Langen menerima permintaan Rei untuk kembali, dengan setumpuk persyaratan. Sementara Fani kini berani mengangkat dagu tinggi-tinggi, menunjukkan pada Bima bahwa dirinya juga punya ''kuku, taring, dan gigi'' yang ketajamannya telah teruji.
Suatu malam diteras belakang rumahnya yang lampunya sengaja dipadamkan, Rei mendiskusikan kondisi yang berubah 180 derajat itu dengan Bima. Sementara Rangga hanya mendengarkan sambil menahan senyum.
Hubungan pasca-''kekalahan'' kedua cowok itu memang diwarnai dengan dominasi cewek-ceweknya. Langen dan Fani kini banyak menuntut. Jika tuntutan itu tidak diindahkan, kedua cewek itu segera meneriakkan ancaman yang membuat Rei dan Bima terpaksa angkat tangan. Menyerah!
''Kita putus!''
Dan dua hari lalu, Langen ''memperindah'' ancamannya.
''Akan langsung kami umumkan ke seantero jagat, kalo kami berdua lagi jomblo! Tapi tentu aja nggak dengan kata-kata!'' Langen menghentikan kalimatnya, lalu tersenyum manis. ''Dengan reputasi lo, Buaya Laknat!'' ditunjuknya muka Bima lurus-lurus. ''Dan elo, sahabatnya Buaya Laknat!'' Telunjuk Langen pindah ke muka Rei. ''Gue sama Fani akan memperlihatkan kepada khalayak, betapa kami berdua telah dicampakkan dengan begitu semene-mena dan tanpa perasaan!''
Ancaman yang diperindah itulah yang memicu pertemuan malam ini. Setelah diskusi berdurasi hampir dua jam yang diselingi beberapa kali tarikan napas panjang, tawa pelan, juga desisan geram, Rei dan Bima akhirnya memutuskan untuk.....sementara.....tunduk pada cewek-cewek mereka!
Hampir saja senyum tertahan Rangga meledak jadi tawa. Untung lampu dipadamkan, jadi seringai lebarnya tidak kelihatan. Buru-buru dia rapatkan kedua rahangnya.
Perubahan ending perang terbuka itu, di mana akhirnya Langen dan Fani, juga Rei cs, turun tidak bisa dimunculkan. Dan itu membuat Rangga merasa posisinya tetap aman, alias ''cowok adalah makhluk superior'' masih bertakhta di tempat yang seharusnya.
Tanpa dia ketahui, peristiwa Febi minggat dari rumah ternyata telah menyebabkan kegemparan. Rapat keluarga kemudian memutuskan, gadis itu akan dikirim ke kota asal. Untuk kedua kalinya dia akan masuk ''keputren'', soalnya darah birunya sudah terkontaminasi dan perlu pencucian total.
***
Kabar akan dipulangkannya Febi ke kota asal diterima Rangga pada saat hari, tanggal, dan jam keberangkatan gadis itu telah ditetapkan. Satu minggu lagi!
Rangga kontan kalut, dan semakin bertambah kalut saat keluarga Febi tidak mengizinkannya untuk bertemu, karena dia dianggap sebagai salah sati penyebab rusaknya gadis itu.
Langen, yang lebih tidak mempunyai akses ke dalam keluarga Febi, jelas juga tercengang mendengarnya. Tapi tidak diperlihatkannya terang-terangan. Dengan sikap sangat tenang, seakan-akan dirinya pakar terpercaya untuk urusan-urusan cetek seperti itu, didengarnya rentetan letup keputusasaan Rangga. Cowok itu muncul di teras rumahnya pagi-pagi buta dalam keadaan berantakan!
''Tolongin gue, La!'' adalah kalimat yang langsung menyambut Langen begitu dibukanya pintu. Belum sempat dibukanya mulut untuk bertanya, cowok stres dan acak-acakan di depannya langsung menghujaninya dengan berondongan kata-kata yang diucapkan dengan suara serak, terputus-putus, dan intonasi naik-turun, serta urutan cerita yang tidak keruan.
wkwkwk! Langen berdecak dalam hati. Satu bukti lagi, betapa otot jadi begitu tak berdaya di saat cupid-cupid cinta mempermainkan rentangan panahnya.
''Oke deh. Gue bantuin,'' katanya akhirnya. Seketika Rangga berhenti meneriakkan hatinya yang lara dan berdarah.
''Apa yang mesti gue kerjain, La?''
Langen menjawab dengan nada datar. ''Nggak ada yang bisa lo kerjain. Otot nggak ada manfaatnya untuk urusan-urusan kayak gini. Biar gue sama Fani yang kerja. Soalnya yang diperlukan adalah kebijaksanaan, kecerdasan, kelihaian, dan sedikit kelicikan. Dan itu semua adanya.....di otak!''
''Iya. Iya. Gue tau,'' Rangga menjawab buru-buru. ''Tapi kalo ada yang bisa gue bantu.....''
''Pasti ada!'' potong Langen. Cewek itu berdiri lalu berjalan ke dalam. Tak lama dia kembali dengan selembar kertas di tangan. Di kertas itu tanda tangan Rei dan Bima sudah tertera. Surat Pernyataan Pengakuan Kekalahan. Diulurkannya kertas itu pada Rangga. ''Tanda tangan!''
***
Sekali lagi Langen memanfaatkan otak nggak beres Salsha. Tapi kali ini Salsha ingin memperbaiki citra diri. Menunjukkan bahwa kadang-kadang otaknya juga bisa beres dan menghasilkan hal-hal positif. Kali ini cewek itu akan berdiri di belakang layar. Sedangkan yang akan maju untuk menyelamatkan Febi dari ancaman ''deportasi'' adalah sekelompok remaja.
Sekelompok remaja yang masih memegang tradisi, yang menganggap globalisasi akan mengikis pribadi dan jati diri suatu bangsa. Sekelompok remaja yang kemudian memutuskan untuk membangun semacam harem mini, tempat (paling tidak) sebagian kecil jati diri itu bisa mereka jaga untuk tetap murni. Dan lewat promosi Salsha yang heboh dan gila-gilaan, sekelompok remaja itu lalu menganggap Febi adalah ragi yang tepat untuk adonan roti yang mereka miliki.
Raden Ajeng Febriani, lahir dalam keluarga aristokrat Jawa yang benar-benar tulen dan ortodoks. Sempat merasakan didikan keputren. Menguasai seluruh tari Jawa klasik. Tahu di luar kepala silsilah rumit para tokoh Mahabharata dan Ramayana, lengkap dengan karakter masing-masing. Sekaligus hafal juga setiap penggal kisah dalam kedua epik besar itu. Dan banyak lagi ke-Jawa-an Febi yang menurut mereka merupakan aset penting dan teramat berharga.
Keluarga Febi jelas jadi sangat tersanjung, dan seketika membatalkan rencana untuk memulangkan gadis itu ke kota asal!
***
Kata pepatah Cina kuno, kesatria yang paling gagah sekalipun tidak akan bisa mengalahkan wanita cantik yang smart! Tapi kesatria adalah seseorang yang juga diajarkan untuk dengan jantan mengakui kekalahan.
Karena itu, meskipun harus menekan ego mati-matian, Rangga mengakui kekalahannya. Di bawah tatap mata Langen dan Fani, dijabatnya tangan Salsha erat-erat dan diucapkannya terima kasih. Dengan jelas dan tegas!
Suatu malam diteras belakang rumahnya yang lampunya sengaja dipadamkan, Rei mendiskusikan kondisi yang berubah 180 derajat itu dengan Bima. Sementara Rangga hanya mendengarkan sambil menahan senyum.
Hubungan pasca-''kekalahan'' kedua cowok itu memang diwarnai dengan dominasi cewek-ceweknya. Langen dan Fani kini banyak menuntut. Jika tuntutan itu tidak diindahkan, kedua cewek itu segera meneriakkan ancaman yang membuat Rei dan Bima terpaksa angkat tangan. Menyerah!
''Kita putus!''
Dan dua hari lalu, Langen ''memperindah'' ancamannya.
''Akan langsung kami umumkan ke seantero jagat, kalo kami berdua lagi jomblo! Tapi tentu aja nggak dengan kata-kata!'' Langen menghentikan kalimatnya, lalu tersenyum manis. ''Dengan reputasi lo, Buaya Laknat!'' ditunjuknya muka Bima lurus-lurus. ''Dan elo, sahabatnya Buaya Laknat!'' Telunjuk Langen pindah ke muka Rei. ''Gue sama Fani akan memperlihatkan kepada khalayak, betapa kami berdua telah dicampakkan dengan begitu semene-mena dan tanpa perasaan!''
Ancaman yang diperindah itulah yang memicu pertemuan malam ini. Setelah diskusi berdurasi hampir dua jam yang diselingi beberapa kali tarikan napas panjang, tawa pelan, juga desisan geram, Rei dan Bima akhirnya memutuskan untuk.....sementara.....tunduk pada cewek-cewek mereka!
Hampir saja senyum tertahan Rangga meledak jadi tawa. Untung lampu dipadamkan, jadi seringai lebarnya tidak kelihatan. Buru-buru dia rapatkan kedua rahangnya.
Perubahan ending perang terbuka itu, di mana akhirnya Langen dan Fani, juga Rei cs, turun tidak bisa dimunculkan. Dan itu membuat Rangga merasa posisinya tetap aman, alias ''cowok adalah makhluk superior'' masih bertakhta di tempat yang seharusnya.
Tanpa dia ketahui, peristiwa Febi minggat dari rumah ternyata telah menyebabkan kegemparan. Rapat keluarga kemudian memutuskan, gadis itu akan dikirim ke kota asal. Untuk kedua kalinya dia akan masuk ''keputren'', soalnya darah birunya sudah terkontaminasi dan perlu pencucian total.
***
Kabar akan dipulangkannya Febi ke kota asal diterima Rangga pada saat hari, tanggal, dan jam keberangkatan gadis itu telah ditetapkan. Satu minggu lagi!
Rangga kontan kalut, dan semakin bertambah kalut saat keluarga Febi tidak mengizinkannya untuk bertemu, karena dia dianggap sebagai salah sati penyebab rusaknya gadis itu.
Langen, yang lebih tidak mempunyai akses ke dalam keluarga Febi, jelas juga tercengang mendengarnya. Tapi tidak diperlihatkannya terang-terangan. Dengan sikap sangat tenang, seakan-akan dirinya pakar terpercaya untuk urusan-urusan cetek seperti itu, didengarnya rentetan letup keputusasaan Rangga. Cowok itu muncul di teras rumahnya pagi-pagi buta dalam keadaan berantakan!
''Tolongin gue, La!'' adalah kalimat yang langsung menyambut Langen begitu dibukanya pintu. Belum sempat dibukanya mulut untuk bertanya, cowok stres dan acak-acakan di depannya langsung menghujaninya dengan berondongan kata-kata yang diucapkan dengan suara serak, terputus-putus, dan intonasi naik-turun, serta urutan cerita yang tidak keruan.
wkwkwk! Langen berdecak dalam hati. Satu bukti lagi, betapa otot jadi begitu tak berdaya di saat cupid-cupid cinta mempermainkan rentangan panahnya.
''Oke deh. Gue bantuin,'' katanya akhirnya. Seketika Rangga berhenti meneriakkan hatinya yang lara dan berdarah.
''Apa yang mesti gue kerjain, La?''
Langen menjawab dengan nada datar. ''Nggak ada yang bisa lo kerjain. Otot nggak ada manfaatnya untuk urusan-urusan kayak gini. Biar gue sama Fani yang kerja. Soalnya yang diperlukan adalah kebijaksanaan, kecerdasan, kelihaian, dan sedikit kelicikan. Dan itu semua adanya.....di otak!''
''Iya. Iya. Gue tau,'' Rangga menjawab buru-buru. ''Tapi kalo ada yang bisa gue bantu.....''
''Pasti ada!'' potong Langen. Cewek itu berdiri lalu berjalan ke dalam. Tak lama dia kembali dengan selembar kertas di tangan. Di kertas itu tanda tangan Rei dan Bima sudah tertera. Surat Pernyataan Pengakuan Kekalahan. Diulurkannya kertas itu pada Rangga. ''Tanda tangan!''
***
Sekali lagi Langen memanfaatkan otak nggak beres Salsha. Tapi kali ini Salsha ingin memperbaiki citra diri. Menunjukkan bahwa kadang-kadang otaknya juga bisa beres dan menghasilkan hal-hal positif. Kali ini cewek itu akan berdiri di belakang layar. Sedangkan yang akan maju untuk menyelamatkan Febi dari ancaman ''deportasi'' adalah sekelompok remaja.
Sekelompok remaja yang masih memegang tradisi, yang menganggap globalisasi akan mengikis pribadi dan jati diri suatu bangsa. Sekelompok remaja yang kemudian memutuskan untuk membangun semacam harem mini, tempat (paling tidak) sebagian kecil jati diri itu bisa mereka jaga untuk tetap murni. Dan lewat promosi Salsha yang heboh dan gila-gilaan, sekelompok remaja itu lalu menganggap Febi adalah ragi yang tepat untuk adonan roti yang mereka miliki.
Raden Ajeng Febriani, lahir dalam keluarga aristokrat Jawa yang benar-benar tulen dan ortodoks. Sempat merasakan didikan keputren. Menguasai seluruh tari Jawa klasik. Tahu di luar kepala silsilah rumit para tokoh Mahabharata dan Ramayana, lengkap dengan karakter masing-masing. Sekaligus hafal juga setiap penggal kisah dalam kedua epik besar itu. Dan banyak lagi ke-Jawa-an Febi yang menurut mereka merupakan aset penting dan teramat berharga.
Keluarga Febi jelas jadi sangat tersanjung, dan seketika membatalkan rencana untuk memulangkan gadis itu ke kota asal!
***
Kata pepatah Cina kuno, kesatria yang paling gagah sekalipun tidak akan bisa mengalahkan wanita cantik yang smart! Tapi kesatria adalah seseorang yang juga diajarkan untuk dengan jantan mengakui kekalahan.
Karena itu, meskipun harus menekan ego mati-matian, Rangga mengakui kekalahannya. Di bawah tatap mata Langen dan Fani, dijabatnya tangan Salsha erat-erat dan diucapkannya terima kasih. Dengan jelas dan tegas!