Sabtu, 15 Maret 2014

Bab 19 part 3 novel cewek!!! by esti kinasih



Tapi begitu mereka sampai di tujuan dan melihat durian-durian bergelantungan pegal-pegal di kaki langsung hilang. Napas juga mendadak jadi lancar. Mirip segerombolan bocah kecil, semuanya langsung berlarian sambil bersorak-sorak girang lalu berebut memanjat.

Fani juga larut dalam kegembiraan. Dia menjerit keras pada Bima, menunjuk durian yang dinginkan.
''Nih.'' Bima meletakkan buah itu di depan Fani. ''Abis? Ini gede lho, Fan.''
''Abis!'' jawab Fani langsung. ''Sekalian bukain dooong!''
''Sabar dong, sayang. Baru juga turun dari pohon.''

Bima mengusap kepala Fani dengan ekspresi gemas yang sengaja dia perlihatkan ke orang-orang di sekitar, lalu menghapiri salah seorang teman Dekha. Tak lama dia kembali dengan sebilah golok di tangan. ''Makannya sama Shanti aja, ya? Temenin dia sekalian.''
''He-eh.'' Fani mengangguk. Diikutinya langkah Bima, menghampiri Shanti. Setelah membelah durian itu menjadi beberapa bagian, Bima bergabung dengan Dekha dan teman-temannya.
''Gue males gabung sama mereka. Berisik banget,'' kata Shanti.
''Iya, emang.'' Fani mengangguk. Pilih setuju aja deh, soalnya yang ngomong ceweknya Dekha. Segalanya terasa sangat menyenangkan, sampai kemudian mendadak dia tersadar, ada sesuatu yang janggal.

Kalau semua makan duriannya benar-benar aji mumpung, satu orang setumpuk, tidak begitu dengan Bima. Di depannya cuma ada satu buah. Itu juga baru dihabiskannya setengah.

Cara cowok itu duduk, cara dia mengunyah daging durian yang begitu perlahan, sorot matanya yang menerawang, juga ketidakpeduliannya dengan obrolan ramau di sekelilingnya, cuma nimbrung sekali-sekali, membuat Fani tersentak. Seketika ia berhenti mengunyah.
Aduh! Goblok banget sih gue! Desisnya dalam hati. Sial! Mati deh gue!

Dan dengan cemas terus diperhatikannya Bima tanpa kentara. Berharap semoga dugaannya salah.

Tapi Bima memang tidak pernah bisa terbaca. Jadi Fani juga tidak bahwa kecemasannya percuma saja, soalnya sudah terlambat! Karena otak Bima telah selesai menganalisis sejak mereka masih dalam perjalanan ke tempat ini. Sekali lihat, dia sudah tahu Shanti itu tipe cewek rumahan. Cewek yang dia berani jamin, tidak pernah mengikuti kegiatan keras, dan daya jelajahnya yang terjauh paling cuma ke mal-mal atau bioskop.

Dan Fani, ceweknya yang supermowan itu, yang waktu itu ditemukannya sedang duduk santai di puncak gunung setelah berhasil mengalahkan dirinya dalam satu tantangan kebut gunung, ternyata mempunya stamina yang cuma beda tipis dengan Shanti!

Aneh, kan?
Kepala Bima mengangguk-angguk tanpa sadar, seiring hasil akhir analisis yang sekarang telah berupa kesimpulan.
Kebut gunung?
Satu senyum tipis muncul di bibir Bima. Itu jelas benar. Karena kalau tidak benar, tidak akan mereka bertemu di puncak saat itu.
Lewat mana?
Ini yang jadi satu-satunya pertanyaan. Yang jelas, jalur itu pendek dan tidak banyak orang tahu. Bahkan bisa jadi baru dibuka!
Dengan siapa?
Itu juga bukan pertanyaan. Karena jawabannya juga sudah ada di puncak waktu itu.
Lima cowok!
Hebat juga cewek dua itu. Febi tidak bisa dihitung karena sudah bisa dipastikan, terkena hasutan. Cewek model Febi memang tidak mungkin punya pikiran untuk unjuk rasa!
Dan Bima paling tidak senang dibohongi!
Apalagi yang parah seperti ini. Meskipun hanya membantu, bukan berarti kelima cowok itu baru eksis di hari tantangan kebut gunung itu dilontarkan. Pasti jauh sebelum itu. Soalnya sebelumnya harus ada pengenalan singkat soal gunung, pengenalan jalur yang akan dilalui, dan.....penempaan fisik. Meskipun penempaan fisik ketiga cewek itu jauh dari maksimal, frekuensinya jelas di atas sepuluh kali pertemuan, karena setiap karnaval butuh persiapan.

Tanpa sadarm kedua rahang Bima mengatup keras.
Berapa lama Langen dan Fani merencanakan semua itu? Balas dendam itu! Unjuk rasa itu! Tantangan itu....! Dua bulan? Tiga bulan?
Dan seberapa sering mereka bertemu kelima cowok itu untuk berunding? Satu minggu sekali? Dua kali!? Atau jangan-jangan malah.....setiap hari?
Dan bagaimana bisa dirinya tidak tahu sama sekali?
Brengsek! Sialan!
Kemarahan yang menggelegak membuat Bima tanpa sadar melempar biji durian di tangannya. Dengan satu teriakan keras.

Suasana kontan berubah hening. Semua berhenti mengunyah dan menatap Bima tak mengerti. Cowok itu tersadar. Secepat kilat otaknya mengeluarkan satu alasan untuk berkelit.

''Perut gue panas. Kayaknya mulai overdoisi. Ehm itu....,'' ditunjuknya tempat biji durian tadi terjatuh, ''bisa tumbuh, kan? Sayang, ada tanah kosong. Makanya gue lempar ke sana.''
''Bisa sih,'' Dekha menjawab agak hati-hatii. ''tapi taun depan. Berbuahnya juga masih lama, kalo anak lo mau masuk SMP.''

Bima tertawa, dan itu mencairkan ketegangan di sekitarnya. Sekarang ganti Fani yang kehilangan selera. Dan omongan Shanti, yang duduk di sebelahnya, cuma terdengar satu-dua kata.
Seketika jantung Fani berdetak keras. Sadar, saat ini mungkin Bima telah berhasil mengetahui semuanya. Tanpa sadar kedua matanya terus-menerus melirik. Tapi Bima tidak menoleh lagi. Sama sekali!

Sekarang Fani benar-benar tinggal menghitung hari, kapan dirinya akan dieksekusi!

Langen sampai di kelas dan jadi heran karena tidak mendapati Fani.
''Paling nyari Bima,'' kata Dhila.
''Nyari Bima? Kenapa dia nyariin Bima!?'' seketika Langen memekik.
Kedua alis Dhila sontak menyatu rapat. ''Ih, lo kenapa sih, La? Segitu histerisnya. Ya dia mau bilang makasih, kali. Namanya juga udah dikasih hadiah.''
''Hadiah apaan!?'' Langen memekik lagi. Sekarang malah sambil dipelototinya Dhila. Seakan-akan Dhila-lah yang memberikan hadiah itu.
''Mana gue tau. Gue cuma dititipin doang. Tadi Bima ke sini. Nungguin lama banget. Bete kali dia. Terus pergi. Hadiahnya dititipin ke gue. Tuh cowok baik ah, La. Nggak kayak yang diomongin orang-orang.''
''Baik!?'' kedua mata Langen melotot maksimal. ''Tunggu aja sampe lo jadi korban dia yang berikutnya!''
''Buktinya, dia mau nunggu di sini sampe lama cuma supaya bisa ngasih hadiahnya langsung ke Fani. Trus ngobrol sama kita-kita. Gue juga sempet ngobrol bentaran sama dia. Orangnya enak kok. Asyik.''
''Dhila sayaaaang,'' ucap Langen gemas. ''Dia kan nggak mungkin pake jubah hitam dan ngasih liat tampang drakulanya siang-siang. Kudu nunggu malem. Iya, kan? Dan lagi cuma sama calon korbannya aja dia kasih liat jelas aja akan dia perlihatkan gigi-giginya yang putih terawat, bersih, dan berkilau. Iya, kaaan? Dan lagi juga....'' kalimat Langen terpenggal. Mendadak dia sadar, sesuatu telah terjadi.....lagi!
''Mampus deh! Sial!'' desisnya. Buru-buru dikeluarkannya ponsel dari kantong baju. ''NGGAK AKTIF?'' jeritnya kemudian, membuat Dhila dan teman-teman sekelasnya menatapnya heran.
''Lo kenapa sih, La?'' tanya Dhila bingung.
''HP-nya Fani nggak aktif, Dhil! Biasanya selalu aktif kok!'' seru Langen panik, seolah ponsel Fani yang akan terjadi gempa dahsyat. Dikantonginya kembali ponselnya dan bergegas disambarnya tasnya. ''Dhil, tolong absenin gue sama Fani!'' serunya sambil berlari keluar.

Langen tidak tahu bahwa pencariannya akan percuma. Soalnya Panther Dekha sudah jauh meninggalkan gerbang kampus. Dan cewek itu juga tidak sadar, sebuah perangkap lain telah disiapkan Rei untuknya.
Dan kegigihan Langen untuk menemukan sahabatnya, telah menggiringnya semakin dekat ke mulut perangkap itu.





continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar