Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Heart of Stone


heart of stone (part 4) : Nightmare for me. Badluck for me. Not for her.

Robert's PoV

Rasanya baru kali ini aku terlibat dalam suatu hal yang sangat rumit. Apa sih masalah kerajaan yang tidak rumit? Apalagi, sekarang masalahnya adalah rencana pelarian seorang putri dari istananya yang nyaman nan megah itu. Masalahnya pasti jauh lebih rumit sampai-sampai ia rela meninggalkan istananya. Well, siapa coba wanita yang tidak mau menjadi seorang putri, tinggal di istana, memiliki selusin lemari penuh pakaian dan aksesoris? Tidak ada. Oh, sekalipun ada, jawabannya dia.

Tapi penampilannya sangat meragukanku bahwa dia adalah seorang putri. Berani sumpah, penampilannya sudah seperti orang gila yang nyasar di hutan belantara. Andai saja bukan karena ada segerombolan prajurit yang menginginkannya, aku tidak akan percaya kalau dia adalah seorang putri sungguhan.

Ini kali pertama juga aku mengobrol dengan orang kerajaan. Bahkan, aku sangat jarang sekali berkomunikasi dengan orang biasa. Aku selalu merasa kalau tempatku sebenarnya bukan disini. Aku benar-benar tidak bisa cocok dengan mereka. Atau mungkin memang aku yang tidak tahu jati diriku sendiri dan dimana aku seharusnya berada.

Aku hanyalah seorang cowok luntang-lantung yang ditakdirkan untuk hidup bersama kuda bercorak aneh yang sangat kusayangi, beserta busur dan anak panah. Aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya selama lima tahun belakangan. Aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku, atau bahkan apakah aku punya keluarga, dimana tempat tinggalku, darimana aku berasal, dan apa pekerjaanku. Selama ini, hidupku hanya bergantung dari berburu dan barter. Aku serasa baru terlahir di dunia lima tahun yang lalu. Bedanya, aku tidak memiliki tokoh yang bisa menjelaskan siapa aku sebenarnya, dan untuk apa aku hidup...

Oke. Mungkin semua ini terlalu sulit untuk kalian cerna, begitu juga aku.

Lima tahun yang lalu, aku terdampar di laut selatan negeri ini, negeri Fownzley. Pakaianku compang-camping, tubuhku luka-luka di beberapa tempat. Penampilanku sangat buruk waktu itu. Bahkan sepuluh kali lebih buruk daripada si putri aneh. Tapi untungnya, aku masih hidup. Walaupun aku sadar bahwa tidak ada satupun memori kehidupanku yang aku ingat. Seluruh tubuhku rasanya sakit sekali pada hari itu, kepalaku pening bukan main. Aku sudah mencoba untuk mengingat-ingat siapa aku sebelum kehidupan ini, tapi hasilnya nihil. Otakku kosong, tidak ada apa-apa disana. Butuh dua hari penuh untukku meratapi nasib, dua hari penuh juga aku tidak beranjak dari tepi pantai. Heran juga aku mengapa aku tidak mati kelaparan saat itu. Tapi aku sadar bahwa aku tidak akan menemukan jawabannya jika aku hanya berdiam diri seperti orang idiot. Dan tepat setelah aku bergerak dari kebatuanku, aku baru sadar kalau ternyata tangan kananku menggenggam erat busur panah yang bertuliskan dua patah kata disana. Ya, dua patah kata itulah yang aku gunakan sebagai namaku. Atau mungkin itu adalah nama asliku? Aku masih tidak tahu. Tapi setidaknya, Robert Pattinson bukanlah nama yang konyol.

Malamnya aku pergi ke tengah desa, dengan pakaian compang-camping dan sebuah busur beserta anak panah yang bertengger di punggungku. Hanya itu satu-satunya harta yang kumiliki, dan aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. Tapi tatapan rakyat saat itu sangat memojokkanku, mereka menatapku seakan-akan aku ini adalah makhluk berbentuk abstrak dari planet lain. Sampai ada beberapa orang tua yang membisikkan "dia orang gila" di telinga anaknya. Semua orang menatapku dengan tatapan yang aneh. Dan pada saat itu juga aku sadar kalau penampilanku inilah sebabnya. Dan mulai malam itu aku selalu bolak-balik ke desa-hutan-desa-hutan untuk bertahan hidup. Pergi ke hutan untuk berburu, dan pergi ke desa untuk menukar buruanku dengan pakaian yang layak atau beberapa makanan yang lezat. Aku sama sekali tidak memiliki sepeser uang, jadi ku gunakan saja busur dan anak panahku untuk bertahan hidup. Dan entah siapa aku sebenarnya sebelum ini, tetapi aku sungguh pandai memanah. Rasanya aku memiliki insting untuk membidik dengan tepat buruanku, bergerak jika mereka bergerak juga. Rasanya sungguh aneh, tapi juga menyenangkan disaat yang sama. Setidaknya aku tahu kalau ternyata aku memiliki bakat yang berguna dan bisa dibanggakan.

Bertahan hidup bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Apalagi jika kau tidak memiliki uang dan pekerjaan. Setiap hari menjelang subuh, aku sudah berkeliaran ke dalam hutan, memetik buah berry sebanyak mungkin untuk kutukar di Fodz. Biasanya aku sering menukar sekarung penuh stroberi dengan sup daging ayam disana. Fodz adalah pasar gelap yang biasa kukunjungi untuk menukar hasil buruanku dengan makanan lezat yang terletak di pusat desa. Biasanya tempat itu sangat ramai bila hari minggu dan hari libur lainnya. Banyak sekali toko makanan dan pakaian disana. Roti berisi selai kacang dan kismis biasanya sering kudapat hanya dengan dua ekor tupai. Tapi tidak jarang juga aku memakan hasil buruanku sendiri. Belum lagi setiap hari aku harus mendaur ulang anak panahku dari kayu hutan untuk berburu. Aku sedikit bisa membuat jerat dan perangkap, tapi aku lebih suka memanah.

Dan tentu saja warga desa mau menukar makanan yang mereka anggap terlalu aman untuk dimakan seperti roti manis, dan daging ayam, dengan hasil buruanku seperti, kalkun liar, tupai, kelinci, atau bahkan rusa. Seperti misalnya kepala desa, tidak jarang aku mampir ke rumahnya untuk menukar kalkun liar favoritnya dengan baju bekas yang layak pakai. Atau bahkan beberapa penjual daging yang sangat bersemangat saat aku berjalan ke desa dengan menyeret rusa gemuk dari hutan. Tidak ada yang berani untuk berburu di alam liar selain diriku. Lagipula, tidak ada alasan untuk mereka melakukan itu. Mereka selalu hidup berkecukupan dengan pesta makanan yang selalu diadakan Raja setiap tahunnya di tengah desa. Dan selalu ada yang membawa tas besar untuk mereka isi makanan lezat dari sana dan disimpan hingga musim dingin tiba. Tapi tentu saja Raja tidak ingin membuat kalori warganya bertambah dengan mengirimkan kelinci, tupai, atau bahkan kalkun liar. Hanya makanan yang dianggapnya aman dan sehat saja yang mereka kirimkan.

Jangan mengira kalau aku tidak pernah mencoba pergi ke pesta makanan itu untuk mengambil makanan lezat. Aku melakukan hal itu setiap tahunnya. Dan setiap tahun itu juga aku diusir mentah-mentah karena tidak memiliki tanda pengenal atau tanda kependudukan di negeri ini. Aku tidak bisa masuk ke tenda mewah yang besar itu dan memanjakan perutku. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan merusak salah satu pohon kurus di tepi desa saking bencinya pada mereka.

Rasanya kebiasaan yang melelahkan ini sudah menjadi kewajibanku sebagai makhluk hidup, dan hanya itu yang kutahu. Andai saja aku tahu siapa aku sebenarnya, setidaknya aku tahu apa yang seharusnya kulakukan selain berburu dan barter makanan. Setidaknya aku punya tujuan hidup...

Dan sudah lima tahun juga aku hampir mati penasaran tentang siapa aku sebenarnya dan siapa aku dulu. Dan mengapa seminggu setelah aku sadar, ada seekor kuda aneh tetapi gagah yang tiba-tiba muncul dan mengikutiku kemanapun aku pergi. Rasanya begitu aneh jika ada seekor kuda yang menemukanku untuk dipelihara, bukan aku yang memeliharanya. Tapi aku melihat kemiripan antara warna busurku dengan kalung yang mengait di lehernya. Bisa dibilang kalau mungkin saja kuda ini milikku sebelum aku lupa ingatan. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain menjadikannya sahabatku, aku tidak mendapat petunjuk lagi selain warna kalung dan busur kami yang sama. Dan petunjuk yang satu itupun tidak bisa membawaku kembali ke diriku yang dulu. Tidak ada gunanya. Aku biasa memanggilnya Phillies, bukan karena aku asal memberinya nama tanpa arti, tapi aku memang melihat tulisan itu terukir indah di kalungnya.

Dan sekarang disinilah aku... terjebak dalam sebuah perjalanan yang aneh dan membingungkan. Aku bahkan sama sekali tidak tahu mengapa ia kabur dari istananya sendiri. Dan aku tidak mau tahu. Sudah cukup jauh aku terlibat dalam masalah ini, dan aku tidak mau mengetahui seluk beluknya lagi. Tapi bagaimanapun juga, bagian hatiku yang paling kecil merasa senang karena setidaknya ada sesuatu yang lain yang bisa kulakukan. Aku akan punya satu tujuan untuk beberapa hari kedepan. Ya, walaupun tujuan itu menjengkelkan.

Aku jengkel betul pada sesuatu yang berbau kerajaan atau sebangsanya. Rasanya jijik melihat mereka berpesta hura sementara ada beberapa rakyat mereka yang bisa saja mati kelaparan karena tidak punya uang. Dan yang lebih parahnya lagi, ternyata bukan beberapa rakyat yang mengalami hal semacam itu, tapi hanya aku. Hanya aku yang pernah hampir mati karena kelaparan dan tidak punya tempat tinggal tetap dan layak. Hanya aku yang tidak pernah mendapat perhatian dari kerajaan sementara yang lain-lain seperti kepala desa selalu mendapat kunjungan setiap tahunnya. Dan hanya aku yang selalu memuntahkan sumpah serapah untuk para orang serakah itu, sementara yang lain-lain memuja mereka. Memangnya aku ini apa? Hanya seonggok daging busuk diantara balok kayu dan tidak pantas mendapat perhatian mereka? Atau karena identitasku yang tidak diketahui siapapun bahkan diriku sendiri? Atau mungkin karena aku tidak memiliki pekerjaan dan hanya bisa menukar buruanku di pasar gelap? Bukankah yang paling penting adalah aku bernapas, membutuhkan makanan, dan rakyat mereka? Setidaknya mereka bisa menemuiku dan memberitahuku siapa aku sebenarnya. Mereka pasti memiliki data lengkap dan foto yang jelas di salah satu ruangan di istana mereka. Dan diantara semua arsip itu, pasti ada satu penjelasan tentang diriku...

Tapi cuma aku yang paling beruntung, karena cuma aku yang waras disini. Sampai sekarang pun aku tidak tahu mengapa aku mau menolong salah satu dari orang-orang serakah itu. Entah apa yang terjadi sehingga aku menyerah dan bersedia mau melakukan apapun supaya dia tetap hidup sampai tempat tujuannya.

Derak suara api memecahkan keheningan malam. Suasana yang seperti ini benar-benar membuatku hampir terlupa kalau tadi aku sedang berburu dan hendak makan. Oh, yeah. Aku tidak percaya beberapa jam yang lalu aku hanya sedang berburu seperti biasanya, dan sekarang aku sudah terjerat ke dalam neraka.

"Kau sungguh mau makan itu?" Katanya dan mengeluarkan suara jijik. Jari telunjuknya menunjuk paha kijang matang yang berada di tanganku.

Logatnya dalam berbicara sama sekali berbeda dengan orang-orang kaya lainnya. Biasanya yang sering aku lihat di salah satu tv jadul pemilik toko kelontong di Fodz, cara bicara mereka beraksen aneh dan terkesan seperti orang tolol. Nada bicara mereka meninggi tepat di bagian akhir, membuat semua perkataan mereka terdengar seperti pertanyaan. Dan setiap kali aku mendengar mereka, setiap kali itu juga aku tertawa terbahak-bahak. Maka itu aku sempat jengkel saat aksennya tidak setolol mereka, tidak ada yang bisa dijadikan bahan tawaan.

"Aku masih waras dan tidak mau mati kelaparan di hutan belantara ini," tukasku. Itu adalah respon terbaik yang bisa ia dapatkan, bahkan sangat baik jika mengingat bahwa dia telah menyeretku ke dalam neraka. Seharusnya aku membakarnya saja hidup-hidup sebelum dia melakukannya terlebih dulu padaku. Oke, yang satu itu terlalu dramatis.

"Rasanya aku kepingin muntah," sambungnya dan mengekeret lebih jauh dari perapian, kemudian menyandarkan diri di sebuah batang pohon. Aku sempat mengambil salah satu jaket prajurit yang hampir membunuhku tadi, dan kuberikan jaket itu padanya. Ngeri juga membayangkan aku harus menyeret mayatnya yang beku seperti patung ke istana.

Ia terlihat sedikit lebih mirip seperti putri setelah luka-luka dan memar yang berada di bahunya tertutup, walaupun tubuhnya terlihat menciut di balik jaket kelabu gombrong itu. Lengannya sepenuhnya tenggelam ke balik jaket, dan panjangnya hampir menutupi setengah tubuhnya yang mungil seperti lidi. Tapi tentu saja jaket kebesaran jauh lebih baik daripada mati kedinginan.

"Pikirmu kau tidak bakal mati kelaparan sebelum sampai ke danau Onyx kalau kau sok jijikan begitu, tuan putri yang mulia?" Aku mendengus, matanya menatap jijik setiap gigitanku. Memangnya dia tidak pernah makan kijang bakar sebelumnya? Apa di istananya yang megah itu melarang daging-dagingan sebagai menu utama? Betapa enak menjadi dirinya. Tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam untuk berburu sebelum makan, jika hanya dengan memerintah saja semua makanan yang kau mau akan tersedia di hadapanmu. Tidak perlu repot-repot menukarkan bangkai kelinci hanya untuk sebongkah roti gula, jika kau punya selusin gudang penuh roti semacam itu.

"Kristen. Panggil aku Kristen," ujarnya sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. Beberapa luka baret terlihat sudah mengering di wajahnya yang seputih dan semulus beludru. Rambut perunggunya yang dikepang menjadi tak beraturan seperti sehabis menunggang serigala besar seharian.

"Tentu, tuan putri yang mulia." Sahutku. Bibirku terkatup rapat dan berkedut-kedut menahan tawa saat melihat ekspresinya.

"Jadi aku harus memanggilmu apa? Cowok tolol? Atau tolol saja? Siapa namamu, cowok tolol?" Balasnya dengan wajah kusut. Setahuku tidak banyak orang kerajaan yang berbicara sekasar ini. Mungkin dia lebih cocok jika hidup di desa, bukan di istana. Mungkin ini salah satu alasan mengapa dia kabur dari istananya. Oke, tidak mungkin kan seseorang meninggalkan surga hanya untuk berkata kasar sesuai hatinya? Sangat tidak masuk akal.

"Bukan urusanmu." Ketusku. Dia tidak perlu mengetahui namaku. Paling-paling setelah aku menyebutkan namaku, dia akan bertanya lagi keesokan harinya, atau bahkan salah memanggil namaku. Aku tahu betul itu.

"Oh, oke, Robin," katanya sambil mengangkat bahu, mata hijau nya menatap mataku. Robin? Apa tebakkannya tidak ada yang lebih bermutu? Memangnya wajahku pantas untuk dinamai sekonyol itu?

"Robin?! Nama konyol macam apa itu?" Semburku.

Ia terkikik, "memangnya kau baru sadar kalau ternyata namamu konyol?" Ia terkikik lagi lalu menambahkan, "Robin?"

Aku menggeram, "It's Robert." Kataku dari sela sela gigi yang terkatup rapat. "Dasar cewek aneh, masa bodohlah," gerutuku.

"Oke, oke, maaf. Aku harus berusaha untuk membuatmu tidak jengkel," katanya sambil mengatupkan bibir rapat-rapat.

"Usaha yang payah!" Makiku. "Lagipula kau ini sudah sinting, ya? Tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk seorang putri yang rela meninggalkan istananya sendiri. Aku yakin, sekarang kau pasti sedang berleha-leha sambil menggerogoti daging sapi di kasurmu yang empuk jika kau tidak cukup gila untuk kabur dari sana." Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak mendengus dan memutar bola mata.

"Alasanku sama sekali tidak sinting, kok. Justru banyak sekali orang yang menginginkan hal sekuat dan sedalam ini," ia memandang bintang-bintang sambil tersenyum. Aku penasaran apa yang membuatnya tersenyum, maka aku menoleh dan tidak menemukan bintang berpola aku memakai bikini di langit, tidak ada yang lucu.

"Astaga, kau benar-benar sinting." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku kemudian mengisap tulang paha kijang yang sudah bersih.

Matanya kembali terfokus dan menatap mataku, "Kau tahu tidak kalau sejak lima tahun yang lalu, kerajaanku sering diserang oleh kerajaan Onyxland di saat malam hari?" Matanya menatapku, berharap agar aku tahu jawabannya, jadi dia tidak perlu repot-repot mendongeng untukku. "Dua hari yang lalu adalah penyerangan terakhir mereka. Atau aku berharap itu adalah yang terakhir," ia memutar bola mata dan mencebik sementara aku berpikir keras.

Aku memutar otakku, berusaha memeras segala pengetahuanku tentang negeri ini di malam hari. Aku sama sekali tidak ingat kalau ada kegiatan pada malam hari di desa. Sebab, aku selalu berada di atap salah satu rumah warga untuk tidur. Tidak ada satupun orang yang mengetahui keberadaanku, itu karena mereka tidak pernah keluar dari rumah mereka masing-masing. Suasananya begitu sunyi, tenteram, dan membosankan. Tidak menarik. Mereka tidak bakal menarik perhatian turis sedikitpun. Maka itu aku tahu persis keadaan desa yang selalu sepi pada malam hari, yang berarti sama sekali tidak ada tanda-tanda penyerangan. Dan bahkan dua hari yang lalu, nampaknya terjadi pesta besar-besaran di istana. Itu karena aku mendengar suara meriam yang menggelegar dan percikan api seperti petasan meletup letup di langit. Sementara kerajaan berpesta hura, warga yang lain tidak berani keluar. Bahkan semua lampu dimatikan. Hanya ada satu dua lilin yang ditempatkan di beberapa sudut. Asumsiku sih, mereka kecapekan untuk beraktivitas di malam hari setelah melewati hari yang panjang. Jadi tidak mungkin ada penyerangan pada malam seperti itu. Oh, kecuali...

Aku mencoba menyatukan kepingan-kepingan yang tidak jelas itu. Semakin aku berhasil menyatukannya, semakin besar rasa ngeri yang menyulut indraku. Tidak ada kegiatan warga desa pada malam hari; selalu terlihat membosankan dan tidak menarik; para warga takut keluar dari rumah mereka; suara meriam dan percikan api yang ternyata bukanlah pesta bakar duit seperti yang kukira. Kini aku baru menyadari kalau ternyata mereka bukannya terlalu capek untuk beraktivitas di malam hari setelah melewati hari yang panjang, ternyata mereka takut kalau malam seperti dua malam yang lalu akan terjadi. Mereka takut keluar rumah. Mereka takut terlindas puluhan pasukan berkuda yang bisa jadi melewati desa secara brutal. Mereka takut akan ada anak panah menancap di punggung mereka karena tidak sengaja menghalangi para penyerang untuk lewat. Mereka takut rumah mereka di porak-porandakan jika mereka menyalakan lampu dan membuat kebisingan.

Tidak ada kegiatan warga desa di malam hari. Jadi itu sebabnya. Sudah lima tahun terjadi perang di negeri ini, dan aku sama sekali tidak menyadarinya?

"Hey, kau tahu tidak?!" Suaranya memecahkan lamunanku. Ia mencondongkan tubuh ke depan, berharap bisa melewati jilatan lidah api ini. Matanya menatapku tidak sabaran.

"Ya," jawabku singkat kemudian berusaha terlihat tidak peduli dengan ceritanya. Aku menggigit daging terakhir yang menempel di tulang dada kijangku.

"Nah, kau juga tahu penyebab penyerangannya, kan?" Tanyanya lagi. Tidak, yang satu itu aku tidak tahu. Bisakah dia tidak bermain teka-teki dan langsung saja ke pokok pembicaraan?

Aku menggeleng.

"Jadi, pangeran sulung kerajaan Onyxland hilang di dekat kerajaanku sekitar lima tahun yang lalu. Dan Raja Richard menuduh kerajaanku yang menculik pangeran sulungnya. Padahal sungguh, aku bahkan belum pernah melihat rupanya seperti apa. Dan perang selalu terjadi begitu saja. Kemudian dua malam yang lalu, penyerangan mereka semakin kuat. Itu karena ada pangeran bungsu yang ikut andil dalam penyerangan. Dan pada hari itulah, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan," ia memandang langit-langit sambil tersenyum lagi, matanya tidak fokus. Entah pendengaranku benar atau tidak, tapi nadanya saat bicara berbeda saat menyebut 'pangeran bungsu'. Lalu ia menambahkan, "aku jatuh cinta pada pangeran bungsu, dua hari yang lalu, saat terjadi penyerangan terakhir mereka."

Tunggu, tunggu. Maksudnya apa sih? Kalau dia jatuh cinta, lalu apa hubungannya dengan pelariannya ini? Tidak mungkin kan dia meninggalkan surga dunianya hanya untuk mengejar cintanya? Ha ha. Sama sekali tidak lucu.

"Bisakah kau langsung ke pokok pembicaraan? Aku tidak mengerti. Mengapa kau kabur dari istana?" Aku berusaha mendengus, sekuat tenaga mengenyahkan pikiran sekilasku tadi. Itu sangat konyol.

Ia menatapku lagi, masih dengan senyum idiotnya. "Aku kabur untuk menemui pangeran bungsu, pangeran Jack. Ayahku tidak mengizinkan aku untuk bersamanya, makanya aku kabur dari istana. Aku sudah capek hidup bergelimang perang terus. Aku hanya ingin hidup aman bersamanya, seperti yang sudah ia janjikan padaku."

Pendengaranku tidak salah tentang caranya menceritakan 'pangeran bungsu' itu.

Keheningan menyeruak. Tatapanku kosong, mulutku menganga seperti orang tolol. Tidak mungkin. Dia sangat buruk membuat candaan. Tapi ekspresinya begitu meyakinkan. Tipuan kerajaan lain, tipuan kerajaan lain, pikirku.

"Kau apa?" Aku tercekat.

"Ya, aku tau ayahnya memang bejat tapi, pangeran Jack cinta sejatiku."

"Kau baru bertemu dengan seseorang dua hari yang lalu dan sudah menyebut-nyebut tentang cinta sejati?!" Aku memekik. Ia menggangguk sambil masih tersenyum idiot. Aku tertawa tertahan lalu bicara, "Lucu sekali."

Ia menghempaskan tangannya ke udara, seperti orang kerja yang kecapekan karena dipaksa lembur di malam hari. "Bisakah kau mengatakan sesuatu yang lain selain kata itu? Ekspresimu adalah gabungan dari ekspresi kedua orang tuaku; ibuku menganga seperti orang tolol, tapi ayahku menganggap aku bercanda. Ugh, menyebalkan. Memangnya apa sih salahnya orang yang jatuh cinta? Memangnya jatuh cinta itu dilarang? Jika iya, maka kau tidak usah hidup kalau begitu." Ia mendengus dan melipat kedua tangannya di dada, membuang muka dariku.

Keheningan terjadi cukup lama. Butuh waktu satu menit penuh untukku menyerap semua cerita tentang perang kerajaannya. Tapi aku tidak bisa berpikir ke masalah perang itu, otakku terlalu memerhatikan kesintingannya. Bayangkan saja, apa reaksimu jika kau mendengar seseorang meninggalkan se-istana penuh emas hanya untuk mengejar... orang yang ia anggap cinta sejatinya. Entah mengapa semua perkataannya tentang perang antarkerajaan hanya terdengar seperti genta angin di telingaku. Aku sudah lupa sepenuhnya tentang hal itu, pikiranku benar-benar tersita sepenuhnya. Walaupun aku tahu bahwa aku harus menanyakan tentang sejarah perang itu suatu hari, tapi tidak sekarang. Aku ingin menyelesaikan satu masalah yang menyumbat otakku untuk berpikir.

"Well," suaraku parau. "Mungkin itu normal-normal saja bagi orang biasa. Tapi bagimu... Astaga. Bayangkan, kau meninggalkan surga duniamu hanya untuk bersama dengan orang asing yang kau anggap cinta sejatimu?" Ujarku dengan sangat lambat karena otakku yang terlalu sibuk untuk menyusun kata-kata. Mulutku masih menganga saat berbicara, "kau sinting."

Ia mendengus dan mengangkat dagunya. "Memangnya apa bedanya antara aku dan orang biasa? Kami sama-sama manusia, kok. Kami sama-sama berhak untuk jatuh cinta. Dan masalah harta, toh, aku tidak mau memiliki emas yang terlalu berlebihan. Aku lebih memilih untuk menjadi orang biasa yang normal, bebas, dan tidak menjadi pusat perhatian. Aku hanya ingin itu. Itu sudah lebih dari cukup bagiku." Semburnya dengan tangan yang bergerak-gerak di udara.

Mudah saja baginya untuk berkata begitu. Memangnya dia bisa bertahan hidup jika tanpa segudang penuh emas dan pelayan yang patuh seperti anak anjing? Memangnya dia mau bangun pagi-pagi sekali untuk berburu dan pergi di sore hari untuk menukar buruannya di pasar gelap Fodz? Makan daging kijang matang saja tidak mau, apalagi melakukan semua itu.

Sudahlah, aku malas berdebat dengannya sekarang. Lagipula apapun yang dialaminya bukanlah urusanku. Dan bakalan terlihat tolol kalau aku marah-marah tak beralasan padanya sekarang. Dia yang gila, dia yang sinting, dia yang tolol, dan itu bukan urusanku.

"Oh, begitu." Jawabku malas-malasan, padahal wajahku sudah terbakar karena marah mendengar perkataannya yang meremehkan uang. Tapi seperti kataku tadi, lebih baik diam saja dan mendengarkan. Apapun yang kukatakan, itu tidak bakal merubah jalan pikirnya. Bahunya mulai merileks dan kembali bersandar di batang pohon.

Ada sesuatu yang lebih menyenangkan sekarang, daripada membiarkan wajahku terbakar amarah mendengar perkataannya. Lebih baik menggoda kepolosannya daripada membentakinya seperti budak, ya kan?

"Biarkan aku memberikanmu beberapa pertanyaan mudah," kataku sambil mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan senyum. Kemudian aku melanjutkan, "Dia cinta sejatimu kan? Lalu, siapa nama panjangnya?"

Matanya berputar, keheningan terjadi selama setengah menit, tapi kemudian ia menggigit bibirnya sebelum dengan sok mantap menjawab, "Jack-of-the-nourth-Onyxland." Logat bicara orang kaya sedikit terdengar dari nada bicaranya.

Oke, kita semua tahu bahwa tidak ada nama yang seperti itu, kan?

Tetapi aku mengabaikannya dan melanjutkan, "warna kesukaannya?" Seringaianku terbentuk.

Selama beberapa detik hening, lalu dia mengangkat dagu dan menjawab, "mungkin hijau lumut, dia memakai baju warna itu saat bertemu denganku."

Oke, MUNGKIN. Itu cukup bagiku.

Rupanya aku sedang berbaik hati malam ini karena terus berpura-pura percaya padanya dan melanjutkan, "makanan favoritnya?" Seringaianku sudah selebar seringaian kuda sekarang.

Tanpa berpikir ia menjawab, "kepiting rajungan. Semua orang suka makanan itu." Matanya selalu menolak menatap tatapanku, melainkan melirik jari tangannya yang saling bertautan.

Oke, SEMUA ORANG. Sama sekali tidak spesifik dan siapapun bisa menjawab sama seperti jawabannya.

Aku berdeham, tersenyum jahil dan mencondongkan tubuh ke arahnya. "Ukuran kakinya?" Lihat seringaianku, itu adalah seringaian terhebat dan termencekam dari yang sudah-sudah.

Ia menunduk, tapi kemudian dengan cepat membalas tatapanku lagi, "ukuran kaki tidaklah penting jika aku mencintainya!" Pada saat itulah wajahnya memerah seperti kepiting rebus dan aku tidak bisa menahan tawaku lagi.

Tapi aku belum selesai, ada satu lagi pertanyaan yang kuingin dia jawab. "Bagaimana kalau kau tidak suka dengan caranya mengupil?" Matanya membelalak, ia hendak menjawab sebelum aku menginterupsi. "Dan memakannya?"

Lalu ia mengeluarkan suara jijik dan memutar bola matanya. "Excusme, he's a prince!" Katanya kemudian melipat kedua tangan di dadanya lagi.

"Semua laki-laki melakukan itu," kini bahuku kembali rileks dan membuang tulang belulang kijang ke balik-balik semak. Aku mengeluarkan persediaan air minum yang kuambil dari sungai tadi siang. Masih lumayan penuh, tapi aku tidak mau mengambil resiko untuk meminumnya terlalu banyak.

"Aku tetap tidak peduli. Lagipula, kelebihannya terlalu banyak hingga membuat kekurangan yang dimilikinya sama sekali tidak nampak." Tuturnya tanpa emosi, seperti sedang berusaha menahan gairah kegembiraan yang meluap-luap dari dalam dirinya. Walaupun aku tidak tahu apa penyebabnya.

Aku baru ingin mengejeknya lagi ketika dua detik kemudian aku tersadar. Tentu saja, bodoh. Pikirmu dia akan meninggalkan emasnya yang berlimpah hanya untuk mengejar cinta sejatinya saja? Iya, atau aku sempat berpikir begitu. Pikirmu pangeran Jack tidak memiliki emas yang sama banyak seperti yang dimilikinya? Tentu saja pangeran itu juga sangat kaya raya. Bahkan dibilang kaya raya saja tidaklah pantas. Ternyata aku salah. Ternyata aku salah menganggap dirinya yang meremehkan emas, ternyata dia tidak kehilangan emas secuil pun. Emas datang dan pergi sesuai keinginannya. Atau yang dimaksudkan disini adalah emas tidak pernah benar-benar pergi darinya.

Entah kenapa amarah kembali membakar wajahku. Aku memikirkan semua kata-katanya yang seolah-olah dia tidak membutuhkan emas padahal dia sudah memiliki selusin gudang penuh yang seperti itu. Bukankah itu namanya tidak bersyukur? Berusaha mengenyahkan kenikmatan yang dimilikinya sementara aku rela mengais-ngais tong sampah--jika diperlukan--untuk mencari makanan. Sementara dia membakar semua emasnya, aku harus banting tulang hanya untuk sesuap nasi.

Aku tidak tahu apa perasaan yang kualami sekarang, tapi rasanya aku tidak kuat lagi untuk menghadapi hari-hari kedepan bersamanya dan ingin segera pergi dari sini. Seorang putri berbicara dengan seorang gembel. Hah. Pembicaraan yang sangat menyenangkan!

Aku bangkit dan menendang sisa-sisa tulang kijangku yang sudah tinggal serpihan-serpihannya ke balik semak-semak, kemudian mataku jelalatan mencari pohon yang memiliki batang lebar dan pas. Kalau di hutan, biasanya aku tidur di atas pohon supaya aku bisa melihat bahaya apa saja yang kira-kira bakal menyerangku dari ketinggian. Tapi aku lebih sering tidur di atas atap salah satu warga desa daripada di hutan. Setidaknya, di desa tidak ada desas-desus tentang anjing liar kelaparan yang keluar di malam hari.

"Mau kemana kau?" Tanyanya dan mendongak menatapku. Pada saat itulah aku sadar kalau dia memerhatikan ekspresi wajahku yang berubah mengeras, dan menimbulkan tawa bergemerincing aneh dari kerongkongannya.

"Lebih baik tidur daripada mendengarkanmu," kataku dan mulai menghampiri sebuah batang pohon beringin yang letaknya sangat dekat dari perapian. Aku sudah terlalu mahir untuk urusan yang satu ini, karena aku selalu menunggu buruanku di atas pohon. Bisa dibilang, memanjat pohon adalah makanan sehari-hariku.

Baru beberapa meter aku memanjat, aku sadar tatapannya mengunci setiap gerak-gerikku. "Kau bilang tadi mau tidur?"

"Memang," sahutku. Suaraku tidak begitu jelas karena napasku yang memburu, sementara aku masih berusaha mencapai batang yang kokoh dan besar yang berada satu meter diatas kepalaku.

Kemudian aku mendengar tawanya lagi, kini terdengar jauh berbeda, lebih seperti keselek daripada ketawa. "jangan bilang kau tidur diatas pohon?" Tidak terdengar apa-apa selain deru napasku yang terdengar jelas, sementara aku hanya bergumam kecil mengiyakannya. "Sungguh, kau adalah pria paling tolol yang pernah kukenal," katanya.

"Trims," sahutku tak acuh. Tidak lebih dari dua menit untuk ku sampai di batang pohon yang setinggi lima meter dari tanah. Aku suka ketinggian, ketinggian adalah separuh napasku. Justru sebaliknya, aku sangat membenci dataran rendah seperti rawa atau kawah. Itu bakal membuatku menjadi sasaran empuk bagi hewan buas atau bahkan musuhku sekalipun. Dan aku sama sekali tidak mau berada di posisi selemah itu.

Sementara aku membuka ikat pinggang dan membelitkan pinggangku dengan batang pohon, aku masih bisa merasakan tatapan sintingnya menginterogasiku.

"Astaga, ternyata kau lebih memilih jatuh dari ketinggian lima meter daripada tidur satu tanah denganku? Berani sumpah, aku juga jijik membayangkannya." Aku tidak bisa melihat wajahnya dibawah keremangan bulan, tapi aku bisa melihat ekspresinya yang mengeras karena kesal. Berusaha untuk mengabaikanku, akhirnya ia bergelung merapat dengan pohon dan membuat jarak aman antara dirinya dan perapian.

Aku terkekeh ringan, tapi ia memaksa matanya menutup tidur supaya terlihat dia tidak peduli dengan kata-kataku. "Jangan salah sangka dulu, tuan putri yang mulia. Aku senang-senang saja tidur satu tanah denganmu, atau bahkan aku bersedia jika kau memintaku untuk menghangatkan tubuhmu dengan pelukanku," ia memeluk tubuhnya erat-erat dan mengerutkan alisnya sambil masih memaksa matanya untuk menutup. "Tapi aku harus mengawasi tempat kamping kita. Kau tidak mau mati digerogoti anjing liar, kan?" Aku terkekeh lagi.

Seketika itu juga, matanya membelalak, sarat kengerian terlihat jelas disana. "Anjing liar?" Pekiknya. "Tidak mungkin ada semacam binatang buas seperti itu di hutan! Kalau memang iya, ayahku sudah memasang pagar berlistrik yang memisahkan desa penduduk dengan binatang buas yang hidup di hutan ini!" Tuduhnya. " Lagipula kalau memang ada binatang semacam itu, bukankah gerombolan mereka sudah datang ke tengah desa dan mengacaukan keadaan disana? Tapi dari laporan yang kudengar selama ini, rasanya kehidupan mereka tidak pernah diganggu oleh binatang liar... Dan ayahku tidak akan membiarkan warga desa tanpa perlindungan seperti itu..."

Merasa bahwa suaranya yang cempreng terdengar seperti anak kecil yang merengek tak berguna padaku, aku merosotkan tubuh di batang pohon, mengabaikan rengekannya. Aku tidur telentang menghadap langit, dengan sebelah tangan yang kugunakan sebagai bantal, sementara tangan yang satu lagi kugunakan untuk memeluk busurku erat-erat. Metode ini selalu berhasil setiap aku mencobanya, jadi aku harap aku tidak bangun dengan tulang rusuk yang patah esok pagi.

Ia masih marah-marah tak tentu arah setelah mendengar kabar tentang anjing liar tadi, suaranya begitu menggangguku sampai-sampai aku berharap setengah mati agar dunia mimpi menyeretku kedalamnya.

Tapi aku menyesal telah tertidur. Rasa keinginan setengah mati untuk bermimpi tadi telah menelanku hidup-hidup. Aku berharap bisa mendengar suaranya lagi dan membangunkanku dari mimpi buruk ini. Mimpiku tidak terlalu jelas, tapi cukup untuk membuat keringat dingin merembes dari keningku. Disana ada aku, Phillies, dan beberapa pria berkuda yang mengikuti setiap langkahku dan Phillies. Kami berada di hutan, berkuda bersama, tapi aku tidak pernah melihat hutan yang itu sebelumnya. Mereka tidak sedang mengejarku dan Phillies, tapi kami lebih terlihat seperti pasukan. Aku tidak mengenal mereka, tapi anehnya wajahku tidak memancarkan ekspresi ketakutan sedikitpun, aku bahagia. Ya, aku bahagia sampai ada percikan api di pohon yang merusak semua itu. Api menjalar begitu cepat, pasukan berkuda yang tadinya membentuk formasi rapi berhamburan jauh ke dalam hutan. Karena aku menunggang Phillies, dan Phillies larinya sangat cepat, aku berada jauh didepan mereka, bermeter-meter meninggalkan pasukanku yang sudah terbakar oleh api yang sangat dahsyat. Begitu jauh kami berlari hingga aku sadar kalau hutan ini akan ada ujungnya. Kami berhenti di tepi tebing, terjebak oleh api yang memojokkan kami dari sisi depan dan samping. Satu-satunya jalan keluar adalah aku melompat dari tebing, dan berusaha sekuat tenaga untuk mendarat dengan selamat di laut nun jauh di bawah sana.

Aku melompat. Meninggalkan Phillies di atas, membiarkan Phillies mati. Rasa bersalah dan menyesal merasuki tulang rusukku. Tapi rasa penyesalan itu tidak bertahan lama disana sampai ada air laut asin yang menguasai tubuh dan pikiranku seutuhnya. Aku megap-megap di dalam air, tapi aku tidak bisa menemukan udara segar, aku justru meminum air asin itu hingga rasanya tenggorokanku seperti terbakar. Kaki dan tanganku bergerak tak tentu arah, mengepak-epak seperti ikan yang menggelepar di tanah kering. Tapi ombak berhasil mengalahkanku, membuat tubuhku terisi air sepenuhnya dan menyeretku kedalam kematian yang semakin dalam terasa...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar