Pelarian itu nyaris sukses. Fani nyaris sampai di rumahnya dengan selamat, sehat, dan utuh. Tapi sekali lagi.....nyaris.
Hanya nyaris.
Hanya berjarak kurang dari dua ratus meter dari pintu pagar rumahnya, sebuah Jeep Canvas muncul tiba-tiba. Melaju dari sisi kanan dan memaksa taksi yang ditumpangi Fani untuk menepi, dengan satu teriakan klakson yang memekakkan telinga. Fani terkesiap.
"Pak! Pak! Cepet, Pak! Ngebut! Itu tinggal deket lagi! Cepetan!" dia menjerit-jerit panik.
Terlambat!
Jeep Bima telah melintang di tengah jalan. Cowok itu melompat turun dan dalam sekejap telah berada di luar jendela taksi di saat Fani belum sadar dari keterpanaannya.
"Stop pinggir, Pak! Cepet!"
Perintah itu terdengar jelas meskipun seluruh kaca jendela tertutup rapat. Si sopir taksi, yang mengira dirinya sedang dirampok, langsung menurut. Bima berjalan kembali ke Jeep-nya. Fani tersadar.
"Pak! Nanti begitu mobilnya minggir, langsung ngebut, Pak!"
Tapi si sopir taksi menggeleng kuat-kuat. "Jangan, Neng. Biarin aja. Uang saya cuma sedikit kok. Baru keluar. Baru dapet dua puluh ribu. Biar aja dia ambil, daripada mobil saya dirusak atau nyawa saya melayang!"
"Dia bukan perampok, Pak! Dia itu pembunuh!" ucap Fani nyaris menjerit.
"HAH!?" si sopir taksi terkesiap dan kontan semakin pucat. "Pe....pe...."
"Iya! Makanya cepetan kita kabur!" seru Fani.
Tapi karena kata-kata Fani itu, si bapak sopir jadi shock. Dia cuma bisa mematung. Dan ketika Bima kembali dan mengetuk-ngetuk kaca, menyuruhnya membuka pintu belakang sebelah kiri karena Fani telah menguncinya, lagi-lagi dengan patuh diturutinya perintah itu.
"Jangan! Jangan! Jangan dibuka! Jangan biarkan dia masuk!" jerit Fani. Mati-matian berusaha disingkirkannya tangan si sopir taksi dari tombol kunci.
Di luar, Bima memerhatikan dengan tidak sabar. Diketuk-ketuknya lagi kaca jendela, meminta si sopir taksi untuk membuka pintu di sebelahnya. Dan begitu pintu itu terbuka, Bima mengulurkan tangan ke dalam. Mengenyahkan kesepuluh jari Fani yang menutupi tombol kunci rapat-rapat, kemudian menarik tombol itu ke atas bersamaan dengan tangan kirinya menarik hendel dari luar.
Dan tertangkaplah sang pelarian!
"Halo, Sayang!" desis Bima tajam. "Urusan kita belom selesai. Aku belom jawab tantangan kamu yang terakhir!"
Fani memucat di ujung jok belakang. Si sopir taksi menatap tegang, mengira sesaat lagi akan terjadi pertumpahan darah. Dia sudah membayangkan akan masuk tivi, di salah satu progam khusus kriminalitas.
Bima bergerak maju, nyaris merapatkan tubuhnya dengan tubuh Fani.
"Apa kamu bilang waktu itu? Berani nggak aku peluk terus nyium kamu di depan mama kamu?" ditepuk-tepuknya kedua pipi Fani. "Kecil! Akan aku buat mama kamu, bahkan papa kamu, setuju kalo sekalian kuminta......kita kawin sekarang!"
"HAAA!? A-APA!?"
Fani terperangah amat sangat. Shock. Pucat pasi. Putih seputih kertas. Bima tersenyum puas. Yang diperlukannya saat ini memang wajah sekarat ini. Cowok itu menoleh ke sopir taksi, yang masih mengikuti setiap adegan dengan ekspresi terpana.
"Kenapa, Pak?"
"Ng.... Nggak! Nggak apa-apa!"
"Kalo gitu tolong ke rumah sana itu, Pak. Yang pagernya abu-abu." Bima mengulurkan selembar uang. "Kembaliannya buat Bapak."
Si sopir taksi menerima dengan heran. Ternyata pembunuhan yang ini baik sekali, soalnya tip yang dia berikan jumlahnya nyaris dua kali lipat dari argo. Taksi lalu berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Fani.
"Tolong klaksonin, Pak!'' kata Bima sambil bergegas turun. Dibukanya pintu di sebelah Fani dan diraihnya cewek itu ke dalam pelukan.
''Apa-apaan sih? Gue bisa....''
Bima membenamkan wajah Fani di dadanya. Membungkam protes itu seketika. Kemudian digendongnya Fani dengan cara yang membuat cewek itu tidak bisa menggerakkan tangan maupun kedua kakinya. Ijah, yang keluar karena mendengar bunyi klakson, kaget melihat nona majikannya yang biasanya bisa jalan sendiri, sekarang sampai harus digendong. Buru-buru dia berlari menghampiri.
''Non Fani kenapa, Mas?''
''Tadi dia pingsan, Jah.''
''Pingsan? Di mana?''
''Di kampus. Tolong bukain pagernya.''
''Iya! Iya!'' Ijah membuka pintu pagar lebar-lebar, lalu berlari masuk rumah sambil menjerit-jerit. ''NYAH! NYONYAH! NON FANI PINGSAN!!!''
Hanya nyaris.
Hanya berjarak kurang dari dua ratus meter dari pintu pagar rumahnya, sebuah Jeep Canvas muncul tiba-tiba. Melaju dari sisi kanan dan memaksa taksi yang ditumpangi Fani untuk menepi, dengan satu teriakan klakson yang memekakkan telinga. Fani terkesiap.
"Pak! Pak! Cepet, Pak! Ngebut! Itu tinggal deket lagi! Cepetan!" dia menjerit-jerit panik.
Terlambat!
Jeep Bima telah melintang di tengah jalan. Cowok itu melompat turun dan dalam sekejap telah berada di luar jendela taksi di saat Fani belum sadar dari keterpanaannya.
"Stop pinggir, Pak! Cepet!"
Perintah itu terdengar jelas meskipun seluruh kaca jendela tertutup rapat. Si sopir taksi, yang mengira dirinya sedang dirampok, langsung menurut. Bima berjalan kembali ke Jeep-nya. Fani tersadar.
"Pak! Nanti begitu mobilnya minggir, langsung ngebut, Pak!"
Tapi si sopir taksi menggeleng kuat-kuat. "Jangan, Neng. Biarin aja. Uang saya cuma sedikit kok. Baru keluar. Baru dapet dua puluh ribu. Biar aja dia ambil, daripada mobil saya dirusak atau nyawa saya melayang!"
"Dia bukan perampok, Pak! Dia itu pembunuh!" ucap Fani nyaris menjerit.
"HAH!?" si sopir taksi terkesiap dan kontan semakin pucat. "Pe....pe...."
"Iya! Makanya cepetan kita kabur!" seru Fani.
Tapi karena kata-kata Fani itu, si bapak sopir jadi shock. Dia cuma bisa mematung. Dan ketika Bima kembali dan mengetuk-ngetuk kaca, menyuruhnya membuka pintu belakang sebelah kiri karena Fani telah menguncinya, lagi-lagi dengan patuh diturutinya perintah itu.
"Jangan! Jangan! Jangan dibuka! Jangan biarkan dia masuk!" jerit Fani. Mati-matian berusaha disingkirkannya tangan si sopir taksi dari tombol kunci.
Di luar, Bima memerhatikan dengan tidak sabar. Diketuk-ketuknya lagi kaca jendela, meminta si sopir taksi untuk membuka pintu di sebelahnya. Dan begitu pintu itu terbuka, Bima mengulurkan tangan ke dalam. Mengenyahkan kesepuluh jari Fani yang menutupi tombol kunci rapat-rapat, kemudian menarik tombol itu ke atas bersamaan dengan tangan kirinya menarik hendel dari luar.
Dan tertangkaplah sang pelarian!
"Halo, Sayang!" desis Bima tajam. "Urusan kita belom selesai. Aku belom jawab tantangan kamu yang terakhir!"
Fani memucat di ujung jok belakang. Si sopir taksi menatap tegang, mengira sesaat lagi akan terjadi pertumpahan darah. Dia sudah membayangkan akan masuk tivi, di salah satu progam khusus kriminalitas.
Bima bergerak maju, nyaris merapatkan tubuhnya dengan tubuh Fani.
"Apa kamu bilang waktu itu? Berani nggak aku peluk terus nyium kamu di depan mama kamu?" ditepuk-tepuknya kedua pipi Fani. "Kecil! Akan aku buat mama kamu, bahkan papa kamu, setuju kalo sekalian kuminta......kita kawin sekarang!"
"HAAA!? A-APA!?"
Fani terperangah amat sangat. Shock. Pucat pasi. Putih seputih kertas. Bima tersenyum puas. Yang diperlukannya saat ini memang wajah sekarat ini. Cowok itu menoleh ke sopir taksi, yang masih mengikuti setiap adegan dengan ekspresi terpana.
"Kenapa, Pak?"
"Ng.... Nggak! Nggak apa-apa!"
"Kalo gitu tolong ke rumah sana itu, Pak. Yang pagernya abu-abu." Bima mengulurkan selembar uang. "Kembaliannya buat Bapak."
Si sopir taksi menerima dengan heran. Ternyata pembunuhan yang ini baik sekali, soalnya tip yang dia berikan jumlahnya nyaris dua kali lipat dari argo. Taksi lalu berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Fani.
"Tolong klaksonin, Pak!'' kata Bima sambil bergegas turun. Dibukanya pintu di sebelah Fani dan diraihnya cewek itu ke dalam pelukan.
''Apa-apaan sih? Gue bisa....''
Bima membenamkan wajah Fani di dadanya. Membungkam protes itu seketika. Kemudian digendongnya Fani dengan cara yang membuat cewek itu tidak bisa menggerakkan tangan maupun kedua kakinya. Ijah, yang keluar karena mendengar bunyi klakson, kaget melihat nona majikannya yang biasanya bisa jalan sendiri, sekarang sampai harus digendong. Buru-buru dia berlari menghampiri.
''Non Fani kenapa, Mas?''
''Tadi dia pingsan, Jah.''
''Pingsan? Di mana?''
''Di kampus. Tolong bukain pagernya.''
''Iya! Iya!'' Ijah membuka pintu pagar lebar-lebar, lalu berlari masuk rumah sambil menjerit-jerit. ''NYAH! NYONYAH! NON FANI PINGSAN!!!''
Tak lama mama Fani keluar sampai bergopoh-gopoh. Rambutnya berantakan, bajunya kusut, keliatan sekali kalau di bangunkan dari tidur. Dan begitu melihat anak semata wayangnya sampai harus digendong, jelas saja dia jadi panik.
''Fani kenapaaa!? Dari tadi kamu Mama cari-cari.....''
Fani sudah siap-siap bicara, tapi Bima mengetatkan pelukannya. Cowok itu cepat-cepat menyela.
''Iya, sori, Tante. Tadi saya jemput Fani nggak bilang-bilang. Saya ngajak dia ke kampus. Tapi dia di kampus pingsan, Tante,'' jawab Bima. Dia telah menyetel tampangnya dengan ekspresi sangat cemas dan sangat khawatir. Saking betapa khawatir dan cemasnya dia, dipeluknya Fani kuat-kuat, dan diciumnya pipi Fani di depan mata sang mama!
Maka terjwablah sudah seluruh tantangan!
Pelan dan hati-hati, Bima lalu merebahkan Fani di sofa panjang. Sang mama langsung duduk di sebelah anaknya itu, memerhatikan dengan kecemasan yang benar-benar menggunung.
''Kamu kenapa? Kok bisa pingsan? Mukanya sampe pucet begini.''
Baru saja Fani mau menjawab, eh.....sekarang si Ijah yang menjawab pertanyaan itu.
''Non Fani kan tadi pagi nggak mau sarapan, Nyah. Cuma gara-gara Ijah lupa beli roti tawar, trus gantinya Ijah bikinin nasi goreng pake telor ceplok. Eh, Non Fani nggak mau. Katanya kolestrol tinggi. Udah nasinya berminyak, masih dipakein telor, lagi! Gitu, Nyah.''
''Nah, itulah. Jelas aja jadi pingsan.'' Mama Fani menghela napas.
''Tapi Fani ini emang makannya susah, Tante,'' kata Bima.
''Oh, iya. Betul itu. Memang begini nih anak, Nak Bima.''
''Kalau saya paksa-paksa makan, dia marah, Tante.''
''Iya, emang begitu!''
Fani tercengang menatap Bima. Idih! Kapan lo maksa-maksa gue makan!?
Mulutnya sudah terbuka. Siap meneriakkan itu sama sekali tidak benar, tapi Bima langsung mendahului.
''Padahal maksud saya baik, Tante. Jangan cuma gara-gara biar badannya tetep langsing, terus nggak makan. Kalo jadi sakit begini kan malah repot.''
''Iya memang!'' Mama Fani langsung mengangguk setuju.
''Tau tuh!'' Ijah ikutan ngomel.
''Dan Fani ini juga nggak peduli kesehatan, Tante. ''Hobinya makan rujak!''
''Kamu kelewatan bener sih, Fan?''
''Itu bohong, Ma! Bohong! Nggak bener! Fitnah!'' Fani melompat bangun.
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar