Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Live And Let Die


Live and Let Die (Bab 5) : Truth

Ruangan itu menjadi hidup saat orang-orang bergerak mencari perlindungan. Semua bangku dan kursi telah terbalik menjadi dua dan aku berlindung di antaranya. Seorang penjaga keamanan mengintruksikan
para pegawai maupun para pengunjung untuk berjalan sambil merunduk ke arah dapur atau jalan masuk serambi. Sesekali ia berbicara pada Handy talkie yang ada di genggamannya. Kemudian terdengar letusan lain dan seorang pengaman muda di dekatku bergoyang, darahnya terciprat dan terjatuh tanpa perlawanan di lantai. Semuanya berteriak, suaranya terdengar bagaikan sebuah melodi lagu dan si pemegang HT menariknya kearah pintu dapur dan hilang dari pandanganku.

Si gadis pelayan yang mati tertembak tergeletak tak jauh dariku dan darahnya mengotori jaketku. Tanganku tak sengaja mengenai jejak darahnya dan aku mencari sesuatu untuk menghapus cairan menjijikan itu tapi tak banyak yang ku temukan selain jaketku sendiri. Beberapa detik kemudian aku menyumpah ketika tidak menyadari keberadaan Kristen.

Sialan! Dimana dia? Dimana gadis itu?

Terakhir kali aku melihatnya ketika bola-bola mainan di belakangnya meledak dan melemparkan semua yang ada di dekatnya. Ketika asap panas yang tebal selesai menyelubungi udara, aku mendapati diriku sendiri telungkup di bawah meja dan semuanya seperti kapal pecah: Hancur dan berantakan. Aku harus mengingatkan diriku sendiri bahwa gadis itu aman. Dia ada di balik dinding itu dalam keadaan baik-baik saja. Ya Tuhanku biarkanlah dia aman.

Jantungku tentu berdebar-debar. Suara letusan tembakan telah berhenti, tapi bukan berarti penembaknya telah pergi. Seorang penjaga yang berlindung di balik tiang bersiul kearahku dan mengisyaratkanku untuk berjalan merunduk kearahnya. Aku mengangkat kepalaku untuk mengintip dari perlindungan—meja besar yang terbalik—dan sedetik kemudian sebuah peluru melesat dan membentur meja cukup kencang hingga tertembus di sebelah kanan dekat kepalaku.

Brengsek!

Aku harus mengkamuflase keadaan. Jarak antara aku dan pria tua itu hanyalah delapan meter jauhnya, jika aku lari atau tiarap seperti kadal yang hanya di lindungi dinding kaca ataupun tiang yang hampir rubuh, penembak itu bisa menumpahkan pelurunya tepat di tubuhku. Jadi aku mengambil snack kemasan besar terdekat dan berhenti sejenak untuk menarik nafas, 'peluru adalah makanan seharianku' aku mengingatkan diriku sendiri sebelum melemparkan kemasan itu ke daerah kosong di seberangku dan kemasan itu meledak menghamburkan keripik kentang terbang ke seluruh ruangan, tapi aku sudah berlari dengan cepat dan berlindung di balik tiang dimana penjaga itu berlindung.

"Kerja bagus, nak" Katanya menepuk punggungku lalu berbicara pada Handy Talkie-nya "Ya semua aman di dalam. Beberapa berlindung di balik kasir. Si pemilik sudah menelpon 911, tapi aku membutuhkan EMT dan polisi segera." Katanya lalu berbalik kearahku. "Kau bisa masuk kedalam, polisi dan EMT akan datang sebentar lagi."

Persetan dengan polisi dan antek-anteknya. Aku membutuhkan Kristen dalam keadaan aman.

"Apa kah kau menyelamatkan seorang gadis yang di kepang, memakai kemeja merah, celana pendek dan converse?" Aku bertanya, jantungku bergemuruh. Bagaimana jika Kristen tertembak dan diseret keluar?

Dia mengerutkan dahinya seperti orang yang sedang berfikir, "Aku tidak tahu tapi ku pikir semua sudah di amankan di dalam. Kau bisa memeriksanya sendiri disana." Katanya, mengedikkan kepalanya kearah pintu yang di jaga dua pegawai yang merunduk. Lalu berbicara lagi pada HT-nya.

Jantungku berdebar di dalam
dadaku dan tanpa memikirkan keselamatanku, aku berdiri dan berlari masuk. Beruntung tidak ada peluru yang menghentikanku.

Paru-paruku yang berkerut kini menggelembung kembali ketika aku mulai bernapas saat aku melihat Kristen berada di ujung ruangan kantor bersama seorang pegawai laki-laki yang memeganginya agar tetap diam ditempat. Ekspresi ketakutan di wajahnya mencair ketika aku datang dari pintu, tapi ia kembali memucat saat melihat darah yang terdapat pada jaket dan ujung kukuku. Menghentakkan tangannya dari cengkraman pengawal, ia beranjak berlari ke arahku dan rahangnya bergerak dalam gerakan putus asa ketika ia mendekat, "Ya Tuhan, Robert, kau terluka!" Serunya menggema di seluruh ruangan.

"Ini bukan darahku." aku berkata, memegang ujung jaketku dan mengeluarkannya dari kepala, lalu mengambil tangannya dan memeluknya erat. Menjauhkan tangan kananku yang penuh darah darinya.

"Lalu apa? Kau baik-baik saja kan?" tanyanya, sambil menempelkan pipinya di dadaku sedangkan tangannya yang gemetar berada di balik punggungku. Sial, itu terasa sangat menyenangkan. Dan menenangkan.

"Aku baik. Penembak sialan." Aku menghela napas panjang dan melepaskan pelukannya. "Kau oke?"

Dia mengangkat bahu, sulur-sulur rambutnya menjuntai disisi rambutnya dan kepangannya berantakan. Dari segi manapun dia tidak terluka tapi aku yakin dia masih merasa ketakutan, terlihat bagaimana dia harus mengambil napas dan meghembuskannya dengan perlahan. Gigi kelincinya terlihat ketika ia melakukannya.

Dia terlihat begitu mengagumkan.

"Aku baik. Hanya saja... Aku masih sedikit terguncang." Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Bertaruh. Sebentar lagi dia akan menangis. "Aku hanya tidak tahu... Aku melihat gadis itu tertembak dan darahnya mengotori wajahku. Aku hanya takut, Aku—" Suaranya tercekat isakannya sendiri.

Aku mengambil tangannya— dengan tanganku yang bersih—memaksanya untuk melihatku, tapi ia malah menunduk. Lalu menghapus air matanya. Betapa nyerinya hatiku, Tuhan. "Dua hari yang lalu aku melihat seseorang jatuh terkapar karena penembak itu, dan sekarang aku melihatnya lebih dari sekedar terkapar." dia menatapku, air mata menggenang di pelupuk matanya. Tapi ia berusaha untuk tidak berkedip agar air itu tidak menetes, "Apa yang sebenarnya terjadi, Rob?"

Haruskah aku mengatakan padanya yang sebenarnya? Haruskah?

Aku menggelengkan kepalaku. Cepat atau lambat, dia akan mengetahui dengan sendirinya. "Aku akan kembali." Kataku tanpa melihatnya, berjalan ke arah kamar mandi dan menyembunyikan kepalan tanganku di balik gumpalan jaketku.
Dia ketakutan. Dan itu karenaku.

***

Kamar mandi ini kosong dan aku bersyukur karena itu. Kubiarkan air mengalir membasahi tanganku, membiarkan airnya membersihkan sisa-sisa darah di kuku-ku. Lalu kubasuh mukaku, airnya mengalir dari ujung hidungku lalu menetes ke dagu. Aku mendongak, menatap bayangan seraut wajah dengan rambut warna perunggu dalam cermin yang kembali menatapku dengan mata birunya yang kehijauan.

Aku menyadari kebenaran lain saat aku menatap seorang bajingan dan brengsek yaitu diriku sendiri.

Siapa aku?

Aku mengepalkan tinjuku dan menghantam ujung wastafel. Persetan pada rasa sakitnya, yang sakit adalah hatiku. Kenapa aku tidak mengingat diriku sendiri? Kenapa mereka mengejarku? Kenapa mereka tega mengorbankan nyawa orang lain untuk mendapatkanku? Siapa sih sebenarnya aku? Seberapa pentingnya aku? Kenapa aku lupa ingatan? Kenapa Tuhan? Kenapa!

Aku ingin marah dan aku tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Semua berawal pada tiga bulan yang lalu ketika aku terbangun dalam keadaan telanjang di sebuah rumah reyot yang akan runtuh dalam sekali sentil. Terbangun dalam keadaan daun-daunan hijau yang sudah mengering dan balutan perban dimana-mana yang bersarang di tubuhku. Rasa sakit di kepalaku dan begitupun di seluruh bagian tubuhku. Yang aku ingat ketika itu adalah ruangan yang gelap, kosong. Hanya ranjang keras yang aku tempati dan sebuah meja yang berisi ramuan tak jelas yang aromanya seperti kotoran naga. Seorang wanita tua berdiri di ujung lorong, kedua tangannya berada di sisi tubuhnya yang memainkan keliman daster putih yang ia pakai dan ia hanya bisa menunduk ketakutan—seolah-olah yang ia lihat adalah Mummy yang bangkit dari tidur panjangnya.

Kenyataan menamparku ketika mengetahui bahwa bahwa dia bisu. Tidak bisa membaca maupun menulis, ia janda yang sama sekali tidak memiliki anak sehingga aku tidak mendapatkan informasi apa-apa selain proyektor laser kecil—sebuah nomor account safe deposit box yang ia temukan di dalam kulit tubuhku.

Ketika kondisi fisikku lebih stabil dengan latihan yang aku jalani—pull-up, sit-up, lari, dan sebagainya—aku pergi ke Jerman untuk mengunjungi Deustche Zentralgenossenschaft bank (DZ) dimana aku harus mengetahui apa yang aku punya di Account Safe Depositku.

Disanalah aku tahu siapa aku.

Didalam box, aku mendapati sebuah Paspor yang berisi biodata, foto, tanda tangan, tempat dan tanggal kelahiran, dan semua informasi identifikasi individual. Selain Paspor ada beberapa benda lain yang membuat seluruh bulu kuduk ku berdiri: Ada sejumlah uang—lima puluh ribu dollar, Kartu American Express Platinum Card dan sebuah SIG-Sauer SIG Pro SP2009.

Sialan! Demi guntur bumi, pria gila mana yang memiliki pistol Sauer dan menyimpannya di dalam deposit box? Di dalam sebuah bank?

Sedikit waktu yang aku punya, aku hanya mengambil sejumlah uang, kartu Amex dan paspor lalu meninggalkan senjata yang entah mengapa bisa ada di box ku lalu pergi. Lagi pula, kadang-kadang, membawa senjata berbahaya itu dapat menarik perhatian lebih atau dapat membawaku ke dalam sebuah masalah.

Ketika aku mencoba untuk
melarikan diri dari Bank yang diam-diam seorang petugas hendak menangkapku—tanpa alasan yang tidak ku tahu—aku meraih sebuah peta darurat dari dinding, kemudian berhasil melumpuhkan seorang petugas dan mengambil perangkat komunikasi nya, sehingga aku bisa mendengar dan memantau informasi apa saja lalu menggunakannya untuk menentukan rute pelarianku. Dan disanalah aku baru menyadari bahwa aku piwai dalam berkelahi.

Dimanapun aku berasal, aku sangat berterimakasih karena itu.

Dengan biodata yang aku punya, aku terbang ke Inggris untuk mengunjungi alamat yang tertera di Paspor. Alamat yang aku pikir adalah alamat keluargaku ternyata adalah sebuah kedai kopi yang pemiliknya bahkan sama sekali tidak mengenalku. Tidak ada lagi tempat yang harus aku datangi kecuali aku harus mencarinya sendiri. Aku menjelajahi berbagai belahan Eropa untuk mengikuti petunjuk-petunjuk dari kartu Amex-ku yang mana pernah aku gunakan di setiap negara, tapi aku tidak menemukan petunjuk apapun selain kejaran polisi dan aku harus membuang banyak sekali mantel dan beberapa topi maupun tas untuk menghapus jejak yang kemungkinan dapat teridentifikasi oleh kamera.

Sampai akhirnya ketika aku di Seattle dan menginap di Fairmont Olympic Hotel 411 University Street, Daerah Pusat Perniagaan, WA 98101, Seattle. Yang juga tempat di mana aku pernah menginap dulu, aku menemukan biodataku di daftar pengunjung hotel. Selain nama maupun nomor telepon, disana juga tertera alamat rumahku di mana di tuliskan Thermopolis, Wyoming.

Sorenya aku pergi ke Port Authority Bus Terminal, New York. Berusaha mendapatkan jadwal perjalanan ke Wyoming secepat yang aku bisa namun harus berurusan dengan nenek tua yang selalu menanyakan apapun itu tentangku yang aku tidak tahu jawabannya.

Beberapa menit kemudian ketika kamera pengintai mulai menyorot ke kursi tunggu sebelah lift—dimana aku duduk—dan seorang polisi mulai berkeliling, aku harus pindah ke serambi belakang dan tiba-tiba saja aku menabrak seorang gadis. Dan gadis itulah yang sampai sekarang bersamaku.

Sampai di titik ini. Dimana orang yang memburuku berusaha untuk memburu Kristen. Ya Tuhan. Ketika penembakan di bus terjadi aku tahu bahwa aku harus meninggalkannya di sana—Apapun kejadian buruk yang terjadi pasti ada sangkutpautnya pada diriku dan aku harus menjauhkan gadis dari bahaya—Aku percaya bahwa dia akan lebih aman berada di tangan sekelompok polisi dan beberapa tim medis, tapi pemikiranku salah ketika dua orang penguntit brengsek berusaha untuk membunuhku dengan menerjangku dengan pistol. Dengan keahlian menggunakan jenis
seni bela diri yang merupakan kombinasi dari Filpino Kali dan Jeet Kune Do atau tehnik bertarung Krav
Maga, dua brengsek itu mudah di lumpuhi. Ketika aku menggeledah tas miliknya beberapa saat kemudian aku tercengang ketika mendapati fotoku dan foto Kristen terpampang di sebuah kertas yang di atasnya ada tulisan 'Bunuh mereka'. Jika mereka masih hidup aku bisa menanyakan apa maksudnya, sayangnya mereka sudah berurusan dengan malaikat pencabut nyawa sehingga semua pertanyaan itu harus mengambang di udara. Hingga akhirnya aku pergi kerumah sakit untuk memastikan Kristen aman, tapi yang ku dapat adalah seorang pria yang mengendap-endap masuk kedalam ruang pembedahan dan Kristen lah yang menjadi targetnya.

Bajingan. Sialan. Brengsek!

Seharusnya aku meninggalkannya di rumah sakit. Bukannya membawanya ke dalam mobil curianku sehingga membawanya kedalam masalah yang satu ini. Mereka masih memburuku. Memburu Kristen. Kristen sekarang adalah tanggung jawabku. Segala kesalahanku berakibat buruk kepadanya. Aku selalu berspekulasi bahwa Kristen terjebak. Kamera pengintai merekam kami berdua di terminal New York apalagi kami sama-sama menuju kota yang sama. Bus yang sama. Dan detik-detik sebelum kejadian kami duduk di tempat yang sama.

Brengsek! Ya, seratus persen aku yakin pada asumsiku.

Aku mengangkat kepalaku dan melihat bayanganku di cermin yang menatap balik padaku. Daguku turun, dan aku menatap ke dalam mataku. Dadaku naik turun, aku gemetar, dan menurut standar orang lain terlihat seperti orang gila, namun kontrol akal sehat berada jauh dari jangkauanku saat ini. Aku mundur ke belakang berusaha untuk tidak memukulkan kepalan tanganku ke cermin.

Berpikir jernih Rob, kau bisa mengatasinya.

Aku menghela napas panjang sebelum membasuh wajahku dengan air dingin. Menenangkan pikiranku yang kacau. Disetiap kali aku melihat matanya, dalam hati aku berjanji. Setelah sampai di Wyoming aku akan mengantarkannya pada kakaknya dan semuanya akan kembali seperti semula: Dia tidak akan pernah mengenalku seperti aku tidak akan pernah mengenalnya.

Setelah penembakan jitu ini pun aku mengulang janji itu di dalam pikiranku.

Dia akan aman. Tanggung jawabku selesai.

Melebarkan jaketku dan membilasnya di bawah air mengalir menunggu noda merahnya menghilang, setelah tujuh menit lamanya, aku mengeringkan jaketku yang lumayan bersih dan memakainya.

Sebodo amat jika masih basah, yang aku pikirkan saat ini adalah sudah berapa lama aku berdiam diri di kamar mandi ini? Kristen pasti menungguku di luar. Sialan! Dia sendirian disana. Mematikan kran air dan mendengarkan tetesan nya yang jatuh ke bawah, aku memandang diriku sendiri yang basah dan berantakan. Lalu menghembuskan napas panjang, namun aku mendengar sesuatu yang asing.

Suara pelatuk yang di tarik.

Aku menunduk sebelum sebuah peluru menghantam kaca dan memecahkannya, berbalik dalam keadaan waspada, aku mendapati seorang pria memakai celana jins, sepatu bot, jaket kulit tebal, ia berotot dan wajahnya seperti berang-berang. Ia menodongkan pistolnya ke arahku dengan kedua tangannya yang di balut sarung tangan.

Sialan!

Satu lawan satu. Bersenjata dengan tangan kosong.

Brengsek!

Aku melemparkan serpihan kaca besar kearahnya dan dengan mudah dia menghindar, ia menyumpah lalu menodongkan pistolnya ke depan tetapi aku sudah berguling kearahnya dan menendang betisnya dengan keras. Pertahanan pertama, betis adalah benteng kekuatan yang optimal. Pria itu meringis dan jatuh terjengkang kebelakang, pistolnya berada di tangan kanannya dan aku melemparnya kesembarang arah.

Satu-sama.

Aku memegang leher pria itu dengan satu tangan, dan mengepal kerah jaketnya dengan tanganku yang satunya. Kepalan tanganku hampir mati rasa saat mengenai wajahnya. Kemarahanku menyesakkan napasku dan aku hampir membiarkan semuanya
terlampiaskan.

Aku memukul rahangnya dengan kepalanku dan darah keluar dari hidungnya.

"Siapa kau!" Geramku. Menekankan lehernya lebih kuat sehingga kepalanya memutih kehabisan udara.

Dia hanya diam, lalu beberapa detik kemudian napasnya tercekat ketika aku mencekiknya lebih kuat.

"Mau apa kau?" Tanyaku lagi, mengencangkan kepalan dan cekikanku di lehernya. Pria itu meronta, berusaha untuk menggapaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kakiku.

"Aku hanya di bayar untuk membunuhmu...Pattinson." Katanya, berusaha mengambil napas dan aku mengendurkan tanganku.

Biarkan musuhmu hidup jika kau ingin tahu apa yang ingin kau tahu.

Aku memiringkan kepalaku, pembuluh darah menonjol di leherku, "Siapa yang menyuruhmu?"

Dan lagi. Kepalaku terasa sakit ketika ia membenturkan kepalanya ke kepalaku, aku terjatuh ke belakang dan pria itu lolos dari genggamanku. Dia merangkak lalu berdiri, berjalan dengan terpingkal untuk meraih pistolnya, tapi aku sudah menyebrangi ruangan dan mendorongnya kedinding.

Menekankan tanganku di pintu, lalu mundur satu langkah, memberi jarak antara kami lalu aku meraih lehernya dan mengangkatnya ke udara.

"Siapa yang menyuruhmu?"

Dia mengambil napas dengan susah payah lalu tangannya yang bebas menonjok rahangku dengan amat keras, Rasanya sangat perih—panas. Membuat kepalaku
terbentur lantai dan menghasilkan denyutan di titiknya.

Brengsek!

Aku bangkit, mengabaikan rasa sakitku dan menerjang dirinya, Aku mendorongnya—bermaksud untuk membantingnya ke lantai—tapi dia mendorongku balik. Aku memukulnya, namun dia menghindar.

Waktu kembali berhenti untuk beberapa detik.

Aku menyeimbangkan tubuhku, lalu mengambil satu langkah mundur, dan menunggu dia menyerangku, tapi tangannya terangkat kebelakang dan brengsek! Dia mengangkat Sig Sauer PRO dari balik punggungnya.

Senjata cadangan.

Dua-satu.

Aku berguling kesamping ketika ia menekan pemicu—trigger—dan bubuk mesiu membaur di udara, peluru melesat dan memecahkan ujung wastafel membuat keramiknya pecah.

Dia menyumpah, berusaha untuk menembakan peluru nya lagi kearahku tapi dengan cepat aku menghindar, berguling kesamping, membelakanginya lalu bangun dengan melayangkan tubuh keudara, membiarkan kakiku sebagai penumpunya dan memelintir tangannya—yang mengacung kedepan—kebelakang punggungnya. Sauer-nya terjatuh dan tergeletak di lantai dan aku menendangnya ke arah pistol pertamanya. Ia meringis ketika aku menekankan tanganku di telapak tangannya dan di sikutnya.

Aku bersumpah demi Tuhan, jika saja aku tidak bisa mengendalikan emosiku yang menggeludak, aku akan mematahkan tangannya dengan sekali tekan.

Sebelum tangannya yang bebas berusaha untuk menggapai kepalaku, aku menyelengkat kaki kirinya dan kami terjatuh kedepan. Hidungnya mencium lantai. Terimakasih Tuhan, aku harap hidungnya patah.

"Siapa yang menyuruhmu?" Aku menggeram, membalikan tubuh pria itu dan mengunci kedua bahunya dilantai dengan lututku. Darah dari hidungnya menyembur ke lantai dan aku menekankan tanganku di lehernya, "Siapa!" Aku berteriak.

"William." Ia terbatuk, "Luke William."

"Siapa dia?"

"Seorang direktur CIA."

Aku mengepalkan tanganku di wajahnya, "Katakan. Mengapa William ingin membunuhku? Mengapa para CIA mengincarku?"

"Aku tidak tahu. Aku di perintahkan dan di bayar. Misiku hanya untuk membunuhmu." Katanya, berusaha keras untuk lepas dari tindihanku, tapi gagal. Aku terlalu berat dan kuncianku terlalu keras.

Aku menekankan lehernya ke lantai lalu berkata, "Sekali lagi ku tanyakan padamu, mengapa dia menyuruhmu untuk membunuhku?" Aku mendesis ketika cekikanku hampir saja membuatnya semaput.

Dia terbatuk, meraup udara sebisanya ketika wajahnya yang merah berubah putih. "Aku bersumpah aku tidak tahu... Tapi sejak kau menghilang dua tahun lalu semua orang mencarimu: CIA, polisi. William mengatakan bahwa kau berbahaya. Hanya itu yang ku tahu! Aku dibayar untuk membunuhmu dan gadismu. Tidak ada alasan untukku bertanya apa motifnya. Selagi uang ada di tanganku, aku siap melakukan apapun perintahnya!"

Dua tahun lalu? Jadi aku menghilang sejak dua tahun lalu?

"Apa aku pernah bekerja untuknya?"

Wajahnya yang memutih mengernyit ketika mendengar pertanyaanku, "Pertanyaan macam apa itu? Kau bekerja sebagai agen rahasia CIA selama bertahun-tahun. Kau menjalankan misi lalu kau menghilang! Aku bersumpah, Pattinson. Apa yang keluar dari mulutku itu adalah sebuah kebenaran."

Agen rahasia CIA?

"Lalu kenapa gadis itu?"

Dia terbatuk dan berusaha melihat batang hidungnya yang bengkok di balik bawah bulu matanya, "Wilch yang memerintahkanku untuk membunuh gadis itu."

Jawabannya membuat aliran andrenalin di pembuluh darahku mengalir deras "Siapa Wilch?"

"Seorang Direktorat Ilmu dan Teknologi. Dia yang mengumpulkan data, menganalisis hingga membentuk sebuah informasi. Wilch adalah kaki tangan Taylor. Sedangkan Taylor adalah agen kesayangan William."

Aku mengendurkan peganganku pada lehernya, "Kenapa bajingan itu memerintahkan kau untuk membunuh gadis itu? Dia tidak bersalah."

"Aku tidak tahu." Katanya, berusaha memberontak. "Sudah ku katakan, aku di bayar untuk membunuh. Bukan menanyakan hal-hal yang tidak ingin ku tahu."

"Tapi kau tahu tentangku!" Aku mengangkat kerah bajunya lalu menjatuhkannya kembali. Suara 'buk' kepalanya ketika membentur lantai membuat ia menggeram dan meringis. Lalu—entah kekuatan dari mana—dia mendorongku dengan kepalanya, lalu menendang perutku dengan kaki nya yang bebas, dia berdiri ketika aku terjatuh kesamping dan bergerak ke arah kedua pistolnya yang tergeletak namun sebelum ia mampu melangkah pergi, aku meraih pergelangan kakinya dan ia terguling ke lantai.

Aku merangkak naik ke atasnya lalu menekuk sikuku dan mengayunkan pukulan ke hidung pria itu dengan keras dan cepat. Lalu mengayunkan pukulan kerahangnya, namun meleset, lalu dia mencoba untuk memutar tubuh kami agar ia berada di atasku, tapi aku menendang selangkangannya dengan dengkulku, matanya melotot ketika rasa sakit menyerang miliknya dan ia bergerak menyamping, meringkuk merasakan kesakitannya. Aku bergerak untuk bangkit dan berbalik, siku tangannya menyentuh rahangku, dan dunia serasa berhenti selama kurang dari satu detik sebelum aku memadamkan rasa sakitnya dan membalasnya dengan pukulan
kiri dan kanan, mendarat secara berurutan.

Wajahnya penuh dengan darah.

Tiba-tiba saja siku lengannya mundur ke belakang, dan kepalan tangannya bergerak untuk mendarat di hidungku, tapi aku menangkis lengannya dan memutar badanku sehingga aku berada di atasnya. "Apa William ada disini?" Tanyaku.

Pria itu menggelengkan kepalanya, rasa sakit menyerang wajahnya ketika dia berusaha bernapas, "Dia tidak pernah turun kelapangan. Tapi beberapa agennya mengawasiku."

"Dimana?"

"Di barat dan di timur. Di sebelah jembatan motel yang kau inapi bersama gadis itu."

"Bagaimana kau tahu kami di sana?"

Dia terbatuk, darah mengotori gigi putihnya, "Kamera pengintai."

Oh yeah. Seharusnya aku menyadarinya. Kamera pengintai ada dimana-mana, tapi aku malah mengabaikannya. Bagaimanapun juga aku tidak akan pernah merasa aman. Mereka pasti akan terus mengawasiku. Aku memejamkan mataku dan menghela napas panjang sebelum akhirnya darah di pembuluh darahku teraduk-aduk di dalam kepalaku ketika mendengar perkataannya, "Seharusnya kau menjaga gadismu, Pattinson. Dua hari yang lalu kau melumpuhkan temanku, sekarang kau yang ku lumpuhkan." Ia menyeringai, "Dan juga gadismu."

Tidak ada yang boleh menyentuh Kristen. Dia tidak bersalah. Aku mengumpulkan tenagaku sebelum mengangkat tubuhnya dengan menariknya ke udara dan membantingnya ke serpihan kaca, ia terjatuh ke bawah wastafel dengan suara gedebuk kencang dan darah mengotori lantai sekitarnya.

Aku mengambil tas ranselnya dan menggeledahnya. Di dalam tas terdapat kertas yang sama yang ku temukan di hari sebelumnya—kertas yang bertulisan bunuh mereka yang di bawahnya terpampang fotoku dan Kristen—Aku merobeknya dan menyalakan kran di wastafel yang masih utuh. Membiarkan air mengalir membasahi kertasnya—ketika kertasnya basah, tidak dapat terbaca, hancur berantakan aku melemparnya ke dalam tempat sampah. Lalu aku menemukan Hand-free, Chipdrive dan GSM plugin SIM adapter, telpone genggam Siemens ME45—yang sudah di modifikasi—kartu identitas dan magazine peluru.

Tidak ada petunjuk apa-apa selain ponsel miliknya dan simcard. Sialan! Simcard! Aku bisa mengcopy nya nanti setelah aku sampai di Wyoming agar aku bisa mendapatkan petunjuk ataupun informasi lebih banyak tentang perbincangan antara pembunuh brengsek ini dengan William.

Tidak ada cara lain untuk menghilangkan sidik jariku. Setelah berbagai macam benda miliknya aman di tanganku, aku menghela napas panjang ketika melihat dua buah pistol semi tergeletak di lantai. Aku harus mengambil satu untuk berjaga-jaga. Ya, untuk sekarang keadaan semakin kacau. Ada beberapa antek-antek CIA yang berjaga-jaga di timur dan di barat. Setidaknya, dengan pistol yang berada di tanganku, aku bisa melawan mereka tanpa tangan kosong. Jadi, aku menyebrang ruangan dan meraih Sig Sauer PRO lalu memeriksa magazine pelurunya. Masih tersisa lima peluru dan aku memasukannya lagi ke dalam, lalu meletakannya di balik punggungku—di antara ikat pinggangku—dan mengatur napasku yang menggebu sebelum membuka kenop pintu dan mengabaikan penampilanku yang berantakan.

Kristen. Aku berusaha mencari Kristen di tengah-tengah lautan manusia yang sibuk dengan ponsel mereka, ataupun memeluk satu sama lain atau sibuk dengan luka-luka mereka, namun ketika aku tidak dapat melihat Kristen di tempat dimana aku meninggalkannya, seketika itu juga aku merasa cemas. Dia tidak ada.

Sialan!

Rasa gemetarku berubah menjadi rasa syok, cemas, khawatir saat aku memikirkan ada seseorang yang berusaha untuk melukainya. Salah satu agen brengsek yang juga ingin melukaiku. Berusaha untuk membunuhku. Bajingan!

Aku melihat sekeliling dan baru menyadari bahwa ada beberapa tim EMT yang mondar-mandir, sesekali polisi terlihat di luar. Oh ya Tuhan. Sudah berapa kali aku menyumpah? Pembunuh bayaran itu tergeletak di lantai kamar mandi dan aku harus segera keluar dari tempat ini sebelum polisi semakin menggeledah ke dalam.

Ada sidik jariku di sana.

Darahku mendidih saat aku masih tidak menemukannya di dalam keramaian. "Kristen!"

"Aku di sini!" dia berlari lalu memelukku, dan aku melingkarkan lenganku di tubuhnya. Detik itu aku merasa lega, dan detik berikutnya aku merasa sangat marah.

"Kau membuatku sangat takut, Kristen!"

Dia melongo, "Aku baik-baik saja. Seseorang menanyakan ransel mu dan aku mengambilnya." Katanya, memberikan ransel di bahunya padaku dan aku meraihnya, lalu menyampirkannya di sebelah bahuku dan mengambil tangannya, "Kita harus pergi." kataku.

"Mengapa terburu-buru?"

Aku tidak menjawab dan Kristen pun tidak berdebat ketika aku menariknya ke arah selatan dimana jalan itu aman dari kejaran seseorang.

***

Thermopolis, Wyoming, November 20 at 05.30 p.m

Kami menempuh waktu sekitar 11 jam perjalanan dari Denver, termasuk isi bensin dua kali dan berhenti ke toilet umum sekali. Di Wyoming ada banyak sekali variasi pemandangan yang dapat dinikmati, seperti hamparan tanah merah yang luas, hamparan padang rumput yang menjuntai dengan lebat, kandang kuda, sungai, bukit bebatuan merah, pohon cemara, pinus, rumah bergaya country, hingga bukit bersalju abadi. Semua pemandangan ini terlihat begitu mengangumkan ketika hari menuju senja.

Setengah jam yang lalu kami menempuh perjalanan dari Jackson Hole hingga wilayah perbukitan dan gurun di Wyoming, hingga ke jalur interstate Route 90 Wyoming—South Dakota di sore hari. Suasana country ala cowboy Amerika begitu mengagumkan apalagi saat melewati hutan cemara Shoshone National Forest.

Selamat datang rumahku.

Setelah melewati perjalanan panjang dalam keheningan, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di jalan selepas Shoshoni. Tepatnya di hamparan tanah kering, terlihat seperti gurun tetapi terdapat sebuah danau di sekitarnya, namanya Boysen State Park dan kami beristirahat di jembatannya.

Kristen terlihat begitu cantik saat dia sedang membungkuk di pagar untuk melihat sungai dibawah, angin meniupkan sulur-sulur rambutnya yang lolos dari kepangannya, salah satu kaki panjangnya ditekuk kearah pagar dengan tangan yang bertumpu dengan anggun di atasnya.

Selama sebelas jam tidak ada yang berbicara di antara kami. Bahkan kejadian tadi pagi—penembakan yang menghancurkan restoran cepat saji—seolah-olah tidak pernah ia alami di hidupnya. Ia berubah menjadi lebih pendiam. Jika aku tidak bertanya, ia tidak akan mengeluarkan suaranya. Sepanjang perjalanan yang ia lakukan hanyalah tidur, mendengarkan musik, lalu tertidur lagi. Makanan ringan yang ku berikan padanya pun belum ia sentuh sama sekali. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, ia berubah. Lebih menutup diri.

Detik berganti menit. Menit berganti jam dan begitulah waktu bergulir. Tapi Kristen tetaplah menjadi buku yang di segel.

Aku berdiri di sebelahnya, hanya berjarak setengah meter darinya. Selama waktu berotasi aku menunggunya mengucapkan satu katapun, namun dia tidak melakukannya. Ia hanya diam. Tidak menatapku. Dagunya di naikan keatas ketika angin menampar wajah kami dengan kencang, ia memejamkan matanya membiarkan angin sepoi membuai wajahnya.

"Katakan sesuatu." Kataku pelan menatap kearahnya, berharap mata kami akan bertemu tapi Kristen tetap memejamkan matanya.

"Apa yang ingin kau dengar?" Akhirnya ia bersuara ketika keheningan yang mencekam. Ia membuka matanya, tapi tetap menatap ke arah depan.

"Apapun." Kataku. "Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Kau." Katanya tanpa ragu. Bingung dengan jawabannya, aku hanya diam dan enggan untuk mengatakan apapun karena aku tak tahu harus mengatakan apa. Dia memikirkaku?

"Kenapa aku?"

Dia masih menatap ke arah danau nun jauh di depan. Gelombang air danaunya yang tenang menjilati tubuh para angsa-angsa yang berenang. Terlihat semburat warna coklat kemerahan dari pendar cahaya senja yang menampakan gradasi indah di cakrawala. Mendadak aku merasakan tatapan Kristen ke arahku dan aku menoleh dan bertatapan mata dengannya. Cahaya senja membuat warna matanya berubah hijau ke coklatan, dan menampakkan siluet lembut wajahnya, beberapa helai rambutnya tertiup ke depan pipinya yang mulus. Tanpa pikir panjang aku menjulurkan tanganku dan menarik beberapa helai rambutnya menjauh dari bibirnya. Tatapan matanya menjadi lebih tegang ketika dia menatapku dan berkata, "Siapa dirimu sebenarnya?"

'Ini dia' pikirku. Siapa aku sebebarnya? Aku adalah seorang buronan yang lupa ingatan, bekerja sebagai agen rahasia CIA, dan gagal dalam misinya. Tapi aku tidak tahu apa misi itu, kenapa aku bisa lupa ingatan, dan mengapa semua orang mencariku. Aku mengencangkan peganganku pada pagar besi. Emosi yang menggeludak mengguncang akal sehatku. Ia akan menuntut kebenaran yang tidak bisa kuberikan—kebenaran yang akan membuatnya takut dan berteriak lalu pergi. Walaupun sebentar lagi kami akan berpisah. Aku akan mengantarkannya ke rumah saudara perempuannya dan aku akan menempati janjiku.

Melupakannya. Walaupun aku tidak tahu apa aku bisa melakukannya atau tidak.

Kristen adalah orang pertama yang aku kenal. Orang pertama yang ku biarkan menembus pertahanan dinding dalam hidupku, orang pertama yang membuatku tertawa, orang pertama yang ku biarkan menyentuhku, merasakan kehangatan tubuhku.

Di malam itu aku memandanginya, berusaha untuk mengingat bayangannya di dalam ingatanku. Bagaimana saat bola matanya tertutup, saat rambut kusutnya berada di atas lenganku, tangannya di dadaku, aroma menggiurkan yang tercium dari tubuhnya yang memakai body lotion, suara pelan yang terdengar dari hidungnya saat dia menghela napas. Dia terlihat sangat damai, dan mulai merasa nyaman setelah ia berteriak dalam mimpi buruknya.

Walaupun hujan menghantam dan guntur tak hentinya berdentum, namun semuanya menempel di ingatanku. Sekarang setelah Kristen terasa seperti rumah bagiku, dia akan pergi.

Lebih dari kata pergi. Dia akan membenciku. Aku telah membawanya masuk ke dalam lubang hitam kehancuranku. Haruskah aku mengakuinya?

Aku menatapnya, menusuk bola mata hijaunya dengan tatapanku lalu aku memegang beberapa helai rambutnya yang tertiup angin lagi dan menariknya menjauh dari mulutnya. "Kau tahu siapa aku."

Ia menggeleng, "Tidak. Kau berbohong. Jawab aku Robert, mengapa mereka mencarimu?"

Dia tahu?

Aku terdiam sejenak, bagaimana ia tahu bahwa ada yang mencariku? Aku memejamkan mata dan merasakan tangannya bergerak di atas tanganku yang mengepal kemudian meremasnya "Jawab aku"

Aku menelan ludah. Lalu menatap kearah danau, "Seandainya aku tahu jawabannya, Kristen, aku akan memberitahumu."

"Kau berbohong."

Aku menatapnya, pembuluh darah menonjol di leherku dan merembat ke pelipisku. "Kau berpikir seperti itu? Pikirkan Kristen, Aku ingat umurmu walaupun kau mengucapkannya hanya sekali, aku masih ingat plat nomor bus sialan yang tertembak lusa lalu, aku masih ingat bagaimana bentuk wajah si penjaga kasir motel yang kita inapi, aku tahu berat badannya, tinggi badannya, aku bisa menghitung berapa liter bensin yang telah ku habiskan, aku dapat berkelahi, aku tahu bagaimana caranya menggunakan pistol, aku ingat dan tahu segalanya tapi aku tidak tahu siapa aku!" Aku berteriak, sebodo amat jika ada yang mendengar atau menganggap aku pria sinting yang sedang mengamuk.

Kristen terlonjak dan mundur selangkah, bola matanya bergerak seolah-olah mencoba mencari kebohongan di mataku. Ketegangan terlihat di alisnya ketika aku melangkah mendekatinya dan menyentuh kedua bahunya "Dengar, kristen. Ini rumit. Aku tidak tahu siapa aku. Aku tidak tahu mengapa semua orang mencariku. Apakah kau berpikir bagaimana rasanya jadi seorang pria yang seumur hidupnya di penuhi oleh bayang-bayang?"

Pandangannya teralihkan dari danau lalu menatapku seperti aku berbicara dalam bahasa binatang, "Kau tidak aman." kataku dan ia menatap danau kembali. "Aku tidak pernah merasa aman." Katanya pelan. Beberapa detik kemudian bibirnya terbuka lalu tertutup kembali. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia menelannya kembali.

Aku meremas bahunya mencoba mencari perhatiannya, lalu menelan ludah. Aku harus mengatakan yang sebenarnya, "Siapapun yang mengejarku juga mengejarmu." Perhatiannya terfokus olehku, "Mungkin aku tak berhak mendapat kehidupan yang seharusnya, normal—mempunyai sebuah pekerjaan, membangun sebuah keluarga, mengayomi hidup, kebahagiaan—tapi kau berhak, dan aku akan membantumu melewati ini." Satu jariku menyentuh pipinya. "Aku bukan pria baik. Kau bersama orang yang salah, seharusnya aku tidak menculikmu ketika di rumah sakit, berpikir kau akan lebih aman bersamaku tapi bajingan itu mengikutiku, menyemburkan peluru sialan itu untuk membunuhku. Dan dirimu," gumamku, berusaha mengendalikan aliran darah yang mendidih lalu membakar seluruh bagian tubuhku, aku mengepalkan tanganku sampai memutih di bahunya, "Seharusnya aku tak pernah membawamu kedalam masalah ini. Tiga kali aku hampir membuatmu terbunuh, dan kini aku harus melihatmu aman. Setelah aku mengantarmu ke rumah saudarimu, aku berjanji bahwa tidak akan adalagi bajingan-bajingan yang menyakitimu. Kau akan melupakanku, seperti aku akan melupakanmu." Sejujurnya perkataanku merobek hatiku sendiri.

Kristen menegang, dan aku melepaskan tanganku di bahunya. Matahari hampir terbenam ketika matanya tak pernah meninggalkan wajahku, "Kita di wyoming. Apa aku harus mengatakan sesuatu sebagai salam perpisahan?"

Aku menatapnya saat beribu emosi nampak pada wajahnya. Ketika matanya berkaca-kaca terpampang diwajahnya membuatku terdiam. Pertarungan dalam dirinya nampak begitu jelas; ia membuka bibirnya untuk mengatakan sesuatu, kemudian menutupnya kembali seperti ia takut untuk mengatakan sesuatu.

Setelah beberapa detik yang panjang dalam keheningan, aku memasukan tanganku kedalam saku jaketku. "Hari mulai gelap. Saatnya mengantarkanmu ke dalam pelukan saudarimu." aku menepuk bahunya lalu merogoh kantung belakang celanaku dan mengeluarkan kunci mobil curianku.

Ketika aku menghampiri dimana aku memarkir mobilku, Kristen sama sekali tidak bergerak. Matahari baru saja mulai terbenam ketika aku mengagumi keindahannya. Bentuk celana pendeknya seperti memeluk tubuhnya bagaikan kulit keduanya. Kemejanya yang di biarkan terbuka berkibar kebelakang ketika angin mulai menghantam bumi kembali. Kepangannya berada di bahu kanannya tapi helaian yang lepas membuai-buai kebelakang.

"Kristen?"

"Kau bisa meninggalkanku disini." Dia mengeluarkan suara yang menyedihkan tanpa berbalik kearahku.

"Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu di sini. Aku akan mengantarkanmu pulang. Sekarang masuk ke dalam mobil, angin akan membuatmu sakit." Kataku berjalan kearahnya.

"Jangan khawatirkan aku. Pergilah."

Apaan sih dia? Aku berhenti tepat di belakangnya dan bergeser sedikit agar bisa melihat wajahnya. "Kau tidak tahu siapa yang mengejar ku atau dimana mereka sekarang. Meninggalkanmu sendirian adalah umpan yang besar untuknya. Aku akan mengantarkanmu. Titik. Diskusi selesai" Kataku, mengambil tangannya tapi ia menghentakkan tanganku hingga terlepas.

"Pembunuh yang kau bilang bajingan-bajingan itu mengejarmu, bukan aku. Jadi aku aman. Aku baik-baik saja. Pergi, Rob."

Bukankah sudah ku katakan padanya bahwa mereka juga mengejarnya? Aku menggeram, menangkup kedua pipinya dengan tanganku, memaksanya menatapku. Kulitnya terasa dingin dan halus. Matanya terbakar oleh sesuatu.

"Baik. Aku tahu kau tertekan. Kau bisa mendatangi polisi, katakan semua pada mereka: Tentang aku yang menculikmu, penembakan di bus, restoran atau apapun. Katakan yang sebenarnya. Tapi ku mohon, tolong, jangan katakan aku di sini. Wyoming adalah satu-satunya harapanku untuk mengetahui masa lalu ku. Kau bisa katakan pada mereka bahwa kau melarikan diri, katakan aku pergi ke barat atau ke Virginia. Atau keluar negeri. Swiss, atau apalah terserah padamu. Tapi kumohon jangan katakan bahwa aku masih di kota. Setelah itu kau akan aman. Polisi akan menjagamu selagi mereka mencariku. Polisi akan mengamankan pernikahan saudarimu. Aku serius. Kau akan aman."

Keheningan menamparku.

"Tidak ada pernikahan, Rob." Katanya tanpa melihatku. "Katakan aku pembohong. Karena itulah yang terjadi sekarang. Tidak ada Wyoming di kehidupanku. Saudari. Pernikahan. Semuanya kebohongan." Air mata menetes di wajahnya ketika ia menunduk. "Tidak ada alasan lain kau mengantarkanku. Sekarang kau bisa pergi."

Aku melepaskan tangkupan tanganku diwajahnya dan mengepalkannya di sisi tubuhku Rasa marah yang membuatku buta mulai mengambil alih sistem tubuhku. "Jadi Wyoming bukanlah tujuanmu?"

"Aku tidak punya saudara di sini. Aku hanya jalan-jalan. Sungguh." Enteng sekali nada bicaranya.

"Apa kau sedang melarikan diri?" tanyaku kasar dan segera mendapat perhatiannya kembali. "Kabur dari rumah? Menjadi bocah ingusan yang menghindar dari masalah!" Aku berteriak. Berusaha agar tidak menghantam pagar besi untuk melampiaskan kemarahanku.

"Aku bukan bocah ingusan dan aku tidak kabur dari rumah! Aku hanya ingin pergi dan jangan meneriaki ku!" Ia meningkatkan nada suaranya dan memelototiku, mendorong dadaku dengan frustasi lalu menutupi wajahnya dengan tangannya. "Sepanjang jalan aku memikirkan bagaimana caranya agar keluar dari situasi ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini dan kau akan menendang pantatku keluar dari mobilmu! Aku takut sendirian. Bagaimana jika ada orang yang menyakitiku? Bagaimana jika orang yang mengejarmu itu men—"

"Katakan padaku dimana kau tinggal dan aku akan mengantarkanmu pulang"

Ia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin pulang."

Apa? "Persetan Kristen! Kau pergi tanpa tujuan dan kau terperangkap masuk ke dalam jebakan yang kau buat sendiri! Seandainya kau tidak ada di sana, seandainya kau tidak menjadi gadis yang bodoh yang melarikan diri dari rumah, kau tidak akan bertemu denganku! Kau tidak akan ada di sini! Dan aku tidak akan terlibat dalam masalahku!" Aku mengusap rambutku sampai ke ubun-ubun. Merasakan denyutan pusing kepala yang mulai menghantamku. Aku menggeram pada diriku sendiri karena merasa di bodohi.

Gadis sinting!

Ketegangan yang melingkupi bahuku mereda dan aku menghela napas berusaha menenangkan debaran jantungku yang menggerutuk, "Kau harus pulang, Kristen. Apapun masalahmu, rumah adalah tempat yang paling aman."

Dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin pulang."

Apa? "Jangan jadi bocah!"

"Aku bukan bocah! Aku hanya tidak ingin pulang. Bagaimana jika mereka menguntitku dan keluargaku jadi taruhannya?"

"Jika kau melaporkanku ke polisi, kau akan aman. Polisi akan menjaga keluarganmu selagi mereka memburuku."

"Aku tidak ingin berurusan dengan polisi."

Aku melotot kearahnya, "Jadi kau lebih memilih berurusan dengan kematian?"

Ia memejamkan matanya, lalu menghadap ke arah kegelapan di danau. "Tidak ada yang bisa mengontrol kematian, Rob."

"Jadi kau ingin tetap bersamaku? Kau tahu kan, aku bukan pria yang baik. Aku buronan. Mereka mengejarku tanpa ku tahu apa alasannya. Dan jika kau bersamaku, ini akan menjadi rumit, Kristen. Aku bukan pria yang baik."

Ia mendesah, "Aku selalu menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang percaya bahwa manusia itu abu-abu; tak ada yang hitam dan tak ada yang benar-benar putih. Orang yang terjahat pun pasti mempunyai sisi putih di dalam dirinya. Dan yang tergelap pun menjadi hal sebaliknya. Jangan pernah menghakimi dirimu sendiri."

Aku tertawa dengan pemikiran bodohnya, "Kau tidak mengenalku seperti aku tidak mengenal diriku sendiri, Kris." Aku menggeggam pagar besi, matahari telah tenggelam dan penerangan dari tiang lampu membuat satu titik cahaya putih bergoyang di danau. "Kau akan mudah terbunuh jika bersamaku." Aku menyunggingkan senyuman pahit "Tiga hari kau bersamaku, dan tiga kali kau hampir terbunuh. Bagaimana jika kau tetap bersamaku? Kesempatan kau untuk menikmati hidup sangat kecil. Aku tidak ingin mengambil kebahagiaanmu."

"Kau tahu tidak, Ayahku pernah mengatakan padaku bahwa, kau bisa melihat kematian orang lain tapi kau tidak bisa melihat kematian dirimu sendiri. Aku pernah melihat kematian orang yang aku kenal: Edward, gadis pelayan itu, atau orang lain yang tidak aku kenal di bus. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana aku mati nanti. Tidak ada satupun yang bisa kita lakukan untuk menghindari atau menunda kematian. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjalani hidup hingga kematian akan tiba."

Tiba-tiba ia maju selangkah, tangannya menggapai wajahku dan menangkupnya dengan satu tangan, memaksaku untuk melihatnya. Cahaya bulan menampakkan siluet lembut wajahnya, "Aku sudah terlanjur terjebak kedalam sebuah labirin tanpa batas bersamamu. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya keluar. Jika aku egois, aku akan mengatakan padamu bahwa sekarang aku adalah tanggung jawabmu. Superhero dengan gadis kecil." Ia memberikan senyum separuhnya, kepedihan terlihat jelas di bibirnya. "Tapi jika kau menganggupku sebagai penghalang mu. Beban bagimu. Aku bisa pergi." Ia melepaskan tangannya dari wajahku, tapi dengan cepat aku menahannya.

"Awalnya aku marah padamu karena kau telah membohongiku, tapi sebagaian diriku juga marah pada diriku sendiri karena aku juga telah membawamu masuk ke dalam masalahku."

Dia maju selangkah agar lebih dekat denganku lalu dia mendongak, menatapku dengan tatapan lembut dari matanya yang berwarna hijau dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak menjulurkan tanganku dan menyentuh parasnya yang cantik. Aku menggerakkan tanganku ke telinganya, bermaksud untuk menghangatkannya. "Kau tahu kan kalau aku berbahaya? Kau berteman dengan pria asing yang tidak tahu asal usulnya?"

"Aku tidak peduli."

"Kau gadis sinting."

"Cameron—kakakku—bahkan menganggapku gadis gila." Ia tertawa dan suara tawanya memberikan sensasi rasa hangat yang menjalar di pembuluh darahku. Setelah sebelas jam akhirnya aku bisa mendengar suara tawanya seperti musik yang merdu di telingaku.

"Kau tahu itu tidak benar."

Kristen memiringkan kepalanya sedikit ke depan. Aku tidak tahu apakah dia sedang memandangiku, atau bersiap untuk mengatakan sesuatu. Aku menunggu di dalam kegelapan, sambil terdiam. "Untuk sementara aku akan tinggal bersamamu, bukan?"

Aku menatap matanya, memegang wajahnya dengan kedua tanganku. Ibu jariku membelai rahangnya. "Jika keadaan semakin kacau, aku akan menendang pantatmu ke suatu tempat di mana kau tidak akan bertemu lagi denganku. Dan mereka tidak akan pernah menemukanmu." Dan inilah janji yang terucap yang harus aku tepati.

"Aku percaya padamu."

"Bagus"

Keheningan di sekeliling kami hanya membuat suara deru kendaraan yang melintas semakin terdengar. Aku ingin memeluknya atau mungkin mencium bibirnya, tapi yang aku lakukan hanyalah berdiri berhadapan dengannya, tanganku di wajahnya dan mata kami yang saling memandang.

Tidak ada waktu lagi untukku memproses apa yang aku lakukan kecuali menundukan wajah sehingga keningku menempel di keningnya. "Kau yakin dengan pilihanmu?" aku berbisik di depan bibirnya.

"Ya" Ia menutup matanya lalu bibirnya mendekat.

Aku melihat ke arahnya, merasa sangat terkejut. Percikan yang belum kukenal dan belum ku rasakan sekarang terbakar di belakang jendela matanya. Tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi, atau mengapa, tapi aku tidak bisa menahan diri lagi.

Aku mendekat, menekan bibirku di bibirnya dengan lembut dan perlahan. Semakin lama bibir kami menyatu, semakin aku merasa bingung oleh kenyataan yang sebenarnya terjadi.

Ciuman pertamaku—setelah tiga bulan terlahir kembali.

Aku mundur sedikit, namun Kristen malah menarik jaketku lebih dekat dengannya, dan sejujurnya aku menikmatinya: menggenggam pinggulnya ketika ia berjinjit kearahku. Dan menikmati bagaimana bibirku menyentuh bibirnya yang basah dan ranum. Tangannya yang meremas kerah jaketku dan tangan satunya yang ia letakkan di dadaku.

Detik berganti menit ketika ia berhenti, lalu mendorong bahuku pelan. Aku berpikir ia akan memakiku, atau menampar wajahku, atau meneriaki ku karena membiarkan kami melangkah terlalu jauh. Tapi ia malah tersenyum, dan menggelengkan kepalanya.

Pipinya memerah ketika ia menggigit bibirnya. "Dua tahun aku tidak pernah melakukannya dan sekarang aku merasakannya kembali."

"Hah?"

Ia menggelengkan kepalanya lalu mendorong bahuku pelan. "Abaikan."

"Kenapa sih kau?"

Dia mundur selangkah dan menyembunyikan tangannya di dalam lengan bajunya. Sembari memeluk erat dirinya sendiri, dan berbalik lalu mulai berjalan. "Aku tidak tahu.

"Dasar bocah! Cantik-cantik kok sinting."

Perkataanku membuatnya berbalik dan terpaku,dan ujung bibirnya terangkat keatas. "Kau berpikir kalau aku cantik?"

Aku mengernyit. Pertanyaan bodoh macam apa itu. "Ya. Sejauh ini kau memang... Ehm.. Terlihat cantik dan ya, kau tahu itu. Kenapa sih?"

Semakin dia mencoba untuk menahan agar tidak tersenyum, selama itu juga senyumannya semakin lebar. "Bukan apa-apa. Ayo cepat angkat kakimu dan tunjukan rumahmu!"Aku tertawa satu kali, lalu menggelengkan kepalaku.

Aku terpana melihat senyuman yang terpampang jelas di bibirnya. Begitu tulus. Dan hatiku menjadi lega. Aku pikir suasana hatinya dapat berubah-ubah dari sangat murung menjadi sangat senang seperti sedang bermain di Disney Land atau La La Land hanya dalam waktu kurang dari satu setengah jam.

Rumahku tidak jadi pergi. Ia tetap tinggal di mana ia harus tinggal. Dan aku akan masuk kedalamnya. Memilikinya—walaupun hanya untuk sementara. Dan aku tidak akan mengijinkan siapapun untuk memasukinya. Ataupun menyentuhnya.

Tidak. Akan. Pernah.

"Hallo, ada orang disana?"

Kristen melambaikan tangannya di depan wajahku dan aku segera tersadar dari lamunanku. Lalu ia menjentikan tangannya di depan wajahku, "Jangan melamunkan hal yang jorok."

Aku menyeringai, "Aku hanya membayangkan kau menari striptis di tiang kamarku sebagai bayaran karena kau telah menginap dan menumpang makan secara gratis dirumahku nanti."

Layaknya baut penyangga pertahanan mulutnya kendur dan lepas—mulutnya menganga dengan amat sangat lebar dan matanya membelalak.

"Apa? Brengsek kau!" Dia melotot padaku dan maju kearahku tapi dia gagal membuat ekspresi murka dan tersinggung di wajahnya dan mulai tertawa ketika aku mengangkat kedua tanganku di udara. "Aku bukan pelacur!" Katanya lalu menghantam perutku pelan dengan kepalan tangannya.

"Brengsek kau!" Katanya lagi.

Aku tertawa sekali. "Sama-sama" Kataku lalu berjalan menjauh darinya.

Sekilas aku mendengarnya berlari ke arahku. Dan dengan cepat aku berlari menuju tempat parkir sementara ia membuntutiku. Suaranya yang nyaring dan tawanya terdengar menggema di udara ketika dia berusaha mengejarku. "Robert! Kau—brengsek! Pria gila! Sinting! Tidak waras! Mesum! Hei, bodoh jangan tinggalkan aku!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar