Bima kontan ketawa geli. ''Emangnya bisa?'' godanya. ''Bikin kaki atau tangannya bengkak sedikit aja, belom tentu kamu bisa.''
''Eeh, nantang ya? Mau nyoba?'' Fani jadi berang. ''Kamu jangan kaget ya, kalo tiba-tiba aja sohib kamu itu udah tergeletak di jalan gara-gara kena peluru sniper!''
''Oh, jangan! Jangan!'' jawab Bima buru-buru. ''Oke, aku salah. Aku minta maaf. Tolong jangan bikin Rei jadi mayat. Pleaseee?'' sambungnya dengan ekspresi seolah-olah sangat ketakutan dengan ancaman itu.
''Huh!'' Fani membuang muka dengan sombong. Bima terpaksa menahan tawa gelinya.
''Oke deh. Yuk, aku anter pulang.''
Tapi saat Jeep Canvas Bima berbelok ke jalan yang melewati depan rumah Fani, cewek itu kontan terbelalak. Jeep CJ7 milik Rei sudah ada di sana!
''Yeee, nekat nih!'' Fani mendesis marah. ''Mau apa lagi dia? Udah dibilang Langen nggak mau ketemu!'' dengan berang dibukanya pintu. Siap melompat keluar.
''Eh! Eh!'' Bima buru-buru meraih pinggang Fani. ''Ini mobilnya masih jalan, Say! Nanti kamu jatuh. Kalo kenapa-napa, aku yang repot!''
''Makanya berhenti!''
''Ya sabar dong. Tanggung, tinggal di depan. Tutup pintunya.''
Begitu mobil berhenti, Fani langsung melompat turun.
Buru-buru dia berlari ke pintu pagar lalu berdiri rapat-rapat di depannya.
''Udah gue bilang jangan ke sini, juga!'' dibentaknya Rei.
''Fan, tolong. Gue cuma mau ngomong sebentar sama Langen.''
''Ngomong aja sama gue. Ntar gue sampein ke dia!''
''Ini pribadi, Fan.''
''Oh! Udah nggak ada lagi pribadi-pribadian antara lo sama dia. Orang kalian udah putus!''
Bima tak sabar lagi. Ditariknya Fani dari depan pintu pagar.
''Lo masuk, Rei! Cepet! Tarik Langen keluar!''
Tanpa buang waktu, Rei membuka pagar yang tak terkunci, lalu langsung melesat masuk halaman.
Fani terperangah. ''Hei!? Hei!? Awas aja lo....!''
"Awas apa?" ulang Bima. Dikurungnya Fani dalam rentangan kedua tangannya. Cewek itu langsung menempelkan tubuhnya rapat-rapat di pagar.
"Ini kan rumah gue!"
"Trus kenapa kalo aku izinin Rei masuk? Mau protes? Boleh. Tapi aku nggak tanggung akibatnya!"
"Mak....sudnya?"
"Maksudnyaaaa....." Bima mendekatkan tubuhnya, membuat Fani semakin melekatkan diri serapat mungkin di besi-besi pagar. Pelan-pelan wajahnya mulai memerah.
Gila, ini pinggir jalan! Dari tadi mobil-motor tidak berhenti lalu-lalang. Apalagi orang jalan. Beberapa mulai memerhatikan mereka sambil senyum-senyum. Malah ada yang bersuit-suit segala. Bima tersenyum tipis.
''Aku nggak keberatan sekali-sekali kissing di tempat umum."
''HAAA!!!?'' Fani terkesiap dan seketika menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Sementara itu dua orang yang sedang bersembunyi di balik gorden ruang makan, langsung panik begitu Rei berlari masuk halaman. Mereka nggak nyangka Rei akan kembali lagi. Dan parahnya, Ijah sudah membuka kunci pagar dan pintu ruang tamu begitu Rei pergi tadi.
Keduanya nyaris terlompat saat pintu ruang tamu terbuka dengan empasan keras diikuti teriakan.
''LANGEN! KELUAR, LA!!!''
''Aduh, gawat!'' desis Langen. ''Jah, gue kudu buru-buru kabur nih.''
''Gimana? Pintu belakang lagi rusak. Nggak bisa dibuka.''
''Makanya gimana dong?''
Ijah terdiam. Berdecak bingung dengan suara pelan. Sementara itu Rei sedang menggeledah ruang tamu, lalu lanjut ke ruang keluarga, perpustakaan, dan semua ruangan di area depan. Langen dan Ijah tidak berani bergerak. Tetap meringkuk dalam-dalam di samping lemari makan, menutupi badan mereka rapat-rapat dengan gorden, dan baru berani bergerak begitu Rei berlari ke lantai dua sambil berteriak.
''LANGEN! KELUAR!!!''
''Cepet, Mbak! Cepet! Cepet! Ijah ada ide!'' bisik Ijah. Tanpa suara, dia berlari menyeberangi ruang makan. Langen langsung mengikuti tanpa berpikir lagi. Keduanya berlari masuk ke dapur lalu keluar ke halaman belakang. Mereka langsung menghentikan lari mereka dan menggantinya dengan langkah pelan. Keduanya menempelkan badan rapat-rapat di tembok, dia di tempat sambil menahan napas, begitu Rei muncul di teras atas dan men-sweeping halaman belakang lewat sepasang tatap tajam. Begitu Rei masuk lagi, kedua orang itu langsung berlari secepat-cepatnya menuju tempat sampah di sudut halaman. Hati-hati, takut mengeluarkan suara, Ijah membuka tutupnya.
''Cepet masuk, Mbak!'' bisiknya.
''Masuk sini!?'' Langen terbelalak. ''Ogah, gila! Bau, tau!''
''Tempat sampah di mana-mana juga bau. Masuk sini trus keluar ke jalanan samping. Gitu, Mbak. Cepetan! Ntar Mas Rei keburu turun!''
Terpaksa, sambil menutup hidung dan menahan jijik, Langen masuk ke tempat sampah itu. Tutupnya langsung dirapatkan dan Ijah segera ngibrit ke dapur. Ijah langsung membuka kulkas, mengeluarkan sayuran, mengambil pisau dan talenan, dan terakhir memakai walkman! Barulah dengan tenang Ijah berakting sedang sibuk memasak.
Satu menit kemudian.....
''HAH!'' Bahunya ditepuk dari belakang dan Ijah melepit betulan. Padahal itu sudah diduganya dan dia sudah berencana akan berlagak sangat terkejut kalau nanti Rei muncul. Tidak disangka, malah terkejut betulan. Dimatikannya walkman dan dicopotnya earphone.
"Mana Langen?"
"Nggak ada, Mas.''
''Jangan bohong! Gue tau dia di sini. Ibunya yang bilang!''
"Itu kemaren, Mas. Dua hari emang Mbak Langen nginep di sini. Tapi tadi dia pergi, abis Non Fani berangkat kuliah."
"Jangan bohong!"
"Iiih, buat apaan, lagi?" Ijah mengelak dengan tenang. Sama sekali tidak takut. Wong bukan Rei yang bayar gajinya!
"Dia bilang mau ke mana?"
"Paling juga pulang. Orang udah dua hari di sini."
Rei tidak bertanya lagi. Beberapa saat ditatapnya Ijah dengan sorot tajam, lalu balik badan dan berlari ke depan. Ijah meleletkan lidah panjang-panjang.
''Weee! Emangnya Ijah takut?''
Tapi berikutnya dia tersentak. Sadar, sekarang ganti majikannya yang berada dalam bahaya. Buru-buru Ijah berlari ke depan. Benar saja. Di bawah cengkeraman Bima, Fani sedang dicecar Rei dengan bertubi pertanyaan. Beberapa detik Ijah terdiam panik. Dengan keras memutar otak dan.... Plops! Muncullah sebuah ide yang sangat brilian. Ijah langsung berdiri di ambang pintu teras dan berteriak gila-gilaan.
''NON FANIII! ADA TELEPON DARI NYONYA! CEPETAN! KATANYA PENTIIING!''
Rei dan Bima saling pandang sesaat. Terpaksa mereka melepaskan tawanan. Fani langsung lari terbirit-birit masuk halaman. Begitu dia sudah masuk ruang tamu, Ijah langsung menutup pintu dengan bantingan keras. Anak kuncinya langsung diputar dua kali dan kedua gerendelnya langsung dikaitkan. Dia lalu berteriak lewat jendela yang berteralis.
''BO'ONG DENG! NGGAK ADA TELEPON! KENA TIPU LO BERDUA! EMANG ENAK?''
Fani bengong sesaat. Lalu dia tertawa keras-keras sambil melompat-lompat dan bertepuk tangan.
''Canggih lo, Jah! Cool! Top abis!''
Ijah meringis. Setelah beberapa, saat memandangi kedua orang yang terus meledek dari balik kaca, Rei dan Bima pergi dengan marah.
''Eh, Langen mana?'' tanya Fani.
''Keluar. Ke jalanan samping.''
''Lewat mana?''
''Tempat sampah,'' jawab Ijah kalem.
''Hah!?'' Fani ternganga dan langsung berlari keluar.
Di jalanan samping rumahnya, meringkuk di antara tempat sampah dan sebatang pohon, Langen sedang setengah mati menahan mual. Lidahnya sudah melelet keluar panjang-panjang. Huek-huek tanpa suara.
''Kasian amat sih lo?'' meskipun jijik, sebab bau Langen betul-betul seperti tempat sampah di sebelahnya, Fani menarik sahabatnya itu sampai berdiri. ''Mereka udah pergi. Lo jangan langsung masuk, ya? Mandi di luar dulu. Ntar gue siapin slang.''
''Kejem amat sih lo!?'' jerit Langen. ''Emangnya gue kambing, mandi di luar?''
''Elo bau, tau! Malah bauan elo daripada kambing!''
''Eeh, nantang ya? Mau nyoba?'' Fani jadi berang. ''Kamu jangan kaget ya, kalo tiba-tiba aja sohib kamu itu udah tergeletak di jalan gara-gara kena peluru sniper!''
''Oh, jangan! Jangan!'' jawab Bima buru-buru. ''Oke, aku salah. Aku minta maaf. Tolong jangan bikin Rei jadi mayat. Pleaseee?'' sambungnya dengan ekspresi seolah-olah sangat ketakutan dengan ancaman itu.
''Huh!'' Fani membuang muka dengan sombong. Bima terpaksa menahan tawa gelinya.
''Oke deh. Yuk, aku anter pulang.''
Tapi saat Jeep Canvas Bima berbelok ke jalan yang melewati depan rumah Fani, cewek itu kontan terbelalak. Jeep CJ7 milik Rei sudah ada di sana!
''Yeee, nekat nih!'' Fani mendesis marah. ''Mau apa lagi dia? Udah dibilang Langen nggak mau ketemu!'' dengan berang dibukanya pintu. Siap melompat keluar.
''Eh! Eh!'' Bima buru-buru meraih pinggang Fani. ''Ini mobilnya masih jalan, Say! Nanti kamu jatuh. Kalo kenapa-napa, aku yang repot!''
''Makanya berhenti!''
''Ya sabar dong. Tanggung, tinggal di depan. Tutup pintunya.''
Begitu mobil berhenti, Fani langsung melompat turun.
Buru-buru dia berlari ke pintu pagar lalu berdiri rapat-rapat di depannya.
''Udah gue bilang jangan ke sini, juga!'' dibentaknya Rei.
''Fan, tolong. Gue cuma mau ngomong sebentar sama Langen.''
''Ngomong aja sama gue. Ntar gue sampein ke dia!''
''Ini pribadi, Fan.''
''Oh! Udah nggak ada lagi pribadi-pribadian antara lo sama dia. Orang kalian udah putus!''
Bima tak sabar lagi. Ditariknya Fani dari depan pintu pagar.
''Lo masuk, Rei! Cepet! Tarik Langen keluar!''
Tanpa buang waktu, Rei membuka pagar yang tak terkunci, lalu langsung melesat masuk halaman.
Fani terperangah. ''Hei!? Hei!? Awas aja lo....!''
"Awas apa?" ulang Bima. Dikurungnya Fani dalam rentangan kedua tangannya. Cewek itu langsung menempelkan tubuhnya rapat-rapat di pagar.
"Ini kan rumah gue!"
"Trus kenapa kalo aku izinin Rei masuk? Mau protes? Boleh. Tapi aku nggak tanggung akibatnya!"
"Mak....sudnya?"
"Maksudnyaaaa....." Bima mendekatkan tubuhnya, membuat Fani semakin melekatkan diri serapat mungkin di besi-besi pagar. Pelan-pelan wajahnya mulai memerah.
Gila, ini pinggir jalan! Dari tadi mobil-motor tidak berhenti lalu-lalang. Apalagi orang jalan. Beberapa mulai memerhatikan mereka sambil senyum-senyum. Malah ada yang bersuit-suit segala. Bima tersenyum tipis.
''Aku nggak keberatan sekali-sekali kissing di tempat umum."
''HAAA!!!?'' Fani terkesiap dan seketika menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Sementara itu dua orang yang sedang bersembunyi di balik gorden ruang makan, langsung panik begitu Rei berlari masuk halaman. Mereka nggak nyangka Rei akan kembali lagi. Dan parahnya, Ijah sudah membuka kunci pagar dan pintu ruang tamu begitu Rei pergi tadi.
Keduanya nyaris terlompat saat pintu ruang tamu terbuka dengan empasan keras diikuti teriakan.
''LANGEN! KELUAR, LA!!!''
''Aduh, gawat!'' desis Langen. ''Jah, gue kudu buru-buru kabur nih.''
''Gimana? Pintu belakang lagi rusak. Nggak bisa dibuka.''
''Makanya gimana dong?''
Ijah terdiam. Berdecak bingung dengan suara pelan. Sementara itu Rei sedang menggeledah ruang tamu, lalu lanjut ke ruang keluarga, perpustakaan, dan semua ruangan di area depan. Langen dan Ijah tidak berani bergerak. Tetap meringkuk dalam-dalam di samping lemari makan, menutupi badan mereka rapat-rapat dengan gorden, dan baru berani bergerak begitu Rei berlari ke lantai dua sambil berteriak.
''LANGEN! KELUAR!!!''
''Cepet, Mbak! Cepet! Cepet! Ijah ada ide!'' bisik Ijah. Tanpa suara, dia berlari menyeberangi ruang makan. Langen langsung mengikuti tanpa berpikir lagi. Keduanya berlari masuk ke dapur lalu keluar ke halaman belakang. Mereka langsung menghentikan lari mereka dan menggantinya dengan langkah pelan. Keduanya menempelkan badan rapat-rapat di tembok, dia di tempat sambil menahan napas, begitu Rei muncul di teras atas dan men-sweeping halaman belakang lewat sepasang tatap tajam. Begitu Rei masuk lagi, kedua orang itu langsung berlari secepat-cepatnya menuju tempat sampah di sudut halaman. Hati-hati, takut mengeluarkan suara, Ijah membuka tutupnya.
''Cepet masuk, Mbak!'' bisiknya.
''Masuk sini!?'' Langen terbelalak. ''Ogah, gila! Bau, tau!''
''Tempat sampah di mana-mana juga bau. Masuk sini trus keluar ke jalanan samping. Gitu, Mbak. Cepetan! Ntar Mas Rei keburu turun!''
Terpaksa, sambil menutup hidung dan menahan jijik, Langen masuk ke tempat sampah itu. Tutupnya langsung dirapatkan dan Ijah segera ngibrit ke dapur. Ijah langsung membuka kulkas, mengeluarkan sayuran, mengambil pisau dan talenan, dan terakhir memakai walkman! Barulah dengan tenang Ijah berakting sedang sibuk memasak.
Satu menit kemudian.....
''HAH!'' Bahunya ditepuk dari belakang dan Ijah melepit betulan. Padahal itu sudah diduganya dan dia sudah berencana akan berlagak sangat terkejut kalau nanti Rei muncul. Tidak disangka, malah terkejut betulan. Dimatikannya walkman dan dicopotnya earphone.
"Mana Langen?"
"Nggak ada, Mas.''
''Jangan bohong! Gue tau dia di sini. Ibunya yang bilang!''
"Itu kemaren, Mas. Dua hari emang Mbak Langen nginep di sini. Tapi tadi dia pergi, abis Non Fani berangkat kuliah."
"Jangan bohong!"
"Iiih, buat apaan, lagi?" Ijah mengelak dengan tenang. Sama sekali tidak takut. Wong bukan Rei yang bayar gajinya!
"Dia bilang mau ke mana?"
"Paling juga pulang. Orang udah dua hari di sini."
Rei tidak bertanya lagi. Beberapa saat ditatapnya Ijah dengan sorot tajam, lalu balik badan dan berlari ke depan. Ijah meleletkan lidah panjang-panjang.
''Weee! Emangnya Ijah takut?''
Tapi berikutnya dia tersentak. Sadar, sekarang ganti majikannya yang berada dalam bahaya. Buru-buru Ijah berlari ke depan. Benar saja. Di bawah cengkeraman Bima, Fani sedang dicecar Rei dengan bertubi pertanyaan. Beberapa detik Ijah terdiam panik. Dengan keras memutar otak dan.... Plops! Muncullah sebuah ide yang sangat brilian. Ijah langsung berdiri di ambang pintu teras dan berteriak gila-gilaan.
''NON FANIII! ADA TELEPON DARI NYONYA! CEPETAN! KATANYA PENTIIING!''
Rei dan Bima saling pandang sesaat. Terpaksa mereka melepaskan tawanan. Fani langsung lari terbirit-birit masuk halaman. Begitu dia sudah masuk ruang tamu, Ijah langsung menutup pintu dengan bantingan keras. Anak kuncinya langsung diputar dua kali dan kedua gerendelnya langsung dikaitkan. Dia lalu berteriak lewat jendela yang berteralis.
''BO'ONG DENG! NGGAK ADA TELEPON! KENA TIPU LO BERDUA! EMANG ENAK?''
Fani bengong sesaat. Lalu dia tertawa keras-keras sambil melompat-lompat dan bertepuk tangan.
''Canggih lo, Jah! Cool! Top abis!''
Ijah meringis. Setelah beberapa, saat memandangi kedua orang yang terus meledek dari balik kaca, Rei dan Bima pergi dengan marah.
''Eh, Langen mana?'' tanya Fani.
''Keluar. Ke jalanan samping.''
''Lewat mana?''
''Tempat sampah,'' jawab Ijah kalem.
''Hah!?'' Fani ternganga dan langsung berlari keluar.
Di jalanan samping rumahnya, meringkuk di antara tempat sampah dan sebatang pohon, Langen sedang setengah mati menahan mual. Lidahnya sudah melelet keluar panjang-panjang. Huek-huek tanpa suara.
''Kasian amat sih lo?'' meskipun jijik, sebab bau Langen betul-betul seperti tempat sampah di sebelahnya, Fani menarik sahabatnya itu sampai berdiri. ''Mereka udah pergi. Lo jangan langsung masuk, ya? Mandi di luar dulu. Ntar gue siapin slang.''
''Kejem amat sih lo!?'' jerit Langen. ''Emangnya gue kambing, mandi di luar?''
''Elo bau, tau! Malah bauan elo daripada kambing!''
continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar