Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Heart of Stone

Heart of Stone (Bab 3): Help

Kristen's PoV

Langkah kaki itu semakin dekat. Langkah kaki yang mengerikan itu semakin dekat. Makhluk aneh itu semakin dekat. Buru buru aku mengambil peluit tadi, kemudian beringsut bersembunyi dibalik batu ceper dan semak-semak belukar. Aku merasa tolol sekali sekarang ini. Bagaimana kalau makhluk aneh itu bisa mencium bauku, lalu menemukanku disini? Dia kan penghuni hutan belantara, tentu saja dia bisa mencium bauku.

Astaga, astaga. Prajuritku, kemana mereka? Bisakah mereka datang di saat yang tepat?

Aku rela rela saja kembali ke istana asalkan aku tidak bertemu makhluk aneh ini. Aku rela rela saja orang tuaku menambahkan jadwal terapi ke dokter kejiwaan saat aku kembali nanti. Aku rela rela saja menjadi orang tolol lagi. Tapi aku belum mau mati dimakan oleh makhluk asing penghuni hutan!

Tepat setelah langkah kaki itu terhenti, aku mengintip dari balik semak-semak. Tidak ada suara makhluk yang sedang mengendus, berarti ia tidak mencium bauku sekarang. Tidak ada suara geraman, berarti ia bukan makhluk seram seperti yang kukira.

"Astaga," sebuah suara muncul dari tempatku tadi, persis seperti suara manusia, dan dia bisa berbahasa manusia. "Dasar orang tolol!" Benar kan? Dia bisa berbahasa manusia. "Mau cari mati, ya, orang itu? Aku tidak peduli dengan nyawanya. Tapi bisakah dia tidak membuatku yang menjadi penyebab kematiannya?"

Tentu saja dia manusia. Mana ada makhluk aneh yang menggerutu tidak jelas seperti dirinya? Atau jangan-jangan... dia orang gila?

"Dasar orang gila," katanya.

Aku mengkeret lebih dalam ke batu ceper, jangan-jangan dia bisa mendengar pikiranku? Astaga. 'aku bukan siapa-siapa. Aku bukan siapa-siapa', pikirku dalam hati.

Oke, aku benar-benar merasa seperti orang tolol sekarang.

"Berani-beraninya dia lewat tepat di depan buruanku. Untung saja anak panahku tidak salah sasaran," gerutunya lagi.

Aku memberanikan diri untuk mengintip dari balik semak-semak, berusaha melihat siapa orang yang menggerutu tidak jelas begitu. Aku bahkan tidak tahu dia sedang bicara kepada siapa.

Dia bukan makhluk aneh atau asing atau penghuni hutan belantara atau apapun itu. Dia hanya manusia. Dia hanya pria biasa. Posturnya yang tegap dan tingginya yang menjulang mengingatkanku pada prajurit kerajaan, tapi dia berbeda. Dia tidak memakai baju besi atau sebangsanya. Dia hanya memakai baju satin putih, jins belel hitam, sepatu bot setinggi lutut, serta jas panjang berkerah berwarna cokelat tua. Dia sama sekali bukan orang gila. Mana ada orang gila yang kulitnya bersih? Rambutnya yang acak-acakan berwarna perunggu, persis sama seperti rambutku.

Dan seketika itu juga aku mengernyit saat melihat seekor kijang tergeletak lemas di tanah, beserta cairan merah yang mengalir dari jantungnya. Apa yang akan dia lakukan dengan kijang itu? Memakannya? Bagaimana bisa ia memakannya setelah melihat mayatnya yang berlumuran darah begitu? Aku sih jijik. Tapi kaget juga aku saat melihat anak panahnya menancap tepat di jantung si kijang. Kijang kan salah satu hewan yang larinya cepat sekali. Hebat juga dia.

Aku menilik pria itu lagi, dan sekarang menemukan sesuatu yang baru. Tepat di punggungnya, tersampir tas berbentuk tabung berisi puluhan anak panah. Dan di telapak tangan kanannya, ia memegang sebuah busur yang kalau tidak salah terbuat dari perak, warnanya sama persis seperti tasnya. Siapa dia? Apa dia orang penting atau semacamnya? Mana ada orang biasa yang memiliki busur perak?

Perhatianku teralihkan saat mendengar suara ribut itu lagi. Suara pasukan berkuda yang sangat gigih mengejarku. Entah mengapa segenap hatiku yang tadi menginginkan kehadiran mereka seketika itu juga hangus. Ternyata saraf saraf kewarasanku masih menolak keras kehadiran mereka. Siapa sih sebenarnya yang menyuruh mereka? Bukankah ayahku rela rela saja aku meninggalkan istananya? Bahkan dia sudah tidak mengakuiku sebagai anak lagi. Oh, well, kecuali...

Tentu saja. Apasih yang tidak akan ibuku tidak lakukan? Tentu saja dia yang menyuruh pasukan ini untuk mengejarku. Apa mereka tidak bisa membiarkanku pergi dengan damai?

Tatapanku menyapu seantero hutan, cowok itu telah berpindah dari tempatnya tadi. Tangannya yang kekar menyeret kaki kijang itu bersamanya. Warna merah menjijikkan meninggalkan seberkas jejak di tanah kering.

Oke, sekarang apa?

Apa aku akan menyerah? Apa aku akan kembali ke istana dan berlagak menjadi orang normal lagi padahal aku tidak? Apa semua itu berakhir disini? Apa ceritaku berhenti sampai disini? Otak dan hatiku menjawab serempak; tidak, cerita ini baru saja dimulai.

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, sesuatu yang sangat penting. Bagaimana kalau Tuhan masih ingin memberiku kesempatan? Bagaimana kalau Ia masih ingin membantuku? Bagaimana kalau... cowok tadi bisa membantuku?!

Ya! Tentu saja dia bisa membantuku. Setidaknya, dia bisa membawaku kabur dari sini. Dia bisa menolongku dari kejaran prajuritku sendiri.

Dan tentu saja Tuhan masih ingin membantuku. Aku kan melakukan hal yang benar sekarang. Aku sedang berusaha mengakhiri perang konyol ini. Aku sedang berusaha membuat persentase kematian di negeri ku semakin berkurang. Apa ada alasan yang membuat Tuhan tidak mau membantuku sekarang?

Suara itu semakin dekat, aku harus cepat cepat bertindak. Tapi sebaiknya apa yang kulakukan untuk memulai pembicaraan asing ini dengan orang asing tadi? Apa aku harus muncul saja di depannya atau bersikap sopan agar dia mau membantuku?

Persetan dengan itu.

Sudah sembilan belas tahun aku menjadi pusat perhatian, sekarang saatnya aku berdiri di paling pinggir barisan, menjadi sosok yang tak terlihat. Aku sudah muak dengan tatapan berharap mereka padaku, seakan-akan keadaan negeri akan semakin membaik jika aku yang memerintah mereka nanti.

Aku tersaruk-saruk saat berlari mengejar cowok itu, memar di kakiku rasanya bertambah karena terantuk batu ratusan kali.

"Hey, kau!" Seruku saat aku sudah tidak kuat lagi berlari mengejarnya. "Ya, kau!" Kataku saat ia berbalik.

Ia menelengkan kepala ke satu sisi, tatapannya seperti menilai penampilanku. Mulutnya berkerucut, berargumen. Buru buru aku menudingkan peluitku padanya, bersiap siap melindungkan diri jika dia bersikap kurang ajar atau sebangsanya.

"Siapa kau?" Tanyaku sepelan hembusan napas, aku bahkan tidak yakin dia bisa mendengarku. Dadaku naik turun seiring napasku yang memburu, lebih cepat daripada napas seorang pelari yang habis lari marathon.

Sudut-sudut mulutnya terangkat, membentuk senyum mengejek, "harusnya aku yang bertanya, siapa kau?" Katanya sarkastik. "Oh!" Ia terkesiap. "Kau orang tolol yang tadi kan?" Bentaknya.

Oke, sekarang bahkan orang asing juga menganggapku tolol. Apa di keningku tertera tulisan: 'aku tolol' atau semacamnya? Bagus sekali.

"Kau orang tolol yang tadi lewat tepat di depan buruanku kan? Kau mau cari mati ya? Oh silakan saja, apa peduliku? Tapi bisakah kau mencari orang lain untuk membunuhmu? Hampir saja aku spot jantung, dasar cewek aneh," gerutunya panjang lebar kemudian berbalik memunggungiku, berjalan menyeret kijangnya lagi.

Apa sih yang dia bicarakan? Memangnya aku lewat di depan buruannya? Tidak ada yang bisa kulihat saat berkuda gila-gilaan tadi, sampai ada sesuatu yang lewat di depanku dengan kecepatan super...

"Tunggu, tunggu!" Aku berlari menyusulnya, berdiri tepat di depannya. "Bisakah kau menolongku?" Tanyaku cepat cepat.

Kami sama-sama menoleh saat suara langkah kuda semakin mendekat. Masa bodohlah, dia harus mau dan harus bisa. Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Tidak ada waktu untuk memutuskan. Dia harus mau menolongku. Aku mengkeret di belakang tubuhnya yang bersikap defensif, mencengkeram punggungnya erat-erat.

"Apa-apaan ini?" Bisiknya. "Aku kira suara tadi hanya suara guntur bergemuruh tapi ternyata..." suaranya menghilang, ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Mereka prajurit-prajuritku," aku balas berbisik. Seketika, ia menoleh ke arahku, alisnya bertaut kebingungan. "Tidak ada waktu untuk mendongeng. Intinya, aku ini seorang putri yang kabur dari istana. Dan mereka ingin memaksaku untuk pulang, tapi aku tidak mau. Tolong, tolong aku. Aku berjanji akan memberikan apapun yang kau mau asalkan kau mau menolongku. Please, kau sudah berjanji padaku!"

"Aku belum bilang apapun padamu!" Bisiknya tercekat. Kemudian tatapannya teralihkan ke para pendatang baru kami.

Tepat saat itu juga, lima ekor kuda dengan masing-masing penunggangnya berhenti secara tiba-tiba di depan kami. Suara dengusan kuda adalah suara terakhir yang kudengar sebelum keheningan mulai menyeruak.

Tiba-tiba aku merasa sesuatu yang ganjil menohok otak dan hatiku. Aku benar benar tolol... Tentu saja, sudah berapa kali aku bilang begitu?

Aku tahu siapa yang bakal mati disini. Bukan aku. Bukan mereka. Tapi cowok ini. Bagaimana bisa aku meminta bantuan cowok tak bersalah ini? Percuma saja aku meminta bantuannya, toh, aku akan dibawa ke istana dan dia akan mati. Lagipula kalau dia mau membantuku, dia tidak akan menang. Lima lawan satu rasanya ganjil sekali.

Setidaknya jika aku kembali ke istana, ayah dan ibuku akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka akan mendapatkanku, mengendalikanku seperti boneka kayu. Membuatku menuruti apa saja yang mereka inginkan, apa saja. Ya. Setidaknya masih ada segelintir orang yang akan bahagia jika aku tidak bahagia.

"Jangan bunuh mereka," bisikku sengau di telinganya. Aku menyembunyikan wajahku di punggung jas nya yang terbuat dari beledu, menangis tersedu-sedu disana.

"Bagaimana bisa aku tidak membunuh mereka?" Tanyanya tercekat, matanya mengunci gerak-gerik prajuritku. "Kalau kau mau selamat, tidak ada jalan lain!" Protesnya, seakan-akan aku sudah gila.

Tidak bisa. Mereka tidak boleh dibunuh. Dua hari yang lalu aku ketakutan bukan main memikirkan keselamatan prajuritku saat penyerangan kerajaan Onyxland. Bagaimana bisa sekarang aku membiarkan cowok ini membunuh mereka? Tidak bisa. Semua ini tidak bisa dibenarkan.

"Bagaimanapun juga, mereka keluargaku. Tolong jangan bunuh mereka." Bisikku lagi sambil terisak. Rasanya air mataku mengalir begitu saja karena suasana yang menyeramkan. Tahu apa yang membuatnya lebih seram? Aku penyebabnya.

Pembicaraan kami terlalu pelan untuk mereka dengar.

"Princess," kata mr. Frederick, panglima kerajaan, pemimpin kelima prajurit yang membentuk bujur mengelilingi kami. "Yang Mulia Ratu meminta kami untuk menjemput anda pulang ke istana." Lanjutnya, melirik mataku yang tersembunyi di balik punggung cowok asing ini. Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresinya sekarang, tapi bagaimanapun ekspresinya, itu tidak akan mengubah keadaan kalau akulah penyebab masalah ini.

Aku dapat merasakan tubuh cowok ini membeku saat menyadari kalau aku benar-benar seorang putri, dan sadar bahwa ia terlibat dalam hal apa. Mungkin ia juga menggerutu di dalam hatinya, mengapa aku menyeretnya ke dalam kesialanku.

"Aku tidak bisa kembali ke istana, mr. Frederick. Itu bukan rumahku lagi." Kataku dengan lemah, mengkeret lebih dekat dengan punggung cowok itu. Sekarang semua mata tertuju pada cowok yang melindungiku, menatapnya dengan tatapan serius.

"Tolong serahkan sang putri pada kami, anak muda." Perintahnya, masih dengan lembut. Aku meringis mendengar kata-kata itu. Semuanya sudah berakhir. Takdirku sudah di tentukan. Aku mencengkeram lengannya lebih kuat lagi, menandakan kalau aku tidak ingin ia menuruti kata-katanya.

"Please..." gumamku.

Mereka masih menunggu. "Cepat serahkan beliau pada kami sebelum kami membunuhmu." Suaranya mulai menggertak, aku merasakan dorongan dari cowok di depanku untuk mundur, maka kami mundur selangkah.

Aku meringis mendengar kata-kata 'bunuh' itu. Aku tidak mau cowok ini membunuh prajuritku, tapi aku juga tidak tega membiarkannya terbunuh. Dia tidak perlu mati untuk kesialanku. Dia tidak perlu diseret-seret ke dalam masalah ini. Tidak perlu ada yang mati.

Akhirnya ia angkat bicara. "Aku akan menyerahkan putri kalian jika.." ia sempat berhenti sebentar untuk menegakkan tubuhnya, seakan-akan sesuatu yang akan ia bicarakan nanti bakal menolong kami dari masalah ini. "Jika kalian memberiku emas." Ia menawarkan, kata-katanya ragu tapi suaranya terdengar mantap. Suaranya terdengar... lebih berat daripada sebelumnya.

Suara tawa empat orang pria menggema di seluruh penjuru hutan, mengentakkan kami berdua. "Aku bisa membuatmu menyerahkanNya dengan cuma-cuma! Pikirmu apa yang akan kau lakukan jika kami tidak memberimu emas? Mati?!" Kata seorang pria bertubuh gempal yang berada di sebelah kanan mr. Frederick. Tawa mereka menggema lagi, mengunci pendengaranku. Hanya mr. Frederick yang ekspresinya masih tenang seperti memakai topeng. Aku sekarang tahu mengapa ia dinaikkan pangkatnya menjadi panglima perang; itu karena sifatnya yang berhati-hati, selalu tidak pernah meremehkan lawan. Itu juga yang membuatnya masih hidup setelah melalui beberapa perang mengerikan.

Lalu entah apa yang terjadi, sekarang posisi kami terbalik. Tangan besar cowok itu mencengkeram leherku, membuatku sedikit sulit bernapas karena sekarang peluitku sudah berada di tangannya. Bagian ujungnya yang tajam ia tempatkan di membran kulitku yang tipis. Semuanya terjadi begitu cepat, belum sempat aku melihat ekspresi mereka yang tiba tiba berhenti tertawa, belum sampat aku menarik napas, belum sempat aku menerima kenyataan, kematian sudah menantiku.

"Turuti apa kata-kataku atau aku bunuh putri kalian!" Gertaknya. Aku tidak menyadari kalau ternyata suara tawa mereka sudah berubah menjadi geraman buas yang menyeramkan. Baru kali ini aku berada di tengah tengah medan perang. Baru kali ini aku merasa berada di dalam bahaya.

Aku megap-megap kehabisan napas seperti ikan yang baru diangkat dari air dan diletakkan di bawah terik matahari. Bedanya, aku tidak membutuhkan air layaknya ikan pada umumnya, aku membutuhkan udara. "Tidak, tidak! Aku bisa memberimu emas jika kau,"

"Diam!" Selanya. Ia menarikku mundur dari prajuritku yang sekarang sudah bersikap defensif, sepenuhnya turun dari kuda mereka. Mr. Frederick tetap berada di paling depan.

Tentu saja. Bagaimana bisa aku percaya pada orang asing penghuni hutan belantara? Seharusnya aku sudah bisa menebak kalau hal ini akan terjadi. Tentu saja dia akan memanfaatkan aku untuk menjadi kaya raya. Ternyata rasa bersalahku tidak ada gunanya. Karena pada akhirnya, dia menganggap ini suatu keberuntungan, bisa menyandera seorang putri untuk mendapatkan emas belaka.

Tapi di balik semua itu, dibalik pengkhianatan dan dibalik angkara murka, aku beruntung ajalku akan segera tiba. Aku tidak pernah berkilau dimanapun. Dan mungkin di kehidupanku yang selanjutnya, aku akan berkilau entah bagaimana caranya.

"Hati-hati, anak muda." Kata mr. Frederick. Aku harap ia berhati-hati untuk bertindak, tidak peduli apapun yang kurasakan dan apa yang kupikirkan sekarang, aku masih belum siap untuk mati.

Tetapi tepat setelah itu, ia mengayunkan pedangnya ke arah kami. Dan pada detik yang sama pula aku terlempar ke belakang, membentur tanah kering yang tertutup daun kering.

Aku berbalik, menatap ngeri pemandangan yang ada di depanku sekarang. Aku beringsut ke belakang, bersembunyi di balik batang pohon maple yang tumbang. Aku melihat mereka mengayunkan pedang mereka ke arah cowok itu, tapi aku juga melihat bagaimana lihainya ia menangkis setiap gerakan hanya dengan busur peraknya. Aku sedikit terperangah saat melihatnya tidak berusaha untuk membunuh mereka. Ia hanya berusaha untuk mencari titik lemah mereka, yang kemudian akan ia lumpuhkan. Aku meringis saat bunyi nyaring pedang mencicit bertemu dengan busur peraknya. Aku menjerit saat melihat tajamnya pedang menembus jas dan baju satinnya, membuat darah mengalir dari lengan kirinya.

Aku tahu apa yang akan terjadi. Seperti kata-kataku. Prajurit-prajuritku sudah sangat berpengalaman dalam hal ini. Tidak mungkin pria seusiaku bisa mengalahkan lima dari mereka. Aku berusaha bangkit, mengumpulkan segenap nyaliku yang sudah ciut. Aku tidak ingin melihat bagaimana akhirnya. Tapi langkahku yang getir rasanya terlalu rapuh. Sama rapuhnya seperti kau berdiri di atas karang tajam di tengah laut, angin dan ombak akan menjatuhkanmu kembali ke dalam air.

Aku tidak bisa lari dari apa yang telah kuperbuat.

Semua ini salahku. Aku yang harus menyelesaikannya. Aku yang bertanggung jawab jika ada salah satu milikku yang mati. Milikku yang mana saja. Semuanya sudah menjadi milikku sekarang. Lima Prajurit dan satu rakyatku sedang bertempur untukku.

Semuanya tidak bersalah. Semuanya hanya menjalankan perintah. Mereka diperintah ibuku, dan dia diperintah olehku. Mereka hanya ingin aku aman, dan dia hanya ingin menepati janjinya padaku. Mereka mungkin tidak mau merenggut kebahagiaanku seperti ini, tapi, lagi-lagi, mereka hanya menjalankan perintah.

Dan dia. Dia tidak sekeji yang kukira. Ternyata otaknya lebih cepat berjalan daripada aku, itu jelas. Dia melakukan ini bukan semata-mata hanya untuk emas. Kalau iya, dia tidak mungkin melawan mereka. Aku rasa dia juga tahu apa yang bakal terjadi nanti. Siapa saja yang akan mati. Dan dia tidak mungkin rela mati hanya untuk sebongkah emas. Tapi yang terpenting sekarang adalah, dia tidak berbahaya. Rakyat yang sama sekali tidak berbahaya.

Dan mereka semua mungkin akan mati.

Aku sempat melihat bagaimana cowok itu bertarung, dan ada kemungkinan dia bisa membunuh atau melumpuhkan salah satu dari mereka. Air mataku merebak lagi.

Semua milikku akan mati.

Aku terlonjak kaget saat kepalaku yang sedari tadi tertunduk sambil berjalan terantuk badan kuda. Kuda ini jelas sekali bukan kuda yang kutunggangi tadi. Warna kuda ini cokelat tua, bukan putih. Bahkan tepat di wajahnya, terdapat corak putih yang anehnya justru terlihat... absurd. Aneh. Corak ini terlihat tidak alami. Seperti ada orang jahil yang menuangkan segelas cat putih ke wajahnya begitu saja. Kasihan betul dia. Tapi tubuhnya yang tinggi dan posturnya yang tegap pasti tidak akan membuatnya minder jika berdiri diantara kuda kuda lain. Dia yang akan terlihat paling menonjol.

Tanpa sadar, kepala kuda itu menyenggol bahuku, seperti berkenalan atau semacamnya. Aneh. Padahal aku tidak pernah bisa beradaptasi baik dengan binatang. Mungkin mereka membenciku atau semacamnya, tapi yang satu ini tidak. Aku menyusuri coraknya yang aneh dan berhenti di lehernya yang memakai kalung keperakan, warnanya mirip sekali dengan tas cowok tadi.

Astaga. Bagaimana nasib mereka? Siapa yang pergi? Siapa yang akan kutangisi berbulan-bulan nanti? Aku memang cengeng.

Aku membuka telingaku lebar-lebar, berusaha mendengar suara ribut orang berkuda yang mengejarku. Tapi suara itu tidak ada. Aku hanya mendengar suara burung berkicau dan... tidak ada. Begitu tenteram.

Aku berjingkat-jingkat menuju tempat tadi, berharap cemas hasilnya akan memuaskanku. Tapi, sebaik apa sih masalah ini bisa selesai? Tidak mungkin aku bisa cukup puas. Kalau tidak satu atau dua orang mati, semuanya mati. Ya, pasti itulah hal terbaik yang setidaknya bisa kudapatkan.

"Ugh. Cara berterima kasih yang baik. Pergi begitu saja saat aku sedang sekarat. Memangnya aku ini apa? Binatang? Memangnya aku tidak bisa bahasa manusia? Sebegitu anehkah diriku? Oh, yeah. Kau tahu apa jawabannya, Rob." Gerutu seseorang dari balik semak-semak.

Ah, pendengaranku pasti salah. Tidak mungkin dia cukup sehat untuk menggerutu seperti itu. Yang ada di pikiranku hanyalah lima orang pria terkulai sekarat dan hanya mr. Frederick yang bisa berdiri tegap. Tapi kedengarannya tidak. Aku tidak mendengar suara lain selain suaranya. Apa itu berarti...

Suara derak ranting dan daun yang patah berkumandang saat aku berlari menembus semak-semak. Tepat pada detik itu juga, aku melihat mereka berenam. Tidak seperti yang ada dipikiranku, tapi seperti apa yang kuharapkan. Mustahil. Memang tidak sama persis seperti harapanku sih, tapi begini saja rasanya sudah tidak bisa dipercaya.

Cowok itu sedang berlutut dan meringis memegangi luka yang berada di sepanjang lengannya. Tapi, justru keadaannya yang terlihat paling hebat sekarang. Kelima prajuritku, termasuk mr. Frederick, terikat bergelantung di pohon beringin besar, kepala mereka di bawah. Mereka tidak sadarkan diri, tapi aku masih bisa melihat dada mereka yang naik turun menandakan bahwa mereka bernapas. Kedua tangan mereka diikat menjadi kesatuan solid dengan simpul yang sangat rumit. Aku yakin, dengan posisi begitu, mustahil mereka bisa kabur. Well, kecuali jika ada yang menolong mereka.

Bahu mereka semua terluka, menunjukkan kepadaku bagaimana cara cowok itu melakukannya. Bagaimana ia melumpuhkan mereka, bukan membunuh mereka. Aku terkesiap kaget, mengedarkan pandangan ke seluruh wilayah ini. Kuda-kuda mereka sudah tidak ada, entah apa yang terjadi. Tapi asumsiku, mereka pasti mengamuk saat terjadi perang kecil-kecilan tadi.

"Sudah selesai menilai kerjaku, tuan putri yang mulia?" Tanyanya sarkastik sambil memutar bola matanya. Mataku kembali terfokus ke arahnya. Ia sudah bangkit dari posisinya yang berlutut tadi, dan berjalan tertatih-tatih ke balik semak-semak.

"Aku lebih suka dipanggil Kristen," sergahku cepat-cepat, masih tidak mau beranjak dari tempatku berdiri. Ia mengangkat bahu. "Terima kasih, sungguh. Kau sangat baik." Lanjutku, berusaha menetralkan suaraku supaya tidak terdengar takut. Padahal aku sudah mengingatkan diriku sendiri bahwa dia tidak berbahaya, tapi melihat dari hasil kerjanya, itu menunjukkan bahwa dia bukan rakyat biasa.

Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, menemukan sesuatu yang menarik perhatianku. Peluit berukuran besar itu terletak di sebelah batu ceper, buru-buru aku mengambilnya dan mendekapnya erat-erat. Hanya benda ini yang terpenting untukku sekarang.

Aku mendongak, mendapati dirinya sudah tidak ada. Tapi aku masih bisa mendengar suara daun berderak karena pijakan seseorang. Aku mengikuti suara itu, dan sampailah aku di sebuah genangan air tawar kecil. Di sana, aku bisa melihatnya sedang terduduk di atas sebuah batu. Jas berkerahnya ia letakkan di gundukan batu yang satunya. Dengan tanpa jas nya, lukanya terlihat jauh lebih parah dibanding yang pertama kali kulihat. Lengan baju satinnya sudah sobek dan berlumuran warna merah.

"Ugh. Bagaimana bisa aku menuruti kemauannya begitu saja? Aku memang bodoh. Memangnya bakal dapat apa aku kalau menuruti perintahnya? Aww. Sial betul aku hari ini. Dasar cewek aneh," gerutunya lagi sambil mengobati luka di lengannya. Aku memberengut mendengar sebutannya untukku.

Aku tidak bisa diam saja melihatnya sedang kesusahan seperti itu. Darahnya terus-terusan mengalir, bahkan hampir membuat genangan air di depannya tercemar warna merah. Apa yang seharusnya kulakukan? Tentu saja membebat lukanya. Aku selalu hadir ke kelas ini sewaktu di istana dulu. Aku tidak pernah ikut berperang, jadi tidak ada salahnya kan kalau aku berperan setelah mereka berperang? Setidaknya aku berguna jika terjadi hal-hal seperti ini.

Aku meraih ekor gaun putihku, menyentakkannya hingga sobek. Cukup panjang untuk membebat lengannya yang berotot. Aku berlari menghampirinya, berlutut di depannya dan meraih tangannya dengan sangat hati-hati.

Tapi dia buru buru menarik tangannya dan memelototiku. "Apa-apaan kau?"

"Jangan banyak omong. Sini, kau mau membiarkanku mengobatimu atau kau memang mau tidak memiliki tangan kiri? Aku sih tidak," sergahku sarkastik dan membalas tatapan matanya. Awalnya ia memberikan tangannya ragu-ragu padaku, tapi akhirnya ia menyerah juga.

Ia mengangkat tangan kanannya dan menunjuk gaunku. "Jangan tersinggung, tapi... penampilanmu buruk sekali, asal kau tahu." Katanya. Dan aku sama sekali tidak tersinggung. Aku sadar diri, kok. Kepanganku acak-acakan, gaunku sobek di beberapa tempat, kakiku yang telanjang sangat kotor seperti habis bermain di lumpur seharian.

"Aku tidak akan percaya kalau kau seorang putri jika tidak karena ada segerombol prajurit yang menginginkanmu." Tukasnya tak acuh. Lalu aku mendengarnya bergumam "yang membuatku hampir terbunuh".

"Terima kasih," kataku, menatap matanya yang sedang menatap lukanya nanar. "Nah, sudah." Kataku kepadanya, menatap lukanya yang sudah bersih setelah aku menetesinya dengan air mengalir. "Sudah beres," kataku lagi.

"Kalau begitu kita impas," katanya dengan nada sambil lalu, kemudian mengambil jas beledu nya yang sempat tersampir di sampingnya tadi. Kedengaran sekali dia tidak mau berterima kasih padaku dari nada suaranya. Belum.

"Bagus," tukasku senang. Senang sekali akhirnya dia merasa seperti itu. Setidaknya, kami sama-sama impas sekarang.

Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun, ia berlalu tanpa melirik mataku. "Selamat tinggal, tuan putri yang mulia." Katanya lagi. Ia berlenggang dengan santai menuju ke arah timur, kembali ke semak-semak lagi. Rasanya aneh sekali dia memanggilku dengan sebutan itu. Justru lebih terdengar seperti mengejek daripada menghormati. Menyebalkan.

Tapi dia tidak boleh pergi dulu. Aku kan mau meminta satu bantuannya lagi. Dan yang satu ini jauh lebih mudah kok daripada yang sebelumnya. Aku hanya ingin meminta bantuannya untuk mengantarku ke danau Onyx. Aku sudah tidak punya kuda lagi, dan sialnya aku tidak tahu aku berada dimana.

Dan dia sangat berguna untukku. Pertama, asumsiku sih, kuda yang bercorak aneh tadi adalah miliknya. Bagaimana bisa kemiripan warna antara kalung si kuda itu dengan tas peraknya hanya sebuah kebetulan? Kedua, dia adalah rakyat sini. Dan menilik dari cara dia makan, yaitu berburu di hutan, menurutku dia pasti sudah sering mampir kesini. Dengan begitu, dia pasti sudah hafal di luar kepala jalur-jalur hutan ini.

Setelah melewati tempat terjadinya perang kecil-kecilan tadi, ia masih berjalan lurus. Menembus beberapa semak dan akhirnya tiba di tempatku terantuk kuda tadi. Dan dugaanku benar, ternyata kemiripan antara warna kalung kuda tadi dengan busur dan tasnya sama sekali bukan kebetulan. Dia adalah majikan si kuda bercorak aneh itu.

"Tidak, tunggu!" Pintaku, berharap ia mau berhenti sebentar saja untuk mendengarkan. Begitu sampai di kudanya, ia berbalik menatapku yang berdiri kikuk untuk menghalangnya pergi. "Aku butuh bantuanmu." Kataku lagi. Ekspresinya tenang, seperti aku tidak berkata apa-apa. Sama sekali tidak ada perubahan ekspresi disana.

"Aku sudah hampir terbunuh tadi, apa itu tidak cukup bagimu?" Tukasnya dingin, kemudian melepaskan simpul tali kudanya yang ia ikatkan di sebuah batang pohon.

"Aku akan memberikanmu apapun yang kau mau jika kau mau mengantarku ke danau onyx, please, hanya itu. Kau hanya perlu mengantarku ke danau Onyx dan kau bisa memiliki apapun yang kau mau," kataku. Aku tidak pernah memohon kepada orang asing seperti ini sebelumnya. Well, aku memang tidak pernah bicara dengan orang asing, sih.

Kemudian secara tak diduga-duga, ia beringsut mendekatiku, menunduk menatapku dengan sangat dekat, wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter sekarang. Astaga, apa aku pernah memberitahu kalian kalau tatapan matanya setajam itu? Warna hijau di matanya lebih jernih daripada mataku. Seperti kepingan logam yang berpendar-pendar warna hijau dibawah sinar matahari. Alisnya yang tebal membuat matanya terlihat lebih indah. Aku melangkah mundur selangkah, mengkeret dari tatapannya.

"Apapun yang kuinginkan?" Ia mengangkat sebelah alisnya. Hembusan napasnya yang seharum bunga lilac menerpa wajahku.

"Tentu saja tidak untuk yang satu itu, bodoh." Tukasku tidak kalah dinginnya. Kemudian dia memutar bola mata hijaunya dan kembali sibuk dengan ikatan kudanya.

Ia tersenyum kecut, "aku tetap tidak akan mau, yang mulia tuan putri. Bahkan jika kau memberiku yang satu itu. Masih banyak yang ingin kulakukan sekarang." Ia tersenyum jahil, "Lagipula, tubuhmu tidak begitu indah jika dipenuhi luka begitu," kemudian mendengus.

Sialan. Tatapannya yang begitu intim serasa menelanjangiku saat itu juga. Refleks, aku memeluk erat tubuhku, punggungku terpojok ke sebuah pohon.

Lalu ia tertawa keras. "Oh, ayolah. Tolong jangan ganggu aku lagi. Kehadiranmu sudah membawa dampak buruk di kehidupanku hari ini. Begini, kau sudah membuatku hampir spot jantung tadi. Ditambah lagi, kau juga sudah memaksaku untuk menolongmu. Dan yang lebih parah, aku sudah hampir terbunuh gara-gara kau!" Semburnya panjang lebar.

Aku menarik napas dalam-dalam. Perlahan lahan mulai melepaskan kedua tanganku yang menutupi dadaku.

"Tapi toh, kau tidak spot jantung, kok. Dan kau masih berdiri disini sekarang, jadi kau tidak terbunuh. Lagipula, sesulit apa sih permintaanku yang terakhir ini? Aku hanya memintamu untuk mengantarku ke danau Onyx, apa itu susah? Apa saat di perjalanan nanti akan ada anaconda raksasa yang akan memakan kita hidup-hidup karena berkeliaran di tengah hutan ini?" Tanyaku sarkastik sambil memutar bola mata. Suaraku tidak kalah tinggi dengan suaranya. Bahkan lebih tinggi dua oktaf daripadanya.

Aku menghembuskan napas, "hanya danau Onyx, please," pintaku pelan-pelan. "Lihat, aku akan memberikanmu kalungku yang berlapis emas dan berlian ini jika kau mau membantuku," aku menyentuh kalung rantai emasku yang terdapat bandul berlian sebesar bola golf di ujungnya.

Suasana hening menyeruak lagi. Aku bergerak-gerak gelisah di tempatku berdiri, tepat dua meter dari tempatnya. Terlalu bahaya jika aku berdiri lebih dekat daripada itu. Dia masih orang asing di mataku. Matanya yang sewarna hijau-ku(tapi lebih bagus) berputar, menatap awan-awan yang sudah hampir gelap. Kemudian ia menatapku, bibirnya berkerucut lagi.

Ia menghembuskan napas, kudanya yang sedari tadi memakan rerumputan mulai mendengus tidak sabar. "Begini," ia mendesah. "Oke. Aku akan mengantarmu. Tapi aku tidak bisa janji bakal mengantarmu sampai ke danau Onyx. Aku akan pergi jika kau sudah mulai menjengkelkan, atau saat kau sudah kebanyakan bicara. Jadi jangan bicara jika aku tidak bertanya, mengerti?"

Aku sempat memutar bola mataku sebentar, kemudian mengangguk menyerah. Aku harus membuatnya bersedia dulu baru bisa bertindak sesuka hatiku. Aku benar-benar harus berhati-hati.

"Bagus. Kita sepakat sekarang." Ia menyodorkan tangannya padaku. Oh tidak, ia menyodorkan tangannya yang sudah diludahi dengan ludahnya sendiri padaku. Aku mengernyit jijik saat mengerti maksudnya. Jika aku tidak benar-benar membutuhkan bantuannya sekarang, aku tidak akan mau menyentuh tangannya itu.

"Aku lapar," katanya. "Lebih baik kita berangkat saat fajar."

Itu adalah kata-kata terakhir yang kudengar sebelum ia pergi dari pandanganku. Kudanya masih ada disini, jelas, dia tidak berusaha untuk pergi dariku. Mungkin dia mau mengambil hewan buruannya lagi, entahlah.

Sekarang yang terpenting adalah... ceritaku tidak akan berhenti sampai disini. Sudah kubilang, cerita ini baru saja dimulai. Dan aku yakin cerita ini akan berakhir bahagia. Bagiku, setidaknya.

Walaupun pada akhirnya aku harus bersiap-siap menghadapi perjalanan yang sangat menjengkelkan ini. Perjalanan menuju danau onyx yang menjengkelkan ditemani dengan orang yang menjengkelkan. Akan jadi apa aku saat bertemu pangeran Jack nanti?

Pangeran Jack. Cinta sejatiku. Yeah. Itu yang terpenting sekarang.

Memiliki perjalanan bersama cowok tolol, itu tidak akan ada apa-apanya jika itu yang harus kulakukan untuk bertemu dengan pangeran Jack. Siapa nama cowok tolol itu tadi? Robin? Yeah, Robin. Lihat, namanya saja sudah tolol.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar