Sabtu, 15 Maret 2014

Bab 19 part 2 novel cewek!!! by esti kinasih


Di menit ketujuh belas, Rangga bersembunyi di belakang deretan mobil para dekan saat kedua orang yang ditunggunya datang. Langen dan Fani turun dari Kijang tanpa firasat apa pun. Keduanya kemudian berpisah di tempat parkir.

Spekulasi Rangga berhasil!
Sebelumnya, kepada pemilik kios fotokopi yang jadi langganan Langen dan Fani, Rangga telah meminta agar diktat di difotokopi Langen baru bisa selesai pagi ini. Permintaan yang bukan hanya disampaikan dengan menggunakan kata-kata, tapi juga sedikit cinderamata.
''Gue ambi fotokopian dulu, Fan.''
''Belom? Lama amat?''
''Tau tuh. Lo duluan deh.''
''Oke. Daaah!''
''Dah.''

Begitu Langen dan Fani saling melambaikan tangan, tanpa buang waktu lagi Rangga segera meninggalkan pos pengintaiannya. Dia berjalan cepat menuju kelas kedua cewek itu, lalu melintas juga dengan cepat di luar ruangan. Harus dengan cepat, untuk meminimalisasi saksi mata yang melihatnya berada di tempat ini di saat yang bersamaan dengan Bima.

Bima, yang sedang ngobrol dengan Ruben, salah satu teman sekelas Fani, dan sengaja duduk menghadap koridor, segera mengakhiri obrolan mereka begitu dilihatnya kelebat bayang Rangga. Diliriknya jam tangannya lalu pura-pura kaget.
''Gue harus balik dulu, Ben,'' ucapnya sambil bangkit berdiri. ''Bentar lagi masuk.''
''Iya deh. Nggak ada pesen?''
''Nggak. Gue udah titip ke Dhila. Thanks ngobrolnya.''
''Oke!''
Dengan langkah cepat Bima meninggalkan kelas Fani. Orang yang ditunggunya muncul tidak berapa lama kemudian, dan langsung disambut satu berita.
''Fan, tadi Bima ke sini. Nungguin elo sampe lama. Dia titip ini ke gue. Suruh kasih elo kalo ntar lo udah dateng,'' ucap Dhila sambil membuka tasnya.
''Bima ke sini?'' dengan alis terangkat tinggi, Fani menghampiri Dhila.
''He-eh. Ngobrol sama Ruben sambil nungguin elo. Nih.''

Sebuah tas plastik putih disodorkan Dhila. Fani menerima dan buru-buru berjalan ke kursi yang biasa didudukinya. Tergesa dibukanya tas plastik itu. Ada kotak di dalamnya. Dan begitu kotak itu terbuka, hampir saja cewek itu memekik. ''Kucing-kucing'' mungil berderet di dalamnya dengan berbagai pose dan warna.
''Ih, ya ampun! Lucuuu!'' desisnya dengan kedua mata berbinar. Secarik kertas terselip di antara dua ''kucing''.

Honey yang ketemu baru ini. Sebenernya ada banyak, cuma nggak tau pada jalan-jalan ke mana. Nanti kalo ada waktu, aku cari yang lainnya. Oke? Mudah-mudahan kamu suka.

Dimasukkannya kembali kotak itu ke tas plastik. Dan tanpa berpikir lagi, Fani berdiri lalu berlari keluar. Mencari sang pengirim kucing-kucing porselen itu. Bima berhasil ditemukannya di ruang senat Fakultas Perminyakan.
Spekulasi Bima berhasil!
Belum ada sepuluh menit dia berada di ruang senat fakultasnya, mangsa yang ditunggunya datang dan dengan sukarela memasukkan dirinya sendiri di dalam jebakan.
''Hai!''
Bima menoleh dan pura-pura terkejut. ''Hai,'' balasnya lembut.
''Aku udah terima.'' Fani menggoyang-goyangkan tas plastik di tangannya dengan riang. Bima tersenyum lebar di luar, tapi menyeringai di dalam.
''Suka?''
''He-eh. Makasih ya?'' Fani melangkah masuk. ''Kemaren-kemaren kayaknya sibuk banget deh.''
''Lagi banyak banget tugas. Aku nunggu lama di kelas kamu tadi.''
''Langen datengnya kesiangan.'' Fani menatap seisi ruangan. Bingung di mana akan duduk. Setumpuk diktat bertengger di sebuah kursi. Kursi yang lain ''diduduki'' sebuah carrier besar. Sementara kursi yang lainnya lagi memangku sebuah kotak berisi sebuah stoples besar. Stopleas itu berisi cairan hitam pekat dan sangat kental. Minyak mentah. Satu-satunya kursi yang menganggur dalam keadaan cacat. Salah satu kakinya patah dan disambung dengan besi lalu diikat kawat. ''Gue duduk di mana nih?''

Bima memandang berkeliling. Pura-pura bingung. Padahal sengaja dibuatnya ketiga kursi itu berpenghuni, karena dia butuh alasan untuk menjalankan misinya, yaitu mematikan ponsel yang menggantung di dada Fani!
''Di sini aja. Ini kuat. Baru dibenerin Andreas tadi pagi.'' ditariknya kursi cacat itu ke depan Fani.
''Bener nih?'' Fani menatap kursi itu dengan ragu, tapi akhirnya didudukinya juga. Seketika tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Bima buru-buru menangkap dengan satu tangan sementara tangannya yang lain, tanpa kentara, meraih ponsel Fani lalu menon-aktifkannya.
''Sah. Nggak kuat!'' cowok itu pura-pura ketawa. ''Di meja ajalah,'' katanya sambil menyingkirkan kertas, buku, bolpoin, dan segala maca, benda dari atas salah satu meja. Dia tersenyum samar saat melirik kucing di layar ponsel Fani telah menghilang.

Fani melangkah mendekati meja lalu bertengger di salah satu sisinya. Kemudian terjadilah obrolan ringan dan akrab. Untuk pertama kalinya! Bima sengaja menahan topik pembicaraan di sekitar area ''kucing'', agar mangsanya ini merasa nyaman bersamanya sampai Dekha datang. Dan sekali lagi spekulasinya berhasil. Fani tetap betaj duduk di tempat sampai akhirnya Dekha muncul di ambang pintu. Cowok itu tampak buru-buru.
''Bim, lo mau nggak?''
''Ke mana?''
''Makan duren di kebun engkong gue. Gratis nih. Yuk, buruan!''
''Wih! Oke banget tuh!'' Bima berlagak amat sangat surprise. ''sekarang?''
''Iya, sekarang. Temen-temen gue udah nunggu. Lo semobil sama gue aja. Masih ada tempat. Soalnya kalo sampe berderet tiga mobil yang dateng, ntar engkong gue ngira kebonnya mau dijarah. Yuk, cepet!''
''Oke, sip!'' Bima bergegas berjalan ke sudut, menyambar ranselnya. ''Yuk, Fan! Asyik nih. Makan duren gratis!''
''Tapi aku ada kuliah. Lagian juga....''
''Sekali-kali cabut kan nggak apa-apa. Ini kesempatan langka!''
Bima meraih pinggang Fani, menariknya dari atas meja, lalu mengajaknya mengejar Dekha yang sudah berjalan pergi.

***

Dari rumah engkong Dekha yang benar-benar bergaya Betawi asli, mereka masih harus berjalan kaki kira-kira satu setengah kilometer.
''Enakan makan di deket pohonnya, Fan,'' kata Bima sambil meraih tangan Fani. Yang lain mengiyakan.
''Deket kok. Cuma satu setengah kiloan, lebih-lebih dikitlag,'' kata Dekha. Juga sambil menggandeng ceweknya.

Cuma satu setengah kilometer, kalau jalannya rata memang tidak masalah. Tapi kalau jalannya naik-turunm lama-lama kaki keriting juga!
''Digendong aja, ya?'' kata Bima. Setelah untuk yang kesekian kali, di jalan menanjak yang kesekian kali pula, dia harus menarik Fani dengan dua tangan. Soalnya kalau cuma dengan satu tangan, badan Fani akan oleng ke sana kemari, mirip layangan putus.

Fani geleng kepala. Tidak bisa langsung menjawab karena napasnya amburadul.
''Malu, lagi!'' jawabnya sesaat kemudian.
''Daripada begini. Jalan aja udah nggak bener. Muka kamu juga udah merah begitu.''
''Lagian sih jauh banget!''
''Namanya juga udah diajakin makan gratis. Masa mau protes?''




continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar