PINTU dan semua jendela sekretariat Maranon, organisasi pencinta alam Universitas Sagarmatha, tertutup rapat saat Langen dan Fani tiba sore itu. Kedua cewek itu tidak bisa mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam ruangan, karena seluruh tirainya membentang, menutupi semua jendela yang ada.
"Rapat lagi kayaknya nih!" desis Langen jengkel. "Gimana, Fan?"
"Tungguin ajalah," kata Fani. Tidak tega mau ngajak Langen pulang.
Tapi setelah keduanya menunggu berjam-jam sampai nyaris lumutan, begitu pintu itu terbuka, eeeh.....orang yang ditunggu dengan enteng malah menyuruh mereka pulang. Setelah sempat terperangah di ambang pintu, dengan langkah-langkah cepat Rei segera menghampiri Langen dan Fani yang duduk bersila di lantai koridor.
"Sori, La. Aku ada rapat. Sampe malem kayaknya. Kamu nggak apa-apa kan, pulang sendiri?" ucapnya tanpa rasa bersalah. Jelas Langen langsung emosi.
"Nggaaak. Nggak apa-apa kok. Rapat aja lagi......sampe besok. Tanggung kalo cuma sampe malem!"
"Sabtu depan kita jalan. Aku janji."
"Sabtu kemaren kamu ngomongnya juga begitu!"
"Sabtu kemarennya lagi juga!" Fani langsung menimpali.
"Juga Sabtu kemarennya dan kemarennya daaan kemarennya!"
Rei nyuekin celetukan Fani. "Tapi Sabtu depan bener, La. Janji!" tegas Rei.
"Siapa yang percaya?" sentak Langen. "Pulang yuk, Fan!"
"La, please? Jangan ngambek begitu dong." Rei buru-buru meraih tangan Langen, tapi langsung ditepis oleh si pemilik tangan.
"Aku nggak ngambek! Aku marah, tau!" Langen hampir menjerit.
"Tapi aku janji....."
"Nggak! Aku nggak mau denger!"
Harapan Rei langsung beralih ke sahabat karib Langen. "Fan, tolong jelasin ke Langen, ya? Sabtu depan bener!"
"Elo jelasin sendiri. Enak aja. Lagian juga paling lo bohong lagi. Kayak gue nggak tau elo aja!" tolak Fani mentah-mentah.
"Sori ya, sayang? Aku nggak bisa dateng lagi nih......"Bima, sahabat Rei yang sejak tadi hanya berdiri diam di ambang pintu, menatap Fani dengan ekspresi "betapa apa yang baru saja dikatakannya tadi telah membuat hatinya menjadi sangat sedih". "Padahal aku kangeeen banget sama kamu."
"Iih!" Fani langsung buang muka. "Siapa juga yang ngarepin lo dateng?"
Bima jadi tertawa geli. Kalau saja di sekitar mereka tidak banyak orang, pasti sudah dibekapnya cewek yang telah berhasil dipaksanya untuk jadi pacarnya yang teranyar itu. Lalu diberinya satu ciuman!
Terpaksa Rei dan Bima membiarkan Langen dan Fani pergi dari hadapan mereka.
***
"Mereka emang gitu, La. Udah......nggak usah dipusingin," hibur Fani, ketika mereka sudah meninggalkan sekretariat Maranon.
"Iya sih, tapi yang bener aja dong! Udah berapa kali malem Minggu, coba? Tiap Sabtu-Minggu pasti ada acara. Datengnya malah malem Jumat. Emangnya gue sundel bolong?"
Fani meringis. Tiba-tiba disikutnya pinggang Langen. "Liat, tuh. Ndoro Gusti Raden Ajeng Febriani."
Langen melirik sebal. Raden Ajeng Febriani Kesumoningrat atau yang biasa dipanggil ''Febi'' itu ceweknya Rangga. Rangga itu ya masih komplotannya cowok dua tadi. Febi termasuk cewek antik. Masih keturunan bangsawan atau ningrat. Katanya sih dia dan keluarganya masih keturunan langsung prabu siapa, gitu. Dibilang antik, soalnya itu cewek lembutnya minta ampun. Jalannya luamaaa. Ngomongnya juga pelaaan. Dan yang paling aneh, kalau ketawa nyaris tanpa suara! Itu juga jarang. Paling sering Febi cuma senyum-senyum doang.
"Mau ikut jalan, Feb? Mending malem Minggu-an sama kita” dengan santun dia mohon pamit.
"Sebel banget gue sama tuh cewek. Sok bangsawan banget!" dengus Langen.
"Iya emang!" Fani mengangguk. "Tau gitu kenapa juga lo ajak dia tadi?"
"Basa-basi doang. nggak bakanlah dia mau. Ntar bisa turun dia punya kasta!"
"Lagian juga dia pasti bohong. Kursus apaan malem Minggu gini?"
"Kursus masang konde, kursus pake kebaya, sama kursus ngeracik jamu-jamuan" dengus Langen lagi.
Fani terkekeh geli.
Langen berdecak. "Kalo gue pikir-pikir, tuh cowok tiga kurang ajar banget deh. Seenaknya sendiri aja. Mereka pikir kita apa sih?"
"Ah, udah deh......nggak usah dipikirin. Mendingan kita jalan-jalan." Fani merangkul bahu sahabatnya dan membawanya ke tempat parkir utama kampus, di depan gedung rektorat, tempat Langen meninggalkan Kijang-nya tadi siang.
***
Senin siang, di tengah ruang sekretariat Maranon, Andreas, salah seorang anggotanya, sedang duduk di salah satu meja. Menghadap ke seisi ruangan.
"Waktu SMA, gue pernah bikin acara maraton gunung. Khusus yang tingginya di atas tiga ribu DPI..... Waktu itu lima gunung. Start di Pangrango, lanjut ke Cireme, nyambung ke Slamet, terus ke Sumbing, dan finish di Merbabu. Seru banget, gila! Yang berhasil ngabisin lima-limanya cuma tujuh orang. Padahal pesertanya hampir empat puluh. Usul gue,gimana kalo kita bikin acara kayak gitu? Nanti libur semesteran. Biar tambah seru dan dahsyat, kita abisin Pulau Jawa! Gimana?"
Wajah-wajah di sekitarnya meratap ternganga. Lalu...... "SETUJUUUU!!!"
Gemuruh teriakan membahas seketika. Membuat ruang sekretariat Maranon tenggelam dalam ingar-bingar.
"Dan usul lagiiii.....!!!" seru Andreas. Dipukul-pukulnya whiteboard dengan batang kayu. Ruangan mendadak sepi. Semua kepala menoleh ke arahnya. "Minggu ini kan ada libur dua hari. Tiga sama hari Minggu-nya. Gimana kalo kita pemanasan? Maraton Salak-GedePangrango?"
"SETUJUUU!!!!"
Kembali ruangan itu dipenuhi suara riuh. Di salah satu sudut, tiga cowok sibuk mendiskusikan bagaimana caranya memberitahu cewek masing-masing bahwa sialnya, lagi-lagi! malam Minggu ini terpaksa absen!
Rei yang paling pusing. Dia sudah bisa menebak seperti apa respons Langen nanti. Bima sebaliknya, justru kecewa. Karena dia tahu benar, Fani pasti benar-benar bersyukur dia tidak muncul. Sementara Rangga seperti biasa, tenang. Karena Febi-nya yang tersayang adalah cewek aristokrat yang tidak pernah diajar untuk menuntut. Jadi aman.
"Alasan baru lagi, kan? Selalu aja gitu. Minggu besok mau ke sini. Minggu depannya mau ke situ. Ke sana. Kemari. Selalu aja ada acara. Dan semuanya penting. Nggak ada yang nggak penting!" Langen langsung berseru jengkel begitu tahu maksud kedatangan Rei.
Rei berdiri, mendekati ceweknya yang sedang cemberut berat itu lalu memeluknya dari belakang dengan mesra. Disandarkannya dagunya di bahu Langen, kemudian diberinya Langen satu ciuman di pipi, begitu lembut dan penuh cinta. Harus begitu memang kalau tujuannya ingin tetap bisa tercapai seperti kemarin-kemarin. Meninggalkan Langen di rumah.....lagi!
"Kalo dipikir-pikir.....aku egois banget, ya?" bisiknya. Menuduh diri sendiri dulu biar kesannya sadar kalau bersalah.
Basi! dengus Langen dalam hati.
"Tapi kamu tau nggak, kenapa aku nggak pernah ngajak kamu? Karena gunung bukan tempat yang aman buat cewek. Banyak bahayanya. Binatang buas, misalnya."
"Kamu kok nggak kenapa-kenapa?"
"Aku cowok, La."
Nah, ini! Ucap Langen dalam hati. Terus kenapa kalo cowok? Emangnya macan nggak doyan cowok, apa? Nggak masuk akal banget alasannya!
"Belum lagi dinginnya yang gila-gilaan. Lagi pula ini bukan kegiatan untuk pemula. Bukan sekadar hiking. Ini latihan fisik. Jadi sifatnya juga intern."
Pelukan Rei makin menguat. Dibenamkannya tubuh Langen dalam pelukannya. Satu ciuman lembut dia berikan untuk bibir cemberut Langen. Tapi cewek itu sudah tidak terpengaruh. Sudah bosan! San! San! San......! Lagu lama!
Medannya beratlah, bukan buat pemulalah, internlah, bahayalah, dan masih banyak lagi alasan lainnya. Tapi intinya cuma satu. Rei tidak ingin dia ikut! Itu saja. Tapi ngomongnya repot.
Melihat Langen diam, Rei mengira lampu hijau telah menyala. Meskipun nggak hijau-hijau amat. Menurut Rei, tempat terbaik buat cewek memang di rumah. Di dekat ayah-ibu, juga saudara-saudara!
Harap dicatat!!!
continue~
Link Bab 1 part 2: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/bab-1-part-2-novel-cewek-by-esti-kinasih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar