Jawaban Febi membuat tawa terbahak Langen dan Fani makin menjadi-jadi. keduanya sampai gedubrakan memukuli meja.
"Sekarang gini aja deh," kata Langen setelah tawanya reda. "Ini tantangan terakhir nih. coba sekarang lo bertiga bergaya kayak yang di Taman Lawang. itu lho, yang suka berkeliaran malem-malem. Ayo, cepet!"
Ketiga cowok yang berdiri di ambang pintu tetap tidak memberikan reaksi.
"Aaah, udah deh! buang-buang waktu aja ngurusin ayam!" Fani mengibaskan satu tangannya dan memasang ekspresi malas. "Udah deh. pergi! pergi! mendingan pada nelor aja gih sana! tapi ingeet..... kalo kotek-kotek jangan kenceng-kenceng, ya? soalnya ini udah malem, you know?" dia menoleh ke Langen. "Elo tau sendiri ayam betina kan, La? mau nelor aja berisiknya minta ampun!"
"Iya! iya!" Langen kembali terpingkal-pingkal. dipukuli mejanya keras-keras. asli, geli betulan! Febi juga tertawa, tapi dia tutup mulutnya dengan tangan. yang paling kasihan Mang Asep dan Teh Neneng. pengen cekakakan tapi tidak bisa. takut ketahuan kalau mereka terlibat dalam konspirasi.
"Makanya inget ya!" Fani menunjuk Rei cs satu persatu, yang tengah menatapnya dengan sorot setajam mata serigala. "Jangan berisik! kalo nggak nurut, ntar gue opor. baru tau rasa!"
Habis kesabaran Bima. disingkirkannya Rei dari depannya. tadinya Rei memang sengaja menghalangi kalau-kalau Bima lepas kontrol, tapi dia sendiri sekarang malah jadi ikut emosi. baru saja kedua cowok itu bergerak satu langkah, Mang Asep langsung buru-buru menghalagi.
"Sabar, atuh! sabar! sabaaar!" katanya. "orang lagi mabok teh memang begitu. bicaranya suka kurang ajar. sudah, jangan didengarkan. Ayo, sudah. sudah." Mang Asep memaksa keduanya mundur kembali.
Karena tidak enak dengan pemilik warung, Rei dan Bima terpaksa menahan diri. sementara itu, Rangga menatap Febi masih dengan ekspresi tidak percaya. Febi-nya sendiri masih memerhatikan kartu-kartu di tangannya dengan sangat serius. ini asli, bukan sandiwara. cewek itu lupa bagaimana cara menghitung angkanya.
"Jack berapa tadi kata Langen, ya?" gumam Febi. Ah, masa bodo deh, pikir Febi. Kalo lagi mabok sih gak wajar.
"Kiu!" dengan penuh gaya, Febi membanting dua lembar kartu kuat-kuat ke tengah meja. Tumpukan uang sudah akan digesernya ke hadapannya, tapi langsung ditahan Fani.
"Ntar dulu! Ntar dulu! Kiu apaan? Jeblok gitu juga! lo bisa maen nggak sih?"
Febi menatap kartu-kartunya.
"Berapa aja deh. terserah," katanya. "Bagi minumnya dong, Fan!''
Fani mendorong botol di depannya ke depan Febi, yang langsung meminumnya dengan tegukan-tegukan besar. Isi botol berceceran kemana-mana. Membasahi baju, menetes-netes di tangan. Itu sama sekali bukan akting. Febi memang bego kalau disuruh minum langsung dari botol. Tidak pernah sukses. Waktu latihan saja kain pel sampai berderet dijemuran. Langen dan Fani hampir tertawa melihat tampang Rangga. Kalau tidak melihat dadanya masih turun-naik, pasti mereka kira tuh cowok sudah mati berdiri.
Selesai menenggak isi botol, Febi bersendawa keras-keras. satu hal yang bisa dipastikan akan membuat kedua orangtuanya langsung masuk ICU kalau mereka menyaksikan. Dan seperti centeng pasar yang sedang punya kuasa, satu kakinya lalu dia naikkan ke atas meja.sepasang mata Rangga kontan terbelalak.
"Febi!" bentaknya berang, dan bergerak akan menghampiri. "Turunin kaki kamu!"
Mang Asep cepat-cepat menahan.
"Sudah! Sudah! Biar saja! katanya.
"Tapi, Mang. dia itu...."
"Sudah. Cicing wae lah. Cicing wae(diam saja)!"
"Heh!" Febi membentak Mang Asep dengan suara keras. "Singkirin nih botol-botol! Jangan sampe gue tendangin ntar ya!"
"Iya! iya, Neng! Maap!" dengan lagak bak rakyat kecil yang sedang tertindas, Mang Asep bergegas melaksanakan perintah itu. Buru-buru dia singkirkan botol-botol softdrink dari atas meja. "Mangga atuh, Neng. silakan kakinya yang satu lagi dinaikkan juga," dipersilakannya Febi dengan sopan.
"Terima kasih. Terima kasih," Febi menjawab juga dengan nada sopan, lalu menaikkan kakinya yang satu lagi. Mang Asep sejenak menoleh ke Rangga sebelum membawa botol-botol itu ke lemari.
"Cicing wae lah," kata Mang Asep pelan tapi Febi langsung protes keras.
"Jangan cicing di sini! Bau, bau! kalo mau cicing di belakang sana!"
Mang Asep langsung balik badan. mulutnya meringis lebar-lebar, tidak sanggup ditahan. Sementara Teh Neneng terpaksa meringkuk sesaat di kolong meja kompor. satu tangannya menutup mulut rapat-rapat, sementara satunya memegangi perut. Febi meneruskan omelannya.
"Enak aja cicing sembarangan! emangnya ini WC umum? orang udah jelas-jelas warung, juga!"
Di luar skenario, tiba-tiba seekor kecoak jatuh dari celah atap, tak jauh dari kaki Febi. Langen langsung mengambil inisiatif begitu dilihatnya Febi terpaku tegang, menatap kecoak itu dengan pandang jijik. jangan sampai Febi menjerit lalu kabur keluar. bisa kebongkar sandiwara ini.
"Sekarang gini aja deh," kata Langen setelah tawanya reda. "Ini tantangan terakhir nih. coba sekarang lo bertiga bergaya kayak yang di Taman Lawang. itu lho, yang suka berkeliaran malem-malem. Ayo, cepet!"
Ketiga cowok yang berdiri di ambang pintu tetap tidak memberikan reaksi.
"Aaah, udah deh! buang-buang waktu aja ngurusin ayam!" Fani mengibaskan satu tangannya dan memasang ekspresi malas. "Udah deh. pergi! pergi! mendingan pada nelor aja gih sana! tapi ingeet..... kalo kotek-kotek jangan kenceng-kenceng, ya? soalnya ini udah malem, you know?" dia menoleh ke Langen. "Elo tau sendiri ayam betina kan, La? mau nelor aja berisiknya minta ampun!"
"Iya! iya!" Langen kembali terpingkal-pingkal. dipukuli mejanya keras-keras. asli, geli betulan! Febi juga tertawa, tapi dia tutup mulutnya dengan tangan. yang paling kasihan Mang Asep dan Teh Neneng. pengen cekakakan tapi tidak bisa. takut ketahuan kalau mereka terlibat dalam konspirasi.
"Makanya inget ya!" Fani menunjuk Rei cs satu persatu, yang tengah menatapnya dengan sorot setajam mata serigala. "Jangan berisik! kalo nggak nurut, ntar gue opor. baru tau rasa!"
Habis kesabaran Bima. disingkirkannya Rei dari depannya. tadinya Rei memang sengaja menghalangi kalau-kalau Bima lepas kontrol, tapi dia sendiri sekarang malah jadi ikut emosi. baru saja kedua cowok itu bergerak satu langkah, Mang Asep langsung buru-buru menghalagi.
"Sabar, atuh! sabar! sabaaar!" katanya. "orang lagi mabok teh memang begitu. bicaranya suka kurang ajar. sudah, jangan didengarkan. Ayo, sudah. sudah." Mang Asep memaksa keduanya mundur kembali.
Karena tidak enak dengan pemilik warung, Rei dan Bima terpaksa menahan diri. sementara itu, Rangga menatap Febi masih dengan ekspresi tidak percaya. Febi-nya sendiri masih memerhatikan kartu-kartu di tangannya dengan sangat serius. ini asli, bukan sandiwara. cewek itu lupa bagaimana cara menghitung angkanya.
"Jack berapa tadi kata Langen, ya?" gumam Febi. Ah, masa bodo deh, pikir Febi. Kalo lagi mabok sih gak wajar.
"Kiu!" dengan penuh gaya, Febi membanting dua lembar kartu kuat-kuat ke tengah meja. Tumpukan uang sudah akan digesernya ke hadapannya, tapi langsung ditahan Fani.
"Ntar dulu! Ntar dulu! Kiu apaan? Jeblok gitu juga! lo bisa maen nggak sih?"
Febi menatap kartu-kartunya.
"Berapa aja deh. terserah," katanya. "Bagi minumnya dong, Fan!''
Fani mendorong botol di depannya ke depan Febi, yang langsung meminumnya dengan tegukan-tegukan besar. Isi botol berceceran kemana-mana. Membasahi baju, menetes-netes di tangan. Itu sama sekali bukan akting. Febi memang bego kalau disuruh minum langsung dari botol. Tidak pernah sukses. Waktu latihan saja kain pel sampai berderet dijemuran. Langen dan Fani hampir tertawa melihat tampang Rangga. Kalau tidak melihat dadanya masih turun-naik, pasti mereka kira tuh cowok sudah mati berdiri.
Selesai menenggak isi botol, Febi bersendawa keras-keras. satu hal yang bisa dipastikan akan membuat kedua orangtuanya langsung masuk ICU kalau mereka menyaksikan. Dan seperti centeng pasar yang sedang punya kuasa, satu kakinya lalu dia naikkan ke atas meja.sepasang mata Rangga kontan terbelalak.
"Febi!" bentaknya berang, dan bergerak akan menghampiri. "Turunin kaki kamu!"
Mang Asep cepat-cepat menahan.
"Sudah! Sudah! Biar saja! katanya.
"Tapi, Mang. dia itu...."
"Sudah. Cicing wae lah. Cicing wae(diam saja)!"
"Heh!" Febi membentak Mang Asep dengan suara keras. "Singkirin nih botol-botol! Jangan sampe gue tendangin ntar ya!"
"Iya! iya, Neng! Maap!" dengan lagak bak rakyat kecil yang sedang tertindas, Mang Asep bergegas melaksanakan perintah itu. Buru-buru dia singkirkan botol-botol softdrink dari atas meja. "Mangga atuh, Neng. silakan kakinya yang satu lagi dinaikkan juga," dipersilakannya Febi dengan sopan.
"Terima kasih. Terima kasih," Febi menjawab juga dengan nada sopan, lalu menaikkan kakinya yang satu lagi. Mang Asep sejenak menoleh ke Rangga sebelum membawa botol-botol itu ke lemari.
"Cicing wae lah," kata Mang Asep pelan tapi Febi langsung protes keras.
"Jangan cicing di sini! Bau, bau! kalo mau cicing di belakang sana!"
Mang Asep langsung balik badan. mulutnya meringis lebar-lebar, tidak sanggup ditahan. Sementara Teh Neneng terpaksa meringkuk sesaat di kolong meja kompor. satu tangannya menutup mulut rapat-rapat, sementara satunya memegangi perut. Febi meneruskan omelannya.
"Enak aja cicing sembarangan! emangnya ini WC umum? orang udah jelas-jelas warung, juga!"
Di luar skenario, tiba-tiba seekor kecoak jatuh dari celah atap, tak jauh dari kaki Febi. Langen langsung mengambil inisiatif begitu dilihatnya Febi terpaku tegang, menatap kecoak itu dengan pandang jijik. jangan sampai Febi menjerit lalu kabur keluar. bisa kebongkar sandiwara ini.
Buru-buru ditutupinya Febi yang masih menatap sang kecoak lurus-lurus. Di rumah Febi yang megah dan punya satu batalion abdi dalem, kecoak memang seperti makhluk dari dimensi lain. Febi cuma mendengar kata kecoak dari cerita orang lain, dan cuma ada di rumah orang lain.
Tepat di saat Rei cs tersadar dari kaget, satu-satunya bukti bahwa apa yang sedang terjadi di depan mereka cuma sandiwara, telah terhapus!
Langen melompat bangun sambil melakukan gerakan kungfu ala Jet Li. Dibentak-bentaknya kecoak itu.
''Diem aja, lagi! Lo nantang!? Mau ngajak ribut? Ayo, dilapangan mana!?"
Meskipun sempat ternganga dengan improvisasi Langen itu, Fani langsung membantu. Dia berteriak keras-keras, memberikan support. ''hajar, La! Sikat! Gebuk! Kasih pelajaran!'' tapi tetap akan dia beritahu Langen nanti. Ini sih bukan kelakuannya orang mabok, tapi orang gila!
Langen meneruskan aksinya. Dia bungkukkan badan lalu ditunjuk-tunjuknya kecoak itu. ''Lagian kenapa sih lo jatohnya di sini? Tempat lain banyak! Lo pasti sengaja! Iya, kan? Lo pasti mata-mata! Ayo, ngaku! Pasti mata-mata!''
''Udah abisin! Bunuh! Pake diinterogasi segala!'' seru Fani.
Langen mencengkeram kecoak itu dengan satu tangan, meskipun sebenarnya jijik banget, lalu melemparnya keluar jauh-jauh. Tetap sambil silat. Biar keren!
"Baru gitu aja! Keciil!'' Langen menepuk-nepuk dada, lalu memamerkan kedua lengannya yang langsing dan sama sekali tidak ada otot yang menonjol.
Begitu binatang menjijikkan itu lenyap dari depannya, Febi langsung normal lagi. ''Langen hebat, euy!'' dia bertepuk tangan keras-keras.
''Betul! Jagoan! Suit! Suiiiit!'' timpal Fani. Suit-suitnya nyaring banget. Mirip kondektur bus.
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar