Febi yang paling bersemangat, karena bagi dia, Langen dan Fani memang membawa percerahan dalam ritme hidupnya yang membosankan dan penuh peraturan.
''Lo berdua tumben ancur gini?''
Dua orang di depannya kontan meringis, tidak punya jawaban pas.
''Ganti penampilan aja, Feb,'' jawab Langen, yang lalu berbisik di telinga Febi. ''Temen lo lebih parah lagi tuh. Kayak yang ada di foto-foto di buku Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia.''
Febi ketawa geli. ''Eh, iya. Kenalin nih temen gue. Fiona.''
Sepasang alis Langen dan Fani kontan terangkat tinggi-tinggi. Duileeeh, keren banget si Salsha ganti namanya!
Salsha maju ke hadapan mantan teman-teman sekelasnya saat kelas satu SMA itu. Dia ulurkan tangan kanannya. ''Fiona,'' ucapnya ramah dan santun.
Wig hitam kepang satu, dahi terbuka lebar-lebar, dan keseluruhan penampilan Salsha yang seperti ABG era tujuh puluhan, membuat Langen jadi tergagap membalas sapaannya. Sementara Fani menyambut uluran tangan Salsha, lalu menyebutkan namanya sambil garuk-garuk kepala.
''Jadi cerita sebenernya gimana, La? Masalahnya, gosip yang gue denger heboh banget. Parah, tau nggak?''
''Gue sama Fani dijebak, Feb. Rapi banget....''
''Maaf,'' Salsha menyela. ''Gue mau liat-liat Pasar Festival dulu, Feb,'' katanya. Pura-pura tidak enak dengan pembicaraan itu.
''Oh, iya. Iya,'' jawab Febi cepat. ''Tau jalannya, kan?''
''Tau.''
''Tapi jangan sampe ketauan sopir aku kalau kamu jalan sendirian ya, Fio? Bahaya soalnya.''
''Iya. Aku mengerti sekali masalah kamu.'' Salsha menampilkan ekspresi simpati, membuat Langen dan Fani menggigit bibir menahan cengiran.
''Eh, sebentar....'' Febi merogoh salah satu saku celana panjangnya. Mengeluarkan selembar uang, lalu mengangsurkannya pada Salsha. ''Barangkali ada yang pengen kamu beli di sana nanti.'' 'sha berlagak tidak enak dan pura-pura menolak. Tapi Febi menjejalkan uang itu ke dalam genggamannya.
Gile, asyik amat! Berapa tuh? Langen menjulurkan lehernya, ingin tahu.
Begitu Febi balik badan, Salsha menjawab keingintahuan Langen dengan cengiran lebar. Dia melambai-lambaikan lembaran seratus ribu di tangannya, lalu balik badan dan pergi dengan riang.
''Temen lo dari Jawa ya, Feb?'' pancing Langen. Dia penasaran, bagaimana caranya Salsha bisa mengeluarkan Febi dari kurungan dengan begitu cepat.
''Bukan. Gila lo. Biar di Jawa, temen-temen gue nggak parah gitu, lagi. Nggak tau tuh. Tau-tau nongol di rumah. Katanya dia mahasiswi fakultas apa, gitu. Lagi nyusun makalan soal kerajaan-kerajaan kuno di Pulau Jawa dan....apa sih dia ngomongnya kemaren? Lupa gue. Biasanya sih dia lebih sering ngobrol sama Ibu atau Kangmas Pram. Liat tampangnya aja, gue udah males. Ini terpaksa aja gue ajak dia. Apa boleh buat, daripada sendirian. Boring banget, tau nggak? Nggak ada lo berdua, nggak seru!''
Langen dan Fani meringis bersamaan. Tak lama kemudian ketiganya tenggelam dalam pembicaraan serius.
''Jadi gitu ceritanya?'' bibir Febi mengerucut dan kepalanya mengangguk-angguk. ''Gini aja deh. Lo berdua ikut gue ke kampus. Gue bersihin nama lo, La. Dan kita liat.....bisa apa mereka!?''
***
Efektif!
Dengan darah biru kental yang ditandai sederet gelar kebangsawanan juga dengan sikap serta tingkah laku yang berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan, Febi benar-benar menjadi perisai Langen yang sakti.
Tidak ada yang berniat membantah saat Febi meluruskan gosip itu. Bahwa itu sama sekali tidak benar. Langen tidak mengikuti Rei masuk ke toilet. Cewek itu cuma menunggu di luar. Di lorong. Bersama dirinya!
''Ada yang nggak percaya, gue ada sama Langen waktu itu?'' tantangnya di depan sekelompok orang.
''Tapi nggak ada saksi yang ngeliat lo berdua Langen waktu itu,'' bantah seseorang.
''Nggak ada saksi juga, yang ngeliat gue nggak ada di sana waktu itu!'' tandas Febi.
''Tapi.....''
''Pake otak! Kalo dia mau begitu, ngapain di kampus? Dia temen gue. Dan gue nggak suka bergaul sama orang yang kelakuannya nggak bener!''
***
Lima hari setelah gosip panas itu mereda berkat campur tangan Febi, di ruang kelasnya di Fakultas Perminyakan, Rei sedang tertawa terbahak-bahak. Dia benar-benar geli, sampai kedua matanya jadi merah dan berair. Setelah tawanya reda, ditatapnya kedua sahabatnya bergantian.
''Kita kalah!''
Tidak satu pun dari keduanya bisa membantah, membuat Rei jadi terbahak-bahak lagi.
''Suka tidak suka, terima tidak terima, kenyataannya...... Kita kalah!''
''Lo berdua tumben ancur gini?''
Dua orang di depannya kontan meringis, tidak punya jawaban pas.
''Ganti penampilan aja, Feb,'' jawab Langen, yang lalu berbisik di telinga Febi. ''Temen lo lebih parah lagi tuh. Kayak yang ada di foto-foto di buku Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia.''
Febi ketawa geli. ''Eh, iya. Kenalin nih temen gue. Fiona.''
Sepasang alis Langen dan Fani kontan terangkat tinggi-tinggi. Duileeeh, keren banget si Salsha ganti namanya!
Salsha maju ke hadapan mantan teman-teman sekelasnya saat kelas satu SMA itu. Dia ulurkan tangan kanannya. ''Fiona,'' ucapnya ramah dan santun.
Wig hitam kepang satu, dahi terbuka lebar-lebar, dan keseluruhan penampilan Salsha yang seperti ABG era tujuh puluhan, membuat Langen jadi tergagap membalas sapaannya. Sementara Fani menyambut uluran tangan Salsha, lalu menyebutkan namanya sambil garuk-garuk kepala.
''Jadi cerita sebenernya gimana, La? Masalahnya, gosip yang gue denger heboh banget. Parah, tau nggak?''
''Gue sama Fani dijebak, Feb. Rapi banget....''
''Maaf,'' Salsha menyela. ''Gue mau liat-liat Pasar Festival dulu, Feb,'' katanya. Pura-pura tidak enak dengan pembicaraan itu.
''Oh, iya. Iya,'' jawab Febi cepat. ''Tau jalannya, kan?''
''Tau.''
''Tapi jangan sampe ketauan sopir aku kalau kamu jalan sendirian ya, Fio? Bahaya soalnya.''
''Iya. Aku mengerti sekali masalah kamu.'' Salsha menampilkan ekspresi simpati, membuat Langen dan Fani menggigit bibir menahan cengiran.
''Eh, sebentar....'' Febi merogoh salah satu saku celana panjangnya. Mengeluarkan selembar uang, lalu mengangsurkannya pada Salsha. ''Barangkali ada yang pengen kamu beli di sana nanti.'' 'sha berlagak tidak enak dan pura-pura menolak. Tapi Febi menjejalkan uang itu ke dalam genggamannya.
Gile, asyik amat! Berapa tuh? Langen menjulurkan lehernya, ingin tahu.
Begitu Febi balik badan, Salsha menjawab keingintahuan Langen dengan cengiran lebar. Dia melambai-lambaikan lembaran seratus ribu di tangannya, lalu balik badan dan pergi dengan riang.
''Temen lo dari Jawa ya, Feb?'' pancing Langen. Dia penasaran, bagaimana caranya Salsha bisa mengeluarkan Febi dari kurungan dengan begitu cepat.
''Bukan. Gila lo. Biar di Jawa, temen-temen gue nggak parah gitu, lagi. Nggak tau tuh. Tau-tau nongol di rumah. Katanya dia mahasiswi fakultas apa, gitu. Lagi nyusun makalan soal kerajaan-kerajaan kuno di Pulau Jawa dan....apa sih dia ngomongnya kemaren? Lupa gue. Biasanya sih dia lebih sering ngobrol sama Ibu atau Kangmas Pram. Liat tampangnya aja, gue udah males. Ini terpaksa aja gue ajak dia. Apa boleh buat, daripada sendirian. Boring banget, tau nggak? Nggak ada lo berdua, nggak seru!''
Langen dan Fani meringis bersamaan. Tak lama kemudian ketiganya tenggelam dalam pembicaraan serius.
''Jadi gitu ceritanya?'' bibir Febi mengerucut dan kepalanya mengangguk-angguk. ''Gini aja deh. Lo berdua ikut gue ke kampus. Gue bersihin nama lo, La. Dan kita liat.....bisa apa mereka!?''
***
Efektif!
Dengan darah biru kental yang ditandai sederet gelar kebangsawanan juga dengan sikap serta tingkah laku yang berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan, Febi benar-benar menjadi perisai Langen yang sakti.
Tidak ada yang berniat membantah saat Febi meluruskan gosip itu. Bahwa itu sama sekali tidak benar. Langen tidak mengikuti Rei masuk ke toilet. Cewek itu cuma menunggu di luar. Di lorong. Bersama dirinya!
''Ada yang nggak percaya, gue ada sama Langen waktu itu?'' tantangnya di depan sekelompok orang.
''Tapi nggak ada saksi yang ngeliat lo berdua Langen waktu itu,'' bantah seseorang.
''Nggak ada saksi juga, yang ngeliat gue nggak ada di sana waktu itu!'' tandas Febi.
''Tapi.....''
''Pake otak! Kalo dia mau begitu, ngapain di kampus? Dia temen gue. Dan gue nggak suka bergaul sama orang yang kelakuannya nggak bener!''
***
Lima hari setelah gosip panas itu mereda berkat campur tangan Febi, di ruang kelasnya di Fakultas Perminyakan, Rei sedang tertawa terbahak-bahak. Dia benar-benar geli, sampai kedua matanya jadi merah dan berair. Setelah tawanya reda, ditatapnya kedua sahabatnya bergantian.
''Kita kalah!''
Tidak satu pun dari keduanya bisa membantah, membuat Rei jadi terbahak-bahak lagi.
''Suka tidak suka, terima tidak terima, kenyataannya...... Kita kalah!''
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar