Fani tidak tahu berapa lama dia pingsan. Begitu sadar, yang pertama terasa adalah bantal empuk di bawah kepala. Lalu kasur yang juga empuk, dan selimut lembut yang menutupi tubuhnya sampai bahu.
Perlahan dibukanya mata, dan yang pertama menyambut pandangannya adalah Rocky Mountain yang berdiri megah menyangga langit. Puncaknya diselimuti salju. Sementara kaki dan sebagian lerengnya ditutupi hamparan pinus yang berdiri tegak saling merapat. Sebuah danau luas memantulkan kemegahan langit dan dipermukaannya yang tenang.
Fani menikmati pemandangan itu. Pemandangan yang langsung dilukis di dinding tanpa seinci pun ruang polos dibiarkan tersisa. Terasa begitu teduh dan menenangkan. Perhatiannya kemudian beralih ke sisi tembok di samping tempat tidur.
Bunga-bunga edelweis yang telah kering ditempelkan dalam ikatan-ikatan kecil. Direkatkan ke tembok dengan selotip, ditempelkan selembar kecil kertas. Sesaat Fani mengerutkan kening, lalu berguling mendekati dinding dan bangkit dari posisi tidur.
''Hargodalem-Lawu,'' bacanya pelan di kertas kecil di bawah ikatan bunga yang paling pinggir. Di bawah tulisan itu tertulis hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam saat bunga itu dipetik. Tatap matanya kemudian beralih ke ikatan bunga berikutnya. ''Cisalada-Papandayan. Suryakencana-Gede. Ranukumbolo-Semeru. Padang Surayan-Dempo.... Ck, gila! Oke banget pendokumentasiannya!'' Fani berdecak kagum.
Dan setelah terkagum-kagum selama beberapa menit, di ikatan edelweis yang kesekian, mendadak Fani tersadar akan sesuatu.
Edelweis? Gunung?
Tenggorokannya tersekat. Buru-buru dia melompat turun dari tempat tidur. Dan ketika kedua kakinya bergerak mundur beberapa langkah, baru dia tahu bahwa edelweis yang direkatkan di tembok dalam ikatan-ikatan kecil itu ternyata disusun membentuk formasi huruf ''M''.
''M?'' desisnya. Dan seketika dadanya berdegup kencang. ''M'' berari Maranon....'
Kepalanya lalu bergerak liar ke seisi ruangan, dan berhenti di satu titik dengan wajah pucat. Di sana, di sisi tembok yang lain, tersemat dalam bingkai kayu yang artistik dan lumayan besar, terpampang foto diri sang Baginda Maharaja yang bertakhta di kamar itu.
''HAAAA!!!'' Fani menjerit melengking. Tubuhnya tanpa sadar melompat mundur dan tak ayal menabrak rak buku di belakangnya. ''ADUH!!!'' sekali lagi cewek itu menjerit keras saat kepalanya terantuk rak yang terbuat dari batang-batang kayu utuh yang diplitur itu.
Bersamaan dengan jeritan terakhir Fani, pintu terbuka dengan satu entakan keras. Bima menerjang masuk dan berlari menghampiri Fani yang sedang menelungkup di lantai sambil memegangi kepala, lalu berlutut di sebelahnya.
''Ada apa?'' tanya cowok itu cemas.
''Kejedot rak buku!''
''Kok bisa?''
Tiba-tiba Fani melompat berdiri. ''Gue yang mau tanya! Kenapa gue bisa ada di sini!?''
''Trus maunya di mana? Rumah sakit? Kalo cuma pingsan aja mana bisa, lagi? Masuk sana ya harus sakit.''
''Tapi elo kan sakit. Sakit jiwa! Jadi mereka pasti udah langsung tau kalo gue korban elo!''
Seketika Bima ketawa keras. ''Kok begitu ngomongnya? Nggak sopan!''
''Kenapa gue bisa ada di sini? Jawab! Kenapa!?''
''Tadi kamu pingsan di ruang ganti kolam renang, kan? Lupa?''
Fani tertegun. Tapi tak berapa lama dia tersentak.
Sekarang dia ingat lagi. Dia telah menyaksikan..... Bima berbikini!
Ya Tuhan!
Cewek itu bergidik. Kemudian lagi-lagi dia tersentak. Tapi gara-gara itu kan, dia terus pingsan. Padahal dia juga lari berbi.....
Serentak kepalanya menunduk, dan napasnya langsung tersangkut di tenggorokan begitu dilihanya....dirinya telah berpakaian lengkap!
Diangkatnya kepala dan ditatapnya Bima tajam-tajam.
''Kenapa gue jadi pake baju!?'' bentaknya.
Pertanyaan itu membuat Bima tertawa geli. Fani langsung tersadar, kalimatnya tadi sudah salah redaksi. Dan wajahnya kontan merah padam.
''Ng....maksud gue....siapa yang makein gue baju!?'' ralatnya. Tapi tetap dengan nada galak.
''Nggak usah ditanya. Nanti kamu stres,'' jawab Bima halus.
Tapi jawaban Bima itu malah bikin Fani tersentak. Seketika ditutupinya mukanya dengan kedua tangan. Bikini itu punya belahan dada yang benar-benar rendah. Sampai tadi terpaksa ditutupinya bagian dadanua yang terbuka dengan tisu. Tapi tisu bukanlah makhluk bernyawa dan berkepala. Jadi sudah pasti tidak akan punya inisiatif untuk tetap melekat erat di dadanya saat dirinya jatuh pingsan.
Teringat itu, seketika Fani melepaskan kedua tangannya yang menutupi muka lalu melongok ke balik bajunya. Dan sepertinya yang ditakutkannya, tisu itu sudah tidak ada lagi. Gantinya, sehelai slayer merah dengan lambang Maranon, melekat di sana. Dua ujung slayer itu diikatkan di tali-tali bikininya.
''Tisunya basah, trus sobek,'' Bima menjelaskan dengan ekspresi sepolos tampang anak balita. ''Dan karena aku nggak punya tisu, jadi ya terpaksa pake apa yang ada. Kebetulan yang ada cuma slayer Maranon.''
''Kalo udah dipakein baju, kenapa juga lo iketin slayer di bikini gueee!?'' Fani menjerit melengking.
''Kenapa?'' Bima menyipitkan kedua mata hitamnya, berlagak heran dengan pertanyaan Fani itu. ''Karena pasti ada alasan kenapa kamu tutupin pake tisu. Dan setelah tisu itu sobek, aku tau alasannya.'' Bima tersenyum tipis.
Seketika Fani berlari ke arah tempat tidur lalu menjatuhkan diri di tepinya. Dia telungkupkan tubuh di sana, menyembunyikan wajahnya di atas bantal, kemudian terisak-isak dengan sangat menyayat hati, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Rasanya dia ingin teriak. Ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Hancur sudah masa depannya! Pulang dari sini, dia harus mulai mencari-cari tempat yang cocok untuk gantung diri atau terjun bebas!
Dalam berdiri diamnya, Bima menatap Fani dengan sorot lembut. Cowok itu memang senang sekali menggoda ceweknya yang entah nomor keberapa ini. Respons Fani yang selalu meledak-ledak, membuatnya jafi kerajingan menjaili. Tapi ada yang telah terjadi di antara mereka berdua beberapa saat lalu, tak urung jadi membangkitkan kedekatan emosi.
Tiba-tiba Fani mengangkat muka. Dihapusnya air matanya.
''Kenapa sih lo nggak minta tolong sama mbak yang jaga stan makanan di pinggir kolam? Atau sama siapa kek gitu?''
''Apa bedanya sekarang? Aku minta tolong dia atau siapa juga....,'' Bima mengangkat kedua alis tebalnya, ''toh aku sudah ngeliat, kan? Meskipun di balik bikini. Lagi pula....'' Bima menggantung kalimatnya sesaat. Kedua matanya menatap Fani lurus-lurus, kemudian dia lanjutkan kalimatnya dengan nada tandas. ''Underneath your clothes is my territory!'' ucapnya mengikuti lagu Shakira.
Kalimat itu seketika membuat Fani membenamkan wajahnya dibantal. Dan ketika wajah itu kembali terangkat, merahnya sudah lebih merah dari apel yang paling merah.
Perlahan dibukanya mata, dan yang pertama menyambut pandangannya adalah Rocky Mountain yang berdiri megah menyangga langit. Puncaknya diselimuti salju. Sementara kaki dan sebagian lerengnya ditutupi hamparan pinus yang berdiri tegak saling merapat. Sebuah danau luas memantulkan kemegahan langit dan dipermukaannya yang tenang.
Fani menikmati pemandangan itu. Pemandangan yang langsung dilukis di dinding tanpa seinci pun ruang polos dibiarkan tersisa. Terasa begitu teduh dan menenangkan. Perhatiannya kemudian beralih ke sisi tembok di samping tempat tidur.
Bunga-bunga edelweis yang telah kering ditempelkan dalam ikatan-ikatan kecil. Direkatkan ke tembok dengan selotip, ditempelkan selembar kecil kertas. Sesaat Fani mengerutkan kening, lalu berguling mendekati dinding dan bangkit dari posisi tidur.
''Hargodalem-Lawu,'' bacanya pelan di kertas kecil di bawah ikatan bunga yang paling pinggir. Di bawah tulisan itu tertulis hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam saat bunga itu dipetik. Tatap matanya kemudian beralih ke ikatan bunga berikutnya. ''Cisalada-Papandayan. Suryakencana-Gede. Ranukumbolo-Semeru. Padang Surayan-Dempo.... Ck, gila! Oke banget pendokumentasiannya!'' Fani berdecak kagum.
Dan setelah terkagum-kagum selama beberapa menit, di ikatan edelweis yang kesekian, mendadak Fani tersadar akan sesuatu.
Edelweis? Gunung?
Tenggorokannya tersekat. Buru-buru dia melompat turun dari tempat tidur. Dan ketika kedua kakinya bergerak mundur beberapa langkah, baru dia tahu bahwa edelweis yang direkatkan di tembok dalam ikatan-ikatan kecil itu ternyata disusun membentuk formasi huruf ''M''.
''M?'' desisnya. Dan seketika dadanya berdegup kencang. ''M'' berari Maranon....'
Kepalanya lalu bergerak liar ke seisi ruangan, dan berhenti di satu titik dengan wajah pucat. Di sana, di sisi tembok yang lain, tersemat dalam bingkai kayu yang artistik dan lumayan besar, terpampang foto diri sang Baginda Maharaja yang bertakhta di kamar itu.
''HAAAA!!!'' Fani menjerit melengking. Tubuhnya tanpa sadar melompat mundur dan tak ayal menabrak rak buku di belakangnya. ''ADUH!!!'' sekali lagi cewek itu menjerit keras saat kepalanya terantuk rak yang terbuat dari batang-batang kayu utuh yang diplitur itu.
Bersamaan dengan jeritan terakhir Fani, pintu terbuka dengan satu entakan keras. Bima menerjang masuk dan berlari menghampiri Fani yang sedang menelungkup di lantai sambil memegangi kepala, lalu berlutut di sebelahnya.
''Ada apa?'' tanya cowok itu cemas.
''Kejedot rak buku!''
''Kok bisa?''
Tiba-tiba Fani melompat berdiri. ''Gue yang mau tanya! Kenapa gue bisa ada di sini!?''
''Trus maunya di mana? Rumah sakit? Kalo cuma pingsan aja mana bisa, lagi? Masuk sana ya harus sakit.''
''Tapi elo kan sakit. Sakit jiwa! Jadi mereka pasti udah langsung tau kalo gue korban elo!''
Seketika Bima ketawa keras. ''Kok begitu ngomongnya? Nggak sopan!''
''Kenapa gue bisa ada di sini? Jawab! Kenapa!?''
''Tadi kamu pingsan di ruang ganti kolam renang, kan? Lupa?''
Fani tertegun. Tapi tak berapa lama dia tersentak.
Sekarang dia ingat lagi. Dia telah menyaksikan..... Bima berbikini!
Ya Tuhan!
Cewek itu bergidik. Kemudian lagi-lagi dia tersentak. Tapi gara-gara itu kan, dia terus pingsan. Padahal dia juga lari berbi.....
Serentak kepalanya menunduk, dan napasnya langsung tersangkut di tenggorokan begitu dilihanya....dirinya telah berpakaian lengkap!
Diangkatnya kepala dan ditatapnya Bima tajam-tajam.
''Kenapa gue jadi pake baju!?'' bentaknya.
Pertanyaan itu membuat Bima tertawa geli. Fani langsung tersadar, kalimatnya tadi sudah salah redaksi. Dan wajahnya kontan merah padam.
''Ng....maksud gue....siapa yang makein gue baju!?'' ralatnya. Tapi tetap dengan nada galak.
''Nggak usah ditanya. Nanti kamu stres,'' jawab Bima halus.
Tapi jawaban Bima itu malah bikin Fani tersentak. Seketika ditutupinya mukanya dengan kedua tangan. Bikini itu punya belahan dada yang benar-benar rendah. Sampai tadi terpaksa ditutupinya bagian dadanua yang terbuka dengan tisu. Tapi tisu bukanlah makhluk bernyawa dan berkepala. Jadi sudah pasti tidak akan punya inisiatif untuk tetap melekat erat di dadanya saat dirinya jatuh pingsan.
Teringat itu, seketika Fani melepaskan kedua tangannya yang menutupi muka lalu melongok ke balik bajunya. Dan sepertinya yang ditakutkannya, tisu itu sudah tidak ada lagi. Gantinya, sehelai slayer merah dengan lambang Maranon, melekat di sana. Dua ujung slayer itu diikatkan di tali-tali bikininya.
''Tisunya basah, trus sobek,'' Bima menjelaskan dengan ekspresi sepolos tampang anak balita. ''Dan karena aku nggak punya tisu, jadi ya terpaksa pake apa yang ada. Kebetulan yang ada cuma slayer Maranon.''
''Kalo udah dipakein baju, kenapa juga lo iketin slayer di bikini gueee!?'' Fani menjerit melengking.
''Kenapa?'' Bima menyipitkan kedua mata hitamnya, berlagak heran dengan pertanyaan Fani itu. ''Karena pasti ada alasan kenapa kamu tutupin pake tisu. Dan setelah tisu itu sobek, aku tau alasannya.'' Bima tersenyum tipis.
Seketika Fani berlari ke arah tempat tidur lalu menjatuhkan diri di tepinya. Dia telungkupkan tubuh di sana, menyembunyikan wajahnya di atas bantal, kemudian terisak-isak dengan sangat menyayat hati, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Rasanya dia ingin teriak. Ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Hancur sudah masa depannya! Pulang dari sini, dia harus mulai mencari-cari tempat yang cocok untuk gantung diri atau terjun bebas!
Dalam berdiri diamnya, Bima menatap Fani dengan sorot lembut. Cowok itu memang senang sekali menggoda ceweknya yang entah nomor keberapa ini. Respons Fani yang selalu meledak-ledak, membuatnya jafi kerajingan menjaili. Tapi ada yang telah terjadi di antara mereka berdua beberapa saat lalu, tak urung jadi membangkitkan kedekatan emosi.
Tiba-tiba Fani mengangkat muka. Dihapusnya air matanya.
''Kenapa sih lo nggak minta tolong sama mbak yang jaga stan makanan di pinggir kolam? Atau sama siapa kek gitu?''
''Apa bedanya sekarang? Aku minta tolong dia atau siapa juga....,'' Bima mengangkat kedua alis tebalnya, ''toh aku sudah ngeliat, kan? Meskipun di balik bikini. Lagi pula....'' Bima menggantung kalimatnya sesaat. Kedua matanya menatap Fani lurus-lurus, kemudian dia lanjutkan kalimatnya dengan nada tandas. ''Underneath your clothes is my territory!'' ucapnya mengikuti lagu Shakira.
Kalimat itu seketika membuat Fani membenamkan wajahnya dibantal. Dan ketika wajah itu kembali terangkat, merahnya sudah lebih merah dari apel yang paling merah.
''Trus lo apain gue?'' tanyanya pelan. Pasrah sudah.
''Nggak diapa-apain....'' Bima tetap meneruskan godaannya. ''Cuma dipakein baju.''
''Nggak mungkin! Lo kan tukang memanfaatkan kesempatan!"
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar