Sabtu, 15 Maret 2014

Bab 14 part 2 novel cewek!!! by esti kinasih

Diam-diam Fani menarik napas lega. Nggak apa-apa deh, bermesra-mesraan di depan umum. Asalkan ini hari terakhir dia pacaran sama ini babon. Dan kalau melihat reaksinya, sepertinya Bima setuju mereka bubaran. Tidak disangka. Kalau tahu begini respons cowok ini, sudah dari dulu-dulu dia minta putus.

''Jadi kapan?'' tanya Bima. Masih dengan senyum dan tatapan lembutnya. ''jujur aja. Ini sebenernya di luar rencanaku. Tapi nggak apa-apa. Nggak ada masalah. Toh nggak ada bedanya sekarang sama nanti. Asal pinter-pinter bagi waktu, kuliah pasti nggak akan telantar.''

Apa sih? Fani jadi bingung mendengar kalimat itu.
''Kamu berani ngomong begitu tadi, jangan-jangan udah bikin persiapan. Iya?''
''Iy.....iya sih.''
''Kamu bikin aku jadi terharu. Terima kasih ya, Sayang.''
''Hah?'' kening Fani sudah bukan keriting lagi. Langsung kribo!
Bima tersenyum lagi. Menatap wajah sang kekasih semakin lekat.
''Jadi.....kapan kita kawin?''
Kedua mata Fani sontak terbelalak lebar-lebar.
''KAAAWIIIN!!!?'' jeritnya. Cewek itu tercengang dan shock berat banget gila asli!

Bima buru-buru membekap mulutnya. ''Sst! Jangan keras-keras. Nanti ada yang denger. Bukan apa-apa. Masalahnya, kita kan belom bikin undangan. Atau jangan-jangan udah kamu siapin juga, ya?''

Fani mengenyahkan tangan yang menutup mulutnya. ''Emangnya siapa yang bilang kita mau kawin!?''
''Lho? Tadi itu kamu ngomong begitu, kan? Makanya jadi malu trus lari kenceng bener.''
''Bukaaaan!'' Fani jadi kepengen nangis.
''Bukan?'' dua alis Bima terangkat. ''Jadi apa?''
''Ng.....''
''Apa?''
''Ng.....puuu....tus.....''
''APA!?'' kedua alis Bima turun seketika dan menyatu di tengah. Tepat di atas sepasang mata yang sekarang menatap Fani tajam dan garang. ''Apa!? Coba diulang!!'' desis Bima. Jelas saja Fani tidak punya nyali. Bima mendesis lagi. ''Kalo ini bener-bener perlu diperjelas!''
Tanpa melepaskan pelukannya, Bima membawa Fani ke Jeep Canvas-nya. Kemudian Jeep itu segera melesat mencari sudut area kampus yang tersembunyi.

***

Di dalam Jeep Canvas, mereka duduk berhadapan. Fani meringkuk dalam-dalam, tubuhnya melekat di pintu rapat-rapat. Dia tidak bisa melarikan diri karena Bima sengaja memarkir Jeep-nya sedemikian rupa, sehingga di luar pintu di sebelah Fani berdiri kokh sebatang pohon!
''Tau syaratnya orang bisa minta putus?'' Bima memecahkan kesunyian mencekam itu.
''Ng.....nggak.'' Fani geleng kepala.
''Nggak tau?'' Bima manggut-manggut. ''Aku kasih tau kalo begitu. Denger baik-baik ya, sayang.'' dia berdeham sejenak. ''Untuk bisa putus, bubaran, selesai, adios, goodbye....., orang harus bilang cinta dulu! Bilang bersedia jadi pacar. Bersedia jalan sama-sama. Baruuuu.....bisa minta putus! Itu step-step-nya. Paham?''
''Ya kalo nggak pernah bilang cinta, apalagi nggak pernah bilang setuju jadi pacar, berarti nggak ada apa-apa dong! Gimana sih?''

Bima melipat kedua tangannya di depan dada. Menunjukkan kewibawaan sebagai penguasa yang punya otoritas tunggal.
''Aku nggak perlu jawaban!'' tandasnya dengan nada final.
''Kok gitu? Itu penindasan, tau!'' Fani mulai kesal.
Tiba-tiba Bima mendekatkan tubuhnya. Fani terkesiap, tapi tidak bisa merentang jarak, karena saat ini tubuhnya sudah melekat erat di pintu. Dan dari jarak sebegini dekat, meskipun bukan untuk yang pertama kali, selalu saja membuatnya merinding.

Tubuh Bima yang tinggi besar, berbulu pula, kedua lengannya yang kokoh, dadanya yang bidang, satu pipinya yang codetan, rambutnya yang panjang, dua matanya yang benar-benar tajam, suara baritonnya yang bisa merontokkan kaca, selalu membuat Fani tak pernah yakin bahwa cowok ini makan nasi. Nggak mungkin! Pasti dia kanibal!
''Berapa lama kita udah jalan bareng, Fan?'' bisik Bima. Bisikan tajam, bukan bisikan lembut apalagi mesra. ''Empat bulan? Lima? Dan....satu kali pun....kamu nggak pernah bilang sayang, apalagi cinta! Padahal aku udah bilang sayang sama kamu, cinta sama kamu.....jutaan kali! Coba sekarang bilang, kamu sayang aku, cinta sama aku. Aku pengen denger meskipun cuma untuk satu kali!''
''Hah?'' Fani terperangah.
''Cepet bilang!'' perintah Bima. Dua matanya melotot tajam. Aneh juga tuh cowok. Minta orang ngomong cinta, tapi galak banget gitu sih nyuruhnya.

Fani kontan panik. Inilah yang paling ditakutinya. Disuruh menjawab! Soalnya dia memang tidak sayang, apalagi cinta. Sama sekali! Tapi tidak mungkin ngomong terus terang. Bisa-bisa tubuhnya mengambang di kali tanpa identitas!

Menit demi menit lewat. Keduanya bertahan. Bima penasaran dan bertekad harus mendengar! Sementara Fani juga sudah bertekad, tidak akan membuka mulut!
Sekali tidak cinta, tetap tidak cinta!
Tidak cinta atau mati!!!

Tapi kali ini Bima terpaksa menyerah, begitu diliriknya jam di pergelangan tangan dan sisa waktu tinggal sepuluh menit. Kalau saja dosen mata kuliah berikut tidak gemar mengansen langsung mahasiswa-mahasiswanya, sudah pasti akan ditunggunya cewek ini. Sampai mulutnya terbuka dan bilang ''cinta''!
''Oke....'' Desahnya sambil menarik napas. ''Nggak apa-apa kalo kamu nggak mau ngomong. Tapi inget.....'' Ditenggelamkannya kedua pipi Fani dalam kedua telapak tangannya. Puas, setelah merasakan kulit lembut itu terasa dingin. Berarti pacar tersayangnya ini sedang ketakutan. Ini akan membuat Fani berpikir dua kali untuk melakukan hal ini lagi. Bagus!

Kemudian Bima menundukkan wajahnya rendah-rendah. Seperti ingin mengecup sepasang bibir gemetar di bawahnya.
''Kamu inget ini baik-baik ya, Sayang. Selama kamu nggak mau ngomong sayang, nggak mau bilang cinta, nggak mau bilang bersedia jadi cewekku....selama itu juga kamu nggak bisa minta putus!''

Selagi Fani berunjuk rasa, Langen duduk sendirian di tempat persembunyian. Menunggu. Tapi telah lewat satu jam, lalu dua jam, sahabatnya itu tidak juga kembali.
''Aduh!'' desahnya pelan. Melongokkan kepala sedikit mengintip. ''Jangan-jangan udah mati dia! Dibilangin jangan, juga! Nekat sih tuh anak!''

Karena Fani tidak ada, otomatis Langen tak terlindung. Dan Rei, yang sejak kemarin-kemarin sudah mirip musang sedang mengincar ayam, terus mengawasi. Begitu dipergokinya Langen sendirian, di tempat yang tersembunyi pula, dia langsung memanfaatkan kesempatan itu tanpa membuang waktu. Langen tersentak saat tiba-tiba Rei muncul di depannya. Menatapnya dengan sinar yang yang susah diartikan.

''Apa kabar?'' Suara Rei halus dan tenang. Padahal isi dadanya sudah bergolak seperti lahar. Dia kangen ceweknya yang pemberontak ini. Bukan mantan. Karena dia berharap kejadian beberapa hari lalu itu cuma emosi sesaat. Tapi meskipun begitu, tetap dia ingin kejujuran. Akan dibuatnya memaafkan itu jadi perkara gampang. Asal Langen mau berterus terang.
''Baik.'' Langen menjawab juga dengan nada yang dipaksa tenang.
''Kenapa ada di sini?''
''Kenapa emangnya? Nggak boleh?''


continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar