"Jadi Josephine juga ikut ke Jayawijaya? Hebat! Hebat!" seru Langen berang. Matanya menancap ke cewek yang memang sejak hari pertama kemunculannya di kampus, langsung bikin geger. Jadi bahan perbincangan seru semua orang. Dari para mahasiswa (kelompok yang paling bersemangat), para mahasiswi (yang kebanyakan karena iri), sampai para dosen dan pegawai tata usaha.
Semuanya ribut memperdebatkan apakah ''cihui!''-nya Josephine itu memang asli pemberian yang Mahakuasa ataukah hasil suntik silikon. Soalnya cewek itu memang lahir dan gede di Amerika sana. Baru setahunan ini dia mudik ke Indonesia. Dan buat cewek-cewek yang cowoknya berada dalam radius pengaruh radiasi ''cihui!''-nya Josephine yang menghebohkan itu, memang tinggal bisa pasrah. Berdoa mati-matian agar sang kekasih kuat iman.
"Kita samperin mereka sekarang aja!" putus Langen. Ia sudah tidak tahan menyaksikan Rei duduk mengapit si Pamela Anderson itu bersama Andreas.
"Kira-kira kita bukannya kayak.....hm....itik buruk rupa nyamperin angsa?"
"Oh, kita bukannya may nyamperin, Feb," ralat Langen langsung. "Kita justru mau nunjukin kalo mereka itu bukan apa-apa. Nothing! Nggak ada artinya!"
"Iya! Langen bener! Gue setuju!"sambut Fani seketika.
"Begitu? Iya deh.'' Febi mengangguk juga meskipun ragu.
"Oke? Siap?" Langen menatap kedua temannya lurus-lurus. Mengobarkan semangat. ''Tenang, rileks, dan jangan sekali-sekali nunjukin kalo kita jealous! Oke?"
"Oke!" Keduanya mengangguk tegas.
Langen menginjak gas. Escudo itu keluar dari pos pengintaiannya. Mengambil jalan memutar sedikit supaya tidak ketahuan mereka sudah lama berada di situ, baru lurus ke sasaran. Diinjaknya pedal rem kuat-kuat. Escudo itu berhenti dengan entakan mendadak. Sampai mengeluarkan bunyi berdecit dan debu serta asap tebal. Dan langsung menarik perhatian.
Rei cs, yang juga ikut menoleh, tidak mengira sama sekali. Setelah pintu-pintu Escudo itu terbuka dan tiga cewek manis turun dari sana, baru mereka terperangah, serentak berdiri dan menatap tajam ke arah tiga sosok tubuh itu. Setelah jaraknya cukup dekat, baru mereka yakin. Dan makin tercenganglah ketiganya, berdiri kaku dengan mulut ternganga. Tapi kemudian ketiganya jadi salah tingkah. Merasa dituduh telah berbohong. Padahal jujur, mereka datang benar-benar hanya untuk latihan.
Fani yang memecahkan kebisuan yang tegang itu. Dihampirinya Stella.
"Hai, Stel," sapanya berlagak ramah. ''ikut juga?"
Dengan cuek Stella merapatkan jaket yang dipakainya. Tak peduli meskipun yang lebih berhak memakai jaket itu ada di depan mata.
"Iya dong!" jawabnya, juga dengan sikap tak peduli.
"Emang dingin banget, ya?" ucapan Fani itu membuat Bima semakin salah tingkah. Bima memang lebih berpengalaman menangani cewek yang ngambek, atau ngamuk sekalian karena cemburu. Tapi bukan yan tenang-tenang seperti ini.
"Fan, denger dulu....."
Tapi Fani pura-pura budek. Dia melenggang memasuki salah satu warung yang sepertinya sudah di-booking, karena di salah satu meja, juga meja kecil di pojok, penuh dengan tumpukan carrier yang entah siapa saja. Bima buru-buru mengikuti, bak jongos yang terbirit-birit membuntuti juragannya pergi.
Dalam hati Fani bersorak. Benar-benar ingin tertawa terbahak-bahak. Akhirnya, dia bisa ganti menunjukkan taring dan kuku-kukunya di depan playboy laknat ini. Bima kalang kabut. Dia sadar sudah di-KO!
"Fan....." Diraihnya tangan Fani dan digenggamnya kuat-kuat. "Aku nggak ada maksud apa-apa!"
"Gue ngerti. Gue nggak bilang elo ada maksud apa-apa kok," Fani menjawab dengan senyum manis dan ekspresi wajah seakan-akan dia sangat-sangat mengerti. Sangat-sangat memahami. Tapi dalam hati.....buta kali gue!
Bima yang tahu senyum dan ekspresi itu hanya untuk mengejeknya, jadi menahan gemas. Fani kembali menghampiri Stella lalu duduk di sebelahnya.
"Ikut naik juga, Stel?" tanyanya, seolah tanpa maksud apa-apa. Bima langsung seperti cacing ditaburi garam.
"Iya dong!" jawab Stella serta-merta. "Gue kan seneng kegiatan-kegiatan kayak gini. Emang sih berat. Nyape'in banget. Tapi untungnya, cowok-cowok itu pada pengertian. Mau nolongin, mau bantuin, mau direpotin."
"Oooh. Gitu, yaaaa?" Fani mendesah. Merdu sebenarnya. Tapi Bima seperti mendengar aba-aba ''Tembak!!!'' dan dia sudah benar-benar habis, hancur, tamat!
Tiba-tiba saja segala atribut Bima badan gede, berbulu, rambut panjang, mata tajam, pipi codetan, suara ngebas di mata Fani jadi.......keciiiil!
Rei sama saltingnya. Entah si Josephine itu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, atau jangan-jangan malah sengaja, tapi ''cihui!''-nya yang sudah menggemparkan jagat perkuliahan itu memang telah menimbulkan pergolakan di mana-mana. Termasuk Andreas, yang bulan kemarin bubaran dengan Vanya.
"La, kamu nggak usah mikir macem-macem. Dia itu bukan apa-apa!"
"Emangnya siapa sih yang minta pertanggungjawaban soal Josephine?" tanya Langen telak. Rei seketika gelapan.
Sialan! gerutu Rei dalam hati. Buru-buru dia menenangkan diri. Cowok jangan sampai kalah sama cewek. Meskipun salah, tetap harus bisa berkelit. Karena kalau tidak begitu, percuma saja merelakan satu tulang rusuk!
"Karena gue merasa, jadi gue harus memberikan penjelasan!" jawabnya diplomatis.
Langen mencibir dalam hati. "Gue dateng ke sini bukan buat nyatronin elo. Tenang aja."
"Jadi?" kening Rei mengerut.
"Ehm, kayaknya kalo dari jauh....," Langen menatap puncak gunung jauh di ketinggian, dengan gaya dan mimik meremehkan, "gunung itu hebat! Tinggi, hutannya lebat, berkabut, dingin, banyak binatang buasnya pula. Kayaknya mustahil deh, bisa sampe ke puncaknya. Tapi kalo dari deket begini ternyata......biasa aja! Nggak hebat-hebat amat tuh!"
continue~
Link Bab 6 part 3: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-6-part-3-novel-cewek-by-esti-kinasih_10.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar