Minggu, 09 Maret 2014

Bab 5 part 5 novel cewek!!! by esti kinasih

Sementara di antara Rei dan Langen tidak ada yang terselesaikan. Langen langsung tutup mulut rapat-rapat begitu sadar Rei akan berusaha bagaimanapun caranya agar Carstenz Pyramid itu tidak terlepas dari tangan. Kalau sudah begitu, percuma berdebat, percuma ngotot.

Yang paling parah Rangga. Dia masih menganggap Febi itu kaum aristokrat yang telat lahir. Yang seperti hari-hari kemarin, masih bisa diajak bicara tentang kereta kuda sementara di atas kepala melintas Concorde. Apalagi alam yang biasanya tunduk dan patuh di tempat Febi lahir dan tumbuh besar, telah memberi bukti pertama. Kasus Ratih!

Soalnya, meskipun cewek misterius sialan itu sudah membuat Rangga terpaksa membuka cerita tersembunyi apalagi Ratih-nya muncul di kampus ternyata tetap tidak berbuntut runyam. Febi tetap iya dan nrimo. Cewek itu tidak sanggup melotot seperti Langen, atau teriak-teriak menuntut penjelasan, apalagi berani menuduh omongan Rangga bohong!

Bisa mendapatkan cewek model Raden Ajeng Febriani di zaman yang sudah kelewat maju dan marak usaha feminisme di sana-sini begini, memang benar-benar anugerah. Makanya Rangga tidak menyesal melepas Ratih. Meskipun sebelumnya sempat ''memadu'' mereka tanpa salah satu dari kedua gadis itu tahu.

Rangga tidak tahu, sejak peristiwa itu, diam-diam Febi sudah tidak memakai ajaran surga nunut neraka katut (kesurga ikut ke neraka pun ikut) lagi. Telinganya tidak lagi menampung semua omongan tanpa disaring. Dan cewek itu juga mulai ogah bercita-cita jadi kanca wingking (perempuan cuma menjadi teman di belakang) kaum pria, seperti ajaran turun-temurun.

Pantas saja waktu baru kenal, Langen dan Fani menatapmya seolah-olah dia baru saja datang dari galaksi lain!

***

Lagi-lagi Iwan yang jadi tempat mengadu. Ketiga cewek itu langsung kabur ke sana begitu jebakan yang sudah mereka pasang susah-susah, bukannya mendapatkan mangsa, malah mereka sendiri yang dikejutkan surprise Jayawijaya.

"Mau ke Jayawijaya?" Iwan terperangah. "Ninggalin kuliah, gitu? Gila!"
"Bukan sekarang ke sananya. Nanti libur semesteran. Tapi kelihatannya udah dimulai dari minggu ini. Tiap Sabtu-Minggu. Tiap hari libur malah. Sebel!" Langen mengentakkan kaki keras-keras. "Emang Jayawijaya itu hebat banget ya, Wan?"
"Carstenz Pyramid itu bukan cuma lambang supremasi pendakian gunung di Indonesia, La. Tapi juga dunia! Carstenz salah satu dari tujuh puncak tertinggi dunia. Bersalju abadi, dan lo tau sendiri gimana kondisi alamnya. Liar. Belom penduduk aslinya, lo tau sendiri gimana, kan? Bisa ke sana emang.....hebat!"

Mata-mata di depannya langsung jadi lebar dan menyorot tajam, membuat Iwan langsung sadar bahwa dia sudah salah ngomong.

"Tapi biar gimana....," ralatnya buru-buru, "Ini tetep udah kelewatan! Apa sih hebatnya Carstenz Pyramid yang cuma lima ribuan, dibanding Everest yang hampir sembilan ribu. Iya, nggak? Lagi pula kalo gue jadi mereka, pacar kudu dilibatin! Buat tambah support. Sekali-sekali diajak ikut latihan, kan asyik. Betul, nggak?"
"Iya, gitu maksud gue!" Langen mengangguk. "Sekali-sekali kami diajak kek!"

Ekspresi wajah-wajah di depannya langsung bersahabat lagi. Diam-diam Iwan menarik napas lega. Hampiiiir saja! Dalam hati dia nyengir. Ke Carstenz? Siapa yang nggak bakalan ngiler kalau ditawari ke sana....?

Sebuah Escudo biru metalik meluncur masuk halaman. Tiga kepala kemudian nongol di pintu. Yudhi, Evan, dan Rizal.
"Lho? Kok pada cemberut? Ada apa? Ada apa?" tanya Yudhi sambil buru-buru masuk.
"Gagal!" Iwan yang menjawab.
"Maksudnya?"
"Rencana mereka gagal. Theo mana?"
"Disuruh nyokapnya. Nggak tau ke mana. Pagi-pagi dia udah berangkat," jawab Evan sambil mendekati Langen. "Ada apa sih, La? Kenapa nggak jadi unjuk rasa?"
"Udah keduluan!" Fani yang menjawab. Evam langsung balik badan. Menatap satu-satunya cewek yang masih terlihat santai itu. "Cowok tiga itu ternyata udah punya rencana yang lebih canggih lagi. Mereka mau ke Carstenz!"
"WUIH!!!" Evan, Yudhi, dan Rizal terpana.
"Dan sekarang mereka nggak punya waktu lagi. Sibuk berat. Setiap ada hari libur kudu dipake buat latihan!"
"Oh, gitu?" Yudhi manggut-manggut. "Kelewatan juga mereka!"
"Jadi gimana sekarang?" tanya Rizal. "Nggak jadi dong?" pertanyaannya itu membuat Langen dan Febi jadi tambah cemberut lagi. Iwan jadi kasihan melihatnya.
"Begini aja deh," katanya setelah beberapa saat berpikir mencari jalan keluar. "Kita tantangin mereka bertiga..... Kebut gunung!"

Teman-temannya langsung kaget. Sementara Langen cs menatap bingung.
"Apaan tuh kebut gunung?" tanya Langen.
"Dulu-duluan sampe puncak," jawab Yudhi. Langsung kedua alis Langen bertaut.
"Mana bisa, lagi! Mereka kan naek gunung udah kayak joging!"
"Pake taktik dong. Kalo naek kayak biasa ya jelas nggak mungkinlah."
"Taktik apa? Taktik apa?" seru Langen seketika. "Kira-kira bisa menang nggak?"
"Bisa banget!"
"Wah! Taktik apa, Wan? Kasih tau dong! Cepet!" jeritnya.
"Kita potong kompas! Jadi begini, dulu gue pernah buka jalur-jalur baru. Medannya berat, bertebing. Sengaja kita pilih begitu supaya cepet, di samping buat latihan juga. Cuma masalahnya....." Dia menoleh ke teman-temannya. "Jalur itu masih ada nggak, ya? Soalnya udah lama dan waktu itu kita cuma nebas semak seperlunya."
"Kita liat dari peta aja," kata Yudhi.
"Petanya masih ada?"
"Ada di Theo."
"Bagus!" Iwan menjentikkan jari. "Sebentar gue telepon dia. Barangkali udah pulang." Dia berdiri dan berjalan ke dalam. Tergopoh-gopoh Theo datang seperempat jam kemudian. Soalnya di telepon Iwan mengatakan ada masalah gawat.
"Ada apa!? Ada apa!" serunya sambil menerjang pintu, dan langsung terbang ke hadapan Langen, Fani, dan Febi.

"Eh! Eh! Ke sini!" Yudhi menyambar tangan cowok botak itu dan menariknya bergabung dengan teman-temannya. "Mana petanya?" Theo menyerahkan gulungan peta di tangan kirinya lalu balik badan. "Mau ke mana sih? Di sini, tau!" Kembali Yudhi menarik tangan Theo.

Theo melotot kesal. "Gue mau tanya mereka, ada apa? Lo nggak liat mukanya pada sedih?"
"Ada masalah! Udah deh, lo nggak usah sok ngasih perhatian. Dateng paling belakang juga!" dengan paksa Yudhi mendudukkan Theo di salah satu kursi yang kosong. "Duduk sini! Perhatiin tuh peta! Udah, nggak usah nengok-nengok!"

Theo mendecakkan lidah. "Ah, sirik aja lo!" Dengan dongkol akhirnya ia duduk juga. Sambil menyeringai, Yudhi lalu duduk di sebelahnya. Kelima cowok itu lalu berunding dengan suara pelan. Dua puluh menit kemudian Iwan bangkit berdiri.

"Jadi begini....," katanya sambil membentangkan peta itu di meja di depan Langen cs. "Lo bertiga bener-bener mesti nyiapin fisik. Sabtu besok kita datengin mereka, dan kita tantang.....kebut gunung!"


continue~ 

Link Bab 6 part 1: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-6-part-1-novel-cewek-by-esti-kinasih_10.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar