Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Live And Let Die



PROLOG

Langley, Virginia, sebelah barat Washington, D.C.

"Wilch, tetap pada saluran satu."

"Yes, sir."

"Ray, apa ada kabar terbaru?"

"No, Sir. Tidak ada perkembangan sejauh ini."

"Sir," Pria botak dengan kemeja putih itu melepaskan aerphone dan meneliti layar komputernya yang menampakan beberapa rekaman penerbangan dari beberapa dunia. "Aku melihatnya!" Serunya,

Pimpinan nya--Pria bertubuh tegap dan rambutnya yang sedikit memutih dipotong pendek rapi dengan sigap mendekat pada si botak.

"Ulangi rekaman." Katanya penuh semangat. "Wilch sambungkan ke server satu." Lanjutnya.

Semua hening.

Mata mereka fokus pada rekaman samar; Meneliti tiap-tiap manusia yang direkamkan oleh kamera CCTV di Bandar Udara Internasional Leonardo da Vinci, Italia. Hingga akhirnya sosok itu muncul. Memakai jaket Diadora mahal, jeans lusuh, topi abu-abu dan sneakers.

Semua orang bersorak. Akhirnya. Pada akhirnya mereka menemukannya. Menemukan mantan agen nya yang telah lama hilang. Dua tahun menghilang semenjak misi pembunuhan rahasia yang dilakukan oleh pria itu gagal dan membawa bencana pada pihak CIA.

Semua orang tidak mengerti kenapa pria itu harus di tangkap. Bukankah pria itu adalah mantan agen nya yang bekerja dengan sangat baik. Profesional berpengalaman, penembak jitu, memiliki integritas tinggi, persepsi, kemampuan analitis dan keingintahuan
intelektual dan menjadi kapten agen yang menangani semua masalah kejahatan?

Pria itu seharusnya di beri penghargaan. Ia melakukannya sendiri. Merencanakan pembunuhan sang diktator yang keji--Yang selalu siap menindas siapa saja yang menghalangi jalannya. Ia juga yang melakukan pembunuhan itu sendiri. Dengan keberaniannya. Dengan tangannya. Dengan senjata kebanggaanya. Walaupun pria itu gagal, tapi sebagai gantinya sebuah rahasia besar telah terungkap.

Tentang seseorang yang telah menjadi inspirasi hidupnya. Tentang seseorang yang selama ini ia anggap sebagai pemimpin yang tangguh dan berwibawa.

Orang yang di percayainya.

Luke William.

Hanya dia. Hanya pria malang itu yang mengetahuinya.

Hanya Rob. Robert Pattinson.

Dan Luke tidak ingin pria itu memberitahu siapapun tentang rahasianya.

Oleh sebab itu, ia meminta para agen nya untuk mencarinya--dan
membunuhnya.

"Sir," Taylor, pria kurus itu memanggilnya, "Terjadi kesalahan, Sir. Rekaman CCTV dari Italia ternyata terjadi pada dua bulan yang lalu." Ia membenarkan posisi kacamata setengah bulannya, "Laporan terbaru datang dua jam yang lalu dari Port Authority Bus Terminal di Eighth Avenue dan 42nd Street bagian Manhattan, New York City, sir." Katanya lagi lalu duduk di meja komputernya dan diikuti pemimpin itu. Taylor memasuki kode jaringan yang akan langsung memasuki rekaman rahasia.

"Josh, masukan kode jaringan, masuk ke server dua dan pantau." perintah Luke tegas.

"Selama ini ia berpindah-pindah tempat. Pattinson pergi ke bagian Eropa Barat; Belanda, Swiss, Belgia, Pulau Man, Irlandia, dan Gibraltar."

"Ia kembali," Gumam Luke. Taylor menarik napas, "Pattinson terlihat di Forks minggu lalu, dan dua hari yang lalu di Seattle. Kemungkinan ia di terminal untuk melanjutkan perjalanannya."

"Kemana?"

Taylor mengamati layar monitor. Deretan hijau telah selesai menuju tujuan. Ia mengklik Ok dan terlihat deretan jadwal perjalanan yang dilakukan pria itu.

Wyoming.

Luke gemetar. Apa yang dilakukan pria itu? Ia ke Wyoming? Ketempat asalnya? Selama dua tahun Luke mencarinya kemana-mana dan sama sekali tidak menemukan batang hidungnya dan setelah pria itu kembali ke Amerika, seharusnya pria itu datang kerumahnya. Atau kekantornya. Membongkar semua rahasianya. Memberitahu pada semua orang--para agen nya bahwa Luke adalah seorang pengkhianat besar. Lalu membunuhnya--atau menjebloskannya ke penjara.

Rencana itulah yang ditakutkan Luke selama ini. Ia takut Rob akan datang lalu mencekiknya di saat ia tertidur. Atau memberitahu pada dunia tentang semua rahasiannya. Atau apapun yang akan pria itu lakukan padanya.

"Sir," Lagi-lagi taylor berkata, Luke menegakkan badannya dan menghembuskan napas nya yang sedari tadi ia tahan.

'Bernafaslah brengsek!'

"Kau tak apa?" Taylor menatap Luke dengan teliti. Setetes peluh mengucur dari dahinya dan menghilang di balik kerah kemeja mahalnya.

"Aku baik." Luke berbalik dan melepaskan kacamata kotaknya, menghapus sisa keringat yang merembes di matanya. "Kirimkan dua agen kita ke lokasi. Tangkap dia dan bunuh." Perintahnya penuh dengan penekanan emosi.

'Kau akan mati bersama dengan kisah hidupku, Pattinson.' Bisiknya dalam hati.

Sebelum ia membuka kenop pintu seseorang memanggilnya, "Sir,"

Luke berbalik, "Apa?"

"Ia tidak sendiri." Lagi-lagi Taylor berkata. Kini, buluk kuduk Luke hampir berdiri tegak sendiri. Debaran jantungnya tambah menjadi-jadi.

Ia tidak sendiri?

Luke berjalan kearah kantor Taylor, memakai kembali kacamata kotaknya lagi dan membungkuk agar mata dan komputer nya sejajar.

Benar. Rob tidak sendiri.

Rekaman itu hanya berlangsung lima belas detik. Ketika pemutar berhenti pada detik ke tiga belas, barulah Rob terlihat. Bersama dengan seorang wanita.
Mereka berdiri berhadapan, tangan Rob berada di pinggang wanita--seperti menahannya agar tidak terkapar di lantai atau semacamnya. Wajah mereka saling berhadapan. Dan setelah itu rekaman berpindah ke lain sisi.

"Sialan!" Luke mengumpat.

"Ray, aku ingin identitas perempuan itu segera!" Luke mendesis.

Bukan hanya Rob saja yang menjadi ancaman baginya. Tapi wanita itu juga.

Rob telah membawa wanita itu masuk kedalam jurang yang dalam. Penuh dengan ranting pohon yang tajam. Ia membawa gadis itu kedalam masalah besar. Ketakutan Luke telah membuat ia berpikir gegabah. Jika Rob dekat dengan seseorang, maka orang itu harus di musnahkan. Ia berpikir bahwa Rob telah menjalani hubungan dengan gadis itu dalam waktu yang cukup lama. Ia juga berpikir bahwa selama dua tahun terakhir ini Rob tengah bersembunyi bersama gadis ini. Luke takut kalau selama ini Rob telah membeberkan rahasiannya pada gadis ini.

Maka demi itu Rob membawa gadis ini pergi. Pergi bersama dengan rahasia di genggamannya.

"Sir," Lagi-dan-lagi seseorang mengganggu lamunan jahatnya. "Gadis ini bernama Kristen Stewart. Umur dua puluh empat. Orangtua nya tinggal di Malibu sedangkan ia tinggal di Manhattan bersama kakaknya. Ia pergi ke terminal Port Authority tiga jam yang lalu, satu jam sebelum Rob datang. Mereka bertemu dan memesan tiket. Wyoming adalah tujuan mereka bersama."

Tepat. Pemikiran Luke tepat. Mereka memang pergi bersama-sama. Dan Luke tidak akan membiarkannya.

"Wilch!"

Romeo Wilch--Pria dua puluhan--Berwajah tampan, berwibawa mempunyai Integritas tinggi itu mengangkat kepalanya, memandang wajah pucat pemimpinnya.

"Yes, sir"

"Apakah agen kita sudah di lokasi?"

"Yes, sir."

"Dimana tepatnya?"

Wilch memandang monitor dan menggeser kursor lalu mengklik 'search location' beberapa detik kemudian terpampang bintik-bintik merah yang berkelap-kelip di sebuah peta elektrik. Wilch mengangkat kepalanya lagi. "Meksiko barat, sir. Sedang dalam pengejaran. Au23 merah 214 adalah bus yang di tumpangi sasaran."

"Bagus. Tetap pada rencana A,"

"Yes, sir"

Ketika ia berbalik ia teringat dengan gadis itu. "Wilch,"

Wilch megangkat kepalanya lagi, matanya memandang punggung Luke yang sudah basah oleh keringat. "Yes, sir"

"Ubah rencana."

Wilch mengangkat alisnya.

"Taylor, berikan Executive Summary gadis ini pada Wilch, dan Wilch..." Luke membuka pintu baja dengan tangan nya yang dingin berlumuran keringat. "Katakan pada agen satu untuk membunuh Pattinson, dan agen dua untuk membunuh gadis itu."

Sebelum Wilch serta yang lain membantah atau bertanya, Luke sudah menghilang dari balik pintu baja senor dan meninggalkan serentenan pertanyaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar