Sabtu, 15 Maret 2014

Bab 21 part 1 novel cewek!!! by esti kinasih


VIRGO
Keuangan: Sebaiknya Mulai Berhemat
Asmara: Berdebar-Debar
Hari Sial: Kamis

Biasanya Fani tidak pernah peduli ramalan bintang. Sama sekali! Tapi saat majalah itu datang pagi tadi, entah kenapa mendadak dia iseng ingin membaca. Cuma iseng. Makanya isi ramalan itu sama sekali tidak memengaruhinya.

Soalnya bagian pertamanya, ''Keuangan: Sebaiknya mulai berhemat'', itu saja sudah sangat tidak benar. Bukannya sombong, tapi Fani memang tidak pernah merasa harus berhemat. Wong papa-mamanya kerja. Sudah begitu, dia juga tidak punya saudara. Jadi otomatis selalu banjir uang. Yaaa, satu bulan tidak sampai satu miliar sih. Tapi pasti selalu ada deh. Jadi sama sekali tidak perlu berhemat.

Sedangkan ''Asmara'' tidak perlu diperhatikan karena dia tidak sedang kasmaran. Jadi kesimpulannya masih tetap sama seperti kemarin-kemarin. Ramalan bintang itu bullshit!

Tapi giliran ''Hari sial'', deh, ternyata benar-benar jadi kenyataan. Langsung besoknya, lagi! Tidak tunggu Kamis minggu depan, atau Kamis minggu depannya lagi.

Pagi-pagi Bima mendadak muncul di teras rumah Fani!
Diulang...... Bima mendadak muncul di teras rumah Fani!!!
''Hai.''
Sapaam cowok itu___tetap seperti biasa, lembut dan mesra___seketika menyadarkan Fani dari keterpanaan. Fani seketika sadar dirinya berada dalam bahaya besar. Buru-buru cewek itu mengayunkan daun pintu. Tapi Bima lebih cepat bergerak. Satu tangannya segera menahan pintu agar tidak tertutup, sementara tangannya yang lain merangkul pundak Fani. Dan sebelum Fani bisa menyadari apa yang sedang terjadi, dia telah terduduk dia salah satu sofa di ruang tamunya sendiri. Terkurung dalam rentangan kedua tangan Bima sementara cowok itu membungkuk rendah-rendah di depannya.
Dan interogasi langsung dimulai!
''Lewat mana, Fan?''
''Lewat mana apa?'' tanya Fani. Mencoba terlihat gagah, tidak gentar.

Sepasang mata tajam Bima menikam lurus kedua bola mata cokelat Fani yang memancarkan ketakutan.
''Aku nggak lagi bercanda. Jadi jangan main-main!''
''Aku nggak ngerti maksud kamu. Bener! Lewat mana ke mana? Ke kampus apa ke mana?'' Fani mencoba berkelit, meskipun dengan sisa-sisa keberanian.

Tanpa tatap tajamnya beralih, tangan kanan Bima merogoh salah satu kantong kemejanya. Setangkau kecil edelweis kering muncul dari sana. Fani terkesiap. Tapi buru-buru diubahnya air mukanya. Selama Bima tidak ngomong langsung ''kebut gunung'', biarpun di depannya diletakkan sekarung edelweis, dia akan terus berpura-pura tidak mengerti apa maksud pertanyaan cowok itu.

Bunga gunung itu kemudian diletakkan Bima lurus di arah pandang mata Fani, hingga cewek itu tidak mungkin mengelak dengan pura-pura tidak melihat.
''Kamu metik ini juga di sana?''
Aduh! Desis Fani dalam hati. Kalo pertanyaannya begini sih susah ngelesnya!
''Di.....di.....''
''Di kampus!'' tandas Bima.
''Ng....gue, eh, aku nggak suka metik-metik bunga!''
Sedikit senyum muncul di bibir Bima.
''Good! Berarti kamu udah ngerti tempat yang aku maksud! Mau kusebut kampus kek, malm bioskop, kafe, terserah!'' ditepuknya sebelah pipi Fani. ''Kamu boleh muter ke mana aja kamu mau, sayang.''

Aduuuh, bego amat sih gue! Jerit Fani dalam hati. Sementara itu Ijah berdiri di ambang pintu dengan kemoceng di tangan. Siap berjinaku kalau majikannya itu nanti diapa-apakan.
''Tapi itu kita jadiin pertanyaan terakhir. Yang aku bener-bener pengen tau....,'' Bima diam sejenak, ''gimana caranya kamu bisa kenal kelima cowok itu?''
Deg! Muka Fani langsung putih! Bima menikmati sinar ketakutan yang terpancar dari kedua bola mata Fani.
''Ng....co....wok....yang....''
''Yang di gunung!'' tegas Bima. ''Iwan, Evan, Theo, Yudhi, Rizal!''
Fani makin memucat. Gila! Dia inget semua namanya!
''Mmm....'' Fani menggigit bibir. Kacau banget nih!
''Temen waktu SMA?'' Bima membantu tawanannya menemukan jawaban.

Beruntung di detik-detik membahayakan itu, dewi penyelamat datang dan langsung melancarkan serangan. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, Ijah memukul punggung Bima dengan kemoceng sekuat-kuatnya.
''AAKH!!!'' Bima berteriak keras.
''Kalo di sini jangan macem-macem ya!'' bentak Ijah galak. ''Lepasin Non saya atau sampeyan saya laporin polisi!?''

Begitu Bima melepaskan kurungannya dan berbalik menghadap Ijah, Fani langsung melejit dari kursi eksekusinya. Dia lari pontang-panting ke belakang punggung Ijah lalu merunduk di sana. Bima menegakkan badan dan perlahan menghampiri keduanya.
''Jah! Tolongin gue, Jah!'' Fani mencengkeram satu tangan Ijah kuat-kuat.
''Jangan takut, Non!'' kata Ijah gagah. Diacung-acungkannya kemoceng ke arah Bima dengan sikap mengancam.
''Jadi kamu nantangin saya, Jah?'' Bima menggulung kedua lengan kemejanya. Melihat tangan-tangan yang nyaris sebesar batang pohon mangga di halaman rumah, mental Ijah langsung down.
''Ng.....nggak kok, Mas! Nggak!'' gelengnya gagap.
''Kalo nggak, cepat menyingkir!'' perintah Bima.
''Non saya....orangnya ba....baik kok, Mas.''
''Emangnya siapa yang bilang Non kamu nggak baik?''
''Tapi....tapi kok dimacem-macemin?''

Bima menghela napas. Tampang orangutannya kemudian dibuatnya menjadi sediiih sekali.
''Soalnya Non kamu mau mutusin saya, Jah. Gimana saya nggak kalap, coba?''

Ijah kaget. Fani ternganga. Ijah balik badan dan langsung mengecam Fani dengan keras. ''Non kok begitu sih? Emangnya Mas Genderuwo salahnya apa?''

Mas Genderuwo? Bima melongo. Tapi sedetik kemudian dia tidak peduli. Sudah biasa. Bulu tubuhnya yang lebat memang sering membuat orang memberinya julukan macam-macam.

''Yang kamu liat saya orangnya kasar, sadis, jahat. Tapi itu karena saya frustasi, Jah. Saya cinta sekali sama Non kamu. Tapi dia nggak cinta sama saya. Malah Non kamu ini sering bilang, katanya dia benci sekali sama saya. Gimana saya nggak jadi nelangsa, coba? Gimana hati saya nggak jadi sedih? Kamu tau nggak, Jah? Non kamu itu nggak pernah nelepon saya. Satu kali pun! Saya terus yang nelepon ke sini. Kalo saya tanya 'kenapa sih kamu nggak pernah nelepon? Sekali-sekali kek''. Tau nggak Bon kamu ini jawab apa?''
''Jawab apa dia, Mas?'' tanya Ijah. Nada galak dan mengancam dalam suaranya tadi kontan berubah menjadi nada iba dan simpati.
''Nggak butuh!'' Begitu katanya, Jah. Sedih sekali hati saya, kan?''

Mulut Ijah kontan mangap. Mulut Fani, jangan ditanya, dari tadi malah belum menutup. Ijah langsung mengecam Fani. Dengan keras, lagi!
''Non kenapa begitu sih? Kasian kan Mas Genderuwo! Orang telepon tinggal angkat! Deket. Tuh, di pojok! Nggak mesti jalan ke wartel. Lagian Non Fani kan juga punya HP. Telepon kek gitu sebentaran. Jangan begitu dong! Itu namanya nggak tau diri!''
''Hah? Ee...i...'' Melihat keadaan yang berbalik begitu cepat, Fani jadi a-a-u-u.

Bima tertawa tanpa suara. Tapi langsung ditutupnya mulutnya begitu Ijah balik badan, diteruskannya ''jeritan batin''-nya yang memilukan itu.
''Terus, Non kamu ini juga nggak pernah mau saya ajak ke rumah saya, Jah. Kamu tau nggak, apa katanya?''
''Nggak. Apa katanya, Mas? Dia bilang apa?'' tanya Ijah seketika.



continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar