Sabtu, 15 Maret 2014

Epilog novel cewek!!! by esti kinasih



Langen menerima permintaan Rei untuk kembali, dengan setumpuk persyaratan. Sementara Fani kini berani mengangkat dagu tinggi-tinggi, menunjukkan pada Bima bahwa dirinya juga punya ''kuku, taring, dan gigi'' yang ketajamannya telah teruji.

Suatu malam diteras belakang rumahnya yang lampunya sengaja dipadamkan, Rei mendiskusikan kondisi yang berubah 180 derajat itu dengan Bima. Sementara Rangga hanya mendengarkan sambil menahan senyum.
Hubungan pasca-''kekalahan'' kedua cowok itu memang diwarnai dengan dominasi cewek-ceweknya. Langen dan Fani kini banyak menuntut. Jika tuntutan itu tidak diindahkan, kedua cewek itu segera meneriakkan ancaman yang membuat Rei dan Bima terpaksa angkat tangan. Menyerah!
''Kita putus!''
Dan dua hari lalu, Langen ''memperindah'' ancamannya.
''Akan langsung kami umumkan ke seantero jagat, kalo kami berdua lagi jomblo! Tapi tentu aja nggak dengan kata-kata!'' Langen menghentikan kalimatnya, lalu tersenyum manis. ''Dengan reputasi lo, Buaya Laknat!'' ditunjuknya muka Bima lurus-lurus. ''Dan elo, sahabatnya Buaya Laknat!'' Telunjuk Langen pindah ke muka Rei. ''Gue sama Fani akan memperlihatkan kepada khalayak, betapa kami berdua telah dicampakkan dengan begitu semene-mena dan tanpa perasaan!''

Ancaman yang diperindah itulah yang memicu pertemuan malam ini. Setelah diskusi berdurasi hampir dua jam yang diselingi beberapa kali tarikan napas panjang, tawa pelan, juga desisan geram, Rei dan Bima akhirnya memutuskan untuk.....sementara.....tunduk pada cewek-cewek mereka!

Hampir saja senyum tertahan Rangga meledak jadi tawa. Untung lampu dipadamkan, jadi seringai lebarnya tidak kelihatan. Buru-buru dia rapatkan kedua rahangnya.

Perubahan ending perang terbuka itu, di mana akhirnya Langen dan Fani, juga Rei cs, turun tidak bisa dimunculkan. Dan itu membuat Rangga merasa posisinya tetap aman, alias ''cowok adalah makhluk superior'' masih bertakhta di tempat yang seharusnya.

Tanpa dia ketahui, peristiwa Febi minggat dari rumah ternyata telah menyebabkan kegemparan. Rapat keluarga kemudian memutuskan, gadis itu akan dikirim ke kota asal. Untuk kedua kalinya dia akan masuk ''keputren'', soalnya darah birunya sudah terkontaminasi dan perlu pencucian total.

***

Kabar akan dipulangkannya Febi ke kota asal diterima Rangga pada saat hari, tanggal, dan jam keberangkatan gadis itu telah ditetapkan. Satu minggu lagi!

Rangga kontan kalut, dan semakin bertambah kalut saat keluarga Febi tidak mengizinkannya untuk bertemu, karena dia dianggap sebagai salah sati penyebab rusaknya gadis itu.

Langen, yang lebih tidak mempunyai akses ke dalam keluarga Febi, jelas juga tercengang mendengarnya. Tapi tidak diperlihatkannya terang-terangan. Dengan sikap sangat tenang, seakan-akan dirinya pakar terpercaya untuk urusan-urusan cetek seperti itu, didengarnya rentetan letup keputusasaan Rangga. Cowok itu muncul di teras rumahnya pagi-pagi buta dalam keadaan berantakan!
''Tolongin gue, La!'' adalah kalimat yang langsung menyambut Langen begitu dibukanya pintu. Belum sempat dibukanya mulut untuk bertanya, cowok stres dan acak-acakan di depannya langsung menghujaninya dengan berondongan kata-kata yang diucapkan dengan suara serak, terputus-putus, dan intonasi naik-turun, serta urutan cerita yang tidak keruan.

wkwkwk! Langen berdecak dalam hati. Satu bukti lagi, betapa otot jadi begitu tak berdaya di saat cupid-cupid cinta mempermainkan rentangan panahnya.
''Oke deh. Gue bantuin,'' katanya akhirnya. Seketika Rangga berhenti meneriakkan hatinya yang lara dan berdarah.
''Apa yang mesti gue kerjain, La?''
Langen menjawab dengan nada datar. ''Nggak ada yang bisa lo kerjain. Otot nggak ada manfaatnya untuk urusan-urusan kayak gini. Biar gue sama Fani yang kerja. Soalnya yang diperlukan adalah kebijaksanaan, kecerdasan, kelihaian, dan sedikit kelicikan. Dan itu semua adanya.....di otak!''
''Iya. Iya. Gue tau,'' Rangga menjawab buru-buru. ''Tapi kalo ada yang bisa gue bantu.....''
''Pasti ada!'' potong Langen. Cewek itu berdiri lalu berjalan ke dalam. Tak lama dia kembali dengan selembar kertas di tangan. Di kertas itu tanda tangan Rei dan Bima sudah tertera. Surat Pernyataan Pengakuan Kekalahan. Diulurkannya kertas itu pada Rangga. ''Tanda tangan!''

***

Sekali lagi Langen memanfaatkan otak nggak beres Salsha. Tapi kali ini Salsha ingin memperbaiki citra diri. Menunjukkan bahwa kadang-kadang otaknya juga bisa beres dan menghasilkan hal-hal positif. Kali ini cewek itu akan berdiri di belakang layar. Sedangkan yang akan maju untuk menyelamatkan Febi dari ancaman ''deportasi'' adalah sekelompok remaja.

Sekelompok remaja yang masih memegang tradisi, yang menganggap globalisasi akan mengikis pribadi dan jati diri suatu bangsa. Sekelompok remaja yang kemudian memutuskan untuk membangun semacam harem mini, tempat (paling tidak) sebagian kecil jati diri itu bisa mereka jaga untuk tetap murni. Dan lewat promosi Salsha yang heboh dan gila-gilaan, sekelompok remaja itu lalu menganggap Febi adalah ragi yang tepat untuk adonan roti yang mereka miliki.

Raden Ajeng Febriani, lahir dalam keluarga aristokrat Jawa yang benar-benar tulen dan ortodoks. Sempat merasakan didikan keputren. Menguasai seluruh tari Jawa klasik. Tahu di luar kepala silsilah rumit para tokoh Mahabharata dan Ramayana, lengkap dengan karakter masing-masing. Sekaligus hafal juga setiap penggal kisah dalam kedua epik besar itu. Dan banyak lagi ke-Jawa-an Febi yang menurut mereka merupakan aset penting dan teramat berharga.

Keluarga Febi jelas jadi sangat tersanjung, dan seketika membatalkan rencana untuk memulangkan gadis itu ke kota asal!

***

Kata pepatah Cina kuno, kesatria yang paling gagah sekalipun tidak akan bisa mengalahkan wanita cantik yang smart! Tapi kesatria adalah seseorang yang juga diajarkan untuk dengan jantan mengakui kekalahan.

Karena itu, meskipun harus menekan ego mati-matian, Rangga mengakui kekalahannya. Di bawah tatap mata Langen dan Fani, dijabatnya tangan Salsha erat-erat dan diucapkannya terima kasih. Dengan jelas dan tegas!

Bab 26 part 6 novel cewek!!! by esti kinasih


memeletkan lidah panjang-panjang ke arah Rei dan Bima. Kedua cowok itu hanya bisa menatap sambil menahan marah dan gemas, tanpa bisa berbuat apa-apa. Di belakang keduanya, Rangga juga hanya bisa geleng-geleng kepala.

Dengan cerdik kedua cewek itu tetap bertahan di atas batu. Baru setelah kelebat orang-orang yang berlarian itu terlihat di antara rimbunnya pepohonan, keduanya melompat turun, dan berdiri dalam jarak aman yang tidak terjangkau ketiga lawan.

Dan menjelang orang yang berlari paling depan tiba di batas kerimbunan semak dan pepohonan, Langen cepat-cepat menghampiri Bima lalu menangis terisak-isak disebelahnya dengan kedua tangan menutupi muka.

Rei cs kaget dan menatap Langen tak mengerti. Tapi hanya itu reaksi yang sempat mereka berikan. Karena sedetik kemudian sekelompok besar manusia berhamburan, menghampiri mereka dari arah jalan setapak.
''Ada apa!? Ada apa!?'' kerumunan orang yang berjumlah lebih dari sepuluh itu berseru bersamaan.

Langen terus terisak-isak di balik kedua telapak tangannya. Pertama, untuk meyakinkan para pendatang baru itu, bahwa dirinya sedang shock berat, jadi tidak bisa ditanya. Kedua, karena dia juga bingung mau jawab apa. Akibatnya, Bima yang jadi kelimpungan.
''Tangan lo kenapa?'' salah seorang cowok berkaus putih dengan kepala terikat slayer oranye bertanya cemas.
''Oh, ini....'' Bima memaki dulu dalam hati. ''Gue cuma agak lengah tadi. Nggak apa-apa.''
''Nggak apa-apa gimana? Lo nggak liat darahnya merembes gitu?''
''Ng....'' Bima mati kutu. Ditatapnya Rei dan Rangga bergantian, tapi kedua sobatnya itu juga belum menemukan jawaban yang tepat untuk rentetan pertanyaan tadi.
''Coba gue liat.'' cowok dengan kepala terikat slayer itu menyentuh pelan luka di lengan Bima.
''Nggak. Nggak usah!'' dengan senyum dipaksakan, Bima menjauhkan tangan itu dari lukanya. ''Nggak terlalu parah.''
''Iya, mana coba gue liat!'' cowok berslayer itu memaksa. ''Lo nggak liat tuh, cewek lo nangisnya sampe begitu?''

Mendengar itu sepasang mata Rei dan Bima kontan melebar. Sementara ''tangis'' Langen nyaris berhenti. Lewat sela-sela jari, bisa dilihatnya Fani nyaris terkikik.
Orang-orang itu lalu mengumuni Bima dan tak berapa lama terdengar seruan-seruan kaget.
''Gila! Kena apa sih? Sampe parah gini lukanya!''
''Kudu dijait nih! Lebar banget!''
''Pantes aja darahnya sampe merembes gitu!''

Ketika lewat sela-sela jari Langen melihat Bima telah menjadi pusat perhatian dan tidak mungkin bisa melepaskan diri, cepat-cepat dia turunkan kedua tangannya. Seketika didapatinya Rei tengah menatapnya tajam dari luar kerumunan. Langen melirik ke segala arah, dan begitu mendapat kepastian semua mata saat ini sedang tertuju pada Bima, cewek itu mengembangkan senyum manis tapi mengejek.

Dengan gaya kenes, dia kedip-kedipkan kedua matanya yang ditutup dengan jari-jari yang melambai centil. Rei hanya bisa mendesis marah, geleng-geleng kepala, dan akhirnya memalingkan tatapannya. Fani yang juga melihat kejadian itu menghampiri Langen sambil menahan tawa.
Sementara itu Bima sedang mati-matian menahan sabar. Dengan suara yang dipaksa terdengar sesopan mungkin, dicobanya untuk mengusir orang-orang yang sedang mengerumuninya.
''Thanks. Makasih banyak. Tapi sori kami buru-buru, mau lanjut ke puncak.''

Seketika seseorang berbicara dengan nada keras, ''Jangan gila! Dengan luka kayak gitu, lo cuma nganter nyawa kalo maksa ke sana.''
''Tau nih orang! Lo pendaki amatir, ya? Jadi lagi ngumpulin jam terbang, gitu?'' yang lain menyambung.

Tawa Langen dan Fani nyaris meledak mendengar itu. Bima pendaki amatir? Kejem banget tuh orang ngomongnya. Nggak tau apa kalo tuh monyet calon penerus takhta kepemimpinan Maranon?
Salah seorang yang mengerumuni Bima lalu menoleh ke Langen, yang telah kembali memasang ekspresi takut dan cemas.
''Bilangin cowok lo nih. Ngotot banget pengen lanjut ke puncak!''

Langen meringis dalam hati. Lagi-lagi, ada kesempatan untuk mempermalukan lawan. Hari ini betul-betul hari yang indah dan sangat sempurna!
''Yaaah, gue sih bisa ngerti,'' ucapnya lembut. Tatapannya terarah ke Bima, begitu lembut dan penuh pengertian. ''Otot emang perlu menjejakkan dirinya ke puncak. Karena kalau nggak begitu, keeksisannya akan abstrak. Tapi otak sama sekali nggak perlu begitu. Karena otak bisa merefleksikan puncak, di mana pun dia mau.'' Kembali Langen mengembangkan senyumnya. ''Tapi untuk bisa sampe ke puncak, jelas cuma otot yang sehat. Otot sakit begitu kayaknya nggak mungkin deh, Sayang. Nanti kamu malah mati, sebelom sampe sana.....''

Tawa Fani nyaris meledak. Buru-buru dia tekan bibirnya dengan satu tangan kuat-kuat. Dasar Langen gila! Serunya dalam hati.

Sementara orang-orang yang mengerumuni Bima memandang Langen dengan kening terlipat, karena tidak mengerti maksud kata-katanya. Bima menatap Langen dengan kilat kemarahan yang meletup. Mulutnya mendesiskan kata ''kurang ajar'' yang hanya bisa didengar olehnya sendiri. Rangga geleng-geleng kepala, tapi tidak lagi mampu menyembunyikan rasa salutnya. Untuk pertama kalinya Rei menyadari Langen memang lawan yang tangguh!
''Tuh, cewek lo aja tau. Udah turun aja. Lo kudu langsung ke rumah sakit. Ntar luka lo keburu infeksi. Bulan depan kami mau ke sini lagi. Kalo mau, gabung aja,'' kata cowok yang berdiri di sebelah Bima persis.

Bima tidak bergerak. Sepertinya masih tidak bisa menerima kenyataan kubunya telah kalah. Tapi Rei yang sudah kalah, menerima saran itu. Didekatinya Bima lalu dirangkulnya dengan satu tangan.
''Oke, ayo turun!''

Langen dan Fani saling pandang dan tak lagi mampu menyembunyikan tawa kemenangan mereka. Tanpa memedulikan sorot keheranan mata-mata di sekitarnya, Langen berseru keras ke arah sahabatnya.
''Toss, Fan!''
Kedua cewek itu lalu ber-highfive dengan suara keras. Kemudian dengan riang mengambil posisi di bagian depan.

Empat orang menyaksikan peristiwa itu dari balik lebatnya semak belukar. Iwan cs minus Rizal, yang tadi ikut berlari di bagian paling belakang, lalu berhenti lebih dulu dan melepaskan diri dari barisan.

Keempatnya tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang jelas, ''pertempuran'' itu telah selesai. Dan yang sama sekali tidak mereka duga.... Langen dan Fani berhasil keluar sebagai pemenang!

***
Ibu Kartini, tokoh yang paling diidolakan Langen, bisa dipastikan akan murka melihat perjuangannya diteruskan dengan cara demikian. Tapi wanita atau perempuan atau cewek adalah makhluk yang diberikan keindahan. Dan kedua cewek itu, Langen dan Fani, berada dalam situasi yang benar-benar sulit. Benar-benar darurat, benar-benar apa boleh buat.....mereka terpaksa memanfaatkan anugerah keindahan itu.

Hidup perempuan! Mungkin kata-kata itu sangat ingin diteriakkan Ibu Kartini kala itu. Seandainya tidak terhalang gelar Raden Ajeng, yang mewajibkannya untuk bertutur lembut dan bersikap patut.

Hari ini, seratus tahun lebih sejak ia dilahirkan, tiga perempuan membantunya mengeluarkan teriakan yang hanya jadi gema di bilik-bilik hati yang paling dalam. Dengan kata yang sedikit berbeda karena perubahan zaman.
"Hidup cewek!!!"

continue~


Link Epilog: http://chlasmaul.blogspot.com/2014/03/epilog-novel-cewek-by-esti-kinasih.html

Bab 26 part 5 novel cewek!!! by esti kinasih



Rei menghentikan langkah lalu menghadapkan tubuhnya ke arah Langen dan Fani. Kedua cewek itu masih berakting sebagai dayang dan ratu.
"Bim!" panggilnya tanpa tatapannya beralih. Bima menoleh dan langsung paham apa yang ingin ditanyakan sobatnya itu. "Seret mereka turun!" perintahnya.
''Eist!'' Langen langsung melompat berdiri diikuti Fani. ''Jangan sampe gue menjerit sampe tujuh oktaf ya!'' ancamnya. Dia gerakkan dagu ke arah suara-suara di ke jauhan. ''Jangan sampe gue sama Fani jerit gila-gilaan, yang akan bikin orang-orang itu lari ke sini! Karena kalo sampe itu terjadi, kami nggak bisa berbuat lain kecuali menunjukkan....'' Langen menggantung kalimatnya. Ditatapnya Rei lurus dan tajam, menunjukkan keseriusan ancamannya. ''.....betapa perempuan itu selalu teraniaya, di mana pun keberadaannya! Dan kami berdua akan menangis terisak-isak, seakan-akan sesuatu yang begitu berharga telah direnggut dengan paksa!''
''Sip!'' Fani menjentikkan jari. "Kalo perlu kami tunjukkan ekspresi muka dan bahasa tubuh yang seakan-akan memperlihatkan, bahwa kami sangat trauma! Bahwa peristiwa ini akan menghantui kami seumur hidup!"
"Nah!" Langen bersiul. Menunjuk sahabatnya dengan jari telunjuk dan jempol membentuk pistol. "Setuju!"
Rei cs tercengang.
"Licik lo berdua!" desis Rei geram.
"Lihai!" ralat Langen langsung.
"Cepet tarik mereka turun! Nggak usah banyak ngomong lagi!" seru Bima keras. Dia jengkel dan berang. "Lo bantuin Rei, Ga! Biar gue bebat sendiri!"

Rangga menyerahkan gulungan perban di tangannya, lalu melangkah cepat menyusul Rei. Langen dan Fani saling pandang dengan cemas. Dan tak dinyana, keduanya kemudian menjerit sekeras-kerasnya!
Sekejap, suasana berubah jadi sangat hening. Tubuh Rei, Bima, dan Rangga kontan membeku. Mereka tidak menyangka, kedua cewek itu akan membuktikan ancamannya.

Suara-suara orang bergantian di kejauhan pun ikut lenyap, berganti dengan suara orang-orang berlarian. Mendekat dan dalam jumlah banyak!
''Elo....?'' Rei menatap Langen dengan mata menyala. Tak lagi bisa bicara.
''Kalo lo nggak mau mereka ngeliat gue dalam kondisi kayak gini....'' Langen menyambar carrier-nya dan menarik keluar sebuah agenda. Dari bagian tengah agenda itu, ditariknya selembar kertas dan diulurkannya pada Rei. ''Tanda tangan!''

Rei membuka lipatan kertas itu dan tercengang. Baris paling atas, tepat di tengah, tertulis dalam huruf-huruf besar dan tebal.
SURAT PERNYATAAN PENGAKUAN KEKALAHAN.
Di bawahnya, tertulis dalam ukuran huruf yang lebih kecil, beberapa baris kalimat.

Kalimat-kalimat yang membuat Bima dan Rangga, yang langsung bergabung begitu melihat ketercengangan Rei tadi, ikut tercengang juga. Kalimat-kalimat itu menerangkan dengan rinci, fakta yang diputar-balik dari apa yang saat ini tengah terjadi. Diawali pada paragraf pertama, dengan pencantuman hari, tanggal, bulan, serta tahun, dan ditutup dengan lokasi.

Paragraf kedua menerangkan bahwa di lokasi tersebut, telah terjadi pendakian bersama. Antara Tim Cewek (nama lengkap Langen dan Fani tertulis dengan underline, juga nama lengkap Febi berikut dengan semua gelar kebangsawanannya), dan Tim Cowok (nama lengkap Rei cs juga tertera dengan underline).

Paragraf ketiga menerangkan bagaimana pendakian tersebut kemudian terpaksa dihentikan, karena Tim Cowok tidak mampu lagi untuk meneruskan. Dengan berat hati, Tim Cewek terpaksa menyetujui untuk menghentikan pendakian, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, berkenaan dengan kondisi fisik Tim Cowok.

Paragraf keempat, yang merupakan paragraf terakhir, menerangkan bahwa isi surat pernyataan tersebut auntentik, dipertegas dengan pembubuhan tanda tangan ketiga anggota Tim Cowok, di bagian paling bawah surat pernyataan tersebut.

Begitu seluruh kalimat telah terbaca, kertas itu segera menjelma jadi gumpalan, karena diremas Rei dengan seluruh kekuatan.

Ketika ketiga wajah itu mendongak, Langen dan Fani mendapati tiga pasang mata menatap dengan sinar kemarahan yang seperti sanggup menembus tengkorak.
''Nggak masalah. Masih banyak cadangannya,'' ucap Langen tenang.
''Febi nggak ada!'' tegas Rangga.
''Gue, Fani dan Febi, adalah satu paket. Ada nggak ada, tetep namanya harus dicantumkan,'' Langen berkelit. ''Cepet tanda tangan! Nggak usah protes!''
''Sayangnya, gue nggak bersedia!'' ucap Rangga kalem. ''Silakan lo berdua terus berdiri di atas sana sampe orang-orang itu dateng, dan gue akan bergabung dengan mereka.....'' Cowok itu lalu tersenyum nakal. ''Harus gue akuin, lo berdua.....seksi. Sangat seksi!''

Rei dan Bima menoleh bersamaan dan menatapnya tajam. Rangga mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
''Sori. Kali ini gue nggak bisa sejalan. Bener-bener penghinaan kalo gue harus tanda tangan.''
''Nggak masalah,'' jawab Langen tak acuh. Lalu dia menyambung dalam hati. Tunggu aja sampe Febi nongol di depan idung lo. Baru tau rasa!

Sikap tegas Rangga seketika membuat Rei dan Bima bimbang. Keduanya menoleh ke arah suara-suara orang berlari di kejauhan, kemudian saling pandang. Mereka segera memperhitungkan apakah di sisa waktu yang benar-benar sempit mereka sanggup melumpuhkan kedua rival.

Langen dan Fani seketika bergerak mundur. Tegak tepat di titik pusat batu oval. Mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan dilakukan Rei cs secara mendadak. Seperti mencekal pergelangan kaki, menarik tangan, atas tindakan-tindakan lain yang bisa membuat mereka berdua ''terlempar'' dari atas batu dan jadi pecundang.

Benar saja. Dengan gerakan cepat, tiba-tiba Rei dan Bima bergerak ke dua arah yang berlawanan, lalu melompat ke atas batu dari sisi kiri dan kanan. Langen dan Fani terkesiap. Refleks mereka menyambar carrier masing-masing. Sekuat tenaga, mereka hantamkan carrier itu ke masing-masing lawan. Rei dan Bima, yang belum sempat menjejakkan kaki dengan benar, terlempar kembali ke bawah dan terkapar di sana. Rangga terperangah menyaksikan itu dan seketika geleng-geleng kepala dengan mulut ternganga.
''Lo berdua gue kasih peringatan..... Jangan macem-macem!'' bentak Langen. ''Tanda tangan atau gue terpaksa ngarang cerita yang akan bikin lo bertiga sekarat dihajar tuh orang-orang!''

Rei bangkit berdiri dengan kedua tangan terkepal kuat. Kemarahan yang ditekan mati-matian membuat wajahnya merah padam. Sementara beberapa langkah di sebelahnya, Bima menatap Fani dengan sinar segarang Rei.
''Lo kira lo siapa!?'' Dengan sorot tajam, Langen menatap Rei dan Bima bergantian. ''Arnold? Sylvester Stallone? Van Damme? Gue nggak ngeliat lo berdua punya pilihan lain.....selain tanda tangan!''
''Nggak ada tulang yang nggak bisa patah!'' timpal Fani. Bima seketika mengepalkan tangan sampai seluruh buku-buku jarinya memutih. Tapi itu malah membuat Fani semakin menantangnya, dengan cara menaikkan dagu tinggi-tinggi. ''Dan tulang sangat diperlukan untuk menyangga otot-otot Hercules lo itu, tau!''

Tidak ada yang bergerak dari kedua buku. Detik demi detik yang kemudian terlewat, benar-benar satu pertaruhan. Masing-masing kubu sama-sama berharap, di detik berikut berhasil mereka temukan celah untuk melumpuhkam lawan.

Ketegangan yang memuncak membuat Langen dan Fani tidak lagi merasakan dingin yang memeluk tubuh bagian atas mereka yang bisa dibilang semi telanjang. Bima yang sama sekali tidak menyadari bebatan lukanya melonggar dan rembesan darah tidak lagi tertahan.
Gemuruh suara orang-orang berlari itu semakin dekat, dan semakin dekat, dan.....semakin dekat!
Rei mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Kemudian dipejamkannya kedua matanya rapat-rapat.
Tidak ada yang harus dipertimbangkan. Saat ini saja dia sudah harus membagi apa yang seharusnya jadi miliknya sendiri, dengan kedua sahabatnya. Dan dari gemuruh derap kaki berlari yang terdengar, kemungkinan lebih dari lima belas orang sedang menuju ke sini sekarang.

Ditariknya napas panjang-panjang. Kemudian dibukanya kedua matanya dan ditatapnya Langen lurus-lurus.
''Mana surat pernyataannya?''
Rangga terperangah. Begitupun Bima, tapi kali ini dia mengerti dan memahami tindakan Rei.
''Apa?'' Langen juga tercengang. Dia bertanya karena masih tak percaya.
''Mana surat pernyataannya? Cepet!'' sentak Rei.
Akhirnya.....salah satu kubu menyerah!
Senyum kemenangan seketika tercetak di bibir Langen dan Fani. Cepat-cepat Langen meraih carrier, mengeluarkan agendanya, dan menarik selembar kertas dari sana. Diulurkannya kertas itu pada Rei dengan waspada. Jangan sampai cowok itu memanfaatkan peluang tersebut untuk menangkap tangannya lalu menariknya turun.
''Sebentar,'' ucap Langen. Rei yang akan melangkah menuju tempat Bima berdiri, seketika membatalkan langkahnya. ''Jangan coba-coba nipu. Gue hafal tanda tangan lo berdua. Jadi jangan coba-coba bikin tanda tangan palsu!''

Sesaat sepasang mata Rei melumat Langen dalam kilat kemarahan yang memuncak. Sesudahnya, kembali dua meneruskan langkah mendekati Bima, meletakkan kertas itu di punggung sahabatnya, dan mulai membubuhkan tanda tangan seperti permintaan pihak lawan.
''Masukin kipas-kipasnya, Fan! Trus beresin carrier!'' perintah Langen.

Fani segera melaksanakan perintah itu. Dibereskannya carriernyw juga carrier Langen, sementara Langen mengawasi dengan sikap waspada jalannya proses "pemindahan kekuasaan" yang terjadi di depannya.

Lima detik kemudian, Surat Pernyataan Pengakuan Kekalahan itu selesai ditandatangani. Hanya dalam lima detik, kekuasaan Rei dan Bima yang selama ini begitu mutlak dan absolut.....berakhir!

Langen menerima kertas yang diulurkan Rei, dan tersenyum puas saat melihay kedua tanda tangan tertera di sana, sama persis seperti yang sering dilihatnya.
''Ini nanti mau gue laminating. Dan begitu elo-elo menyangkal atau melakukan hal-hal yang gue dan Fani nggak suka, kopi surat pernyataan ini akan langsung beredar di kampus!'' ucapnya sambil melipat kertas itu dan menyelipkannya di antara halaman-halaman agenda.



continue~

Bab 26 part 4 novel cewek!!! by esti kinasih


Tiba-tiba Rangga bersiul nyaring. Tatapannya masih terpaku pada tubuh-tubuh di balik jala itu. Rei dan Bima balik badan hampir bersamaan dan menatap Rangga tajam.
''Kenapa? Lo berdua mau nyuruh gue nutup mata?'' diangkatnya alis tinggi-tinggi. ''Maaf, tidak bisa. Kesalahan bukan terletak di mata gue.'' kemudian dijulurkannya leher panjang-panjang, menatap Langen dan Fani dari atas kepala Rei dan Bima. ''Kalo gue pindah kubu, boleh nggak?'' serunya.

Jawabannya diberikan Rei dan Bima saat itu juga. Rangga jatuh terjerembab ke semak, setelah dua telapak tangan mendarat keras di dadanya. Cowok itu tertawa geli, lalu meraih sebatang dahan untuk berdiri.
''Tolong lo berdua pake sweter atau jaket!'' perintah Bima geram.

Langen melotot. Pura-pura tersinggung. ''Lo kira elo itu siapa sih? Sembarangan aja nyuruh-nyuruh orang. Nggak!''
''Langen.....please....,'' ganti Rei memberikan perintah. Kali ini mulai bernada memohon, yang diucapkan dengan kedua rahang terkatup rapat.

Langen menggeleng. ''Nggak mau,'' jawabnya kalem. ''Orang gue sama Fani lagi mau buka-bukaan kok disuruh ditutup-tutup.''

Kalimatnya seketika membuat Rangga menoleh ke belakang. Menyembunyikan seringai yang tidak bisa ditahan.

Sadar perintah mereka sama sekali tidak diindahkan, Rei dan Bima kemudian berunding dengan suara pelan. Hasilnya, keduanya memutuskan untuk membiarkan Langen dan Fani di atas sana, sampai kedua cewek itu terserang hipotermia. Kalau perlu sampai tubuh mereka membeku kaku.

Tapi otak Langen terlalu lihai untuk hal yang terlalu sederhana itu. Karena itu, untuk melakukan aksi buka-bukaan ini, dipilihnya momen menjelang mereka akan bertemu dengan kelompok-kelompok pendaki lain.

Dan yang terjadi berikutnya benar-benar seperti yang dia da Fani harapkan. Suara-suara orang berbicara, yag tadi hanya terdengar samar-samar, semakin lama semakin jelas. Menandakan ada sekelompok pendaki yang saat ini tengah bergerak mendekat.
Seketika, Rei dan Bima jadi panik.
''Langen!''
''Fani!''
Keduanya berseru bersamaan.
''Cepet pake jaket atau sweter!'' perintah Bima, tapi tidak ditanggapi. Sambil mendesis gusar, cowok itu lalu membuka carrier-nya. Dengan cepat ia mengeluarkan sebuah jaket dari sana, dan melemparnya ke arah Fani. Langsung Fani mengambil jaket yang jatuh di dekat kakinya itu.
''Kami juga punya, tau!'' dilemparnya kembali benda itu ke Bima. ''Nggak butuh!''

Bima menggeram. Benar-benar berang dan kelimpungan jauh di belakang. Rangga sampai membungkukkan badan rendah-rendah, tak sanggup menahan geli melihat adegan di depannya.

Suara-suara langkah itu semakin dekat. Suara-suara orang mengobrol itu juga semakin jelas. Rei melangkah cepat mendatangi arah datangnya suara-suara itu. Sontak dia semakin panik, saat kedua matanya menangkap semak-semak bergerak di kejauhan. Bergegas dia melangkah mendekati Bima yang tengah berdiri di depan batu besar berbentuk oval itu. Tempat Langen dan Fani masih berdiri tegak memamerkan bodi.
''Elo berdua tolong pake baju yang bener. Hawanya dingin. Nanti masuk angin.'' Bima bicara dengan nada membujuk.
''Eits, jangan salah. Kami tadi udah minum.... Jamu tolak angin!'' Langen dan Fani menjawab serentak, lalu mohon dengan kedua tangan tertangkup di depan dada.
''Please, Fan....'' Bima ikut memohon.
''Tolong, La,'' Rei mengulangi permohonannya. ''Tolong pake baju yang bener.''

Mendengar itu, Rangga menegakkan tubuh. Kedua matanya menyipit. Benar-benar tak bisa percaya dengan apa yang sedang terjadi di depannya.

Memohon.....adalah bentuk kejatuhan kaum Adam yang paling mengenaskan. Dan sama sekali tidak disangkanya, dengan cara itulah kedua sahabatnya akan menyerah!

Tapi permohonan itu sudah terlambat. Kelompok pendaki itu telah muncul, terdiri atas empat cowok. Dan keempatnya seketika terpana. Menatap tak percaya sekaligus terpesona, pada dua ''keindahan'' yang sedang berdiri tegak di atas batu besar.

Ini di tengah hutan belantara sebuah gunung. Di jalur pendakian dengan tingkat kesulitan tinggi pula. Siapa yang menyangka akan menemukan dua cewek cakep, seksi, memakai kaus jala pula. Melihat pemandangan asyik, tubuh mereka yang sangat letih mendadak jadi sangat segar. Ini benar-benar keajaiban dunia yang kedelapan!

Rei dan Bima bergegas menghampiri lalu berdiri tepat di hadapan keempatnya. Sebisa mungkin meminimalis pandangan mereka pada Langen dan Fani.
''Elo-elo bisa lanjut?'' desis Bima tajam.
Leader kelompok pendaki itu, cowok berkemeja flanel cokelat kotak-kotak, menatap Rei dan Bima dengan pandangan tidak senang. Dia lalu memiringkan kepala dan berseru ke arah Langen dan Fani.
''Ini cowok-cowok kalian!?''
Langen menatap Rei, Bima, dan Rangga bergantian. Saat kedua matanya bertumbukan dengan sepasang mata Rei, yang menatapnya dengan kilatan marah yang menusuk, Langen menaikkan sepasang alisnya. Mengisyaratkan tantangan! Sedetik kemudian, masih dengan sepasang matanya yang menentang kedua mata Rei lurus-lurus, Langen menggelengkan kepala.
''Bukan!''
Sama sekali bukan jawaban yang salah!
Cowok berkemeja flanel cokelat kotak-kotak itu mengembalikan tatapannya pada Rei dan Bima. ''Apa lo bilang tadi? Bisa nggak kami lanjut? Sori.....nggak bisa!''

Salah seorang temannya segera menyambung, ''Sekarang tolong lo berdua menyingkir jauh-jauh, karena sangat merusak pemandangan!''
''Kurang ajar!'' geram Bima. Sedetik kemudian tinjunya melayang, menghantam telak rahang cowok yang baru saja menutup mulutnya itu, dan membuatnya terpelanting.

Melihat salah seorang teman mereka terkapar di tanah, tiga yang lain jelas tidak terima. Salah seorang segera membantunya berdiri, sementara dua yang lain balas menyerang Rei dan Bima, Rangga langsung bersiap-siap seandainya kedua sobatnya itu butuh bantuan.

Sementara itu Langen dan Fani saling pandang dengan tersenyum puas. Inilah yang mereka harapkan.
''Sekarang kita bisa duduk. Silakan.'' Langen mempersilahkan Fani dengan sikap seakan-akan sahabatnya itu orang yang sangat agung dan terhormat, yang dengan segala kerendahan hati telah bersedia menemaninya.
''Terima kasih. Terima kasih. Silakan duduk juga.''
Keduanya lalu duduk. Langen duduk bersimpuh, sementara Fani duduk berlutut.
''Gue mulai kedinginan, La,'' bisik Fani.
''Sama,'' balas Langen. ''Tapi jangan sampe keliatan.''
''Keluarin air jahenya dong.''
''Oh, iya. Eh, kipasnya dong.''
''Oh, iya!''

Keduanya meraih carrier masing-masing. Fani mengeluarkan dua kipas bulu. Satu berwarna merah dan berukuran kecil, diberikannya pada Langen. Satunya lagi berwarna biru dan berukuran agak besar, untuknya sendiri.
''Gimana kalo kita pake sarung tangan?'' usul Langen.
''setuju!'' sambut Fani seketika.

Keduanya mengenakan sarung tangan untuk mengurangi rasa dingin yang menggigit. Panas tubuh memang lebih cepat terlepas melalui ujung-ujung jari.

Sementara itu, terdorong emosi dan marah yang menggelegak karena tidak bisa menerima orang lain menikmati pemandangan gratis, Rei dan Bima dengan beringas menghajar keempat cowok itu. Di luar arena, Rangga mengawasi dengan sikap waspada.

Di atas bongkahan batu besar berbentuk oval, yang kini tampak seperti singgasana raja, Langen menyaksikan prosesi bak-buk-bak-buk itu. Dia duduk dengan sikap anggun bak ratu legendaris Mesir Kuno, Cleopatra. Tangan kanannya yang menggenggam kipas bulu kecil warna merah, membuat gerakan mengipas dengan begitu perlahan dan tertata. Bahkan seekor semut pun tidak merasakan ada angin yang bergerak. Wajah dan kedua matanya memancarkan ekspresi dingin dan angkuh.

Di sebelahnya, duduk dengan posisi agak di belakang. Fani mengipasi ''sang ratu'' dengan kipas bulu berwarna biru, bagaikan dayang. Wajah dan sepasang matanya juga memancarkan ekspresi dingin dan angkuh. Seakan-akan apa yang sedang terjadi di depannya adalah pertunjukan yang dipersembahkan oleh para budak atau rakyat keloni jajahan, yang sama sekali tidak perlu diberikan apresiasi.

Dengan cerdik, keduanya memanfaatkan setiap momen, sambil mencuri-curi kesempatan dengan segera meneguk air jahe hangat atau sekejap menyelubungi tubuh mereka yang kedinginan dengan jaket tebal.

Tak sampai sepuluh menit, prosesi bak-buk-bak-buk itu selesai. Rei dan Bima yang sedang kalap keluar sebagai pemenang. Dua orang lawan terkapar tidak jauh, satu terpelanting ke semak, dan satu lagi sedang membungkuk-bungkuk sambil memegangi perut.
Tapi akibatnya, luka Bima kembali terbuka dan mengucurkan darah. Rangga bergegas membuka carrier-nya dan mengeluarkan perlengkapan P3K.

"Yaaah, gue cukup terkesan. Lawannya otot emang otot juga!'' ucap Langen tiba-tiba, membuat Rei cs tersadar. Ketiganya menoleh bersamaan dan Langen menyambut dengan senyum manis. Dia lalu bertepuk tangan dengan gaya anggun. Di sebelahnya, Fani tetap mengipasi sambil tetap memasang ekspresi dingin dan angkuh. Seolah-olah dia tidak berhak ikut tersembunyi atau berkomentar jika ''sang ratu'' tidak mengizinkan.
Rei menggeram. Dia sudah akan melangkah mendekati batu besar itu lalu melompat ke atasnya, tapi satu tangan Rangga segera mencekal bahunya. Cowok itu menggeleng tanpa matanya beralih dari luka Bima yang sedang dibebatnya.
''Mendingan lo suruh pergi tuh orang-orang. Biarpun badan mereka bonyok, mata mereka nggak buta!"
Rei memutar tubuhnya.
"Sialan!" desisnya. Dia benar-benar berang saat keempat cowok itu ternyata masih berada tidak jauh darinya, masih memandangi Langen dan Fani dengan cara yang membuat darah Rei kembali mendidih. Dengan langkah-langah panjang dan kedua rahang terkatup keras, dihampirinya keempat cowok itu. Keempatnya bergegas pergi sebelum Rei mencapai tempat mereka berdiri.



continue~