Sabtu, 15 Maret 2014

Bab 26 part 4 novel cewek!!! by esti kinasih


Tiba-tiba Rangga bersiul nyaring. Tatapannya masih terpaku pada tubuh-tubuh di balik jala itu. Rei dan Bima balik badan hampir bersamaan dan menatap Rangga tajam.
''Kenapa? Lo berdua mau nyuruh gue nutup mata?'' diangkatnya alis tinggi-tinggi. ''Maaf, tidak bisa. Kesalahan bukan terletak di mata gue.'' kemudian dijulurkannya leher panjang-panjang, menatap Langen dan Fani dari atas kepala Rei dan Bima. ''Kalo gue pindah kubu, boleh nggak?'' serunya.

Jawabannya diberikan Rei dan Bima saat itu juga. Rangga jatuh terjerembab ke semak, setelah dua telapak tangan mendarat keras di dadanya. Cowok itu tertawa geli, lalu meraih sebatang dahan untuk berdiri.
''Tolong lo berdua pake sweter atau jaket!'' perintah Bima geram.

Langen melotot. Pura-pura tersinggung. ''Lo kira elo itu siapa sih? Sembarangan aja nyuruh-nyuruh orang. Nggak!''
''Langen.....please....,'' ganti Rei memberikan perintah. Kali ini mulai bernada memohon, yang diucapkan dengan kedua rahang terkatup rapat.

Langen menggeleng. ''Nggak mau,'' jawabnya kalem. ''Orang gue sama Fani lagi mau buka-bukaan kok disuruh ditutup-tutup.''

Kalimatnya seketika membuat Rangga menoleh ke belakang. Menyembunyikan seringai yang tidak bisa ditahan.

Sadar perintah mereka sama sekali tidak diindahkan, Rei dan Bima kemudian berunding dengan suara pelan. Hasilnya, keduanya memutuskan untuk membiarkan Langen dan Fani di atas sana, sampai kedua cewek itu terserang hipotermia. Kalau perlu sampai tubuh mereka membeku kaku.

Tapi otak Langen terlalu lihai untuk hal yang terlalu sederhana itu. Karena itu, untuk melakukan aksi buka-bukaan ini, dipilihnya momen menjelang mereka akan bertemu dengan kelompok-kelompok pendaki lain.

Dan yang terjadi berikutnya benar-benar seperti yang dia da Fani harapkan. Suara-suara orang berbicara, yag tadi hanya terdengar samar-samar, semakin lama semakin jelas. Menandakan ada sekelompok pendaki yang saat ini tengah bergerak mendekat.
Seketika, Rei dan Bima jadi panik.
''Langen!''
''Fani!''
Keduanya berseru bersamaan.
''Cepet pake jaket atau sweter!'' perintah Bima, tapi tidak ditanggapi. Sambil mendesis gusar, cowok itu lalu membuka carrier-nya. Dengan cepat ia mengeluarkan sebuah jaket dari sana, dan melemparnya ke arah Fani. Langsung Fani mengambil jaket yang jatuh di dekat kakinya itu.
''Kami juga punya, tau!'' dilemparnya kembali benda itu ke Bima. ''Nggak butuh!''

Bima menggeram. Benar-benar berang dan kelimpungan jauh di belakang. Rangga sampai membungkukkan badan rendah-rendah, tak sanggup menahan geli melihat adegan di depannya.

Suara-suara langkah itu semakin dekat. Suara-suara orang mengobrol itu juga semakin jelas. Rei melangkah cepat mendatangi arah datangnya suara-suara itu. Sontak dia semakin panik, saat kedua matanya menangkap semak-semak bergerak di kejauhan. Bergegas dia melangkah mendekati Bima yang tengah berdiri di depan batu besar berbentuk oval itu. Tempat Langen dan Fani masih berdiri tegak memamerkan bodi.
''Elo berdua tolong pake baju yang bener. Hawanya dingin. Nanti masuk angin.'' Bima bicara dengan nada membujuk.
''Eits, jangan salah. Kami tadi udah minum.... Jamu tolak angin!'' Langen dan Fani menjawab serentak, lalu mohon dengan kedua tangan tertangkup di depan dada.
''Please, Fan....'' Bima ikut memohon.
''Tolong, La,'' Rei mengulangi permohonannya. ''Tolong pake baju yang bener.''

Mendengar itu, Rangga menegakkan tubuh. Kedua matanya menyipit. Benar-benar tak bisa percaya dengan apa yang sedang terjadi di depannya.

Memohon.....adalah bentuk kejatuhan kaum Adam yang paling mengenaskan. Dan sama sekali tidak disangkanya, dengan cara itulah kedua sahabatnya akan menyerah!

Tapi permohonan itu sudah terlambat. Kelompok pendaki itu telah muncul, terdiri atas empat cowok. Dan keempatnya seketika terpana. Menatap tak percaya sekaligus terpesona, pada dua ''keindahan'' yang sedang berdiri tegak di atas batu besar.

Ini di tengah hutan belantara sebuah gunung. Di jalur pendakian dengan tingkat kesulitan tinggi pula. Siapa yang menyangka akan menemukan dua cewek cakep, seksi, memakai kaus jala pula. Melihat pemandangan asyik, tubuh mereka yang sangat letih mendadak jadi sangat segar. Ini benar-benar keajaiban dunia yang kedelapan!

Rei dan Bima bergegas menghampiri lalu berdiri tepat di hadapan keempatnya. Sebisa mungkin meminimalis pandangan mereka pada Langen dan Fani.
''Elo-elo bisa lanjut?'' desis Bima tajam.
Leader kelompok pendaki itu, cowok berkemeja flanel cokelat kotak-kotak, menatap Rei dan Bima dengan pandangan tidak senang. Dia lalu memiringkan kepala dan berseru ke arah Langen dan Fani.
''Ini cowok-cowok kalian!?''
Langen menatap Rei, Bima, dan Rangga bergantian. Saat kedua matanya bertumbukan dengan sepasang mata Rei, yang menatapnya dengan kilatan marah yang menusuk, Langen menaikkan sepasang alisnya. Mengisyaratkan tantangan! Sedetik kemudian, masih dengan sepasang matanya yang menentang kedua mata Rei lurus-lurus, Langen menggelengkan kepala.
''Bukan!''
Sama sekali bukan jawaban yang salah!
Cowok berkemeja flanel cokelat kotak-kotak itu mengembalikan tatapannya pada Rei dan Bima. ''Apa lo bilang tadi? Bisa nggak kami lanjut? Sori.....nggak bisa!''

Salah seorang temannya segera menyambung, ''Sekarang tolong lo berdua menyingkir jauh-jauh, karena sangat merusak pemandangan!''
''Kurang ajar!'' geram Bima. Sedetik kemudian tinjunya melayang, menghantam telak rahang cowok yang baru saja menutup mulutnya itu, dan membuatnya terpelanting.

Melihat salah seorang teman mereka terkapar di tanah, tiga yang lain jelas tidak terima. Salah seorang segera membantunya berdiri, sementara dua yang lain balas menyerang Rei dan Bima, Rangga langsung bersiap-siap seandainya kedua sobatnya itu butuh bantuan.

Sementara itu Langen dan Fani saling pandang dengan tersenyum puas. Inilah yang mereka harapkan.
''Sekarang kita bisa duduk. Silakan.'' Langen mempersilahkan Fani dengan sikap seakan-akan sahabatnya itu orang yang sangat agung dan terhormat, yang dengan segala kerendahan hati telah bersedia menemaninya.
''Terima kasih. Terima kasih. Silakan duduk juga.''
Keduanya lalu duduk. Langen duduk bersimpuh, sementara Fani duduk berlutut.
''Gue mulai kedinginan, La,'' bisik Fani.
''Sama,'' balas Langen. ''Tapi jangan sampe keliatan.''
''Keluarin air jahenya dong.''
''Oh, iya. Eh, kipasnya dong.''
''Oh, iya!''

Keduanya meraih carrier masing-masing. Fani mengeluarkan dua kipas bulu. Satu berwarna merah dan berukuran kecil, diberikannya pada Langen. Satunya lagi berwarna biru dan berukuran agak besar, untuknya sendiri.
''Gimana kalo kita pake sarung tangan?'' usul Langen.
''setuju!'' sambut Fani seketika.

Keduanya mengenakan sarung tangan untuk mengurangi rasa dingin yang menggigit. Panas tubuh memang lebih cepat terlepas melalui ujung-ujung jari.

Sementara itu, terdorong emosi dan marah yang menggelegak karena tidak bisa menerima orang lain menikmati pemandangan gratis, Rei dan Bima dengan beringas menghajar keempat cowok itu. Di luar arena, Rangga mengawasi dengan sikap waspada.

Di atas bongkahan batu besar berbentuk oval, yang kini tampak seperti singgasana raja, Langen menyaksikan prosesi bak-buk-bak-buk itu. Dia duduk dengan sikap anggun bak ratu legendaris Mesir Kuno, Cleopatra. Tangan kanannya yang menggenggam kipas bulu kecil warna merah, membuat gerakan mengipas dengan begitu perlahan dan tertata. Bahkan seekor semut pun tidak merasakan ada angin yang bergerak. Wajah dan kedua matanya memancarkan ekspresi dingin dan angkuh.

Di sebelahnya, duduk dengan posisi agak di belakang. Fani mengipasi ''sang ratu'' dengan kipas bulu berwarna biru, bagaikan dayang. Wajah dan sepasang matanya juga memancarkan ekspresi dingin dan angkuh. Seakan-akan apa yang sedang terjadi di depannya adalah pertunjukan yang dipersembahkan oleh para budak atau rakyat keloni jajahan, yang sama sekali tidak perlu diberikan apresiasi.

Dengan cerdik, keduanya memanfaatkan setiap momen, sambil mencuri-curi kesempatan dengan segera meneguk air jahe hangat atau sekejap menyelubungi tubuh mereka yang kedinginan dengan jaket tebal.

Tak sampai sepuluh menit, prosesi bak-buk-bak-buk itu selesai. Rei dan Bima yang sedang kalap keluar sebagai pemenang. Dua orang lawan terkapar tidak jauh, satu terpelanting ke semak, dan satu lagi sedang membungkuk-bungkuk sambil memegangi perut.
Tapi akibatnya, luka Bima kembali terbuka dan mengucurkan darah. Rangga bergegas membuka carrier-nya dan mengeluarkan perlengkapan P3K.

"Yaaah, gue cukup terkesan. Lawannya otot emang otot juga!'' ucap Langen tiba-tiba, membuat Rei cs tersadar. Ketiganya menoleh bersamaan dan Langen menyambut dengan senyum manis. Dia lalu bertepuk tangan dengan gaya anggun. Di sebelahnya, Fani tetap mengipasi sambil tetap memasang ekspresi dingin dan angkuh. Seolah-olah dia tidak berhak ikut tersembunyi atau berkomentar jika ''sang ratu'' tidak mengizinkan.
Rei menggeram. Dia sudah akan melangkah mendekati batu besar itu lalu melompat ke atasnya, tapi satu tangan Rangga segera mencekal bahunya. Cowok itu menggeleng tanpa matanya beralih dari luka Bima yang sedang dibebatnya.
''Mendingan lo suruh pergi tuh orang-orang. Biarpun badan mereka bonyok, mata mereka nggak buta!"
Rei memutar tubuhnya.
"Sialan!" desisnya. Dia benar-benar berang saat keempat cowok itu ternyata masih berada tidak jauh darinya, masih memandangi Langen dan Fani dengan cara yang membuat darah Rei kembali mendidih. Dengan langkah-langah panjang dan kedua rahang terkatup keras, dihampirinya keempat cowok itu. Keempatnya bergegas pergi sebelum Rei mencapai tempat mereka berdiri.



continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar