Kedua alis Rei sesaat terangkat, saat ternyata lawan-lawannya muncul lebih cepat dari waktu yang dia perkirakan.
Kedua mata hitamnya yang ternyata lebih dingin dari Bima, menatap Langen lurus-lurus. Langen membalas tatapan itu sama tajamnya. Menegaskan meskipun tadi dia sempat menangis, bukan berarti dirinya telah kalah.
Ketiga cowok itu kemudian balik badan tanpa bicara. Perang gender itu kembali berlanjut. Dengan atmosfer yang sangat berbeda. Rei cs kini tidak tidak lagi melangkah dengan standar mereka. Mereka kini melambat, mengikuti ritme langkah lawan-lawan mereka. Dan hening.
Lima belas menit kemudian, mereka sampai di sebuah batu besar berbentuk oval. Tubuh Langen dan Fani seketika menegang. Batu besar ini.....adalah akhir.....dari perang gender ini!
Menurut penjelasan Iwan saat briefing, tidak jauh dari sini ada tempat terbuka. Tidak begitu luas. Tempat para pendaki biasa berhenti untuk memasak atau sejenak beristirahat. Sayup-sayup memang terdengar suara orang berbicara.
Saat itu juga Langen mengajak Fani melancarkan senjata pamungkas mereka. Gagasan yang tidak berani dikemukakannya di depan Iwan cs. Takut membuat kelima cowok itu jadi tersinggung karena merasa kehadiran mereka tidak dapat diandalkan. Soalnya, setiap rencana selalu ada kemungkinan untuk gagal. Dan menyiapkan antisipasi adalah yang terbaik.
Selain itu, gagasannya ini memang bisa dibilang nekat. Tapi ketika gagasan ini dimunculkan sepulangnya dari rumah Iwan waktu itu. Langen sudah meyakinkan Fani, bahwa ini antisipasi, dan berharap nggak sampai harus dijalani. Soalnya yang mereka hadapi juga orang-orang gila. Orang-orang sakit. Apalagi Bima.
"Aduh!" Fani menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ditariknya napas panjang-panjang. "Gue kena kutukan apa sih?"
Langen menepuk-nepuk bahu sobatnya, menenangkan.
"Sekarang kan elo malunya nggak sendirian. Berdua sama gue. Lagi pula....," sejenak dihelanya napas panjang, "kita udah sampe sini. Nggak bisa mundur lagi. Dan pilihannya juga cuma satu.....harus menang!
***
Terbukti kemudian, rencana cadangan itulah yang terpaksa harus dilaksanakan.
Langen yang tidak tahu bahwa Iwan cs telah gagal menghentikan jalannya pertempuran melirik arlojinya tanpa kentara dan menemukan kenyataan baru dua puluh menit lagi bantuin akan datang. Sementara kondisi tubuhnya dan Fani tidak memungkinkan untuk bertahan sampai selama itu. Jika dipaksakan, bisa dipastikan dalam waktu tidak sampai sepuluh menit dia dan Fani akan terkapar.
"Boleh nggak kami permisi ganti baju sebentar?" tanya Langen.
Ketiga cowok di depannya berhenti berjalan lalu menoleh bersamaan. Sepasang mata Rei segera terarah ke batu besar berbentuk oval itu. Sesaat dia saling pandang dengan kedua sahabatnya. Dan peristiwa itu membuat sikapnya jadi melunak.
"Sepuluh menit," ucapnya, sengaja memberikan kelonggaran waktu. Tapi Langen menolaknya dengan nada dingin.
"Kelamaan. Lima menit cukup!" kemudian dibaliknya badan dan berjalan dengan angkuh ke arah batu besar itu, diikuti Fani. Rei menatapnya tercengang, sementara Bima tertawa pelan.
"Kalo gue nih, punya cewek kayak gitu, udah gue beresin dari dulu, Rei," ucapnya. Rangga mengangguk setuju.
"Ngomong emang gampang. Lo mau ganti gue diberesin kakak-kakaknya?" jawab Rei kesal.
Begitu sampai di balik batu besar berbentuk oval itu, dan terhalang dari pandangan ketiga lawan, Langen dan Fani segera menurunkan carrier masing-masing. Wajah keduanya menegang. Dengan cepat keduanya menarik keluar tas plastik dari dalam carrier, dan memburaikan isinya di atas rumput.
"Gue ngerasa kita nggak ada bedanya sama Stella, La....," kata Fani sambil melepaskan kaus yang dipakainya.
"Sangat beda!" bantah Langen seketika. "Paha, perut, puser, sama dada, itu emang modal utamanya Stella. Dia nggak punya yang lain. Isi kepalanya nggak pernah dipake. Gue malah nggak yakin kepala tuh cewek ada isinya. Sementara kita....." kesibukan Langen mengencangkan ikat pinggangnya terhenti. Diangkatnya kedua alisnya tinggi-tinggi, lalu tersenyum bangga. "Dari IP semester pertama kemaren yang udah tiga koma, ada kemungkinan kita bakalan lulus dengan predikat cumlaude! Dan kalo sekarang kita terpaksa pake cara begini....," kembali Langen mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, "bukan salah kita kan, terlahir jadi perempuan?"
"Iya sih....." Fani mendesah berat. Terpaksa setuju. "Tapi yang sekarang gue takutin, kalo nggak ada yang turun, La. Kalo orang-orang itu semuanya mau puncak, gimana? Matilah kita. Nggak ada yang nolongin."
"Gue udah cek tadi di base camp. Ada beberapa tim yang naik kemarin siang. Berarti hari ini mereka turun."
"Kalo mereka lewat jalur ini lagi. Kalo lewat jalur lain?"
"Paling enggak dua tim akan turun lewat jalan ini lagi. Soalnya mobil-mobil mereka diparkir di bawah....." Langen menepuk-nepuk bahu Fani. "Tenang akan ada bantuan untuk kita! Oke?"
"Okelah...." Fani mengangguk pasrah. "Udah sampe sini, mau gimana lagi?"
"Gimana penampilannya gue?" Langen merentangkan kedua tangannya lalu berputar-putar.
"Seperti yang udah pernah kita tes. Dan seperti yang lo harapkan."
"Sip kalo gitu," ucapnya dengan nada cemas yang terdengar jelas. "Lo udah siap?"
"Udah." Fani mengangguk.
Kedua mata hitamnya yang ternyata lebih dingin dari Bima, menatap Langen lurus-lurus. Langen membalas tatapan itu sama tajamnya. Menegaskan meskipun tadi dia sempat menangis, bukan berarti dirinya telah kalah.
Ketiga cowok itu kemudian balik badan tanpa bicara. Perang gender itu kembali berlanjut. Dengan atmosfer yang sangat berbeda. Rei cs kini tidak tidak lagi melangkah dengan standar mereka. Mereka kini melambat, mengikuti ritme langkah lawan-lawan mereka. Dan hening.
Lima belas menit kemudian, mereka sampai di sebuah batu besar berbentuk oval. Tubuh Langen dan Fani seketika menegang. Batu besar ini.....adalah akhir.....dari perang gender ini!
Menurut penjelasan Iwan saat briefing, tidak jauh dari sini ada tempat terbuka. Tidak begitu luas. Tempat para pendaki biasa berhenti untuk memasak atau sejenak beristirahat. Sayup-sayup memang terdengar suara orang berbicara.
Saat itu juga Langen mengajak Fani melancarkan senjata pamungkas mereka. Gagasan yang tidak berani dikemukakannya di depan Iwan cs. Takut membuat kelima cowok itu jadi tersinggung karena merasa kehadiran mereka tidak dapat diandalkan. Soalnya, setiap rencana selalu ada kemungkinan untuk gagal. Dan menyiapkan antisipasi adalah yang terbaik.
Selain itu, gagasannya ini memang bisa dibilang nekat. Tapi ketika gagasan ini dimunculkan sepulangnya dari rumah Iwan waktu itu. Langen sudah meyakinkan Fani, bahwa ini antisipasi, dan berharap nggak sampai harus dijalani. Soalnya yang mereka hadapi juga orang-orang gila. Orang-orang sakit. Apalagi Bima.
"Aduh!" Fani menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ditariknya napas panjang-panjang. "Gue kena kutukan apa sih?"
Langen menepuk-nepuk bahu sobatnya, menenangkan.
"Sekarang kan elo malunya nggak sendirian. Berdua sama gue. Lagi pula....," sejenak dihelanya napas panjang, "kita udah sampe sini. Nggak bisa mundur lagi. Dan pilihannya juga cuma satu.....harus menang!
***
Terbukti kemudian, rencana cadangan itulah yang terpaksa harus dilaksanakan.
Langen yang tidak tahu bahwa Iwan cs telah gagal menghentikan jalannya pertempuran melirik arlojinya tanpa kentara dan menemukan kenyataan baru dua puluh menit lagi bantuin akan datang. Sementara kondisi tubuhnya dan Fani tidak memungkinkan untuk bertahan sampai selama itu. Jika dipaksakan, bisa dipastikan dalam waktu tidak sampai sepuluh menit dia dan Fani akan terkapar.
"Boleh nggak kami permisi ganti baju sebentar?" tanya Langen.
Ketiga cowok di depannya berhenti berjalan lalu menoleh bersamaan. Sepasang mata Rei segera terarah ke batu besar berbentuk oval itu. Sesaat dia saling pandang dengan kedua sahabatnya. Dan peristiwa itu membuat sikapnya jadi melunak.
"Sepuluh menit," ucapnya, sengaja memberikan kelonggaran waktu. Tapi Langen menolaknya dengan nada dingin.
"Kelamaan. Lima menit cukup!" kemudian dibaliknya badan dan berjalan dengan angkuh ke arah batu besar itu, diikuti Fani. Rei menatapnya tercengang, sementara Bima tertawa pelan.
"Kalo gue nih, punya cewek kayak gitu, udah gue beresin dari dulu, Rei," ucapnya. Rangga mengangguk setuju.
"Ngomong emang gampang. Lo mau ganti gue diberesin kakak-kakaknya?" jawab Rei kesal.
Begitu sampai di balik batu besar berbentuk oval itu, dan terhalang dari pandangan ketiga lawan, Langen dan Fani segera menurunkan carrier masing-masing. Wajah keduanya menegang. Dengan cepat keduanya menarik keluar tas plastik dari dalam carrier, dan memburaikan isinya di atas rumput.
"Gue ngerasa kita nggak ada bedanya sama Stella, La....," kata Fani sambil melepaskan kaus yang dipakainya.
"Sangat beda!" bantah Langen seketika. "Paha, perut, puser, sama dada, itu emang modal utamanya Stella. Dia nggak punya yang lain. Isi kepalanya nggak pernah dipake. Gue malah nggak yakin kepala tuh cewek ada isinya. Sementara kita....." kesibukan Langen mengencangkan ikat pinggangnya terhenti. Diangkatnya kedua alisnya tinggi-tinggi, lalu tersenyum bangga. "Dari IP semester pertama kemaren yang udah tiga koma, ada kemungkinan kita bakalan lulus dengan predikat cumlaude! Dan kalo sekarang kita terpaksa pake cara begini....," kembali Langen mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, "bukan salah kita kan, terlahir jadi perempuan?"
"Iya sih....." Fani mendesah berat. Terpaksa setuju. "Tapi yang sekarang gue takutin, kalo nggak ada yang turun, La. Kalo orang-orang itu semuanya mau puncak, gimana? Matilah kita. Nggak ada yang nolongin."
"Gue udah cek tadi di base camp. Ada beberapa tim yang naik kemarin siang. Berarti hari ini mereka turun."
"Kalo mereka lewat jalur ini lagi. Kalo lewat jalur lain?"
"Paling enggak dua tim akan turun lewat jalan ini lagi. Soalnya mobil-mobil mereka diparkir di bawah....." Langen menepuk-nepuk bahu Fani. "Tenang akan ada bantuan untuk kita! Oke?"
"Okelah...." Fani mengangguk pasrah. "Udah sampe sini, mau gimana lagi?"
"Gimana penampilannya gue?" Langen merentangkan kedua tangannya lalu berputar-putar.
"Seperti yang udah pernah kita tes. Dan seperti yang lo harapkan."
"Sip kalo gitu," ucapnya dengan nada cemas yang terdengar jelas. "Lo udah siap?"
"Udah." Fani mengangguk.
''Bantuin gue.'' ditariknya tangan Fani. Berdua, mereka mengangkat patahan batang pohon itu dan meletakkannya dekat batu besar, sebagai pijakan. Kedua sahabat itu lalu saling pandang. Wajah keduanya semakin memucat karena tegang.
''Show time!'' desis Fani. Langen memeluknya. Fani membalas pelukan itu. Ketika kemudian pelukan itu terurai, kebulatan tekad tercetak jelas di wajah keduanya. Kemudian mereka membalikkan badan. Menghadap ke arah batu besar berbentuk oval itu.
''Siap-siap!'' desis Langen. Ditariknta napas panjang. Fani mengikuti. ''Okeee.....satu....dua....tiga!''
Bersamaan, dengan menggunakan batang kayu tadi sebagai pijakan, keduanya melompat ke atas batu, dan berdiri tegak-tegak di sana, menentang tiupan angin dan melawan dekapan dingin.
Rei, Bima, dan Rangga kontan terperangah. Benar-benar terperangah melihat penampilan terbaru kedua lawan mereka.
Celana gunung Langen dan Fani telah berganti dengan jins biru ketat sebatas pinggul. Rambut keduanya yang tadi diikat ekor kuda, kini terurai lepas. Tapi bukan itu yang membuat Rei cs terbelalak dan mulut mereka menganga lebar. Melainkan T-shirt hitam yang membungkus tubuh kedua lawan.
T-shirt itu berbahan seperti jala milik nelayan. Berlubang-lubang besar!
Untuk pertama kalinya, Rei cs menyaksikan secara langsung, apa yang selama ini tersembunyi di balik kaus, kemeja, atau jaket kedua cewek itu.
Perut rata, pusar bertindik, dan black bra! Dan kulit Langen yang langsat serta kulit Fani yang putih, membuat semua itu terlihat semakin kontras.
''Lo berdua apa-apaan sih!?'' Rei berseru marah begitu sadar dari kekagetan. ''Pake baju yang bener! Cepet!''
Dia tidak mau munafik. Dia juga suka penasaran, ingin melihat yang tersembunyi. Tapi tentu saja dia tidak ingin orang lain juga bisa melihatnya. Meskipun itu sahabat-sahabatnya sendiri.
Langen pura-pura tersinggung.
''Itu pelanggaran HAM, tau nggak? Terserah gue dong, mau pake baju model apa. Bahkan kalo kami pengen telanjang pun, itu seratus persen hak kami. Nggak bisa diganggu gugat. Tapi kami belom sampe gitu kok. Cuma rada buka-bukaan doang. Iya kan, Fan?''
Fani langsung mengiyakan.
''Bener! Elo-elo aja yang otaknya pada kotor!'' tandasnya. Sesaat ia menatap Bima, tapi langsung menghindar saat didapatinya tatapan cowok itu berkilat marah. Sama sekali berbeda dengan tatapannya yang dulu, saat Fani berada dalam kondisi yang jauh lebih parah dari ini.
''La, jangan bercanda! Ini nggak lucu!'' sekali lagi Rei berseru. Marah dan gusar. Dan sekali lagi Langen menanggapinya dengan santai.
''Emangnya siapa yang lagi ngelawak sih? Orang kami berdua lagi berjemur....''
''Di pantai, kali!'' sambung Fani, membuat Langen tertawa geli.
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar