Akhirnya!
Bima mengatupkan bibirnya. Menahan agar senyum kemenangannya tidak tercetak di sana. Dan dia tidak langsung menjawab. Dia mencari kata-kata yang cocok dulu. Meskipun pengalamannya banyak, ini kasusnya beda. Dulu-dulu tidak perlu banyak pertimbangan. Dia suka, tinggal mengajak keluar malam Minggu. Tidak tertarik, lebih gampang lagi. Biarkan sampai itu cewek bosan sendiri, berhenti mencari perhatiannya dan akhirnya pergi.
Tapi untuk yang satu ini, tidak bisa begitu. Boro-boro diajak keluar. Dia lengah sedikit saja, Fani bisa dipastikan akan langsung lari ke dalam dan tidak akan keluar lagi. Keculai kalau rumahnya dibakar!
"Begitu, Fan. Ada yang sering ngeluh sama aku kalo privasinya sering terganggu."
"Terus apa hubungannya sama gue?"
"Kalo nggak ada hubungannya, aku nggak akan kesini," jawab Bima kalem.
"Apa maksud lo?" tanya Fani tajam.
Bima menarik napas sesaat.
"Sedekat apa pun yang namanya persahabatan, tetep ada hal-hal yang nggak mungkin untuk dibagi."
"Maksudnya?"
"Maksudnyaaa....." Suara Bima melembut. "Kamu yakin, Langen nggak apa-apa kamu selalu ada di antara dia sama Rei?"
Fani sontak terperangah. Pertanyaan itu sesaat membuatnya sempat tak mampu bicara.
"Gue sohibnya!" katanya setengah teriak. "Gue yang paling deket sama dia!"
"Aku tau," suara Bima tetap lembut. "Termasuk akan dia sharing juga cowoknya sama kamu? Kayak dia sharing baju atau sepatu, atau semua barangnya yang lain? Untuk yang ini kamu yakin akan begitu juga?"
"Ng.....ng.....," Fani tergeragap. "Gue nggak ngerti, maksud lo itu apa sih sebenernya?"
"Tadi aku udah bilang, kan? Ada yang sering ngeluh karena privasinya sering terganggu. Cuma dia nggak enak mau ngomong. Jadi kalau memang.....," Bima lalu mempertajam penekanan pada kalimatnya, "Kalian berdua selalu berbagi apa aja, nanti aku bilang ke dia, sohibnya juga...."
"Stop!" potong Fani berang. "Lo jangan ngomong sembarangan ya? Jangan bikin fitnah! Ceweknya Rei tuh Langen. Cuma Langen! Dan gue nggak pernah punya niat apa-apa!"
"Cuma Langen!" Bima mengulangi kalimat itu. Ada senyum samar yang luput ditangkap Fani. "Oke, bagus! Kalo begitu kondisinya jelas sekarang. Jadi sori aku terpaksa ngomong ini ya, Fan?" Bima menarik napas panjang lagi. Ekspresi wajahnya kelihatan seperti menyesal. "Kamu kayanya nggak bisa lagi selalu bergabung dengan kami. Selalu ikut acara kami. Ya karena itu tadi. Posisi Rei jadi susah. Dan kamu jelas nggak mungkin ada di antara Rangga dan Febi, kan?"
Bima mengatupkan bibirnya. Menahan agar senyum kemenangannya tidak tercetak di sana. Dan dia tidak langsung menjawab. Dia mencari kata-kata yang cocok dulu. Meskipun pengalamannya banyak, ini kasusnya beda. Dulu-dulu tidak perlu banyak pertimbangan. Dia suka, tinggal mengajak keluar malam Minggu. Tidak tertarik, lebih gampang lagi. Biarkan sampai itu cewek bosan sendiri, berhenti mencari perhatiannya dan akhirnya pergi.
Tapi untuk yang satu ini, tidak bisa begitu. Boro-boro diajak keluar. Dia lengah sedikit saja, Fani bisa dipastikan akan langsung lari ke dalam dan tidak akan keluar lagi. Keculai kalau rumahnya dibakar!
"Begitu, Fan. Ada yang sering ngeluh sama aku kalo privasinya sering terganggu."
"Terus apa hubungannya sama gue?"
"Kalo nggak ada hubungannya, aku nggak akan kesini," jawab Bima kalem.
"Apa maksud lo?" tanya Fani tajam.
Bima menarik napas sesaat.
"Sedekat apa pun yang namanya persahabatan, tetep ada hal-hal yang nggak mungkin untuk dibagi."
"Maksudnya?"
"Maksudnyaaa....." Suara Bima melembut. "Kamu yakin, Langen nggak apa-apa kamu selalu ada di antara dia sama Rei?"
Fani sontak terperangah. Pertanyaan itu sesaat membuatnya sempat tak mampu bicara.
"Gue sohibnya!" katanya setengah teriak. "Gue yang paling deket sama dia!"
"Aku tau," suara Bima tetap lembut. "Termasuk akan dia sharing juga cowoknya sama kamu? Kayak dia sharing baju atau sepatu, atau semua barangnya yang lain? Untuk yang ini kamu yakin akan begitu juga?"
"Ng.....ng.....," Fani tergeragap. "Gue nggak ngerti, maksud lo itu apa sih sebenernya?"
"Tadi aku udah bilang, kan? Ada yang sering ngeluh karena privasinya sering terganggu. Cuma dia nggak enak mau ngomong. Jadi kalau memang.....," Bima lalu mempertajam penekanan pada kalimatnya, "Kalian berdua selalu berbagi apa aja, nanti aku bilang ke dia, sohibnya juga...."
"Stop!" potong Fani berang. "Lo jangan ngomong sembarangan ya? Jangan bikin fitnah! Ceweknya Rei tuh Langen. Cuma Langen! Dan gue nggak pernah punya niat apa-apa!"
"Cuma Langen!" Bima mengulangi kalimat itu. Ada senyum samar yang luput ditangkap Fani. "Oke, bagus! Kalo begitu kondisinya jelas sekarang. Jadi sori aku terpaksa ngomong ini ya, Fan?" Bima menarik napas panjang lagi. Ekspresi wajahnya kelihatan seperti menyesal. "Kamu kayanya nggak bisa lagi selalu bergabung dengan kami. Selalu ikut acara kami. Ya karena itu tadi. Posisi Rei jadi susah. Dan kamu jelas nggak mungkin ada di antara Rangga dan Febi, kan?"
Fani ternganga. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia diminta untuk enyah cuma karena jadi pengganggu!
Lagi-lagi Bima menarik napas panjang. Ekspresi mukanya semakin dibuatnya seolah dia juga amat menyesal harus mengatakan itu.
"Sori, Fan. Aku bener-bener terpaksa ngomongin ini. Tapi aku ngerti persahabatan itu berarti sekali buat kalian berdua. Makanya aku bantu cari alasan supaya kamu tetep bisa bergabung dengan kami."
"Apa?" tanya Fani tanpa curiga.
"Aku!" jawab Bima, dengan nada lembut tapi tandas. Dan final! Fani tersentak.
"E.....lo.....?" Ditatapnya Bima dengan dahi mengerut dan tubuh yang mencodong maju tanpa sadar.
"Iya. Kenapa?"
"Ng....."
Bima tersenyum lembut. Sepasang matanya memeluk wajah pucat dan shock di depannya dalam tatapan hangat.
"Sori, aku nggak berhasil menemukan alternatif lain..... Itu kalo persahabatan kalian masih mau jalan terus!"
continue~
Link Bab 5 part 4: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-5-part-4-novel-cewek-by-esti-kinasih_10.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar