. Iwan tersenyum tipis.
"Sayangnya gue ngeliatnya nggak begitu."
Tatapan Langen langsung berubah cemas. ''Yaaah, Iwan. Jangan gitu dong. Gue pasti kuat. Bener deh!"
"Gue juga!" timpal Fani. "Gue cuma butuh istirahat sebentar aja. Ini karena badan gue shock, tiba-tina diforsir."
"Betul!" Febi ikut mengangguk tegas, membuat Langen dan Fani menatapnya surprise. Mereka tidak menyangka Febi akan memberi dukungan. Febi memang tengah dilanda euforia. Benar-benar tidak disangkanya, menjadi rakyat jelata yang tidak terikat tata krama ternyata sangat menyenangkan!
"Tapi kita tetep ngubah rencana. Gue nggak mau ambil risiko. Ini belum ada seperlima jarak ke puncak dan stamina lo udah pada ancur begini....." Iwan berdiri. "Udah mendingan?" Tanya iwan. Ketiga cewek itu mengangguk. "Ayo kalo gitu. Ada satu tempat bagus yang mau gue tunjukin ke elo bertiga."
Tempat bagus ini ternyata air terjun, yang gemuruh suaranya telah terdengar jauh sebelum mereka mencapai tempat itu. Saat ketig cewek itu terpaku takjub. Tanpa dikomando, mereka langsung berlari ke tepi kolam alam yang terbentuk di arir terjun itu. Setelah melepas sepatu, kaus kaki, dan menurunkan ransel dari punggung, mereka langsung melompat ke air. Sesaat mereka terpekik karena dingin. Tapi tak lama kemudian ketiganya sudah asyik, dan jadi benar-benar lupa pada tujuan semula.
Di tepi kolam, Iwan mencari permukaan tanah yang datar lalu menggelar ponco. Evan menyalakan kompor, lalu memasak air. Kemudian dengan masing-masing secangkir badrek di hadapan, kelimanya berpikir keras mencari jalam keluar. Sementara yang punya hajat malah masa bodo amat. Asyik berkecipak-kecipak di kolam. Dipanggil untuk diajak berunding karena mereka yang punya kepentingan, jawabannya pada gampang.
"Terserag elo-elo aja deh. Kami pokoknya setuju aja. Yang penting aksi unjuk gigi kami itu kudu terlaksanakan dengan sukses. Oke? Paham?" ucap Langen, dan ketiganya balik lagi ke kolam. Tapi Fani kemudian menghampiri Iwan cs lagi.
"Badreknya kayaknya enak nih. Bagi ya?" dan cangkir di depan Iwan, Theo, dan Rizal kemudian diangkut pergi tanpa tanya sama yang punya, boleh apa nggak.
"Dasar nggak sopan!" gerutu Iwan. "Masih ada air panas nggak, Van?" Evan mengangguk sambil ketawa.
Setelah beberapa saat, perundingan yang dilakukan kelima cowok itu selesai dengan satu kesepakatan. Mereka terpaksa harus campur tangan, mendampingi ketiga cewek itu dalam aksi unjuk rasa mereka. Dan supaya tidak tercium, satu-satunya jalan mereka harus curi start.
"jelas?" Iwan menatap satu per satu ketiga cewek di depannya, yang terpaksa duduk di atas rumput karena baju mereka yang basah kuyup terus meneteskan air.
"Jelas!" ketiganya menjawab bersamaan.
"Dan tugas lo, La, begitu kita udah keluar Jakarta, telepon cowok lo. Kasih tau, lo bertiga mau naik gunung dan suruh mereka nyusul! Paham?"
"Paham dong!" Langen tertawa cerah, mengacungkan kedua ibu jarinya tinggi-tinggi. "Brilian banget sih rencana. Idenya siapa sih?"
"Nggak penting ini idenya siapa....." Iwan menatap tajam ketiga cewek di depannya. "Sekarang, lo bertiga ganti baju, terus masak. Cepet. Kami udah laper!"
continue~
Link Bab 5 part 1: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-5-part-1-novel-cewek-by-esti-kinasih_885.html
Link Bab 5 part 1: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-5-part-1-novel-cewek-by-esti-kinasih_885.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar