Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Live And Let Die



Live and Let Die (Bab 1): Remember me, the one who lives there.

Kristen duduk di terminal untuk waktu yang sangat lama. Semalaman ia berada disini—duduk di kursi tunggu dengan tangan memeluk tas ransel di perutnya. Otaknya menimbang-menim

bang kota mana yang akan ia kunjungi. Lebih tepatnya ia tinggali.

Sebenarnya ia selalu membayangkan kota Texas dengan lahan tanah yang besar, palang besi di pinggir jalan dan topi koboi. Atau membayangkan orang-orang Texas yang garang dengan pisau di sepatu bootnya. Pemikiran itu membuat Kris mengerutkan dahinya. Bagaimana jika mereka akan menginjaknya dengan sepatu boot koboi atau kuda mereka?

Tapi lagi-lagi ia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi padanya nanti. Ia tidak akan merasakan apa-apa. Kris mati rasa.

Setelah kejadian kemarin dirumahnya telah membuatnya muak. Marah. Kris lebih memilih untuk berdiri dan pergi lalu lari dari segalanya. Selama dua tahun terakhir ini ia selalu menginginkan hal itu, pergi dan lari, atau menghilang. Atau apapun yang bisa ia lakukan untuk melupakan hal-hal menyedihkan yang pernah ia alami dalam hidupnya.

Sebelum meninggal Edward dan Kris telah merencanakan masa depan yang tidak biasa. Mereka merencanakan hal-hal yang tidak normal dan tidak bisa di tebak. Mereka ingin pergi mengelilingi dunia hanya berbekal tas punggung dan uang secukupnya. Menjelajahi terminal satu keterminal lainnya. Menikmati tiap-tiap kota dan bekerja—mencuci piring di sebuah restoran atau menjadi pelayan di bar. Mengumpulkan uang untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Mereka akan berhenti jika mereka ingin, tinggal menetap di desa terpencil dengan rumah sederhana dan hidup bahagia dengan anak dan cucu mereka.

Itu adalah impian kecil yang Kris inginkan. Hidup bahagia di desa terpencil dengan anak dan cucunya kelak.

Bersama Edward

—tapi Edward telah lebih dulu pergi meninggalkannya.

Tanpa peringatan, Kris berjalan menuju loket.

Ketika ia berjalan dengan tergesa-gesa sebelum berbelok ke arah loket yang masih buka, tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Pria itu berdiri tepat di
depannya, dan matanya mendarat di dada pria itu yang sekarang menggunakan jaket kulit coklat lalu perlahan-lahan pandangannya berjalan menuju wajahnya. Dia hampir berhasil untuk mengontrol nafasnya yang tidak teratur.

Pria ini memiliki tubuh indah yang sulit dilukiskan. Otot-otot Kris menegang saat dia mencoba mencuri beberapa detik untuk mempelajari pria ini. Ia tinggi, dengan bahu yang lebar, dan pinggang langsing. Tubuhnya ramping dan berotot, dengan kepadatan yang solid yang menjeritkan kata kesempurnaan.

Melihat kematanya, nafas Kristen kembali menggebu. Bola mata nya begitu berkilau. Matanya begitu biru hampir ke abu-abuan dan Kris merasa tak nyaman melihat mata pria ini secara langsung, sehingga dengan cepat pandangannya meninggalkan matanya dan beralih pada detail wajahnya yang lain.

Pria ini memiliki kulit putih mulus, dengan bulu janggut yang tidak di ukur selama tiga hari. Alisnya tebal dan pria itu memiliki dagu tajam dan bibir tipis yang terpahat sempurna.

Rambut perunggunya yang cukup panjang untuk bisa diacak-acak jika saja ada seorang gadis yang punya kesempatan untuk menggerakkan jari-jari diatasnya.

Jantungnya tidak bisa berhenti berdetak ketika merasakan tangan pria itu di pinggangnya.

"Maaf,"

Kris mengerjapkan matanya kemudian mundur dari pelukan pria itu, "Oh, yeah."

Ketika pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi lalu pergi begitu saja Kris hanya bisa menatap punggungnya dan mendesah. Semua yang ia lihat dari pria itu sama persis seperti apa yang ia lihat dari Edward. Postur tubuhnya, mata birunya, rambut perunggunya yang selalu terlihat acak-acakan, dan aroma tubuhnya. Aroma tubuh yang sama seperti milik kekasihnya—Kekasih yang telah meninggal sehari sebelum hari penikahan mereka.

"Ada yang bisa kubantu?" seorang wanita yang menjadi penjaga loket bertanya tanpa ekspresi.

Kris berpikir sejenak, Texas mungkin kota yang di inginkannya tapi ada sesuatu yang membuat Kris ragu. Ketika ia bertabrakan dengan pria itu, tidak sengaja Kris melihat tiket bus—yang pria itu pegang di tangannya—dengan tujuan kota Wyoming. Sejujurnya kota Wyoming tidak berbeda jauh dengan kota Texas; tanah lapang dengan segerumbelan koboi dan sepatu boot. Tapi ada hal lain yang sedang menggelitik otak dan akal sehatnya.

Well, pergi ke kota Wyoming dengan pria tampan itu bukanlah masalah besar bukan?

"Saya akan menemui saudara perempuan saya di Wyoming. Ia akan menikah minggu depan."

Wanita itu melihatnya dengan tatapan aneh, dan Kris mengakui bahwa ia juga merasa aneh. Kris tidak punya saudara perempuan dan apalagi rencana pernikahan. Satu-satunya alasan Kris memilih Wyoming hanyalah karena pria itu.

Sialan. Ya, pria itu.

***

"Apakah saya boleh duduk di sini?" ujar seorang wanita tua berdiri di lorong bus dengan tas kecil berwarna biru laut yang dipeluk erat di dadanya.

"Tentu saja. Silahkan," jawab Kris tersenyum samar padanya. Walaupun ia benar-benar tidak ingin tersenyum saat ini, tapi hal terakhir yang ia inginkan adalah memberikan kesan ramah padanya. Beliau menggoyangkan badan sambil berjalan pelan menuju kursi di
sebelah Kris dan duduk disamping Kris dengan tas kecil di pangkuannya.

"Terimakasih, nak." Beliau tersenyum, "Kau menuju ke mana?"

"Wyoming."

"Wow. Kota penuh sepatu boot dan kedai kopi koboi, eh?" beliau tersenyum pada Kris menampakkan kerutan yang mengitari bibirnya dan sekitar wajahnya. "Mengunjungi orangtuamu? Atau sekedar liburan?"

"Saudara perempuanku akan menikah." Wanita itu tersenyum simpul dan mengangguk, mengiyakan jawabannya begitu saja. Kemudian sibuk merogoh-rogoh tasnya dan mengeluarkan Novel lusuh yang Kris tidak tahu apa judulnya.

Kris melihat menembus kaca tinggi di sebelahnya dan memandang penumpang datang dan pergi dari bus lain. Sekali-kali ia melirik pintu masuk bus dengan gelisah. Ia gelisah ketika lima belas menit ia berada di bus tujuan Wyoming ini belum juga menemukan keberadaan pria itu. Kris bersumpah, ketika mereka bertabrakan, Kris sempat melihat tiket pria itu di tangannya. Jelas-jelas menunjukan kota Wyoming-Amerika Serikat. Tapi bodohnya ia tidak melihat jadwal keberangkatannya.

Bagaimana jika pria itu akan berangkat pada sore hari? Atau malam? Atau esok?

Pupus sudah harapannya.

Rasa menggelitik itu menuntutnya lari ke Wyoming karena pria itu, dan sekarang ia tidak tahu dimana keberadaan sebenarnya. Dan haruskan ia keluar dari bus ini dan membeli tiket ke tujuan awalnya? Texas. Atau tetap diam dan melanjutkan perjalanannya?

Ketika ia memutuskan untuk turun, ia baru menyadari bahwa bus ini sangat-sangat membuatnya tidak nyaman. Banyak sekali orang-orang yang bertampang kotor duduk di kursi paling belakang; dengan celana jins lusuh robek-robek, kaus kumel dengan lengan baju yang di sobek, badan kelewat berotot dan tatto. Well, Kris mendesah dengan kasar dan duduk kembali. Jika ia akan turun, satu-satunya pintu yang harus ia lewati adalah pintu belakang. Tapi ia takut, ia merasa khawatir. Kris takut akan mengalami hal yang seperti ini.

Dengan banyak preman, darah, dan kematian.

—Edward.

Rasa menusuk itu mulai terasa di dadanya. Mulai muncul dan menikam. Perih. Dua tahun ia mencoba untuk melupakan rasa takut dan marah yang sekarang masih teredam di dalam matanya. Begitu
takut.

Ia menginginkan segalanya terlupakan, tapi dia tak bisa. Tak akan bisa. Dia tidak akan pernah lupa
hari-hari dari kegelapan, teriakan, rasa takut, teriakan lagi, dan darah.

"Nak?" Wanita paruh baya itu menyentuh bahu Kris lembut, "Kau tak apa?"

Kris menoleh, ia tahu, bahwa wajahnya saat ini pasti sepucat batu marmer putih, ia ingin bersuara tapi tenggorokanya terjepit. Jadi ia hanya mengangguk dan memberikan senyuman kecil.

"Aku punya sedikit obat jika kau merasa sakit." Wanita itu menawarkan.

Kris menggeleng dan berkata dengan suara parau, "Aku baik. Tak apa. Makasih," Wanita itu mengangguk.

Kris tahu bahwa ia harus mengalihkan pikiran nya. Pikiran tentang ketakutan. Jadi ia berdeham dan berkata, "Omong-omong anda akan pergi kemana?"

Beliau menutup novelnya "Kalau saya sedang menuju St. Lois," wanita tua itu mengambil botal kecil yang berisi butiran pil lalu menawarkan pada Kris dan Kris menggeleng, "Biasanya saya memilih naik pesawat agar cepat sampai," beliau meletakkan sebutir pil putih di lidahnya. "Tapi kali ini saya memilih untuk pergi dengan rute yang berbeda. Agar dapat melihat pemandangan
baru."

"Anda pasti sering bepergian," ucapnya sambil memandangnya.

"Tidak sering," jawabnya. "Hanya lima bulan sekali untuk mengunjungi ibuku. Sekarang beliau berusia sembilan puluh delapan tahun."

"Wow!"

Ia mengangkat bahu, "Ya, ibuku itu sangat keras kepala. Sudah terkena kanker sebanyak delapan kali dan masih saja bertahan hidup. Selalu berhasil mengalahkan penyakit itu."

"Ibumu beruntung."

"Kelewat beruntung."

Kris tersenyum hangat pada wanita itu dan bunyi spiker terdengar mengatakan bahwa sebentar lagi pintu masuk akan di tutup dan bus siap berangkat.

'Sialan. Tidak. Aku harus keluar!'

Sang supir sudah hampir menutup pintu bus namun kemudian menarik lagi tuasnya dan pintu bus kembali terbuka. Seorang laki-laki masuk sambil membawa tas ransel hitam di punggungnya. Tinggi, berambut perunggu yang acak-acakan. Kris mengamati tubuhnya; dia mengenakan jaket kulit coklat dan—wow, jaket kulit coklat?

Oh sialan!

Pria itu memasang senyum ramah yang bisa jadi memang
tulus atau mungkin karena terlalu percaya diri. "Terima kasih," ujarnya pada supir sambil berjalan ke depan. Kursi di bus sudah hampir penuh sepenuhnya, kecuali kursi dibelakang Kris.

Ketika mata biru pria itu menatap Kris yang sedang duduk tegak dengan kepala memutar kebelakang, Kris—dengan kecepatan yang tidak dapat di ukur—kembali duduk dan bersandar pada badan kursi. Jantungnya tidak bisa berhenti berdebar. Pria itu disini. Bersamanya. Pria itu duduk tepat di belakangnya ketika Kris mendengar suara rendah namun berat dan gerakan lain di belakangnya.

"Dia tampan," Wanita itu berbisik dan menyeringai ke arah Kris. Tentu saja Kris membulatkan matanya dan memerah.

Bagamana si tua itu tahu bahwa Kris memperhatikan pria itu?

"Aku bertemu dengan nya di loket. Ia baik. Dan begitu tampan." Wanita itu mengatur posisi duduknya senyaman mungkin. "Tapi ia tertutup. Misterius. Aku sempat menanyakan beberapa hal tentang nya, dan ia hanya tersenyum dan menjawab ala kadarnya."

"Pria itu juga sering menghindari kamera pengintai. Dan petugas keamanan," Lanjutnya yang membuat Kris membelalakan matanya.

"Kau pikir ia buronan?"

Tawa wanita itu meledak, "Kau berpikir begitu?"

Kris menggelengkan kepalanya.

Wanita itu mengistirahatkan
punggungnya di sandaran kursi dan meletakkan kepalanya, memejamkan matanya lalu menghembuskan napas panjang sebelum berkata, "Dunia ini penuh dengan kejutan, bukan?"

Kris tidak menjawab. Ia hanya menjilat bibirnya yang kering dan melirik
sekilas ke belakang dan beradu pandang dengannya. Tersipu, Kris berbalik untuk
memandang jalan-jalan luas di jendela besar. Ketika matanya menjelajahi bus yang
terlihat tidak terlalu penuh. Mungkin dengan begitu ia bisa tidur dengan nyenyak. Hanya itu yang saat ini ia inginkan. Semakin lama ia terjaga semakin ia akan memikirkan hal-hal yang tidak ingin
ia pikirkan. Dia tidak tahu apa yang ia lakukan sekarang. Kabur ke kota yang sama sekali belum ia kunjungi adalah hal paling gila.

Tapi ia harus dan ia tahu bahwa ia ingin melakukan apa saja yang ia inginkan dan inilah jalan yang ia pilih.

Kabur. Terminal. Bertabrakan dengan pria asing. Dan mengikuti kemana pria itu pergi.

***

Kris dan Wanita tua itu berpisah jalan saat tiba di Memphis dan Kris akan menaiki bus menuju Kansas dengan dua kursi untuknya sendiri, akhirnya Kris berhasil tidur dengan sedikit lebih mendatar dengan kakinya naik ke kursi dan kepalanya bersandar di jendela.

Ketika bus terus berjalan, Kris memandang keluar jendela. Semua terlihat sama. Antara rumah dan beberapa kedai minuman, rasanya yang berubah hanya plat kendaraan dan
plang ucapan ‘selamat datang’ di setiap kota, lalu kemudian setelah bus berjalan lebih jauh dan berbelok ke arah selatan di Hwy 69 setelah berjalan sekitar 10 km masuk ke wilayah Kansas yang ia lihat hanyalah pemandangan jalan raya dan pepohonan saja. Terkadang halte bus usang dan beberapa pom bensin dan tempat peristirahatan. Di setiap kota, selalu ada mobil yang mogok dan
terparkir di pinggir jalan. Selalu ada pejalan kaki yang ingin menumpang dan sampah-sampah yang berserakan.

Perjalanan dengan bus rasanya sama seperti berada di dunia lain. Semua orang tahu jika
mereka akan naik mereka akan berada di sini untuk beberapa saat atau untuk waktu yang lama. Kadang penumpang terlalu penuh. Biasanya orang-orang saling berdempetan dan berkeringat sampai-sampai Kris bisa mencium perbedaan setiap kolonge (parfum)
dan deodoran atau pewangi pakaian yang orang pakai.

Dan sialnya, sial amat teramat sial Kris juga bisa mencium orang orang yang tidak menggunakan parfum atau deodoran sama sekali dan baju mereka yang mungkin saja belum dicuci selama beberapa hari.

Aroma itu terkadang hampir membuatnya mual.

Sejauh ini, Kris sama sekali tidak keberatan berada dalam perjalanan jauh. Yang membuatnya keberatan
hanya saat ia harus berbagi kursi dengan orang lain. Dan kali ini ia harus berbagi kursi dengan pria-sangat-tua yang mempunyai kerutan di hampir seluruh tubuhnya.

Perjalanan yang tak berujung melewati Kansas tampaknya memakan waktu lebih lama dari ia bayangkan. Kris sama sekali tidak pernah berpikir tentang sebesar apa negara-negara bagian Kansas
sebenarnya. Ia harus melewati R.S Colby, Salina, dan Kansas City, Missouri. Kris melihat peta yang hanya sebesar potongan kertas dengan batas berbentuk aneh dan liukan garis-garis kecil. Bahkan kota Oklahoma tampak terlihat begitu kecil. Dua setengah jam berikutnya. punggung dan pantatnya terasa kaku, seperti potongan daging babi yang alot.

Ketika kakek tua itu turun di pemberhentian, Kris selalu berganti posisi di kursi, berharap dapat menemukan beberapa cara duduk yang nyaman dan dapat menghilangkan rasa pegal-pegalnya. Tapi ia malah membuat bagian lain dari tubuhnya sakit.

Ketika ia melanjutkan pada bus selanjutnya, ia memandang pria itu yang sekarang duduk di sisi kanan supir tiga bangku dari tempatnya. Ia masih sama seperti yang ia lihat; tampan dan begitu menggoda. Ia telah melepas jaket kulitnya yang sekarang memperlihatkan kaus tipis abu-abu yang tidak terlalu ketat di tubuhnya; memperlihatkan otot tangannya yang kekar dan basah keringat dari tubuhnya. Ia mendesah dan duduk bersandar di jendela, memeluk tasnya di perut dan menyilangkan tangannya di atasnya. Hampir memakan waktu selama dua menit sebelum
sang supir puas dengan jumlah penumpang yang
naik sampai akhirnya dia memulai perjalanan. Ia bersyukur karna kali ini hanya ada sejumlah orang dan untung saja tidak ada anak kecil yang berteriak-teriak atau pasangan menyebalkan yang tidak peduli dengan pendapat orang dan terus saling mengisap wajah satu sama lain di depan umum. Tidak ada yang salah dengan berciuman di tengah publik—Kris dan Edward sering melakukannya—tapi kalau ciuman itu sudah menjurus ke arah pornoaksi, rasanya itu terlalu berlebihan.

Ketika bus mulai berjalan seseorang menjatuhkan diri di kursi kosong di sebelah Kris sebelum penumpang lain berjalan untuk mengambil kursi yang sama.

Kris seperti membeku. Well, pria itu duduk di sampingnya..

Tuhan. Ya ampun!

"Wanita sebangku dengan ku tadi membutuhkan dua kursi untuk kakinya. Ia sedang hamil dan jika tidak keberatan boleh aku duduk disini?"

Kris hanya sanggup menganggukan kepalanya.

Pria itu duduk di sampingnya dan membuka bagian atas kaleng sodanya.

"Apa?" Tanya pria itu sambil menatap Kris.

Sial!

Ia tidak menyadari bahwa ia telah memperhatikan pria itu meneguk minuman soda dengan pandangan jijik di wajahnya.

"Tidak," katanya, sambil membuang muka, "Aku hanya berpikir bahwa minuman itu tidak sehat." Ia menjentikan tangannya, "Soda akan membuat kandung kemih penuh."

Kris mendengarnya tertawa pelan di sampingnya kemudian terdengar gemersik bunyi kemasan cemilan yang dibuka. "Kau terlalu sering menonton televisi atau berita kesehatan yang mengatakan bahwa banyak bahan-bahan makanan yang tidak sehat."

Kris melirik pria itu lagi, meletakkan tasnya semakin erat dipangkuannya. "Kau serius? Soda dan keripik singkong dengan keju oplosan yang kau makan itu sangatlah tidak sehat."
Pria itu mengunyah keripiknya dengan keras lalu menelannya. "Aku makan apapun yang aku ingin aku makan—tidak ada yang berhak melarangku." Ia meneguk sodanya "Terkadang setiap tubuh manusia mempunyai pemikiran masing-masing bukan? Memangnya siapa sih kau? Salah satu dari perkumpulan gadis Vegetarian yang mengeluh tentang bagaimana makanan siap saji dapat membuat orang-orang menjadi gemuk? Atau mudahnya terserang berbagai penyakit?"

"Aku bukan salah satu dari mereka," katanya, "tapi aku percaya bahwa makanan cepat saji atau keripik itu dapat membuat orang gemuk dan gampang terserang penyakit." Kris menggulung rambutnya dengan gugup, "Dan soda akan membuat kandung kemih mu penuh dan kau akan menjadi satu-satunya penghuni toilet bus ini."

Dia mengunyah dengan cepat beberapa keripik hingga mengeluarkan bunyi dan minuman sodanya dalam tegukan besar, sembari menyeringai ke arahnya.

"Makanan cepat saji tidak membuat orang gemuk, sayang." katanya sambil terus
mengunyah. "Selama dua tahun aku hidup, burger, naget ikat dan junkfood lainnya tidak membuat aku melar atau membuat aku terkena serangan jantung dadakan atau hal lainnya." Pria itu membuang kemasan kripik yang sudah habis di kolong kursi bus. Begitupula dengan kaleng sodanya.

kris memutar bola matanya, "Terserah kau"

"Sebenarnya kau akan menuju kemana?"

"Wyoming." Kris menatap kearah pria itu yang juga menatapnya, ia tidak tahu bahwa tatapan pria itu dapat membuat dirinya panas. Memerah. Kris tersipu dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela, memandang jalanan yang macet dan bis berhenti di samping gedung yang tidak terpakai. "Kau sendiri?" Akhirnya Kris bertanya walaupun Kris tahu kemana tujuan pria itu.

Tujuan dimana Kris mengikutinya sekarang.

Mata hijau terangnya tampak redup. "Well, sama sepertimu. Wyoming. Aku pikir sepertinya kita akan bersama-sama sampai ke terminal WY."

Ya. Mereka akan bersama-sama di bus selanjutnya sampai ke perbatasan Wyoming. Tapi setelah itu apa?

Mereka akan berpisah. Pria itu akan pergi ketempat selanjutnya, begitupun dengan Kris. Walaupun Kris tidak tahu kemana lagi ia akan menuju. Mungkin ia akan memesan tiket ke Texas atau Idaho. Atau Seattle atau California.

Ia tidak tahu kemana lagi akan menuju.

Ketika pria itu merogoh kedalam tasnya lalu mengeluarkan sebungkus roti lapis tuna, Kris menatapnya tidak percaya.

"Ya Tuhan! Kau ini manusia atau naga sih? Baru saja kau makan keripik dan sekarang kau akan memakan roti lapis?"

Pria itu mengedikkan bahunya, "Aku lapar."

Kris tertawa, "Berapa hari kau tidak makan?"

"Semenjak aku mati dan di hidupkan kembali. Gaya makananku berubah."

Kris mengerutkan dahi, "Maksudmu?"

"Kau pasti akan mementingkan uangmu di pergunakan untuk melakukan perjalanan panjang. Kau akan pergi dari kota satu ke kota lain. Dan kau akan melupakan perutmu yang kelaparan ketika kau di kejar oleh sesuatu. Sesuatu yang tidak tahu apa." Ia menggigit rotinya dengan gigitan besar lalu menelannya, "Hidup adalah pelarian bukan?"

Apa sih maksud pria itu? Kris menggigit bibir bawahnya ketika otaknya mecerna perkataannya. Ia mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan panjang dari kota satu ke kota lainnya.

Bukankah ini yang sedang mereka lakukan? Lalu apa maksud dari kata sesuatu yang tidak tahu apa? dan pelarian? Yang ia ingat sekarang adalah perkataan wanita tua yang ia temui di bus pertama.

Pria itu misterius. Menghindar dari kamera pengintai. Dan petugas keamanan.

"Kau mau?" Pria itu menawakan roti isi tuna lainnya. Aromanya menggiurkan dengan daging tuna yang terlihat lezat, tapi ia meggelengkan kepalanya.

Pria ini orang asing.

"Aku tidak menular," katanya dan kemudian menggigit lagi rotinya.

"Terserah," kata Kris dan mulai membenarkan posisi duduknya, dengan kepala bersandar di jendela.

"Jadi mengapa Wyoming?" Pria itu bertanya, meskipun ia lebih melihat makanan daripada dia menatap langsung ke arah Kris.

"Saudara perempuanku akan menikah" Ia berbohong.

Dia mengangguk dan
menelan roti yang terakhir.

"Kau?" Tanya gadis itu, berharap untuk mengalihkan topik dari dirinya sendiri.

"Pulang kerumah."

"Rumahmu di Wyoming? Jadi selama ini kau tinggal dimana?"

Pria itu mengedikkan bahu lalu menyapukan pandangannya kearah jalanan yang macet total. Gedung-gedung tinggi menjulang disekitarnya, dan papan iklan bertebaran dimana-mana. "Aku dari kota yang berbeda." Pria itu mendesah, "Aku tinggal di manapun tempat yang bisa kutinggal."

Di saat ketika Kris akan bertanya, beberap hal
terjadi secara bersamaan. Bus yang berhenti karena macet kini bergerak pelan dan detik itu juga terdengar suara dentuman keras seperti pecahan kaca dan darah muncrat dari kepala seseorang di belakang mereka. Suara teriakan dan jeritan terdengar dari belakang dan kemudian seluruh bus mulai ketakutann. Tiba-tiba saja seseorang memegang Kris dan membawa Kris turun dan ikut berjongkok di dalam bus. Tubuhnya tertekan dibawah kursi berlapis busa oleh tubuh seseorang yang besar. Sesuatu terhembus diatas
kepalanya, udara yang terasa menandakan kedekatannya. Kris terkejut saat kaca jendela di hadapannya meledak dan serpihannya mengenai tubuh mereka. Di dalam bus itu menjadi hidup
saat orang-orang bergerak mencari perlindungan dan mencoba bergerak untuk keluar dari bus.
Para penumpang merunduk ke arah pintu masuk secara berdesakan di lorong.

Kemudian terdengar letusan lagi dan
seorang pria muda bergoyang, terjatuh tanpa perlawanan di lantai bus. Semua orang menjerit. Menangis.

Sebuah jeritan dan isakan.

"Merunduk dan ikuti aku!" Seseorang berteriak dari belakangnya yang sedari memeluknya. Kris mendongak menatap wajah pria itu di atasnya, mengelilinginya seolah menjadi tameng hidupnya.

Letusan terdengar tepat di belakang pria itu dan kapuk-kapuk busa kursi itu bertebaran. Lalu lintas semakin macet dan ramai, banyak terdengar bunyi klakson yang di bunyikan dan sekali lagi suara teriakan.

"Apa yang terjadi?" Kris bertanya, jantungnya seakan ingin keluar dari dadanya.

"Acara tembak-tembakan."

Pria itu menarik Kris lebih dekat kearahnya ketika isakan mulai keluar dari mulutnya.

"Tuhan! Aku tidak tahu." Pria itu menangkup wajah Kris dengan erat, jarinya-jarinya meluncur dari pipi ke lehernya. "Dengar. Kita harus keluar dari tempat ini. Kita hanya perlu berjongkok dan hindari jendela kaca, tetap di belakangku dan jangan pernah terlepas, Ok?"

Kris mengangguk dengan gemetar di bawah genggaman tangan asing pria itu.

"Semua akan baik-baik saja"

Well, ya semoga.

***

(Another Place)

Pria berkaca mata kotak dengan senapan PGM .338 LM (LM - Lapua Magnum) PGM Mini-Hecate .338 dihadapan nya mendengus kasar ketika matanya mengintip dari teleskop kecil di senapan miliknya.

"B. Target salah sasaran. Dua orang roboh, dan kedua target entah kemana." Pria itu berkata pada aerphone kecil di telinganya.

"Bereskan senapan. Dua puluh empat meter di arah jarum jam dua polisi bergerak. Tim medis datang lima belas meter dari arah barat daya. Aku beri lima menit untuk turun. Setelah itu kejar ia dan bunuh. Agen B mengawasi. Berhati-hatilah."

"Yes, Sir."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar