Evan, yang mendapatkan tugas untuk melakukan pengintaian sehubungan dengan kejanggalan yang muncul, kembali ke tempat teman-temannya menunggu dengan berita buruk. Langen dan Fani sempat terjatuh dan mendapatkan pertolongan dari musuh-musuh mereka, kemudian terjadi pembicaraan serius yang sayangnya tidak dapat dicuri dengar karena jaraknya terlalu jauh.
''Mereka luka?'' tanya Theo.
Evan mengangkat bahu. ''Nggak tau. Jaraknya terlalu jauh.''
''Luka nggak luka....,'' desis Iwan, ''yang jelas mereka pasti bener-bener sekarat sekarang!''
''Yang gue liat tadi kayaknya begitu.'' Evan mengangguk cepat.
Sementara Rei cs berleha-leha, Iwan cs berunding dengan cepat. Hasilnya, suara bulat kemudian memutuskan untuk mengakhiri perang terbuka itu. Saat ini juga!
Theo, sang algojo, langsung mengeluarkan senjata rakitannya, yang khusus diciptakan untuk keperluan ini. Katapel dan batu pipih sebagai peluru. Setelah memeriksanya sesaat, dimasukkannya kedua benda itu ke salah satu saku celana lapangannya.
''Oke?'' tanya Iwan.
''Sip!'' Theo mengacungkan satu jempolnya.
''Lo tunggu di sini, Yud!'' ucap Iwan sambil menurunkan carrier-nya.
''Oke!'' Yudhi mengangguk.
Evan dan Theo juga melepaskan carrier masing-masing. Ketiganya lalu bergegas menyeruak lebatnya pepohonan dan semak belukar. Meninggalkan Yudhi sendirian sebagai penjaga carrier. Sambil berjalan, Evan mengikatkan seutas pita merah dalam jarak-jarak yang terlihat ruang pandang.
Ketiganya baru berhenti menyelinap di antara pohon dan semak-semak, setelah menemukan tempat mengintai yang tepat. Dari tempat itu Rei cs serta Langen dan Fani yang sedang beristirahat terlihat jelas.
Namun posisi Rei cs yang berbaring berdampingan seperti jejeran ikan asin yang dijemur para nelayan, membuat eksekusi belum bisa dilakukan. Selain itu, posisi berbaring tidak akan memberikan hasil maksimal.
Tidak ada pemandangan yang lebih exciting selain melihat tubuh sang target tersentak ke belakang dan akhirnya roboh!
***
''Mereka luka?'' tanya Theo.
Evan mengangkat bahu. ''Nggak tau. Jaraknya terlalu jauh.''
''Luka nggak luka....,'' desis Iwan, ''yang jelas mereka pasti bener-bener sekarat sekarang!''
''Yang gue liat tadi kayaknya begitu.'' Evan mengangguk cepat.
Sementara Rei cs berleha-leha, Iwan cs berunding dengan cepat. Hasilnya, suara bulat kemudian memutuskan untuk mengakhiri perang terbuka itu. Saat ini juga!
Theo, sang algojo, langsung mengeluarkan senjata rakitannya, yang khusus diciptakan untuk keperluan ini. Katapel dan batu pipih sebagai peluru. Setelah memeriksanya sesaat, dimasukkannya kedua benda itu ke salah satu saku celana lapangannya.
''Oke?'' tanya Iwan.
''Sip!'' Theo mengacungkan satu jempolnya.
''Lo tunggu di sini, Yud!'' ucap Iwan sambil menurunkan carrier-nya.
''Oke!'' Yudhi mengangguk.
Evan dan Theo juga melepaskan carrier masing-masing. Ketiganya lalu bergegas menyeruak lebatnya pepohonan dan semak belukar. Meninggalkan Yudhi sendirian sebagai penjaga carrier. Sambil berjalan, Evan mengikatkan seutas pita merah dalam jarak-jarak yang terlihat ruang pandang.
Ketiganya baru berhenti menyelinap di antara pohon dan semak-semak, setelah menemukan tempat mengintai yang tepat. Dari tempat itu Rei cs serta Langen dan Fani yang sedang beristirahat terlihat jelas.
Namun posisi Rei cs yang berbaring berdampingan seperti jejeran ikan asin yang dijemur para nelayan, membuat eksekusi belum bisa dilakukan. Selain itu, posisi berbaring tidak akan memberikan hasil maksimal.
Tidak ada pemandangan yang lebih exciting selain melihat tubuh sang target tersentak ke belakang dan akhirnya roboh!
***
''Time is up!'' seru Rei, dan langsung bangkit berdiri. Bima dan Rangga mengikuti. Dengan gaya berlebihan, ketiganya lalu melakukan senam-senam ringan untuk melemaskan otot-otot tubuh.
Langen dan Fani melirik dengan dongkol. Tubuh keduanya masih terasa luluh lantak dan break yang hanya sepuluh menit itu justru memperparah. Jangankan bersenam-senam seperti kubu lawan, untuk berdiri tegak saja mereka harus mengerahkan seluruh kekuatan.
Di tempat lain, terhalang rimbunnya semak belukar, Theo bersiap-siap. Sepasang matanya mengikuti setiap gerakan calon korban. Sementara kedua tangannya merentangkan karet ketapel pelan-pelan.
Hanya ada satu kali kesempatan. Jadi harus berhasil! Target tidak perlu terluka parah, karena serangan ini tanpa jaminan asuransi. Yang penting, perang terbuka ini berakhir.
Setelah membersihkan mug dan memasukkannya kembali ke carrier, dengan nada tegas dan tanpa kompromi Rei memerintahkan kedua lawannya untuk bergerak. Bersamaan dengan itu, sebuah batu pipih dilepaskan dari rentangan maksimal sebuah ketapel. Berdesing menyibak daun-daun yang menghalangi dan bergerak cepat, lurus ke sasaran. Dan beberapa detik kemudian.....
''AAAKKKH!!!!''
Satu teriakan keras membelah keheningan belantara. Bima terkapar dengan lengan kiri berlumur darah!
Sedetik semuanya hanya berdiri diam dalam keterperangahan dan kebingungan. Erangan Bima beberapa saat kemudian menyadarkan Rei dan Rangga. Serentak keduanya menghampiri Bima yang masih tergeletak di atas semak-semak yang patah karena tertimpa badan besarnya.
Sesuatu telah merobek bukan hanya lengan kiri kemeja birunya, tapi juga daging di baliknya! Dan dari darah yang mengalir deras, luka sayatan yang menganga itu sepertinya cukup dalam.
Langen dan Fani hanya bisa berdiri sambil terus ternganga-nganga selama Rei dan Rangga melakukan tindakan P3K terhadap Bima. Kedua cewek itu benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya baru saja terjadi.
Begitu selesai membersihkan luka Bima dan membebatnya, dan bersama Rangga membantu cowok itu berdiri, Rei langsung balik badan. Kemeja kremnya bernoda darah. Cowok itu menghampiri Langen dengan kedua rahang mengatup keras.
''Lo pasti bisa jelasin, apa barusan itu tadi!'' ucap Rei dengan nada tajam.
''Bima kenapa?'' Langen malah bertanya bingung.
''Justru itu yang gue pengen tau!'' bentak Rei.
''Hah?'' Langen menatapnya dengan ekspresi semakin bingung. ''Kenapa nanya gue?''
Rei mendesis tajam. Benar-benar marah sekarang. Dicekalnya kedua lengan Langen kuat-kuat dan di tariknya mantan ceweknya itu rapat-rapat di depannya. Refleks Langen meletakkan kedua tangannya di dada Rei. Membuat jarak.
Tapi Rei langsung mengenyahkan penghalang itu dari dadanya. Kemudian dipeluknya Langen sampai benar-benar tidak ada jarak, dengan kekuatan yang membuat Langen menggigit bibir menahan sakit.
"Nggak akan ada saksi mata kalo gue apa-apain lo di sini, La!" ancamnya dengan gigi gemeretak.
"Mau lo apain juga, gue tetep nggak bisa bilang apa-apa. Gue bener-bener nggak tau!"
Lekatnya persahabatannya Rei dan Bima, kerap membuat keduanya mengaburkan batas benar dan tidak. Rei siap menjadi arca batu untuk apa pun tindakan Bima. Begitu pun sebaliknya. Karena itu, meskipun di depan mata Rei sedang mendekap Langen dengan begitu kuatnya, sampai-sampai siluet keduanya di atas permukaan tanah seperti menampakkan kembar siam yang hanya terpisah di kepala, Bima hanya menyaksikan tanpa memberikan reaksi apa-apa. Sementara Rangga, yang statusnya sahabat new comer, tentu saja harus mengikuti aturan main yang sudah ada.
Di tempatnya berdiri, Fani hanya bisa pasrah. Tidak berani memberikan pertolongan karena sepasang mata Bima mengawasi setiap gerak-geriknya dengan tajam. Tidak perlu diperhitungkan satu tangan cowok itu yang terluka, karena tangannya yang lain sudah lebih dari cukup untuk mematahkan tulang-tulangnya, kalau dirinya berani nekat.
"Lo pilih ngomong, atau paru-paru lo jebol?" desis Rei. Langen tidak bisa menjawab. Dia benar-benar sulit bernapas. Dekapan Rei membuat paru-parunya tidak bisa bergerak bahkan untuk mengambil sedikit saja udara.
"Oke.....gue.....akan.....ngomong....," ucap Langen akhirnya. Fani terperangah. Rei menyipitkan kedua matanya.
"Coba bilang sekali lagi!" perintahnya.
"Gue.....akan.....ngomong..... Tolong.....lepas.....tangan lo....," pinta Langen dengan suara semakin terengah. Rei melepaskan kedua tangannya yang memeluk Langen. Begitu saja. Membuat Langen seketika terhuyung dan hampir tersungkur kalau tidak buru-buru ditahan Fani.
Cewek itu membungkuk. Menekan dadanya dan terbatuk-batuk. Ditariknya napas panjang-panjang untuk mengisi paru-parunya yang seperti kosong.
"Cepet!" bentak Rei, masih terus mengawasi Langen. Masih dengan satu tangannya menekan dada, Langen berusaha menegakkan badan. Tapi tidak bisa benar-benar tegak karena dadanya masih agak sakit. Kedua bola mata cokelatnya lalu menatap Rei, lurus dan tajam.
"Elo.....banci!!!"
Rei terperangah. Sementara tawa Bima kontan meledak keras. Di sebelahnya, Rangga geleng-geleng kepala, menatap Langen tak percaya.
"Dari awal udah gue kira, dia nggak bakal buka mulut," ucap Bima setelah tawanya reda. "Bawa ke sini cewek gue. Kalo dia, gue yakin pasti akan bicara!"
Fani tersentak. Juga Langen. Keduanya langsung berpelukan kuat-kuat. Bima menepuk bahu Rangga. Segera Rangga menyusul Rei yang sedang berjalan ke arah kedua cewek itu. Dengan paksa kedua cowok itu kemudian melepaskan pelukan erat Langen dan Fani. Rangga langsung menyeret Fani menuju tempat Bima berdiri, sementara Rei berdiri di hadapan Langen, untuk menghalangi cewek itu menyelamatkan sahabatnya.
"Halo, Sayang....." Bima membungkukkan badannya dan menyapa Fani dengan lembut. "Aku lagi sekarat nih. Peluk aku, ya? Mau, nggak?"
Refleks, Fani langsung geleng kepala kuat-kuat. Dia akan bergerak mundur, tapi tidak bisa karena Rangga berdiri rapat di belakangnya dan mencekal kuat-kuat kedua lengannya. Bima tertawa geli dan mendongak menatap Rangga.
"Mana pernah dia mau meluk gue," katanya, lalu tatapannya kembali ke Fani. "Tapi kalo jawab pertanyaan, mau, kan? Harus mau! Karena itu tadi, aku lagi sekarat. Jadi mumpung aku masih bernapas, kamu lebih baik koorperatif, supaya aku matinya nggak penasaran. Karena kalo sampe mati penasaran, nanti arwahku nggak tenang dan kamu aku gentayangin tiap malem. Dan yang namanya jurik itu nggak punya batas ruang. Jadi nggak ada gunanya kamu ngunci pintu atau ngumpet di dalam lemari.''
''Tapi....tapi....gue nggak tau elo kenapa....,'' jawab Fani terbata.
''Oh, ya?'' Bima pura-pura kaget.
''Iya. Gue nggak tau. Bener!'' Fani mengangguk kuat-kuat.
Iwan memang sengaja tidak memberitahu kedua cewek itu cara dia dan keempat temannya mengakhiri perang terbuka itu. Semata untuk melindungi keduanya dari kemungkinan tekanan pada saat interogasi, yang sudah pasti akan dilakukan di tempat dan sedetik setelah serangan terjadi. Tapi tetap itu tidak membuat Langen dan Fani terhindar dari situasi sulit.
''Mungkin dengan begini kamu jadi tau.'' Bima menatap lengan kirinya yang luka. Darah merembes dari balutan luka itu. Mengalir turun. Dengan jari telunjuk, ditahannya aliran darah itu sesaat, kemudian dioleskannya darah itu ke bibir Fani. Fani tersentak. Karena tidak bisa bergerak mundur juga tidak bisa menggerakkan kedua tangannya, dipalingkannya wajahnya. Tapi Bima langsung menghadapkan kembali wajah itu ke arahnya. Kembali dia oleskan darah lukanya ke bibir Fani. Cewek itu memejamkan mata rapat-rapat. Tidak tahan dengan bau anyirnya.
''Ini untuk mengenang Left Eye TLC....,'' ucap Bima sambil membuat garis darah di bawah mata kiri Fani. Kemudian dia membuat bulatan darah tepat di tengah-tengah dahi Fani. ''Left Eye dari India.....''
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar