Karena itu, Rizal, yang mendapat tugas untuk mengawal Fani, dan Theo yang berjalan paling belakang, hanya bisa memberikan peringatan-peringatan secara lisan. Seperti misalnya: ''Ati-ati sebelah kiri lo, Feb. Ada ranting pohon." atau..... ''Kayaknya batu yang lo injek itu rapuh deh, Feb." Atau.....''Jangan pegangan pohon yang itu, Feb. Ada durinya."
Tapi kadang kala sesuatu telah terjadi sebelum Rizal atau Theo sempat memberi peringatan. Misalnya Febi terpeleset, lalu menggelinding jatuh. Dan berhubung gaya gravitasi sama sekali tidak peduli dengan segala macam gelar kebangsawanan dan betapa terhormatnya status sosial seseorang, juga tidak dapat dihentikan meskipun dengan peringatan yang sangat keras, maka terpaksa Rizal dan Theo membiarkan sampai permukaan datar bumi menghentikan sendiri gaya tariknya.
Namun, karena keduanya adalah cowok-cowok yang bertanggung jawab, maka bila tidak sempat memberikan peringatan, sebagai gantinya mereka lalu memberikan kata-kata penghiburan. Tentu saja diucapkan dengan sikap santun, khidmat, dan sopan. Seperi misalnya: ''Kalo orang baru naek gunung emang suka gitu, Feb. Jatoh melulu. Ge juga dulu gitu. Makanya ntar lo lebih ati-ati, ya?" Atau.....''Yang jatoh di sini emang udah sering banget, Feb. Lo masih mending, cuma bonyok doang. Pernah ada yang kakinya sampe patah, tangannya juga. Untung lehernya nggak!" Atau.....''Gue juga pernah kepeleset di sini, Feb. Wiih, sakit banget deh. Lo sakit juga, nggak?"
Alhasilnya, baru setengah jam perjalanan, tubuh Raden Ajeng Febriani sudah lebam-lebam. Tidak lagi mulus seperti waktu berangkat tadi. Akhirnya dia menangis tersedu-sedu dengan sangat memilukan, setelah untuk yang kesekian kali kakinya tergelincir dan badannya limbung lalu terjatuh. Dan yang setia menyambutnya lagi-lagi sang bumi. Alias terkapar dengan mengenaskan di tanah!
Perjalanan terpaksa dihentikan. Febi duduk memeluk lutut di tengah jalan setapak. Menunduk dalam-dalam. Menyembunyikan wajah dan tangisnya. Langen mendesah pelan.
"Aduh, mati deh. Gue sama Fani bakalan dicincang sama emaknya. Anaknya jadi bonyok-bonyok gitu," katanya pelan.
"Apa boleh buat, La," kata Evan, juga dengan suara pelan. "Bahaya naik gunung bawa orang egois gitu?"
Iwan mengangguk membenarkan. "Naik gunung itu kerja tim. Bukan individu. Kecuali kalo dia naik sendiri." Cowok itu lalu melangkah turun. Menghampiri Febi dan duduk di sebelahnya, di depan Rizal dan Theo yang sekarang kebingungan. "Sori, Feb, kalo kami kasar," kata Iwan pelan. "Tapi gue, juga semua temen gue, bener-bener sadar kalo kami yang sama sekali nggak sederajat sama elo. Apalagi kami yang darahnya asli jelata. Sama sekali nggak biru nggak kayak elo. Nggak punya gelar raden. Cuma akan punya gelar sarjana, itu juga kalo berhasil. Nggak kaya raya seperti keluarga lo. Kami amat sangat sadar itu. Cuma tolong....." Iwan diam sejenak. Berusaha mengetahui reaksi Febi. Tapi gadis itu tetap menunduk dalam-dalam. "Tolong jangan melihat dan memperlakukan kami kayak gitu. Kami nggak sakit kusta kok, Feb. Nggak kejangkit AIDS. Nggak bawa virus SARS. Kami semua juga belom pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Kami di sini untuk bantuin elo. Sepenuhnya untuk kepentingan lo dan temen-temen lo. Jadi tolong perlakukan kami seperti manusia. Paling nggak sampe ini selesai dan kita pisah untuk pulang ke rumah masing-masing."
Hening. Febi masih menunduk tapi tidak ada lagi isak yang terdengar. Orang-orang di sekelilingnya saling pandang dengan cemas. Tiba-tiba Febi mengangkat muka. Iwan, Rizal, dan Theo, yang bisa melihatnya, seketika terkesima. Tidak ada kemarahan di sana. Yang terjadi justru sebaliknya. Sedikit senyum muncul dibarengi ekspresi malu.
"Maaf, ya?" ucap Febi lirih, mengagetkan semuanya. “Abis udah kebiasaan. Lagi pula kebanyakan orang selalu mengannggap keluarga gue itu hebat. Kalo di Jawa sana malah sampe pada menyembah-nyembah."
"Gue sih bersedia aja nyembah-nyembah elo, Feb. Asal lo mau bagi Dairy Milk, lo, satu,'' kata Theo. Febi tertawa geli lalu mengusap kedua matanya. Semua menarik napas lega.
"Yuk, lanjut." Iwan berdiri.
"Gue paling depan!" seru Febi tiba-tiba.
"Boleh....." Rizal mengangguk. "Yuk."
"Bukan elo. Gue!" Febi menghalangi Rizal yang akan melangkah.
"Yakin sanggup nggak dibantuin?"
Febi berdecak. "Dari tadi gue nggak dibantuin!" Dia mendengus, membuat Rizal dan Theo menyeringai. Febi mendaki jalan setapak terjal di depannya, dan Rizal langsung membuntuti di belakang. "Oke! Ayo lanjut!" seru cewek itu setelah jadi yang terdepan.
Mereka bergerak lagi. Tapi belum lama berjalan, tiba-tiba kaki kanan Febi tergelincir. Meskipun tangannya refkles meraih sesuatu untuk dipegang, badannya keburu menimpa Rizal tanpa peringatan. Dan semuanya terjadi dalam hitungan detik!
Rizal kontan limbung dan jatuh menimpa Evan tanpa sempat meraih pegangan. Evan langsung roboh menimpa Iwan. Dengan dua tubuh yang jatuh tepat di atasnya, meskipun Iwan sempat meraih sebatang ranting, ranting itu tidak sanggup menahan. Sedetik kemudian ranting itu patah dan terlepas dari dahan. Bersama-sama keempatnya terseret ke bawah, menimpa Langen yang cuma sempat menjerit sebentar.
Yudhi mendapatkan giliran tak lama kemudian. Segerumbul semak yang sempat disambarnya, tercabut dari tanah berikut akar-akarnya. Sementara Fani, tertimpa begitu banyak orang sudah pasti....ikut terseret!
Theo juga tidak luput. Meskipun dia punya kesempatan paling banyak untuk menyelamatkan diri, tapi karena tubuh-tubuh yang menggelinding turun itu terus berusaha keras meraih sesuatu yang dapat dipegang, akhirnya ia ikut terseret juga setelah enam tangan mencengkeram kemeja flanelnya kuat-kuat. Padahal si botak itu sudah memeluk sebatang pohon sekuat-kuatnya. Akibatnya, dua kancing kemejanya terlepas dan kemeja itu terancam robek.
Ketujuh orang itu llau mendarat berdeham dan terkapar bergelimpangan di tengah jalan setapak. Semuanya mengerang kesakitan.
"Emangnya enak, jatoh nggak ada yang nolongin?" seru Febi puas, "Rasain sekarang!"
kalimatnya membuat kelima cowok itu tertawa geli.
"Balas dendam dia ternyata!" kata Rizal di sela tawa.
"Kok gue kena juga sih, Feb? Gue kan nggak ikutan ngerjain elo." Langen berdiri sambil memegangi pundaknya yang memar terantuk batu.
"Iya, lo...." Fani meringis, bangun dari posisi terkapar sambil mengusap-usap kepala. "Mana gue ketibanan Theo pula tadi. Untung nggap gepeng."
"Kalo emang terpaksa ada korban, apa boleh buat," jawab Febi ringan.
Mereka terpaksa beristirahat. Febi tertawa-tawa girang karena sekarang bukan cuma dirinya yang badannya penuh memar. Semuanya!
Ternyata tidak perluh berpikir keras mencari jalam untuk melampiaskan dendamnya. Cukup pindah posisi dan pura-pura kepeleset satu kali. Dan sekarang, di depannya ada segerombol manusia yang sedang mengaduh-aduh karena kepala benjol, tulang kering kena batu, kulit tersabet ranting, dan dicium akar kayu. Rasain!
continue~
Link Bab 4 part 4: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-4-part-4-novel-cewek-by-esti-kinasih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar