Malam menjelang pertempuran besar mereka, Langen dan Fani berkumpul di rumah Iwan untuk melakukan briefing terakhir. Di tengah-tengah keseriusan Iwan menjelaskan segala sesuatunya, tiba-tiba pintu diketuk. Febi berdiri di ambang pintu dengan sebuah koper besar.
''Gue minggat dari rumah,'' ucapnya santai dan bangga. Seketika semua mata menatapnya terpana. Febi tidak memedulikan tatapan-tatapan itu. Dengan tenang dia melangkah masuk lalu duduk di sebelah Fani.
''Ini peristiwa yang sangat penting. Jelas nggak bakalan gue lewatin. Akan gue cari segala cara supaya bisa ikut. Dan akhirnya....,'' dia tertawa riang, ''ada di sini juga gue!''
''Lo ngomong serius nih, Feb?'' tanya Iwan.
''He-eh,'' Febi mengangguk. ''Emangnya kenapa?''
''Gue nggak setuju. Ini sama sekali nggak lucu. Lo minggat, emangnya nggak dicari? Ke sini pula lo kaburnya. Ke rumah gue.''
''Oh, tenang aja....'' Febi mengibaskan tangannya, tetap santai. ''Nyokap-bokap sama kakak-kakak gue lagi pada pergi. Pulangnya baru besok siang. Jadi baru besok siang pula mereka tau, gue udah buron. Dan gue juga udah booking kamar hotel. Jadi gue di sini cuma transit, Wan. Jadi lo nggak perlu kuatir. Oke?''
''Tapi kalo Rangga ke rumah lo, gimana? Atau nelepon? Bisa kacau semuanya!''
Semua serentak mengiyakan kata-kata Langen.
''Ck, aduuuh!'' Febi mengibaskan tangannya lagi. ''Gue nggak sebego itulah. Semuanya udah gue pikirin. Semuanya udah gue atur dengan rapi dan superteliti! Mas Rang.....eh, si Rangga nggak bakalan dateng. Soalnya sekarang dia lagi ada meeting Maranon sampai malem. Katanya lho! Makanya gue kaburnya nunggu dia nelepon dulu, terus gue pura-pura tidur. Begitu semua pembantu gue pada ngumpul di dapur, makan malem, langsung mereka semua gue kunciin dari luar. Baru abis itu....,'' Febi meringis lucu, ''gue minggat dengan tenang! Dan untuk mengantisipasi kalo-kalo para pembantu gue berhasil meloloskan diri, semua buku telepon sama buku alamat, gue umpetin! Jadi mereka nggak bakalan bisa menghubungi siapa pun, terpaksa pasrah nungguin sampe bokap-nyokap sama kakak-kakak gue balik. Canggih kan gue? Jadi tenang aja. Semua dalam keadaan aman dan terkendali!''
Semua menatapnya tak percaya. Lalu serentak geleng-geleng kepala.
''Gila lo, Feb!'' desis Iwan.
''Kalo ketauan, mudah-mudahan gue yang disuruh tanggung jawab,'' doa Theo dengan ekspresi muka penuh harap.
''Gimana urusannya, kok bisa elo?'' kepala botaknya langsung dijitak Rizal. ''Jelas gue dong!''
''Gimana urusannya juga, kok bisa elo?'' balas Theo.
''Heh, lo berdua!'' sela Evan. ''Kalo mau ngerebutin cewek, tanya dulu ceweknya. Mau apa nggak? Jadi jangan sampe lo berdua berisik gitu, nggak taunya tuh cewek jijik, lagi!''
Rizal dan Theo seketika berhenti tarika urat.
''Belom pernah ada cewek yang jijik sama gue!'' seru Rizal girang. Theo baru akan buka mulut, tapi langsung dipotonag Iwan.
''Ntar aja deh bercandanya. Ini dulu kelarin!''
Febi ketawa geli. Penuh semangat dia lalu ikut memerhatikan peta dan lembatan kertas yang berserakan di meja. Tidak peduli dengan masalah besar yang baru saja ditimbulkannya.
''Gue minggat dari rumah,'' ucapnya santai dan bangga. Seketika semua mata menatapnya terpana. Febi tidak memedulikan tatapan-tatapan itu. Dengan tenang dia melangkah masuk lalu duduk di sebelah Fani.
''Ini peristiwa yang sangat penting. Jelas nggak bakalan gue lewatin. Akan gue cari segala cara supaya bisa ikut. Dan akhirnya....,'' dia tertawa riang, ''ada di sini juga gue!''
''Lo ngomong serius nih, Feb?'' tanya Iwan.
''He-eh,'' Febi mengangguk. ''Emangnya kenapa?''
''Gue nggak setuju. Ini sama sekali nggak lucu. Lo minggat, emangnya nggak dicari? Ke sini pula lo kaburnya. Ke rumah gue.''
''Oh, tenang aja....'' Febi mengibaskan tangannya, tetap santai. ''Nyokap-bokap sama kakak-kakak gue lagi pada pergi. Pulangnya baru besok siang. Jadi baru besok siang pula mereka tau, gue udah buron. Dan gue juga udah booking kamar hotel. Jadi gue di sini cuma transit, Wan. Jadi lo nggak perlu kuatir. Oke?''
''Tapi kalo Rangga ke rumah lo, gimana? Atau nelepon? Bisa kacau semuanya!''
Semua serentak mengiyakan kata-kata Langen.
''Ck, aduuuh!'' Febi mengibaskan tangannya lagi. ''Gue nggak sebego itulah. Semuanya udah gue pikirin. Semuanya udah gue atur dengan rapi dan superteliti! Mas Rang.....eh, si Rangga nggak bakalan dateng. Soalnya sekarang dia lagi ada meeting Maranon sampai malem. Katanya lho! Makanya gue kaburnya nunggu dia nelepon dulu, terus gue pura-pura tidur. Begitu semua pembantu gue pada ngumpul di dapur, makan malem, langsung mereka semua gue kunciin dari luar. Baru abis itu....,'' Febi meringis lucu, ''gue minggat dengan tenang! Dan untuk mengantisipasi kalo-kalo para pembantu gue berhasil meloloskan diri, semua buku telepon sama buku alamat, gue umpetin! Jadi mereka nggak bakalan bisa menghubungi siapa pun, terpaksa pasrah nungguin sampe bokap-nyokap sama kakak-kakak gue balik. Canggih kan gue? Jadi tenang aja. Semua dalam keadaan aman dan terkendali!''
Semua menatapnya tak percaya. Lalu serentak geleng-geleng kepala.
''Gila lo, Feb!'' desis Iwan.
''Kalo ketauan, mudah-mudahan gue yang disuruh tanggung jawab,'' doa Theo dengan ekspresi muka penuh harap.
''Gimana urusannya, kok bisa elo?'' kepala botaknya langsung dijitak Rizal. ''Jelas gue dong!''
''Gimana urusannya juga, kok bisa elo?'' balas Theo.
''Heh, lo berdua!'' sela Evan. ''Kalo mau ngerebutin cewek, tanya dulu ceweknya. Mau apa nggak? Jadi jangan sampe lo berdua berisik gitu, nggak taunya tuh cewek jijik, lagi!''
Rizal dan Theo seketika berhenti tarika urat.
''Belom pernah ada cewek yang jijik sama gue!'' seru Rizal girang. Theo baru akan buka mulut, tapi langsung dipotonag Iwan.
''Ntar aja deh bercandanya. Ini dulu kelarin!''
Febi ketawa geli. Penuh semangat dia lalu ikut memerhatikan peta dan lembatan kertas yang berserakan di meja. Tidak peduli dengan masalah besar yang baru saja ditimbulkannya.
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar