Jalur yang pernah mereka buka dulu berawal dari tepi hutan yang terbuka, jadi sekarang Iwan cs terpaksa memotongnya dari tempat lain. Satu tempat tersembunyi dan jauh dari jalur-jalur yang biasa digunakan penduduk desa untuk mencari kayu di hutan.
Dan karena mereka cuma menebas semak seperlunya, Rabu kemarin Evan dan Rizal telah mengikatkan pita merah diranting-ranting pohon dalam jarak tertentu, untuk menandai jalur itu. Selanjutnya pita-pita itu akan langsung dilepas lagi, karena mereka tidak berencana untuk turun lewat jalan itu lagi. Alhasil, begitu semua pita-pita itu dilepas semua nanti, jalur itu akan langsung hilang dan tidak akan ada yang menyangka bahwa belum lama berselang sekelompok pendaki lewat situ menuju puncak.
Iwan juga telah memperhitungkan bahw waktu mereka benar-benar mepet. Karena itu mereka membawa makanan matang yang siap santap. Jadi tidak perlu membuang waktu untuk masak. Untuk urusan yang satu ini, mereka berterima kasih sekali pada Teh Neneg karena sudah bersedia bangun pagi-pagi buta untuk membuatkan mereka bacang. Juga menyiapkan susu cokelat panas dan air jahe di dalam termos-termos kecil. Sebelum memulai pendakian, sekali lagi Iwan memerikda ransel Langen cs. Takut terlalu berat. Sementara Theo meminta ketiganya untuk memakai sweter agar tidak tergores ranting atau semak di sepanjang perjalanan nanti.
Semua sudah diatur sedemikian rupa agar tidak ada waktu yang terbuang percuma. Selagi menunggu giliran untuk ditarik naik, atau menunggu yang lain ditarik naik, yang berarti perjalanan sementara jadi terhenti, dimanfaatkan benar-benar untuk istirahat, makan, atau minum obat kalau ada yang merasa nggak enak badan.
Memang, jarak terdekat untuk mencapai puncak adalah melewati lereng-lereng bertebing. Tapi ya itu, berisiko tinggi. Perlu kekuatan fisik yang benar-benar prima dan peralatan yang bisa menjamin keselamatan. Dan jalur yang dibuka Iwan cs memang didominasi tebing. Beberapa malah nggak lurus dan overhang. Tapi justru di situ letak kunci kemenangannya. Jangan membayangkan cewek-cewek itu merayapi tebing dalam arti yang sebenarnya. Jauh deh! Mereka merayap hanya untuk memudahkan proses penarikan.
Di tebing-tebing yang overhang malah lebih asyik lagi. Ketiganya tinggal duduk manis di seat-belt sambil menikmati pemandangan. Sambil minum juga boleh. Atau sambil makan sekalian kalau memang tidak punya perasaan. Lalu ditarik sampai ke atas. Asyik, kan?
Makanya Rabu kemarin waktu jalur ini akan dibuka kembali, Iwan cs membawa bergulung-gulung tali karmantel. Untuk menghemat waktu, di setiap tebing mereka terpaksa meninggalkan tali dalam keadaan terpasang. Ini pendakian Langen cs yang pertama. Tapi mereka justru menempuhnya dengan cara yang tidak biasa, kalau tidak ingibn dibilang gila, untuk pendaki pemula.
Bukan saja karena banyaknya tebing yang harus dilintasi, tapi juga jarangnya permukaan yang datar. Dari awal semua serbamiring, serba harus merayap. Kadang berbatu-batu, kadang di antara gerumbulan semak, kadang di tempat kering, tapi tak kurang juga tempat-tempat basah dan lembab.
Di beberapa tempat, kelebatan hutan yang harus mereka tembus begitu rapat. Langit tertutup ribuan daun hingga Evam, yang berjalan paling depan, harus menggunakan senter untuk mencari di mana pita merah berikutnya pernah dia ikatkan.
Jangan ditanya lagi berapa kali Langen cs jatuh karena tersandung atau terpeleset. Tidak terhitung! Beruntung pengawal-pengawal mereka sigap. Jadi tidak sampai seperti pepaya matang jatuh dari pohon.
Tapi tekad dan semangat ketiga cewek itu, untuk menunjukkan bahwa mereka juga patut diperhitungkan, mengalahkan semua kesulitan. Seluruh ketakutan. Segala keletihan.
Namun ternyata tekad dan semangat tidak bisa seterusnya dijadikan sumber kekuatan. Memasuki jam keempat, sudah tidak bisa dicegah lagi. Cewek-cewek itu akhirnya berguguran!
Tiba-tiba Febi pingsan. Rizal yang sudah mulai waspada dari menit-menit sebelumnya, dengan sigap langsung menangkap sebelum tubuh Febi mencium tanah.
"Theo, bantuin gue, Yo! Lepasin ransel sama balaclavanya!"
Kalau urusan menolong cewek cakep, Theo selalu sigap dan siaga. Repotnya, mereka sedang berada di lereng gunung yang punya kemiringan lumayan tajam. Meskipun pertolongan pertama untuk orang yang sedang pingsan adalah dibaringkan dengan posisi kepala lebih rendah, tapi karena terlalu miring mereka takut Febi malah akan menggelinding ke bawah.
Terpaksa metode itu diabaikan. Rizal ditibani rezeki. Dia dijadikan sandaran untuk menopang badan Febi yang lunglai. Theo kontam protes keras. Dia menganggap dirinya lebih tepat. Alasannya, badannya lebih gede jadi otomatis dadanya juga lebih luas, jadi lebih tepat untuk dijadikan sandaran. Rizal langsung menolak mentah-mentah. Alasannya, takut kalau mendadak Febi siuman, tuh cewek bakalan langsung pingsan lagi begitu tahu siapa yang memeluknya.
continue~
Link Bab 7 part 2: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-7-part-2-novel-cewek-by-esti-kinasih_10.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar