Heart of Stone (part 6) : I think I'd have a heart attack!
Kristen's PoV
Entah kenapa selama ini aku merasa bahwa aku akan mati hanya karena faktor usia dan hal sepele lainnya. Tapi aku salah besar. Karena kenyataannya, aku akan mati dalam keadaan terkoyak, sama sekali tidak utuh. Ternyata hidup lebih sulit daripada yang kubayangkan. Sekarang aku sadar kalau waktu adalah emas. Sayangnya tidak banyak lagi waktu yang tersisa untukku di bumi ini.
Entah kenapa semua tujuan hidupku terasa asing di kepalaku sekarang. Semuanya justru terlihat konyol. Rasanya konyol mempertaruhkan cinta sejatimu jika pada akhirnya kau akan mati detik ini juga.
Atau, aku yang mati.
Aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi. Semuanya membeku dan tidak bisa digerakkan. Entah penyebabnya karena anjing jelek ini, atau memang karena aku sudah mati.
Mataku kunang-kunang. Hitam, kuning, dan abu-abu di beberapa tempat. Rasanya seperti ada seseorang yang ingin mencungkil bola mataku dari rongganya.
"Princess!" Seru sebuah suara yang sangat familier di telingaku.
Rasanya aneh. Sedetik yang lalu aku hanya bisa mendengar geraman anjing liar yang mematikan. Tapi sekarang, hanya suara itu yang membuatku yakin kalau aku masih hidup.
"Princess!" Seru suara itu lagi.
Lalu aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi aku baru sadar kalau ternyata suara geraman itu sudah tidak ada. Dan sudah tidak ada lagi anjing yang menerkamku telak telak. Melainkan sekarang, ada sebuah tangan yang menggenggam tanganku begitu eratnya.
Begitu hangat, begitu nyaman.
"Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?!"
Entah pendengaranku benar atau tidak, tapi suara itu terdengar seperti suara Robert. Tapi nadanya yang begitu mengkhawatirkanku, membuatku ragu kalau itu benar-benar dirinya. Bukankah dia kesal padaku?
Kufokuskan pandanganku, butuh usaha yang sangat besar untuk melakukannya. Lalu kemudian aku hampir tersentak. Itu benar dirinya. Mana ada orang yang memiliki mata seindah itu selain dirinya? Tapi kini matanya ternoda kecemasan yang begitu kentara.
"Hati-hati..." ujarku. Suaraku lebih parau daripada orang yang sedang sekarat. Padahal aku sedang sekarat sekarang. "Ada anjing liar di hutan ini..."
"Tentu saja!" Katanya. "Sudah berapa kali aku bilang begitu?"
Nada suaranya sungguh aneh. Aku tidak pernah mendengar suara secemas ini sebelumnya.
Kemudian sesuatu yang berada di kakiku membuatku meringis. Entah apa yang terjadi disana, tapi rasanya sungguh perih. Lebih perih daripada disayat dengan mata pisau. Rasanya daging yang berada di dalam kakiku sedang ditusuk tusuk oleh ujung batu tajam. Ditambah lagi dengan ribuan semut merah yang berkerubung disana.
Kemudian tangannya menyibakkan rambut yang menutupi mataku, "ada apa? Mana yang sakit? Kau baik-baik saja? Apa? Mana yang sakit?" Pekiknya.
Berani sumpah, rasanya pendengaranku rusak setelah kejadian tadi.
Dengan sekuat tenaga aku menjawab, "kakiku..."
Lalu aku mendengar suara erangan tertahan. Entah itu suaraku atau suaranya, tapi rasanya aku tidak bersuara seperti itu.
Sedetik kemudian, tangan hangat yang menggenggam tanganku hilang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggapai-gapainya. Karena aku tahu tangan hangat itu milik siapa.
Kemudian luka yang ada di kakiku serasa di tekan. Seharusnya sentuhan seringan itu tidak akan menimbulkan rasa sakit yang separah ini sekarang. Kugigit lidahku keras-keras supaya tidak teriak.
"Demi tuhan, kau harus belajar untuk mendengarkan omonganku, Princess. Lihat apa yang terjadi akibat ulahmu sendiri. Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tidak pergi terlalu jauh ke dalam hutan?" Tanyanya.
"Maaf..." ucapku sepelan embusan napas. "Apa yang terjadi? Apa aku kena gigit? Apa aku kena rabies?"
Ia menggeleng, "bukan, kau hanya kena cakar mereka."
Lalu ia mengikatkan seuntai kain diatas lukaku yang menganga. Aku tidak berani untuk melihatnya, tapi dari sini, lukaku terlihat begitu mencolok.
Kemudian ia bangkit untuk mendudukkanku di sebuah batang besar. Ia menyentuhku dengan sangat hati-hati, seperti tubuhku bakal pecah jika ia menggenggamku erat-erat. Kutatap matanya sekali lagi, dan api kecemasan masih tergambar jelas disana.
"Tunggu disini sebentar, oke? Aku akan mencari air dulu." Katanya. Lalu mata hijaunya menatap mataku begitu menusuk, "jangan bergerak!" Katanya kemudian menghilang di balik semak-semak.
Sementara aku menunggunya sampai kembali, kuberanikan diri untuk mengecek lukaku sekali lagi. Dan benar saja. Ternyata daging kakiku menyembul keluar. Dan kerubungan semut yang kurasakan tadi ternyata adalah pasir dan kerikil yang menancap disana. Kugigit lidahku lagi.
Kakiku yang luka terlihat lebih kurus daripada kaki yang satunya. Aku rasa daging yang ada di kaki kananku sudah menghilang saat di cakar oleh anjing jelek tadi. Jika luka itu tidak segera ditutup, aku yakin nanti malam kakiku bakalan busuk.
Kemudian beberapa detik setelahnya, Robert datang dengan sebotol air jernih dan segenggam daun daunan. Dengan sangat hati-hati, ia menyingkirkan pasir dan kerikil itu dengan air dan potongan gaunku. Beberapa kali aku meringis saat ia mencungkil kerikilnya. Sementara ia bekerja, pikiranku beradu tombak.
Apa yang terjadi padanya? Pasti ada sesuatu yang sangat parah terjadi sampai ekspresinya begitu kalut. Apa yang bisa membuatnya begitu? Apa Phillies diserang anjing liar juga? Atau karena dia tidak mendapat buruan yang enak?
"Dimana Phillies?" Tanyanya tanpa menatap mataku.
Ternyata Phillies penyebabnya.
"Seharusnya dia masih berada di tempat kita meninggalkannya tadi." Kemudian pikiranku melayang ke kuda malang itu. Bagaimana kalau dia diserang anjing liar juga? Tidak ada seseorang seperti Robert yang akan menolongnya. Astaga.
"Phillies!" Pekikku. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?"
Dengan sedikit terbesit kegelian, matanya menatap mataku. "Dia lebih jago menjaga dirinya sendiri daripada kau, Princess." Tapi kemudian matanya tidak fokus lagi.
Gelembung kelegaan menyeruak di dalam rusukku. Dia benar. Aku yang lemah disini.
Kemudian ia memasukkan dedaunan yang dibawanya tadi ke dalam mulutnya. Setelah beberapa detik di kunyah, ia menempelkan daun itu di atas lukaku.
"Apa itu?" Tanyaku saat aku merasakan sensasi dingin yang menusuk tulang.
"Yarrow. Tumbuhan ini tumbuh dimana-mana, tapi cukup berguna. Cara ini pernah berhasil pada luka bakarku tempo hari. Semoga saja juga berhasil pada lukamu," suaranya masih terdengar tegang di telingaku yang sepertinya rusak.
Setelah selesai, ia berlutut di sampingku. Matanya menatapku begitu lekat hingga terasa memabukkan. Kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya ragu-ragu saat ingin menyibakkan rambut yang menutupi mataku. "Bagaimana rasanya? Apa lebih baik?"
Awalnya rasanya dingin. Tapi semakin kesini, sensasi itu menghilang dan menyebarkan sensasi lain yang lebih buruk. Perih dan panas di setiap bagian yang terluka parah, tapi lalu menghilang sebelum akhirnya muncul lagi.
"Ya," aku berbohong.
Kemudian matanya mencair dan mendengus, "aku pernah memakai daun itu sebelum kau, Princess. Dan aku tahu seperti apa rasanya. Rasanya buruk, ya, kan?" Ia mengerutkan hidungnya.
Lalu aku menjawab, "lalu untuk apa kau bertanya?"
Ia mengangkat bahunya dengan tegang, "cuma mengecek. Tapi tenang saja,khasiatnya berbanding terbalik dengan sensasinya. Kau akan sembuh."
Demi Tuhan, rasanya aku juga mengalami gegar otak.
"Apa kau bisa berjalan? Kita harus menyusul Phillies. Dia tidak senang ditinggal terlalu lama." Ujarnya setelah mengangkut dua ekor hewan yang mirip ayam di tangan kanannya. "Kita sarapan kalkun hari ini."
Ia membungkuk di sampingku, memegang pinggangku dengan lembut dan mendorong bahuku untuk membantuku berjalan. Kupegang bahunya erat-erat, merasa canggung karena berposisi sedekat ini dengannya.
"Rasanya sudah jam makan siang sekarang," gumamku pada diri sendiri. Tapi aku merasakan tubuhnya bergetar karena tertawa.
Lalu kucoba menyeret kaki kananku yang terluka, berusaha sedikit mungkin untuk bergerak. Tapi aku malah meringis saat tidak sengaja menyeret kakiku begitu kencang. Hampir saja aku tersungkur ke depan jika tidak karena tangannya yang menjagaku.
"Ini tidak akan berhasil," katanya.
"Ya." Aku setuju padanya. "Lebih baik kau meninggalkan ak--aww! Apa-apaan kau?" Pekikku saat aku merasakan kakiku tidak menapak lagi di tanah. Sekarang tanganku yang tadinya hanya memegang bahunya erat-erat, sudah bergerak melingkari lehernya. Jarak wajah kami yang hanya berkisar beberapa sentimeter membuat pipiku memanas dan ingin segera memberontak.
Tapi aku sadar apa yang sedang dilakukannya. Aku tidak mungkin berhasil sampai ke tempat Phillies jika berjalan terpincang pincang seperti itu.
Ia menatap mataku, "ada angin apa kau sampai memintaku untuk meninggalkanmu? Asal kau tahu, aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini."
Embusan napasnya yang seharum bunga lilac menerpa indra penciumanku. Buru-buru aku menunduk sebelum ia melihat pipiku yang memerah. Astaga. Ada apa sih dengan pipiku? Bisakah cowok ini bersikap menjengkelkan saja? Apa dia harus menebar pesonanya dalam keadaan seperti ini?
Beberapa detik aku merasakan tatapannya di wajahku, dan beberapa detik juga jantungku bereaksi aneh. Ada apa dengan jantungku? Pacuannya saat ini berbeda dengan saat aku bertatapan dengan Jack. Jadi tidak mungkin aku gugup dengan tatapannya yang begitu intim terasa. Kali ini pacuannya lebih keras dan cepat.
Mungkin karena aku terserang penyakit jantung juga setelah kejadian tadi.
Kemudian ia mendesah dan mulai berjalan menelusuri hutan. Rasanya baru kali ini aku memerhatikan mayat mayat anjing berdarah yang bergeletakan di tanah. Di masing-masing jantung mereka, ada sesuatu berbentuk runcing yang menancap disana. Tidak diragukan lagi, Robert yang membunuh mereka semua dan menyelamatkan nyawaku.
Aku berhutang lagi padanya.
Kuhantamkan tangan kiriku yang bebas ke wajahku saat menyadari hal itu. Aku yakin ia pasti sudah menganggap aku sinting sekarang.
"Bukannya kau senang sekali berada jauh-jauh dariku?" Tanyaku. Suaraku terdengar tidak begitu jelas karena masih teredam oleh telapak tanganku.
Tapi ternyata pendengarannya terlalu bagus. "Dalam keadaan seperti ini?" Ia memutar bola matanya. "Kau pikir aku ini cowok macam apa?"
"Oh," gumamku. "Jadi kau sudah menjelma menjadi manusia bertanggung jawab sekarang?" Tanyaku dan mendongak menatap matanya.
"Terserah kau mau menyebutku apa." Ujarnya tak acuh.
"Bagaimana kalau daun itu tidak berguna? Bagaimana kalau keadaanku semakin parah? Apa kau--"
Ia menggertakan giginya, "kau akan sembuh. Bisakah kau beranggapan seperti itu saja?"
Aku mendesah dan mencubit bahunya, "kau kebiasaan betul memotong pembicaraan orang. Asal kau tahu, jika kau tinggal di istana, kau akan di karantina selama satu hari di ruangan penuh buku kesopanan!"
Lalu ia tertawa, "beruntung betul aku tidak tinggal di istana! Hal mengerikan seperti apalagi yang ada disana?"
Aku mendengus, "setidaknya di istana tidak ada anjing liar."
"Ya! Dan selama itu juga kau selalu dikurung seperti hewan buas disana. Heran juga aku, bisa-bisanya kau masih waras selama ini," katanya kemudian tertawa lagi.
Itu sebabnya aku pergi, bodoh. Aku bisa saja sudah menggila jika sekarang masih berada di istana.
"Diam, kau!" Omelku. "Tinggal di alam liar ini juga sama ngerinya, kok. Heran juga aku, bisa-bisanya kau masih hidup selama ini," kuikuti kata-katanya barusan dan terkikik di akhir kalimat. Tapi aku langsung berhenti saat merasakan nyeri di kakiku muncul lagi.
"Jangan banyak bergerak!" Titahnya saat mendengar rintihan tertahanku. "Aku tidak pernah diserbu anjing liar selama bertahun-tahun. Sudah kubilang, kau ini seperti magnet bahaya. Setiap ada bahaya yang beradius 500 mil darimu, pasti bahaya itu akan menarikmu seperti magnet."
Sialan.
Kucubit lagi bahunya, "taukah kau bahwa 'sudah kubilang' itu memiliki teman?" Tanyaku. Ia mengangkat alisnya lalu aku melanjutkan, "namanya 'tutup mulutmu'!"
Kemudian ia terkekeh, "tapi sungguh, kau benar-benar tidak pernah keluar dari istana?" Tanyanya.
Kutatap matanya yang masih menatapku geli, lalu kuputuskan saja untuk menjawab pertanyaannya. "Belum pernah, sampai kemarin." Kuangkat bahuku.
"Jadi kalau kau tidak kabur dari istana, seumur hidup kau bakal dikurung disana?" Asumsinya.
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat, "tidak, bukan begitu! Aku diizinkan keluar setelah hari penobatanku. Kira kira satu setengah tahun lagi dari sekarang, saat ulang tahunku yang ke-21. Dan banyak sekali syarat yang harus kupenuhi untuk menjadi Ratu." Kuakhiri kalimatku dengan ekspresi jijik.
Kemudian ekspresinya berubah murung, "jadi kau akan memimpin negeri ini?" Aku mengangguk. "Wah. Sial betul kalau begitu," katanya.
Sudut-sudut mulutku terangkat membentuk senyuman, jalan pikiranku sama dengannya. "Cuma kau yang berkata begitu. Yang lain lain sih bakal bilang, 'wah beruntung sekali kau!' Atau 'wah selamat ya!'" Ucapku dengan ekspresi yang di lebih-lebihkan. "Andai nasibku bisa ditukar dengan salah satu dari mereka."
Entah apa yang terjadi padanya, atau apa pengaruh kata-kataku terhadapnya, tapi kini ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras seperti batu, matanya sudah membeku menjadi es hijau lagi.
Hilang sudah cowok yang membuatku jantungan tadi.
"Kalau besok keadaanmu bertambah parah," ujarnya mengalihkan pembicaraan. "Kita akan berkuda ke sebuah desa yang berada di perbatasan negeri ini dan Onyxland. Desa itu cuma berpopulasi 300 orang, tapi aku yakin salah satu dari mereka ada yang bisa menyembuhkanmu." Katanya.
Desa di perbatasan? Desa macam apa itu?
Setelah mendengar perkataannya, entah mengapa aku merasa dikhianati. Bagaimana bisa aku menjadi seorang putri tapi aku sama sekali tidak mengetahui negeriku dengan sangat baik? Aku sama sekali tidak tahu tentang desa yang berada di hutan belantara ini.
Kemudian aku mendesah kesal, "Ya Tuhan! Apa masih ada lagi sesuatu yang tidak kuketahui tentang hutan ini? Desa macam apa itu? Siapa yang memerintah mereka?" Pekikku.
"Tidak ada yang memerintah mereka, mereka adalah desa yang bebas. Sebenarnya desa itu hanyalah perkumpulan lebih dari sepasang kekasih yang berasal dari negeri Fownzley dan Onyxland. Larangan pasangan seperti itu untuk bersatu hampir sama kuat seperti larangan sepasang kekasih yang berbeda agama dilarang bersatu. Tapi yang ini, hanya beda negeri. Sepertinya ada semacam peraturan yang melarang sepasang kekasih macam itu bersatu, ya? Buktinya mereka sampai rela tinggal di perbatasan hanya untuk menikah. Dan jumlahnya lebih dari seratus pasang." Katanya panjang lebar.
Satu lagi hal yang sangat aneh yang tidak kuketahui tentang negeriku sendiri. Aku bahkan tidak tahu ada peraturan semacam itu.
"Pasti karena perang yang kau bilang itu, ya?" Gumamnya padaku, sementara aku hanya bisa menganga seperti orang idiot.
"Jadi maksudmu, mereka membangun desa mereka sendiri? Hanya untuk bersatu?" Tanyaku.
"Ya. Seperti kau dan cinta sejatimu." Katanya tanpa menatap mataku. Tapi aku bisa melihat ekspresinya yang berubah jijik.
"Sebenarnya aku sama sekali tidak tahu tentang peraturan itu. Tapi masuk akal jika ayahku membuat peraturan semacam itu. Dia pasti takut kalau ada mata-mata..." gumamku pada diri sendiri. "Jadi kita akan kesana?"
"Hanya kalau keadaanmu semakin memburuk. Kita harus memutari hutan ini jika ingin sampai kesana." Tuturnya.
"Apa hanya aku satu-satunya orang yang tidak tahu tentang ini?" Dengusku kesal. Kutatap matanya lekat-lekat, berusaha menunjukkan kekesalanku supaya dia mau menceritakan lebih banyak lagi.
Lalu ia berdecak kesal, "tentu saja tidak! Semua orang yang tidak pernah ke hutan tidak tahu sama sekali tentang desa itu. Begitu juga dengan kau dan anggota kerajaan lainnya. Mungkin cuma aku satu-satunya rakyat Fownzley yang mengetahui semua ini. Mereka banar-benar pintar menyembunyikan diri mereka sendiri," Ujarnya.
Jadi bukan cuma aku yang merasa di khianati.
"Lalu mengapa kau memberitahuku tentang semua ini jika ternyata desa itu semacam perkumpulan rahasia?" Tanyaku dongkol. Kucakar jari tanganku dengan kuku jariku sendiri saking dongkolnya.
"Kau tidak akan memberitahu anggota kerajaan yang lainnya kan, jika mereka bisa menolongmu untuk bertahan hidup? Lagipula, sebenarnya apa yang mereka lakukan sama persis dengan apa yang kau lakukan sekarang. Jadi tidak mungkin kau menkhianati kaummu sendiri. Aku yakin itu." Tuturnya tanpa menatap mataku.
Dia benar. Tidak ada perbedaan antara aku dan mereka. Kami sama-sama ingin bersatu dengan cinta sejati kami di sebuah tempat yang berbeda. Bukan di Onyxland atau Fownzley...
Akhirnya aku tahu kemana aku dan Jack nanti akan melarikan diri. Ternyata sudah banyak pasangan terlarang seperti kami di negeri ini. Masalahnya adalah, apa aku akan tetap hidup sampai besok pagi dengan kaki yang hilang dagingnya begini?
"Memberitahu anggota kerajaan lainnya? Apa maksudmu? Memangnya kau lupa kalau aku tidak akan kesana lagi?" Tanyaku tak acuh sambil menunduk menatapi jariku yang memerah.
"Oh, ya, benar. Aku lupa kalau nanti kau bakal tinggal di Onyxland. Ya, pokoknya kau tidak boleh menceritakan hal ini pada siapapun, oke?" Tanyanya sambil menunduk menatapku.
Aku mengerutkan dahiku dan membalas tatapannya, "memangnya aku pernah bilang padamu kalau aku bakal tinggal di Onyxland? Aku dan Jack bahkan sama sekali tidak tahu kemana kami akan kabur setelah ini..."
Kini giliran dirinya yang mengerutkan dahi, "bukannya kau memang bakal tinggal disana? Memangnya kau mau kabur lagi setelah bertemu dengan Jack-mu itu?"
Kurasakan pohon yang tadinya berjalan di sekeliling kami tiba-tiba berhenti. Atau, dia yang berhenti berjalan.
"Ya! Tentu saja. Orang tuanya juga tidak merestui hubungan kami, seperti orang tuaku. Jadi setelah semua masalah ini selesai, kami bakal pergi berdua saja, bersembunyi dari orang-orang." Aku mencebik dan melirik ke balik bahunya, berusaha memastikan kalau kami sudah sampai atau belum. "Apa kita sudah sampai?"
Ia menggeleng untuk mengenyahkan pikirannya dan memelukku lebih erat, memaksaku untuk menatap matanya lagi. Lalu aku menatapnya dengan canggung, berusaha memusatkan tatapanku ke alisnya. Matanya membuat penyakit jantungku kambuh lagi.
Ternyata dia berbakat untuk membuatku hampir mati jantungan kapan saja dia mau.
"Jadi kau akan pergi ke antah berantah?" Tanyanya akhirnya.
"Errr," kugigit bibirku. "Apa sih masalahmu?" Kuputuskan untuk tidak menjawabnya dan menghindari tatapannya.
Jantungku berpacu tidak keruan lagi seperti tadi. Ada apa sih dengan jantungku? Tenanglah, jantung.
Ia menggeleng dan bisa kurasakan pohon di sekeliling kami berjalan lagi. "Aku kira kau akan tinggal di istana Onyxland dan... tidur di atas emas." Ia mengangkat bahunya.
Lalu tawaku menggema di seantero hutan, membuat kakiku sakit lagi dan aku tidak peduli. "Sudah tidak ada tempat bagi kami lagi, kau tahu." Tuturku sambil masih terkikik. "Dan selama ini kami sudah cukup dimanjakan oleh emas. Mungkin sekarang saatnya untuk hidup mandiri..."
Ia menggeleng lagi, tatapannya tidak fokus saat memandang tanah. "Ya, aku hanya mengira kalau... sudahlah. Itu tidak penting."
Kuseka air mata yang menyembul di pelupuk mataku dan mengangguk, "ya. Itu bukan urusanmu."
Lalu setelah satu menit lagi ia berjalan, aku mulai mengenal pohon-pohon yang kami lewati. Dan tidak lama setelahnya, aku bisa melihat Phillies sedang memakani rerumputan di dekat kakinya. Ia mendengking lega saat melihat kami muncul.
Keadaannya sehat walafiat. Jelas tidak ada anjing liar yang menyerangnya sepertiku.
Kemudian dia mendudukkanku di sandaran batu besar, sementara ia menghilang sebentar untuk mengambil kayu bakar. Lalu tak lama setelahnya, ia datang dengan beberapa buah kelapa muda di bahunya.
"Wah, rasanya kita bakal pesta ya siang ini? Apa ayam aneh itu enak?" Telunjukku menuding dua ekor ayam hitam aneh yang ada di sebelah semak-semak.
Setelah menumpuk kayu bakar itu menjadi berbentuk limas bantet, ia menyeka keringatnya dan terkekeh pelan.
"Itu bukan ayam aneh, tapi kalkun. Rasanya hampir sama seperti daging ayam, sih. Kau belum pernah makan kalkun sebelumnya, ya?" Tanyanya.
Aku menggeleng. "Pengalaman pertamaku, kalau begitu."
Sambil memutar ujung kayu vertikal di atas kayu yang berposisi horizontal, matanya menatap kakiku sekilas. Aku jadi teringat dengan luka sialan itu lagi.
"Bagaimana kakimu? Bilang padaku kalau kau merasa nyeri lagi atau apa, ya." Ujarnya.
Kulipat kedua tanganku di dada, "nyerinya bertambah parah jika kau mengingatkanku begitu terus." Aku berkilah.
Ia memutar bola matanya dan mendesah.
Pengetahuannya begitu banyak tentang bertahan hidup di hutan. Dia bisa berburu, membuat api, memenangkan pertarungan dengan manusia, membunuh enam ekor anjing liar sekaligus, dan masih banyak lagi kelebihan kelebihan lainnya. Aku tidak tahu bagaimana keadaanku sekarang jika tempo hari aku tidak meminta bantuannya.
Mungkin aku sudah gila sekarang. Atau lebih parah lagi, mati.
Setelah kenyang, kami memutuskan untuk berkuda ke arah sumber mata air. Kami bisa membersihkan diri dan mengisi ulang persediaan air kami disana. Dan sungguh, tubuhku sudah lengket sekali sekarang.
Butuh waktu berjam-jam untuk sampai di tempat sejauh dua kilometer dengan caranya berkuda yang tidak lebih cepat daripada kemampuanku berlari.
"Apa kau tidak bisa berkuda lebih lambat lagi daripada ini?" Tanyaku jengkel di sela-sela lari siput kami.
Ia menjawab, "lukamu bakal bertambah parah kalau kita banyak bergerak!"
Nada suara aneh itu muncul lagi di setiap kata-katanya. Membuat jantungku hampir pecah saking kerasnya dia meloncat.
"Persetan dengan lukaku. Lebih cepat sampai lebih baik!" Aku berkeras.
Sebenarnya aku berbohong tentang lukaku. Seiring waktu berjalan, luka di kakiku semakin perih dan panas. Sementara kulit-kulit yang mengelupas disisinya terasa semakin gatal. Ingin sekali aku menyelupkan luka sialan ini di dalam air dingin.
"Bisakah kau memikirkan kesehatanmu saja dan tidak usah ikut campur dengan caraku berkuda? Kita akan sampai dan kau akan sembuh. Tenang saja!" Ia memekik.
Lalu kugigit lidahku supaya tidak membalas berteriak. Dan kukencangkan lagi peganganku supaya tanganku tidak menggaruk luka yang terasa sangat gatal seperti di gigit ulat bulu.
Aku mendesah lega saat kami tiba di danau. Airnya tidak terlalu banyak, dan kedalamannya tidak terlalu dalam. Tempat ini lebih terlihat seperti lembah atau rawa daripada danau. Tepat di sekeliling genangan air itu, terlihat bunga-bunga primrose dan dandellion yang membentuk semacam pagar.
Tapi aku tidak bisa mengagumi keindahan danau ini. Penglihatanku tercemar warna merah lagi.
Dan ternyata dia benar. Semakin banyak aku bergerak, semakin terasa sakit pula luka yang ada di kakiku. Mencuci muka dan menyisir rambutku hanya bisa terbang di anganku saja. Tepat setelah aku turun dari punggung Phillies, aku limbung dan hampir jatuh ke tanah. Kesehatanku yang terlalu buruk tidak memungkinkanku untuk memikirkan sekadar kecantikan.
Hari sudah gelap saat ia menyuruhku beristirahat. Penglihatanku kembali berkunang-kunang. Sementara kepalaku terasa sakit sekali, begitu juga dengan seluruh bagian tubuhku.
Bahkan kilau mata hijau yang paling kusukai itu terlihat sewarna merah darah oleh mataku ini. Berkali-kali aku limbung dalam posisi duduuk. Bahkan saat duduk pun aku bisa limbung.
Mataku yang sayu terasa berat sekali, tapi aku tidak bisa tidur. Badanku terentak-entak karena kedinginan. Sensasi dingin yang tadinya hanya di betisku yang luka, semakin lama menjalar dengan cepat ke seluruh sel sel tubuhku. Dan semakin jauh sensasi itu menjalar, semakin dingin pula rasanya.
Dan semakin keras aku berusaha untuk tidur, nyeri di kepalaku terasa semakin sakit. Rasanya seperti aku habis terbentur tembok baja dengan sangat keras. Dan benjol yang pasti diakibatkannya menerorku saat ini. Membuatku bergerak-gerak gelisah karena kepalaku yang serasa di tiban beton.
Aku bisa merasakan bahwa Robert melingkarkan jaketnya di bahuku, berusaha menimbulkan kehangatan sebanyak mungkin untukku. Bahkan, perapian pun sudah dibuat. Tapi itu semua tidak cukup.
Aku kedinginan dari luar dalam.
Kugulung tubuhku seperti bola, berusaha memeluk diriku sendiri sementara tubuhku masih terentak-entak kedinginan.
Sampai tengah malam aku masih terjaga dengan tubuh mengentak-entak. Bulu kudukku sudah berdiri sempurna. Bibirku sudah sepucat mayat. Mungkin sebentar lagi sensasi dingin itu akan membekukan jantungku juga.
Jadi penyakit jantungku tidak bisa kambuh lagi saat melihat matanya.
Tapi tidak lama setelah itu, aku tahu kalau jantungku masih berfungsi. Bagaimana itu tidak berfungsi jika aku bisa merasakan bahwa sekarang jantungku sedang meloncat minta keluar dari rusuknya saat ada sepasang tangan yang melingkari tubuhku. Dan sedetik setelahnya, ada sesuatu menyusup di bawahku. Begitu nyaman dan hangat.
Kugerakkan kepalaku sedikit untuk mengambil posisi nyaman, dan ternyata gerakan itu memunculkan sesuatu yang lain. Tangan yang tadinya hanya melingkariku kini bergerak kecil untuk menciptakan sentuhan hangat. Membentuk berbagai pola di atas jaket dan rambutku.
Aku tidak peduli siapa atau apa yang sedang memelukku sekarang. Tidak bisa dipungkiri kalau aku membutuhkan pelukan itu. Kulingkarkan tanganku di lehernya, dan tubuhnya memelukku semakin erat. Embusan napasnya yang hangat menyapu puncak kepalaku.
Aku sedang berada di surga antah berantah...
Ya. Itu sebutanku untuk tempat yang paling nyaman di dunia ini.
Tidak diragukan lagi, melihat dari kondisiku yang semakin memburuk, besok Robert pasti bakalan membawaku ke desa itu.
Dan satu-satunya tugasku adalah, berusaha menjaga jantungku tetap berdetak sampai besok.
Tapi bisa dibilang tugas itu terlalu mudah bagiku sekarang. Sentuhan yang ada di lenganku benar-benar membuat jantungku melompat-lompat dan tidak mau berhenti. Ternyata bukan hanya matanya saja yang membuat penyakit jantungku kambuh, melainkan semua hal yang berhubungan dengannya membuatku terasa terjun bebas dari surga ke tujuh.
Bahkan dalam keadaan seperti ini pun serangan jantungku masih berlanjut.
Aneh. Jika aku kena serangan jantung, lantas mengapa aku belum mati?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar