Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Live And Let Die


Live and Let Die (Bab 2): Who?

Kristen POV

Ketika aku terbangun yang pertama kali aku lihat adalah cahaya putih terang. Apa ini surga? Apa aku sudah mati? Setelah kejadian di bus tadi? Benarkah? Tapi cahaya itu begitu sangat menyilaukan. Rasa pusing dan mual melandaku dan akhirnya aku menutup mata lagi.

Rasa pusing itu mulai menghantam kepalaku ketika mata ku masih tertutup, lalu beberapa saat kemudian, aku menoleh ke samping, gerakan sederhana saja membuatku kembali pusing. Kepalaku terasa amat sangat sakit. Seperti ingin meledak atau terlepas dari tempatnya. Kepalaku seperti ditekan. Rasanya nyeri. Lalu aku berfikir, Apa kematian akan sesakit ini?

Pada saat aku mengerang ada kegaduhan di sampingku kemudian suara seorang wanita yang anehnya akrab ditelingaku mengatakan, "Panggilkan dokter."

Kenapa suara itu terdengar begitu akrab?

Berpikir membuat kepalaku sakit jadi aku menyerah untuk sementara waktu, mencoba untuk tetap diam sebisa mungkin dan mencoba berhitung satu sampai sepuluh berharap bahwa rasa yang menyengat itu akan mereda dan memudahkanku untuk membuka satu mata, kemudian yang satunya.

Aku terkejut ketika sadar aku berada di ruang yang asing, ruang putih, dan ada aroma obat yang membuatku pusing. Dinding di sebelahku tertutup tirai yang memanjang dari atas hingga bawah. Tepat di atas kepalaku, ada cahaya terang menyilaukan pandanganku. Aku dibaringkan di tempat tidur yang keras Lalu aku mendengar suara-suara seseorang, melirik ke samping sedikit barulah aku sadar bahwa bukan hanya aku yang menjadi penghuni di ruangan ini. Ketika aku memejamkan mataku kembali, aku mendengarkan beberapa orang masuk ke dalam ruangan.

"Ms. Stewart, saya Dokter Walker. Bagaimana keadaanmu?"

"Sakit," gumamku, lidahku menempel ke langit-langit mulutku yang kering. Aku mencoba membuka mataku lagi lalu melirik kearah Dokter itu dan penglihatanku malah terlihat kabur, sosok tinggi di samping tempat tidurku membungkuk dan menyorotkan senter ke arah mataku. Aku tersentak dan rasa pusing mulai melandaku.

"Bagaimana perasaanmu?"

"Jauh lebih buruk," Dengusku dan mencoba untuk memegang kepalaku yang berdenyut, tapi ada tancapan tali infus yang menghalangiku. Aku berusaha bangun dari tidurku untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi padaku, tapi rasa pusing itu kembali datang menyerbu. Lagi dan lagi.

"Tenang, sayang." Dokter itu berkata, tangan lembutnya menyentuh kedua bahuku dan mendorongku pelan sehingga aku kembali ke posisi semula. "Kau tertimpa sesuatu di kepalamu dan tanganmu terkena serpihan kaca." Dokter itu menjelaskan sambil tersenyum, "Selebihnya kau baik. Kau hanya sedikit shock."

'Lebih dari shock' dengusku dalam hati.

"Apakah aku masih berada di kawasan Indiana?"

"Tentu. Anda sekarang berada dirumah sakit Munster, Indiana. Anda dibawa ke sini segera setelah tim medis datang."

Jika ada orang mengatakan padaku bahwa bila kita berhadapan dengan kengerian yang begitu sangat menakutkan, barulah kita mengerti apa arti kengerian itu sebenarnya.

Dan aku serius telah mengalaminya.

Dalam kesakitan kepalaku, aku masih ingat betul kejadian itu. Dimana ada letusan dan pecahan kaca, teriakan dimana-mana, bus yang bergoyang karena orang-orang yang sibuk menyelamatkan diri, dan robohnya seseorang dengan darah yang muncrat kemana-mana.

Lalu apa?

Kegelapan datang menghantamku dan membawaku kemasa lalu. Sebelum kejadian penembakan di bus, aku pernah mengalaminya bersama Edward. Ketika itu—Sebelum pernikahan kami, Edward bermaksud untuk menemuiku, kami keluar dari rumah secara diam-diam dan menikmati malam tanpa bintang di luar. Kami membayangkan bagaimana lucunya esok ketika aku yang biasanya memakai pakaian kasual akan memakai gaun pengantin yang indah, sepatu high yang kelewat tinggi dan rambutku yang di putar-putar di buat sesuatu yang lebih baik. Atau membayangkan bagaimana orangtuaku akan bertemu kembali setelah lamanya perceraian mereka. Atau hal-hal indah lainnya.

Kami pulang larut malam dan berjalan menuju mobil Edward, lalu bajingan itu datang. Meminta Edward menyerahkan seluruh miliknya. Mobil, uang, dan aku. Edward marah dan ia melawan, Ia mematahkan tangan kirinya dan membuat kepala preman itu berdarah. Tapi preman menjijikan itu curang, ia menggunakan pistol dan menarik pelatuknya tepat di dadanya.

Di jantungnya.

Tempat dimana nafasku berada.

Edward roboh dan darah segar mengalir dari tubuhnya. Yang bisa aku lihat kali itu adalah matanya yang bicara; mewakilkan bibirnya yang penuh oleh darah. Tangan nya kuat mengenggamku ketika preman itu hanya pergi dan membawa seluruh miliknya. Membawa Edward pergi ke dalam kematian. Membawa aku jatuh kedasar jurang.

Aku menangis. Berteriak meminta pertolongan tapi tidak ada yang datang. Aku memintanya untuk bertahan, menyakinkan ia bahwa ia akan baik-baik saja dan sebelum aku bangkit untuk mencari pertolongan, tangan nya menggenggam tanganku erat.

"Aku mencintaimu,"

Ia tersenyum walaupun senyuman itu tidak semenawan sebenarnya.

"Dulu, sekarang.." Kata itu tercekat ketika ia tersedak darahnya sendiri.

Air mataku menetes tepat di matanya.

Lalu genggaman nya melemah ketika ia mengatakan, "Selamanya."

Aku menghirup dalam-dalam udara rumah sakit yang menjijikan. Menghirupnya dengan napas panjang, berharap udara yang masuk dapat mengisi kekosongan dalam lubang didadaku, kekosongan yang sudah menaungi selama dua tahun yang lalu, rasa hampa ini sangat
menyakitkan, mengingatkan rasa kehilanganku.

Air mata mengalir deras di pipiku sebelum aku menyadarinya, "Oh. Kau pasti akan baik-baik saja. Semuanya telah berakhir. Polisi sudah menanganinya." Kata dokter itu dan aku hanya mengangguk. Walaupun yang aku pikirkan bukanlah soal aku baik-baik saja atau apa.

Aku tidak pernah baik-baik saja. Aku telah hancur. Yang tersisa hanyalah serpihan ny saja.

Tiba-tiba aku teringat dengan laki-laki itu. Pria yang telah menolong dan melindungiku keluar dari bus. Ia yang melindungiku dari pecahan kaca karna letusan itu. Seharusnya ia berada disini, ia sama-sama terluka. Ketika letusan itu mengenai atap bus dan bagasi barang bergoyang, koper jatuh dan tanpa penyelamatan menimpa tubuh kami. Well, seharusnya ia juga berada disini.

"Dimana dia?" Aku bertanya pada dokter tampan itu.

Dokter itu menaikan alisnya, "Dia?"

Sialan. Bahkan aku tidak tahu siapa namanya!

"Um, maksudku, pria yang bersamaku di bus. Ia memakai kaus abu-abu dan Well, ia bersamaku ketika kejadian itu. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi ia bersamaku." Aku berkata dengan gugup dan menggigit bibirku ketika dokter itu semakin mengerutkan dahinya.

"Um, maaf. Tapi kami hanya menemukan dua orang wanita terluka termaksud kau dan dua orang pria tewas. Semuanya memakai jaket tebal, dan kami tidak menemukan korban lain."

Oh? Serius? "Ia berambut perunggu, dan aku masih ingat betul bahwa ia tetap bersamaku ketika koper itu jatuh."

Dokter itu mengangguk, "Tim medis datang lima menit setelah kau berhasil di keluarkan. Mungkin para korban lain melihat pria yang kau maksud. Nanti akan aku tanyakan, dan oh ya—" Ia tersenyum sambil menepuk bahuku pelan.

"Keluargamu akan datang menjengukmu. Kami telah menelfonnya dua jam yang lalu."

Sialan! Aku tidak ingin pulang! Aku tidak ingin bertemu mereka, tidak, tidak untuk saat ini.

Aku belum siap.

***

Normal POV

Kristen menatap ragu pada pintu ruangan yang tertutup. Lalu manik hijaunya menatap jarum jam yang berdetak memutar. Setengah jam ia hanya duduk seperni ini, dan ia percaya bahwa keluarganya akan datang sebentar lagi.

Ia belum siap. Ia tidak ingin. Bagaimana jika mereka akan memaksakan sesuatu yang tidak Kristen ingin? Seperti kejadian sebelum ia kabur.

Rasa menggelitik itu mulai menggerayangi tubuhnya. Tangan nya menggapai ponsel dan dompet yang perawat itu letakan. Sedangkan tas dan pakaian nya masih di tangan petugas.

Dengan rasa menggelitik itu, Kristen menahan napas ketika meninggalkan kamar rumah sakit dan mulai berjalan melewati koridor sepi menuju lift.
Lima langkah sebelum mencapai pintu lift, sesaat pergelangan tangannya ditarik oleh cengkraman yang kuat dan kasar dan dia ditarik ke dalam ruangan yang gelap lalu pintu dibanting tertutup dan gadis itu terjebak di dalam.

Ruangan ini terlihat remang-remang, hanya sedikit cahaya, cahaya sinar bulan yang terpantul dari jendela besar. Punggungnya mendarat pada pintu yang tertutup, dan tangan maskulin yang keras membekap mulutnya erat dan menyumbat
teriakannya yang tertahan. Rasa takut yang nyata melanda dirinya dan membuat detak jantungnya berdetak sangat cepat dan keras hingga ia tak dapat berkonsentrasi untuk bernafas melalui hidungnya.

Pikirannya mengelambungkan

dirinya seperti mimpi buruk yang sedang menimpanya atau ini hanyalah halusinasi yang sering ia rasai?

Kristen tidak tahu. Gelombang ketakutan akan penembakan itu masih terasa menyengat di pikiran dan dadanya, sekarang di tambah lagi dengan orang asing yang masih menyumbat mulutnya sehingga ia tidak tahu bagaimana caranya bernafas.

'Tuhan, apa lagi ini?'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar