Sabtu, 15 Maret 2014

Bab 26 part 2 novel cewek!!! by esti kinasih



Langen menatap cemas tanpa mampu menolong. Di depannya Rei masih berdiri menjulang dengan ekspresi garang. Akhirnya Fani menyerah setelah Bima yang sedang bereksprimen sebagai make up artist dengan menggunakan darahnya sendiri mulai membuat bulatan-bulatan merah di kedua pipinya.
''Mau bilang?'' tanya Bima. Fani mengangguk cepat-cepat. ''Sweet girl.....'' Bima mengecupnya sekilas. ''Lepas, Ga!''

Rangga melepaskan cekalannya.
''Ng....tangan lo itu...''
''Iya? Apa yang udah bikin tanganku jadi sobek begini?''
''Ng....ituuu....'' Fani berpikir keras mencari jawaban. Tiba-tiba dia melakukan dua gerakan dengan sangat cepat. Menyikut ulu hati Rangga kuat-kuat lalu memukul luka Bima keras-keras. Langen, yang bisa membaca gelagat itu sejak awal, di saat yang bersamaan meninju dada Rei dengan kedua tangan dan dengan seluruh kekuatan.

Bersamaan dengan teriakan ketiga cowok itu, darah segar menyembur dari luka di lengan Bima yang masih menganga. Fani berlari menghampiri Langen lalu keduanya berdiri saling merapat.
''Kami bener-bener nggak tau! Sumpah!'' seru Langen saat Rei dan Ranga berjalan menghampiri dirinya dan Fani dengan marah. Sambil menekan kuat-kuat lukanya yang mengucurkan darah, Bima ikut mendekat.
''Sumpah!'' Langen mengulangi. Kali ini dengan kedua tangan terangkat. ''Demi Tuhan, kami bener-bener nggak tau!'' dan ketika ketiga cowok itu tetap bergerak maju, Langen meneruskan dengan sumpah yang benar-benar fatal. ''Kalo kami bohong, gue sama Fani nggak bakalan selamet sampe rumah!''
''Jelas! Dan mau tau apa yang akan bikin lo berdua pulang dalam keadaan nggak selamet?'' desis Rei tajam. Dia benar-benar geram. ''Kalian harus kalahin kami! Kalau tidak....'' Rei menghentikan langkahnya yang tinggal satu rentangan tangan. Bima dan Rangga ikut berhenti di sisi kiri-kanannya. ''Elo berdua akan kami serahkan ke keluarga masing-masing.....dengan visum dokter!''

Langen menatap Rei dengan ekspresi takut tapi juga bingung.
''Maksudnya.....cacat?'' tanyanya terbata.
''Jelas!'' tandas Rei seketika.
''Ng.....maksudnya.....memar-memar, gitu? Atau patah kaki-tangan?''
''Bukan.....'' Rei tersenyum dingin. ''Cacat yang paling ditakutin cewek!''
Muka Langen dan Fani kontan putih!

***

Sementara itu di tempat lain, Iwan, Theo, dan Evan, jadi gelisah sekaligus berang menyaksikan peristiwa itu. Theo memukul-mukul kepala botaknya dengan kedua telapak tangan. Benar-benar menyesali kegagalannya.
''Goblok-goblok!'' desisnya berulang-ulang.
Iwan menepuk bahunya. Mengingatkan bahwa ini di luar dugaan. Soalnya, apabila semua berjalan sesuai rencana, Theo akan melakukan tugasnya di sebuah tempat, di mana dia bisa mendekati sang calon korban sampai jaraknya yang cukup dekat, hingga bisa memilih bagian tubuh mana yang menjadi target katapelnya.
''Daripada fatal, ntar malah berabe urusannya!''
''Jadi gimana sekarang? Lo liat tuh!'' tunjuk Theo dengan dagu, ke kejauhan di bawah. ''Begitu lebih baik?''
Jauh di bawah, dengan paksa Rangga merenggut Fani dari Langen lalu menyeretnya ke hadapan Bima.
''Jadi?'' tanya Iwan tanpa menoleh.
''Udah, kita ribut aja! Pengecut, tau nggak? Ngumpet-ngumpet begini!''
''Setuju!'' Evan mengangguk.
Iwan terdiam beberapa detik. Kemudian.....
''Oke. Yuk!''
Ketiganya meninggalkan tempat itu.
''Turun, Yud!'' ucap Theo begitu sampai di tempat Yudhi dan carrier-carrier mereka ditinggalkan.
''Turun?'' Yudhi memandang tak mengerti.
''Kacau!'' ucap Iwan sambil menyambar carrier-nya. ''Theo pilih ribut!''
''Yeee....,'' sambil menyandang carrier-nya di punggung, Yudhi menatap ketiga temannya bergantian. ''Kenapa nggak dari kemaren-kemaren? Jadi nggak buang-buang waktu sama tenaga. Udah cabut kuliah pula.''
Keempatnya balik badan. Segera kembali ke arah semula.

Inilah peperangan Langen dan Fani yang sesungguhnya.
Iwan cs gagal memberikan pertolongan. Dan apabila kedua cewek itu sampai kalah, masa depan mereka akan hancur berantakan.
Waktu baru berjalan lima belas menit, tapi Langen dan Fani telah terserang mountain sickness parah. Seperti ada jarum besar besi pasak tenda, dihunjamkan tepat di ubun-ubun kepala. Terasa seperti ada sesuatu yang ditusukkan dari pelipis yang satu menembus ke pelipis yang lain. Juga seperti ada sebuah benda yang mahaberat diletakkan tepat di dada, hingga terasa sangat sakit saat memaksa untuk menarik napas dalam-dalam.

Keringat mengalir deras seperti alur sungai. Kaus yang dikenakan kedua cewek itu jadi melekat di badan dan membuat mereka tidak nyaman.
''Stop sebentar!'' ucap Bima tiba-tiba. Semuanya berhenti dan menatapnya. Bima menunjuk kemejanya yang ternyata juga kuyup karena keringat. ''Ganti baju dulu.''

Langen dan Fani saling pandang diam-diam. Ini memang yang mereka harapkan, tapi tidak sekarang. Waktunya tidak tepat. Lokasinya apalagi.

Rei, Bima dan Rangga menurunkan carrier mereka dari punggung. Langen dan Fani segera mengikuti. Kesempatan untuk sejenak mengistirahatkan otot-otot bahu yang sakit. Ketiga cowok itu lalu melepas kemeja masing-masing.

Tanpa sadar Langen dan Fani bergerak mundur, menjauh beberapa langkah sambil menyeret carrier masing-masing. Dada-dada telanjang itu, yang terlihat jelas terbentuk karena olah fisik yang rutin dan berat, juga lengan-lengan yang besar dan berotot, membuat keduanya merasa terancam.
''Nggak ganti baju?'' tanya Bima tiba-tiba. Dia lalu menoleh ke segala arah. Dan ketika didapatinya kondisi sekeliling yang tidak menyediakan tempat tertutup, pandangannya kembali ke Langen dan Fani, dengan seringai jail di bibir. ''Cuma soal waktu. Dan itu nggak lama lagi.'' ucapnya dengan nada seolah-olah dirinya turut prihiatin. ''Jadi nggak ada salahnya diperlihatkan dari sekarang. Terutama untuk Rei. Kalo gue nggak perlu, soalnya.....gue udah ngeliat.'' sepasang mata hitam yang dinaungi alis tebal itu kemudian terarah ke Fani. Bima lalu mengedipkan sebelah mata dan tertawa geli ketika tindakannya itu membuat muka Fani seketika jadi merah padam.
''Tapi....,'' Rangga menyambung, menatap ke arah Langen dan Fani, ''apa yang menurut lo berdua sangat berharga, tetep harus lo pertahankan. Kalo perlu sampai titik darah penghabisan!'' tapi detik berikutnya dia ngomong lain. ''Tapi kalo Bima sih udah jelas bakal jadi suami lo, Fan. Jadi lo nggak perlu nutup-nutupin lagi.....''

Rei dan Bima kontan tertawa geli. Keduanya menunda memakai kaus yang baru mereka keluarkan dari carrier. Sengaja berlama-lama memperlihatkan dada telanjang mereka, karena sepertinya itu membuat pihak lawan terintimidasi.

Mendadak sifat iseng Bima kumat. Tiba-tiba, dibuatnya gerakan seolah-olah ingin memeluk Fani. Cewek itu kontan menjerit dan berlari ke belakang punggung Langen. Bima tertawa.
''Hm,'' ucapnya sambil melirik kedua sahabatnya. ''Kalo nanti ada yang menjerit-jerit, harap tutup telinga ya. Oke?''
''Yang jelas gue nggak sempet ngurusin urusan elo,'' jawab Rei. ''Karena gue juga pasti lagi sibuk.''

Langen langsung jadi emosi. Dipungutnya sebuah batu dan dilemparnya ke arah Rei kuat-kuat. Dengan sigap cowok itu berkelit.
''Jangan ngomong sembarangan lo! Gue sama Fani belom kalah, tau!''
''wkwkwk!'' Rangga geleng-geleng kepala. ''Masih galak juga!''
''Tenang,'' Rei menepuk bahu Rangga. ''Sebentar lagi akan gue bikin dia  jadi semanis kelinci.''

Mendengar percakapan itu, Langen langsung naik pitam. Darah di kepalanya kontan mendidih. Seribu sumpah serapah sudah siap dilontarkan, tapi kemudian tersangkut di ujung lidah. Dia tidak terbiasa memaki, itu yang membuat sumpah serapah itu jadi tertahan.

Gantinya, cewek itu lalu bicara dengan nada tinggi, ''Bisa nggak sih elo-elo nggak pake cara-cara intimidasi? Lo bertiha curang, tau nggak? Nggak fair! Naik gunung ya naik gunung aja! Nggak usah pake ngancem-ngancem! Ngomong ini-itu!''
''Tapi sah-sah aja, kan?'' jawan Rei. Bima dan Rangga tertawa geli mendengar ucapan Rei.

Tiba-tiba Langen bergerak maju. Rei cs tersentak kaget dan refleks bergerak mundur bersamaan. Ternyata cuma Rei yang diincar Langen. Penuh emosi cewek itu langsung menerjang Rei dan memukuli dada cowok itu.
''Wow! Wow!'' Rei berusaha menahan serangan Langen. ''Mulai menggunakan kekerasan nih!'' dengan sigap ditangkapnya pergelangan tangan. Dan segalanya berlangsung cepat. Di depan semua mata, Rei menarik Langen ke arahnya, lalu dengan tangan kirinya yang bebas, dipeluknya mantan ceweknya itu kuat-kuat. Kemudian cowok itu menundukkan kepala.....dan mencium sepasang bibir di bawahnya!

Bisa dia rasakan, tubuh dalam pelukannya menegang dan seketika berontak, berusaha melepaskan diri. Tapi itu justru membuat Rei semakin mengetatkan dekapannya. Beberapa saat kemudian cowok itu mengakhiri ciumannya dengan satu bisikan tajam, tepat di telinga kiri Langen.
''Jangan harap lo bisa menang!''
Kemudian Rei melepaskan pelukannya dengan tiba-tiba. Cowok itu lalu melangkah mundur.

Wajah Langen merah padam. Ditatapnya Rei seperti tidak percaya, cowok itu tega melakukan hal itu padanya. Rei membalas tatapan Langen dengan tenang.
''Nangis aja, kalo elo pengen nangis,'' ucapnya datar.

Mati-matian Langen berusaha meredam kemarahan yang menggelegak di dadanya. Sementara itu Fani tetap berdiri di tempatnya. Masih terpaku dalam keterperangahan. Tidak disangkanya Rei bisa sadis begitu. Dan ini kali pertama disadarinya, Rei dan Bima ternyata mempunyai sifat yang hampir sama.

Rei menggerakkan kedua tangannya, menepuk pelan bahu Bima dan Rangga yang berdiri di kiri-kanannya. Ketiga cowok itu lalu meraih kaus masing-masing dan memakainya, lalu meraih carrier dan menyadarinya.
Bima dan Rangga langsung balik badan. Sementara Rei sejenak tanpa perasaan.

Begitu ketiga cowok itu menghilang, Fani segera menghampiri Langen dan memeluknya. Didapatinya sepasang mata sahabatnya itu merebak.
''Gue baru tau, dia ternyata juga bajingan. Sama kayak cowok lo,'' desis Langen dengan gigi gemeretak. Fani mengusap-usap punggung sahabatnya.
''Kalo sifatnya nggak sama, nggak mungkin mereka bisa sohiban.''

Keduanya lalu terdiam. Napas Langen memburu, turun-naik dengan cepat karena menahan emosi. Fani hanya bisa menenangkan dengan cara terus memeluknya.
''Udah?'' tanyanya kemudian, dengan nada pelan dan hati-hati.
Langen mengangguk. Cewek itu kemudian menghapus habis air matanya yang mengalir turun tanpa ada isak yang terdengar.
''Mereka kira kita udah kalah,'' desisnya geram.
''Biar aja mereka kira begitu.''
''Lo siap, kan?''
''Ah, elo!'' kembali Fani memeluk Langen. ''Kalo nggak siap, gue nggak akan sampe sini, lagi!''

Kembali keduanya terdiam. Langen memejamkan mata rapat-rapat. Menarik napas panjang dan dalam, berulang-ulang. Fani memeluknya dengan tangan kiri sementara tangan kananya menggenggam satu tangan Langen.
''Yuk!'' ucap Langen setelah beberapa detik yang hening. Fani mengangguk tegas. Keduanya kemudian meninggalkan tempat ini.



continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar