Rei tersenyum. Ditariknya sebuah kursi tepat di hadapan Langen. Sesaat kemudian ditariknya napas panjang-panjang lalu berbicara dengan nada yang begitu lembut.
''La, kalo kamu mau ngomong jujur, terus terang, aku akan menganggap semua nggak pernah terjadi. Selesai sampai di sini.''
Nah, ini! Langen berdecak dalam hati. Mister No Guilty ini ternyata masih belum sadar juga bahwa dialah sumber persoalan. Masih menyuruh orang lain mengaku salah sementara dia tetap menganggap dirinya bersih.
''Cukup satu. Lewat mana. Itu aja,'' desak Rei.
Soalnya, satu pertanyaan itu saja memang sudah cukup. Dengan melihat medan yang ditempuh ketiga cewek itu, sudah bida dikira-kira ada berapa orang yang mem-backup aksi kebut gunung itu, juga berapa lama latihan fisik mereka sebelum itu. Jadi bisa dikira-kira pula sudah berapa lama para mysterious guys itu eksis secara diam-diam.
tapi Langen bukan cewek tolol. Dia tahu, jawaban untuk satu pertanyaan itu akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut tanpa Rei harus bertanya lebih lanjut.
''Gue nggak akan ngasih jawaban apa-apa!''
''La, tolong. Jangan dijadiin parah kalo sebenernya bisa kita selesaikan.''
Langen menatap mantan cowoknya itu lurus-lurus. Dia juga mau ini diselesaikan. Tapi ada yang ditunggunya. Rei harus minta maaf untuk tiga gelas bir yang terpaksa harus ditenggaknya malam itu. Tapi jawaban untuk permintaan Langen itu ternyata malah bertolak belakang. Dengan tenang Rei malah mengatakan itu bukan soal.
''Soal kita minum malem itu, La....,'' Rei menarik napas, ''aku sebenernya keberatan. Tapi kalo kamu emang udah biasa minum, kebiasaan itu bisa diilangin pelan-pelan. Nggak bagus cewek minum-minum....''
Langen kontan terpana. Wah, emang bener-bener kurang ajar nih orang!
''Nanti aku bantu,'' bisik Rei lembut. ''Dan rahasia ini nggak akan bocor. Aku jamin!''
''Kita putus!'' tegas Langen tiba-tiba.
Rei terperangah.
''Langen! Kenapa sih kamu! Aku udah dateng baik-baik, kamu malah....''
''Kita putus! Bubar! Selesai!'' tandas Langen dengan suara fatal. ''Gue perjelas sekali lagi kalo lo masih belom ngerti!''
Rei jadi emosi. Harga dirinya serasa benar-benar terbanting. Cewek bukan cuma Langen!
Cowok itu berdiri. Ditatapnya mantan ceweknya dengan pandangan dingin.
''Gue juga nggak mau punya cewek peminum. Alkoholik! Bikin malu dan cuma cari penyakit!''
Ganti Langen terperangah!
***
Ternyata hanya emosi sesaat. Malamnya Rei drop total!
Dia tidak bisa lagi berkelit begitu tinggal sendirian dan foto Langen di meja sudut kamar memperparah keasaan. Dikeluarkannya foto itu dan digantinya dengan gambar Britney Spears yang dirobeknya dari sampul majalah milik adiknya. Tapi kecantikan sang diva dunia itu ternyata tidak sanggup menggeser dominasi sang mantan.
Langen tetap ada di sana. Di dalam kepala dam terproyeksi abstrak di fokus mata. Dan yang menyaksikan kejatuhan Rei itu sudah pasti sobatnya sejak masih sama-sama balita. Yang terpaksa membawanya ke gunung di tengah malam buta. Membiarkan Rei berteriak sekeras dia bisa. Membiarkan tubuhnya menggigil dipeluk dingin. Membiarkannya hampir membeku karena berjalan menyusuri tepian sungai.
''Nggak akan gue lepas dia, Bim!''
''Dia udah lepas!'' jawab Bima. Tenang tapi tandas, menyebabkan Rei sesaat membeku di tempat tapi kemudian berteriak dengan volume suara gila-gilaan.
''DIA NGGAK AKAN GUE LEPAS!!!''
Di kamar Fani ada pemandangan yang hampir sama. Langen broken akut. Cinta pertama! Awalnya so sweet banget. Indah, romantis. Tapi ending-nya bikin kepala dan dada mendidih!
Dan yang menyaksikan kejatuhan Langen itu sudah pasti sahabatnya yang hampir setiap hari selalu bersama. Fani jadu bingung memberikan reaksi, karena Langen tertawa, menangis, pasrah, lega, sedih juga emosi, di detik yang hampir sama.
''Elo balik aja kalo gitu,'' saran Fani akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya Langen mengatakan bahwa dia sebenarnya masih cinta Rei.
Tapi berikutnya Langen langsung melotot dan bicara dengan suara keras, nyaris teriak, ''NGGAK AKAN! GUE SAKIT HATI!''
***
Rei, yang ingin mantan ceweknya kembali, kemudian memaksa kedua sahabatnya untuk memeti-eskan keinginan mereka menemukan rekayasa di balik tindakan unjuk rasa Langen cs. Sebagai gantinya, mereka justru melibatkan ketiga cewek itu dalam kegiatan-kegiatan mereka di Maranon.
Bima langsung menolak mentah-mentah usul Rei itu. Soalnya menurut Bima, apa yang telah dilakukan Langen cs sudah merupakan penghinaan terhadap penciptaan Adam!
Sementara Rangga memilih tidak ikut campur. Dia melihat ini lebih menjurus kepada pertengkaran dua sahabat lama. Rei dan Bima memang sudah bersama-sama sejak mereka masih belum bisa pakai celana. Sementara Rangga baru mengenal keduanya sewaktu satu jurusan di SMA, dan baru benar-benar akrab setelah satu kampus dan sefakultas pula.
Di depan mata Rangga perdebatan itu lalu berlangsung alot dan panas. Rei sedang patah hati parah, sampai berteriak-teriak dan memukuli meja. Tapi akhirnya cowok itu berhasil mengendalikan emosinya. Ditariknya napas panjang-panjang. Agak malu juga sebenarnya, kalap gara-gara cewek.
''Apa sih yang lo takutin?'' Rei bertanya dengan suara yang telah berubah tenang. ''Fani nggak bakalan peduli sama elo! Lo mau meluk Stella kek, Nuke, Lia, atau Siska. Siapa pun! Lo peluk semua sekaligus juga, gue rasa Fani tetep masa bodo!''
Ganti ketenangan Bima yang hilang.
''Sialan!'' desisnya. ''Ini masalah pribadi, Rei. Kenapa jadi ngelibatin organisasi?''
''Jawab aja pertanyaan gue. Apa yang lo takutin? Kenyataan ada cewek yang menganggap lo bukan siapa-siapa? Iya? Lo takut itu, kan?''
Untuk pertama kalinya Rei tersenyum. Ditatapnya Bima dengan kedua alis terangkat tinggi. Keduanya saling pandang dengan tatap tajam. Dan persetujuan itu keluar bukan karena Bima memang setuju, tapi karena cowok itu benar-benar tersinggung. Nyaris naik darah!
***
Tanpa buang waktu, besoknya Rei langsung memberitahu Fani kegiatan-kegiatan Maranon yang bisa diikuti simpatisan.
''Simpatisan?'' ralat Fani dengan roman galak. ''Emang siapa yang bersimpati? Gue? Enak aja!''
''Maksud gue....,'' jelas Rei dengan suara yang dipaksa untuk lembut, ''orang luar. Sori. Jadi, Fan, tolong lo kasih tau Langen. Ini daftarnya.''
Fani menerima kertas yang diulurkan Rei dengan tampang tidak tertarik. Membuat Rei jadi menahan diri untuk tidak menjitak kepala di depannya itu.
''Ngasih tau doang, kan? Dia mau ikut atau nggak, itu di luar kuasa gue.''
''Iya. Cuma ngasih tau aja.'' Rei mengangguk karena sadar takkan bisa menekan Fani.
Malamnya Fani memberikan daftar kegiatan-kegiatan Maranon yang diberikan Rei itu kepada Langen sambil nyengir.
''Elo diminta dengan amat sangat sekali, dengan segala hormat dan dengan segala kerendahan hati, untuk ikut.''
Tapi kertas itu tidak diacuhkan oleh Langen. Dia masih ingat benar ekspresi wajah Rei. Yang seperti baru saja menemukannya di pusat rehabilitasi ketergantungan alkohol.
''Dia nggak ngerti gue! Percuma diterusin. Ntar kalo gue bawa-bawa putaw, pasti dia langsung ngira gue suka nge-drug. Gue pegang rokok, pasti dia bakalan langsung nuduh gue nikotin mania!''
Besoknya Fani mengembalikan kertas itu kepada Rei.
''Langen nggak tertarik! Katanya kalo pergi ke tempat-tempat kayak gitu aja sih, nggak usah sama Maranon. Pergi sendiri juga bisa!''
Rei tercengang.
''Dia bilang begitu?''
''Iya!'' Fani mengangkat dagu tinggi-tinggi. ''Tadinya dia kira acara-acara Maranon tuh yang spektakuler-spektakuler! Misalnya ke puncak Aconcagua, kayak si itu Norman Edwin. Atau ke Kilimanjaro, ke McKinley, kr Himalaya, atau ekspedisi ke kutub. Eh, nggak taunya cuma ke mana itu....,'' diliriknya kertas di tangan Rei, ''Pondok Halimun? Situgunung? Itu namanya kemping, tau! Piknik! Bukan climbing!''
''Langen bilang begitu?'' desis Rei tak percaya.
''Iya!''
Bohong si Fani. Dia sengaja memperkisruh keadaan. Rei terenyak. Benar-benar tidak menyangka kibaran bendera putihnya tidak disambut!
''Tapi lo ikut, kan?'' Rei langsung pindah sasaran.
''Ngapain?'' jawab Fani kejam. ''Gue lebih nggak tertarik lagi!'' lalu dengan dagu terangkat pongah, ditinggalkannya Rei yang masih tercengang-cengang, begitu saja.
Sepertinya dominasi cowok mulai runtuh. Turut berduka cita!
''La, kalo kamu mau ngomong jujur, terus terang, aku akan menganggap semua nggak pernah terjadi. Selesai sampai di sini.''
Nah, ini! Langen berdecak dalam hati. Mister No Guilty ini ternyata masih belum sadar juga bahwa dialah sumber persoalan. Masih menyuruh orang lain mengaku salah sementara dia tetap menganggap dirinya bersih.
''Cukup satu. Lewat mana. Itu aja,'' desak Rei.
Soalnya, satu pertanyaan itu saja memang sudah cukup. Dengan melihat medan yang ditempuh ketiga cewek itu, sudah bida dikira-kira ada berapa orang yang mem-backup aksi kebut gunung itu, juga berapa lama latihan fisik mereka sebelum itu. Jadi bisa dikira-kira pula sudah berapa lama para mysterious guys itu eksis secara diam-diam.
tapi Langen bukan cewek tolol. Dia tahu, jawaban untuk satu pertanyaan itu akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut tanpa Rei harus bertanya lebih lanjut.
''Gue nggak akan ngasih jawaban apa-apa!''
''La, tolong. Jangan dijadiin parah kalo sebenernya bisa kita selesaikan.''
Langen menatap mantan cowoknya itu lurus-lurus. Dia juga mau ini diselesaikan. Tapi ada yang ditunggunya. Rei harus minta maaf untuk tiga gelas bir yang terpaksa harus ditenggaknya malam itu. Tapi jawaban untuk permintaan Langen itu ternyata malah bertolak belakang. Dengan tenang Rei malah mengatakan itu bukan soal.
''Soal kita minum malem itu, La....,'' Rei menarik napas, ''aku sebenernya keberatan. Tapi kalo kamu emang udah biasa minum, kebiasaan itu bisa diilangin pelan-pelan. Nggak bagus cewek minum-minum....''
Langen kontan terpana. Wah, emang bener-bener kurang ajar nih orang!
''Nanti aku bantu,'' bisik Rei lembut. ''Dan rahasia ini nggak akan bocor. Aku jamin!''
''Kita putus!'' tegas Langen tiba-tiba.
Rei terperangah.
''Langen! Kenapa sih kamu! Aku udah dateng baik-baik, kamu malah....''
''Kita putus! Bubar! Selesai!'' tandas Langen dengan suara fatal. ''Gue perjelas sekali lagi kalo lo masih belom ngerti!''
Rei jadi emosi. Harga dirinya serasa benar-benar terbanting. Cewek bukan cuma Langen!
Cowok itu berdiri. Ditatapnya mantan ceweknya dengan pandangan dingin.
''Gue juga nggak mau punya cewek peminum. Alkoholik! Bikin malu dan cuma cari penyakit!''
Ganti Langen terperangah!
***
Ternyata hanya emosi sesaat. Malamnya Rei drop total!
Dia tidak bisa lagi berkelit begitu tinggal sendirian dan foto Langen di meja sudut kamar memperparah keasaan. Dikeluarkannya foto itu dan digantinya dengan gambar Britney Spears yang dirobeknya dari sampul majalah milik adiknya. Tapi kecantikan sang diva dunia itu ternyata tidak sanggup menggeser dominasi sang mantan.
Langen tetap ada di sana. Di dalam kepala dam terproyeksi abstrak di fokus mata. Dan yang menyaksikan kejatuhan Rei itu sudah pasti sobatnya sejak masih sama-sama balita. Yang terpaksa membawanya ke gunung di tengah malam buta. Membiarkan Rei berteriak sekeras dia bisa. Membiarkan tubuhnya menggigil dipeluk dingin. Membiarkannya hampir membeku karena berjalan menyusuri tepian sungai.
''Nggak akan gue lepas dia, Bim!''
''Dia udah lepas!'' jawab Bima. Tenang tapi tandas, menyebabkan Rei sesaat membeku di tempat tapi kemudian berteriak dengan volume suara gila-gilaan.
''DIA NGGAK AKAN GUE LEPAS!!!''
Di kamar Fani ada pemandangan yang hampir sama. Langen broken akut. Cinta pertama! Awalnya so sweet banget. Indah, romantis. Tapi ending-nya bikin kepala dan dada mendidih!
Dan yang menyaksikan kejatuhan Langen itu sudah pasti sahabatnya yang hampir setiap hari selalu bersama. Fani jadu bingung memberikan reaksi, karena Langen tertawa, menangis, pasrah, lega, sedih juga emosi, di detik yang hampir sama.
''Elo balik aja kalo gitu,'' saran Fani akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya Langen mengatakan bahwa dia sebenarnya masih cinta Rei.
Tapi berikutnya Langen langsung melotot dan bicara dengan suara keras, nyaris teriak, ''NGGAK AKAN! GUE SAKIT HATI!''
***
Rei, yang ingin mantan ceweknya kembali, kemudian memaksa kedua sahabatnya untuk memeti-eskan keinginan mereka menemukan rekayasa di balik tindakan unjuk rasa Langen cs. Sebagai gantinya, mereka justru melibatkan ketiga cewek itu dalam kegiatan-kegiatan mereka di Maranon.
Bima langsung menolak mentah-mentah usul Rei itu. Soalnya menurut Bima, apa yang telah dilakukan Langen cs sudah merupakan penghinaan terhadap penciptaan Adam!
Sementara Rangga memilih tidak ikut campur. Dia melihat ini lebih menjurus kepada pertengkaran dua sahabat lama. Rei dan Bima memang sudah bersama-sama sejak mereka masih belum bisa pakai celana. Sementara Rangga baru mengenal keduanya sewaktu satu jurusan di SMA, dan baru benar-benar akrab setelah satu kampus dan sefakultas pula.
Di depan mata Rangga perdebatan itu lalu berlangsung alot dan panas. Rei sedang patah hati parah, sampai berteriak-teriak dan memukuli meja. Tapi akhirnya cowok itu berhasil mengendalikan emosinya. Ditariknya napas panjang-panjang. Agak malu juga sebenarnya, kalap gara-gara cewek.
''Apa sih yang lo takutin?'' Rei bertanya dengan suara yang telah berubah tenang. ''Fani nggak bakalan peduli sama elo! Lo mau meluk Stella kek, Nuke, Lia, atau Siska. Siapa pun! Lo peluk semua sekaligus juga, gue rasa Fani tetep masa bodo!''
Ganti ketenangan Bima yang hilang.
''Sialan!'' desisnya. ''Ini masalah pribadi, Rei. Kenapa jadi ngelibatin organisasi?''
''Jawab aja pertanyaan gue. Apa yang lo takutin? Kenyataan ada cewek yang menganggap lo bukan siapa-siapa? Iya? Lo takut itu, kan?''
Untuk pertama kalinya Rei tersenyum. Ditatapnya Bima dengan kedua alis terangkat tinggi. Keduanya saling pandang dengan tatap tajam. Dan persetujuan itu keluar bukan karena Bima memang setuju, tapi karena cowok itu benar-benar tersinggung. Nyaris naik darah!
***
Tanpa buang waktu, besoknya Rei langsung memberitahu Fani kegiatan-kegiatan Maranon yang bisa diikuti simpatisan.
''Simpatisan?'' ralat Fani dengan roman galak. ''Emang siapa yang bersimpati? Gue? Enak aja!''
''Maksud gue....,'' jelas Rei dengan suara yang dipaksa untuk lembut, ''orang luar. Sori. Jadi, Fan, tolong lo kasih tau Langen. Ini daftarnya.''
Fani menerima kertas yang diulurkan Rei dengan tampang tidak tertarik. Membuat Rei jadi menahan diri untuk tidak menjitak kepala di depannya itu.
''Ngasih tau doang, kan? Dia mau ikut atau nggak, itu di luar kuasa gue.''
''Iya. Cuma ngasih tau aja.'' Rei mengangguk karena sadar takkan bisa menekan Fani.
Malamnya Fani memberikan daftar kegiatan-kegiatan Maranon yang diberikan Rei itu kepada Langen sambil nyengir.
''Elo diminta dengan amat sangat sekali, dengan segala hormat dan dengan segala kerendahan hati, untuk ikut.''
Tapi kertas itu tidak diacuhkan oleh Langen. Dia masih ingat benar ekspresi wajah Rei. Yang seperti baru saja menemukannya di pusat rehabilitasi ketergantungan alkohol.
''Dia nggak ngerti gue! Percuma diterusin. Ntar kalo gue bawa-bawa putaw, pasti dia langsung ngira gue suka nge-drug. Gue pegang rokok, pasti dia bakalan langsung nuduh gue nikotin mania!''
Besoknya Fani mengembalikan kertas itu kepada Rei.
''Langen nggak tertarik! Katanya kalo pergi ke tempat-tempat kayak gitu aja sih, nggak usah sama Maranon. Pergi sendiri juga bisa!''
Rei tercengang.
''Dia bilang begitu?''
''Iya!'' Fani mengangkat dagu tinggi-tinggi. ''Tadinya dia kira acara-acara Maranon tuh yang spektakuler-spektakuler! Misalnya ke puncak Aconcagua, kayak si itu Norman Edwin. Atau ke Kilimanjaro, ke McKinley, kr Himalaya, atau ekspedisi ke kutub. Eh, nggak taunya cuma ke mana itu....,'' diliriknya kertas di tangan Rei, ''Pondok Halimun? Situgunung? Itu namanya kemping, tau! Piknik! Bukan climbing!''
''Langen bilang begitu?'' desis Rei tak percaya.
''Iya!''
Bohong si Fani. Dia sengaja memperkisruh keadaan. Rei terenyak. Benar-benar tidak menyangka kibaran bendera putihnya tidak disambut!
''Tapi lo ikut, kan?'' Rei langsung pindah sasaran.
''Ngapain?'' jawab Fani kejam. ''Gue lebih nggak tertarik lagi!'' lalu dengan dagu terangkat pongah, ditinggalkannya Rei yang masih tercengang-cengang, begitu saja.
Sepertinya dominasi cowok mulai runtuh. Turut berduka cita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar