Kristen PoV
Pikiranku membajak diriku sendiri seperti mimpi buruk yang sedang menimpaku dari segala arah. Dengan kekuatan super aku memerintahkan otakku untuk berpikir cepat dan menemukan cara untuk mengatasi rasa takut kali ini. Tapi ternyata otakku terlalu macet dan terasa buntu, terlalu banyak pikiran yang berkecamuk dalam otakku sehingga mempersulitku untuk sekedar berpikir.
Aku berteriak, atau mungkin mencoba untuk berteriak saat penyerangku memutar tubuhku dan menarik kebelakang menjauh dari pintu oleh sebuah tangan yang kuat. Aku berusaha untuk menendang kursi atau apapun yang bisa ku jadikan perlawanan tapi penyerangku tetap tidak mau melepaskanku. Aku berusaha menendang ke belakang tapi sayangnya seranganku yang lemah dengan cepat dapat dihindari.
Oh Tuhan, apakah hidupku harus selalu seperti ini? Diserang. Diserang. Dan diserang?
"Kau terlalu cantik untuk dibunuh"
Perlawananku berhenti saat aku mendengar suara berat itu, "Seharusnya dia menjagamu, tapi pria itu malah meninggalkanmu.
Terlalu cantik untuk dibunuh?
Dibunuh?
Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang tajam menusuk leherku. Oh! Rasanya sakit menyengat, seperti ada sesuatu yang mengalir di dalam tubuhku yang membuat diriku lemas dan hampir secepat itupun ruangan itu berputar, lalu aku mendengar pria itu berbisik pelan, "Sir, agen B selesai."
"Kau yakin?"
Mataku yang kian berat kini melebar saat aku mendengar suara lain. Dengan sedikit kekuatan yang aku punya, aku berusaha untuk mengintip ke sekitar ruangan gelap tapi tidak ada sesuatu yang aneh yang kutemukan. Tangan penyerangku menegang dimulutku saat ia melepaskan tangannya dari tubuh dan membuat aku jatuh terkapar di lantai.
Tubuhku remuk redam ketika menabrak lantai dengan benturan kencang.
"Pattinson? Kau disini?" Suara penyerangku sedikit gemetar saat ia maju selangkah. Aku bertanya-tanya siapa sih Pattinson itu? Lalu dimana ia? Aku tidak melihatnya. Aku tahu aku tidak bisa karena seluruh tubuhku mulai lemah, setiap saraf dalam tubuhku mengangkat tangannya dan menyerah untuk bereaksi. Pandanganku kabur dan hanya terfokus pada sepatu pantofel penyerangku saja. Aku pikir aku hanya berhalusinasi.
Tidak ada orang lain disini. Tidak kecuali aku dan penyerangku.
Sekarang, semuanya sangat berat dan nyeri: tungkai, kepala, kelopak mata, tak ada yang mau bergerak. Mata dan mulutku tertutup, tak ingin terbuka, membuatku
buta dan bisu oleh kesakitan. Ketika aku muncul dari kabut, kesadaran mengambang, aku mulai berusaha untuk membuka kelopak mataku lagi saat aku mendengar seseorang berkata, "Aku. ya aku."
"Bagaimana bisa? Kau? Oh sialan!" Lalu dalam kabutku penyerangku mengambil sesuatu dari belakang kantongnya kemudian terdengar suara 'klik' dan tangannya yang memegang benda itu—Seperti tindakan pertahanan—tera
"Beritahu aku sesuatu, James. Apakah kau akan membunuhku?"
Kabut datang menyelimutiku. Aku melawan kabut ini.. Melawan. Tapi semakin aku melawan malah membawaku ke dalam ketidaksadaran.
"Bukan hanya aku. Tapi kami semua akan membunuhmu." Suara penyerangku semakin bergetar ketika aku mendengar suara derap langkah kaki mendekat.
Kabut menyelimutiku semakin banyak. Semua pancaindra ku tidak dapat di fungsikan dan aku ditarik ke dalam... Semakin dalam.
Dan untuk terakhir kalinya aku mendengar suara letusan sebelum dunia mulai menghilang dan memudar lalu menelanku masuk kedalam ketidaksadaran.
***
Mimpiku sangat aneh. Aku tidak bisa mengungkapkanny
Diamana aku? Oh persetan lah. Aku tidak peduli. Aku terlalu menikmati momen ini. Angin berhembus membuat rambutku seakan-akan menampar wajahku. Lalu aku mendengar suara klakson mobil dan deru kendaraan. Angin semakin menamparku ketika aku merasa seperti berlari. Gerakannya sangat cepat lalu tiba-tiba melambat. Suara klakson lagi dan aku berputar, lalu melambat, semakin melambat lalu berjalan dengan cepat.
Oh ini menyenangkan. Walau kepalaku pusing setengah mati dan tangan ku terasa nyeri. Lalu seperti gelombang pasang yang menabrak karang dengan hujaman kencang, aku terperengah. Deruman mobil? Klakson? Hah?
Aku membuka mataku, dan untuk sesaat, ada hening dan tenang. Yang pertama kali aku lihat adalah pohon-pohon kering yang bergerak, tanah kering bewarna coklat terang dan pembatas jalan. Lalu bunyi klakson mengagetkanku dan munculah mobil van di sampingku.
"Selamat pagi."
Aku terperanjat kaget seperti karet memantul ketika mendengar suara disampingku. Oh ya ampun! Pria itu! Pria yang bersamaku di bus. Bagaimana bisa aku sampai di sini?
Kenangan samar dari malam sebelumnya datang perlahan-lahan kembali menghantuiku. Ditarik oleh seseorang, dibekap, oh tidak, rasa menyengat di leherku, orang asing selain penyerangku datang, dan kemudian letusan. Oh tidak. Oh tidak. Oh tidak. Aku menjerit ngeri dalam hati.
"Apa yang kau lakukan?" Kataku memandangi pria disampingku. Oh, dia terlihat tampan dengan rambut coklat pirang perunggu nya yang berkibar karena angin, rahangnya kokoh dan hidungnya yang mancung.
Ia menatapku sekilas sebelum terfokus kembali ke jalanan, "Menyetir"
Ya sialan. Aku tahu itu. "Kau menculikku? Dimana aku?"
Ia tertawa pelan. Apa yang ia tertawai? "Tidak." Ia menggelengkan kepala, "Aku tidak menculikmu. Dan kau ada di mobilku."
"Bagaimana aku sampai di sini?" Suara ku kecil, nyaris mencicit.
"Kau dibius jatuh terkapar tak berdaya di lantai. Tidak banyak yang bisa ku lakukan selain mengangkatmu dan membawamu kesini."
Oh? "Kau tahu siapa penyerangku? Maksudku, orang yang membiusku?"
Otot rahangnya mengencang tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Tidak."
Aku tidak percaya padanya. "Oh ya? Lalu bagaimana kau bisa sampai disana? Menolongku bak ksatria kegelapan?"
Ia tersenyum sinis dan menggeleng. "Aku hanya tahu. Aku bukan ksatria kegelapan atau hal bodoh lainnya. Bisakah kau diam?"
Dia menyebalkan. "Kemana kau akan membawaku pergi?" Aku tidak mengenal jalanan ini. Yang terpikir olehku bahwa ini adalah jalan besar, ada palang menunjukan rute dan jalur-jalur panjang. Ketika aku menatapnya lagi angin berhembus kencang melewati kaca jendela yang terbuka. Dan disanalah aku melihat luka kecil di pelipis kanannya.
"Aku akan mengantarkanmu pulang. Wyoming bukan? Kita akan berpisah disana."
Oh—oh? Serius? Shit dobel shit! Aku bahkan tidak ingat tujuan awalku. Ia akan membawaku ke Wyoming, dimana aku mengatakan bahwa aku akan mengunjungi kakak ku yang menikah? Kebohonganku masih berlanjut. Tapi mengapa ia mau repot-repot menumpangkan aku di mobilnya?
Ini tidak masuk akal. Semuanya tidak masuk akal. Maksudku, ada yang menyekap dan membiusku dirumah sakit, pria itu datang untuk menolongku dan membawaku pulang ke Wyoming? Aku tidak pernah memintanya untuk membawaku. Apa pedulinya dia sih?
Pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi dan aku memejamkan mataku untuk meredakan gelombang vertigo yang melandaku. Aku masih bingung tentang kejadian yang terjadi dari dua hari yang lalu.
Bus di tembak. Masuk rumah sakit. Di tarik dan disekap di ruangan gelap. Diserang dan di suntik cairan pembius. Orang asing datang mengibarkan kain terbangnya. Terbangun dalam keadaan linglung di dalam sebuah mobil yang tak kukenal. Dan terakhir ada pria asing yang mau menawarkan tumpangan tanpa diminta. Oh betapa anehnya hidupku?
Aku mamainkan tanganku di lututku, sadar bahwa tanganku masih di balut oleh perban, "Kau benar-benar tidak akan menyakitiku kan?"
Ia menyalakan sen dan mobil bergerak ke kanan, "Tidak."
Bagus. "Tujuan kau mengantarku ke Wyoming sungguhan kan?"
Ia mendesah. "Aku juga akan ke Wyoming. Jadi tidak perlu di khawatirkan."
"Bisa saja kau melemparkanku keluar ketika aku tertidur nyenyak dan meninggalkanku di kota antah berantah ini." desisiku padanya.
"Oh, girl, aku bisa melakukannya jika aku mau." Matanya menyipit, dan kemudian dia menyeringai
jahat. "Sekarang."
Oh sialan. Dia pria sialan.
Aku menyilangkan tanganku di dadaku. Berhati-hati untuk tidak melukai lukaku. Lalu aku melihat ke arah tulisan di tape stereo mobil menunjukan pukul 09:10.
Pukul sembilan? Sudah berapa lama aku tertidur?
"Apa aku tertidur cukup lama?" Tanyaku ketika mobil bergerak cepat.
"Hampir dua belas jam"
Hah? "Dua belas jam?" suaraku melengking.
Ia menatapku dengan tatapan sinis, "Kau dibius bodoh."
Oh yeah.
Ia menekan tombol pada MP3 nya dan lagu Pumped Up Kicks dari Foster the People mengalun. Hmm.. Aku suka lagu ini. Liriknya unik dan yang paling menyenangkan itu saat ada siulan di bagian interlude-nya.
Oh-oh-oh
Aku memainkan jari-jariku di lututku mengikuti irama lagu. Lalu aku teringat dengan pria itu. Pria yang belum ku tahu namanya.
"Omong-omong," Aku memulai. "Siapa namamu?"
Ia melirik ku sekilas, "Siapa namamu?" Tanyaku sambil memandang keluar jendela.
Kenapa aku merasa malu?
"Rob," katanya, umm, ia hanya memberitahukan nama pada versi pendek saja?
"Hanya Rob?" Aku megangkat alis.
"Robert." Oke. Dia Rob. Robert.
Aku mengangguk dan memandang kearah luar. Melihat sekitar dua sampai tiga mobil mogok di jalur kiri dan ada beberapa mobil yang hanya sedang istirahat. Beberapa orangtua disibukkan anaknya yang merengek ini itu dan ada juga para laki-laki yang menenteng dua botol bensin.
"Namamu?"
"Hah?" Aku berpaling kearahnya.
"Tidak adil jika hanya kau yang tahu namaku." Ia tersenyum, dan oh! seyuman itu...
"Namamu?" Tanyanya lagi.
"Kristen."
Ia mengangguk.
"Jadi kakak mu akan menikah waktu dekat ini?"
Sejujurnya aku sama sekali tidak ingin membahas tentang Wyoming atau kakak ku yang menikah atau segalanya tentang kebohonganku. Sekali aku harus berbohong, dan selama itulah aku akan merasa bersalah. Aku tidak tahu dimana Wyoming dan bagaimana bentuk serta isinya. Yang aku tahu, Wyoming sama saja dengan Texas: Tanah lapang, sepatu boot, dan kedai kopi.
Kenapa aku memilih Wyoming?
Kenapa? Ingin sekali aku mencabik-cabik diriku sendiri karena memilih Wyoming berdasarkan pria yang menabrakku di terminal. Aku berkendara sejauh bermil-mil dan bahkan tidak ada tempat yang ingin kutuju ketika aku sampai di sana. Lalu dimana pria ini akan mengantarku? Dirumah seseorang yang tak ku kenal? Tidak. Hal konyol gila dan tak waras. Mungkin aku akan meminta untuk memberhentikan ku di suatu tempat dan berjalan ke terminal.
Sial, berpegian sendiri lagi? Bagaimana jika ada orang-orang yang akan menggangguku? Atau mungkin akan ada penembak misterius dan tak akan ada lagi yang melindungiku?
Aku meringis diam-diam.
Atau aku harus pergi dan menggunakan kartu kreditku dan membeli tiket pesawat untuk pulang?
Tidak, aku belum siap untuk itu. Aku tidak akan siap sebelum waktunya. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku tahu aku belum siap kembali Kesana.
Aku hanya tidak bisa.
"Hei."
"Ya?"
"Kau tak apa?"
"Aku baik. Serius." Aku mengubah posisi dudukku dan menyadari bahwa badanku amat sangat pegal dan serasa ingin retak. "Kakakku akan menikah sekitar lima hari lagi." kataku dengan senyum setengah.
"Berapa usia kakakmu?"
"Dua enam," Well, berbohong masalah usia tidak masalah kan?
Ia mengangguk, "Cukup muda."
"Yeah. Terkadang menikah muda itu menyenangkan." Mengingat aku dan Edward sama-sama memutuskan untuk menikah pada usia dua puluh dua.
Rob menatapku menyelidik. "Berapa umurmu?"
"Dua empat"
"Kau sudah menikah?"
Aku tertawa, "Tidak. Maksudku belum. Mengapa?"
Robert tersenyum dan ia terlihat semakin berbinar oleh pendar lembut sinar matahari. "Tidak. Aku pikir kau sudah menikah."
Hampir menikah tepatnya. "Memang mengapa jika aku sudah menikah?"
Ia menatapku sekilas sebelum berbelok untuk mengambil jalur lainnya. "Membawa istri orang dalam mobil yang sama bersama pria asing, ku pikir berbahaya. Aku membayangkan bagaimana paniknya suamimu jika ia berpikir aku akan menyentuh mu dengan kedua tanganku." Ia menyeringai kearahku. "Kau tahu maksud ku kan?"
Oh Tuhan!
Aku mengeluarkan suara dengan nada jijik. "Bisakah kau lebih brengsek lagi?"
Ia tertawa, "Aku bercanda. Percayalah, aku tidak akan menggerayangimu
Aku memutar bola mataku dengan jijik. Pria brengsek. Pria brengsek.
"Tapi jika kau yang meminta. Kapanpun itu aku akan siap untuk melakukannya."
Apa?
"Rob!"
Ia tertawa terbahak. "Hei aku hanya bercanda. Sumpah pramuka, Kris. Sumpah pramuka!"
***
Aku terbangun ketika hari sudah gelap, ketika Robert melambatkan laju mobilnya keluar jalan tol. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, tetapi aku merasa seperti tertidur nyenyak layaknya tidur dimalam hari, meskipun badanku meringkuk disudut kursi penumpang dengan kepala yang menyandar dipintu.
Angin yang berhembus lewat jendela yang masih terbuka di jendela pria itu membuatku mual. Menggigil. Uh-oh, perutku kosong dan kerongkonganku mulai kering, bibirku pecah-pecah. Oh Tuhan, Aku haus aku lapar.
Aku mengambil Iphone di saku celanaku yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam, lalu meletakannya lagi ke tempat semula, mengabaikan beberapa ikon pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Persetan pada ponselku. Kondisi perutku lebih penting sekarang. Aku mendesah sebal kemudian mengusap perut. Oh... Isi perutku seolah-olah sedang melakukan aksi akrobatik untuk mencari perhatian.
"Dimana kita sekarang?" tanyaku sembari menutup mulutku yang sedang menguap menggunakan tanganku.
"Colorado, Denver." Katanya. "Tidurmu lama sekali."
Aku terjaga disepanjang sisa perjalanan karena takut pria ini akan bertindak macam-macam. Di sepanjang jalan kami hanya mengobrol sebentar. Kebanyakan aku menanyakan tentang bagaimana ia sampai di rumah sakit dan menemukanku di sana. Ia bilang "Aku terluka dan aku ada disana." Katanya. Awalnya aku tidak percaya, dokter itu mengaku tidak mengenal pria aneh itu tapi ketika dia mengatakan bahwa dia tidak ikut dirawat aku percaya. Mungkin dokter itu tidak menangani pasien yang hanya luka-luka.
Selain itu aku juga menanyakan tentang mobil ini. Setahuku perjalanan dari terminal Port Authority, New York sampai di Indiana ia memakai bis, setelah ku tanya ia mengatakan dengan tenang, : "Saudaraku datang ke rumah sakit dan ia meminjamkan aku mobil." Oke. Aku percaya padanya sekarang. Walaupun masih ada sesuatu di dalam hatiku yang terasa janggal.
"Aku akan berhenti untuk mengisi bensin sebentar." Katanya tanpa menoleh ke arahku.
Aku mendesah lega, "Oh Tuhan. Terimakasih. Aku juga ingin membeli makanan. Aku lapar."
***
Denver adalah sebuah kota metropolitan yang berpenduduk kurang dari 500.000 jiwa. Rob menyempatkan untuk mengisi bensin di sebelah utara Denver dan singgah sebentar di sebuah jalan yang terkenal dengan nama 16th Street Mall. Ini adalah sebuah jalan di pusat kota Denver yang kini dirancang hanya diperuntukkan bagi pejalan
kaki dan tertutup bagi lalu lintas umum. Rob memarkirkan mobilnya di jalan bebas parkir tidak jauh dari pom bensin.
Tempat ini sangat ramai. Banyak sekali para pengunjung yang datang dari berbagai arah. Di luar—tempat bebas parkir terdapat beberapa bis yang sedang istirahat dan biasanya para penumpang diberi waktu sekitar lima belas menit untuk sekedar wara-wiri di jalan ini untuk membeli makanan atau cinderamata. Di sisi kanan dan kiri terdapat beberapa restoran dan cafe yang sudah di penuhi pengunjung. Beberapa lagi ada kedai makanan yang seperti pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai makanan ; seperti jagung bakar, Taco, Hot dog, oh Tuhan ada Currywurst dari Jerman! Hm, membayangkan sosis goreng yang dicincang lalu disiram oleh saus tomat khas dan dicampur dengan bubuk kari membuat perutku meraung-raung minta makan. Aku mengelus perutku dan menenangkan bayi-bayi cacingku.
Kita akan makan enak, sayang!
"Rob, bisakah kita berhenti untuk membeli Currywurst disa-na?" Suaraku tiba-tiba saja mengecil ketika mendapati dirinya telah jauh sekitar lima meter dari tempatku berdiri. Sebelum aku berjalan untuk mengejarnya, ia sudah tidak terlihat. Oh tuhan! Aku berjinjit namun orang lain yang tubuhnya lebih tinggi dan besar dari ku menghalangiku. Aku bergerak ke kanan kiri agar dapat melihat Rob tapi hasilnya nihil.
Keputusan untuk berhenti mencarinya dan menunggu di mobil bisa saja kulakukan. Tapi aku tidak hapal betul bagaimana model mobilnya dan aku tidak tahu persis dimana ia memarkirkan mobilnya karena ketika ia parkir aku menunggunya di papan selamat datang.
Aku tak percaya bahwa aku akan kehilangannya di tempat ramai disini. Bagaimana jika ia tidak menyadari ketidakhadirank
Sekarang aku takut sendirian.
Aku terus berjalan, menjulurkan kepalaku ke atas dan melewati orang-orang yang berjalanan berlawanan denganku. Aku tersikut dan ditabrak, terpental ke depan dan ke belakang seperti bola pingpong yang dimainkan.
Tiba-tiba saja ada tangan yang menarikku hingga aku tersentak ke belakang.
"Apa yang kau lakukan, Kris?”
Aku mendesah dengan suara yang dramatis ketika mendapati Robert dihadapanku. Oh Tuhan, rasa takutku telah hilang. "Aku mencarimu." Kataku setelah mengambil napas, terengah-engah setelah menjadi bola pimpong dadakan, "Kau sudah jalan terlebih dulu. Dan aku tertinggal." Lanjutku.
Ia memicingkan matanya.
"Aku pikir kau di belakangku." Katanya sambil melihat sekeliling "Kita harus bergegas dan jangan terpisah lagi, oke?" Katanya dengan tegas lalu menatapku dari pusat jalan dan mengulurkan tangannya.
Mengulurkan tangannya?
Aku ragu sekilas. Namun tidak ada yang lebih aman jika aku memang benar-benar tepat di belakangnya. Orang asing ini memang tidak menyenangkan. Aku pikir ia mengidap penyakit monosilabis (berbicara dengan singkat atau satu suku kata saja) dan orang yang dingin serta brengsek. Tapi ketika ia mengulurkan tangannya aku tahu bahwa aku memang butuh perlindungan.
Jadi aku menelan ludah dengan susah payah dan menggenggam tangannya. Oh my! Tangannya yang besar dan hangat membuat seluruh bulu kuduk ku berdiri. Leherku serasa memerah dan aku menelan ludahku yang sebesar bongkahan batu. Entah bagaimana aku merasa ada sesuatu yang lain. Aku merasa aman. Dan aku ingin ia terus menyentuhku.
Sebelum ia berjalan, aku menyentuh lengan atasnya. Oh Tuhan, ya ampun! Lengan atasnya sangat kuat dan aku gemetar ketika merasakan otot-ototnya yang keras. Mmm, tubuh pria ini begitu menyenangkan.
"Aku ingin membeli Currywurst disana, aku pikir sosis yang disiram saus tomat dan bubuk kari terlihat enak."
Ia mengangkat kedua alisnya. "Makanan Jerman, eh? Bagaimana dengan Poutine?"
Membayangkan makanan yang berisi kentang goreng panas yang digoreng dan dibenamkan dalam saus cokelat yang asin dan ditaburi dengan keju leleh membuat perutku mengembang pesat. Coklat dan keju pada malan hari? Oh tidak. Terimakasih.
"Aku ingin Currywurst, please." Setidaknya sosis goreng tidak membuatku gemuk.
Ia memutar bola matanya, "Oh Kris, makanan yang manis tidak membuatmu tumbuh seperti paus. Singkarkan hidup pola sehatmu dan nikmatilah apa yang bisa kau nikmati. Perutmu butuh sesuatu yang menyenangkan dan ku pikir kau kekurangan berat badan."
Apa? Oh pria brengsek ini menghinaku? Aku mengangkat daguku keatas setinggi mungkin "Maaf, Tuan. Aku lebih suka dengan badanku yang seperti ini dibandingkan mempunyai badan seperti kotak telepon umum yang berjalan!"
Ia menarik kebelakang kepalanya dan tertawa terbahak. "Jadi kau pikir wanita yang kelebihan berat badan seperti kotak telepon umum yang berjalan? Lalu apa bedanya denganmu?" Ia mundur selangkah dan mengamati seluruh tubuhku.
Dari atas ke bawah, mengamati rambut coklat pirangku—Yang kuasumsikan sudah kusut dan berantakan—yang
Aku memutar bola mataku dan berkata dengan suara masam, "Jangan pikir aku seperti lidi yang berjalan."
Dia menggelengkan kepalanya dan tertawa pelan.
"Kau tampak mirip seperti cengcorang mutan." Dia tertawa dan mengusap wajahnya, oh! Ada luka yang sudah mengering juga di tangan kirinya.
Aku menggemeletukka
Ia mengerutkan alis sambil mengerucutkan bubirnya, "Oke. Dimana letak sosis kari sialan itu berada?"
Aku tersenyum seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim besar dengan taburan stoberi dan coklat di atasnya. Ia tidak pandai berdebat jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan
Aku ingin berteriak sekarang juga. Dalam perjalanan menuju kedai Currywurst sampai menuju tempat lainnya dia berjalan di depanku, menggenggam jariku dengan hati-hati dalam tangannya di belakang punggungnya. Dan aku
merasakan kehangatan dalam sentuhannya, berusaha bertahan secara mental selama mungkin
agar aku bisa mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan memberi peringatan keras pada diri sendiri agar tidak memeluknya. Walaupun aku ingin. Aku menginginkan tanganku menyentuhnya. Merasa gatal
untuk memeluknya.
Sekian lama aku tidak pernah merasakan pelukan yang hangat dari seorang laki-laki semenjak Edward pergi.
Oh. Aku merasa nyaman dengannya.
"Apa kita akan melanjutkan perjalanan sekarang? Kau menyetir sepanjang hari dan ku pikir kau butuh istirahat."
"Kita akan berhenti di motel terdekat." katanya, ketika kami sudah keluar dari jalan 16 yang ramai. Tangannya masih menggenggamku dan melepaskannya ketika kami sampai di mobilnya.
'Jangan di lepas! Jangan di lepas!'
Aku masuk kedalam dan melemparkan belanjaanku; beberapa baju baru, pakaian dalam, minyak wangi, bedak, sikat gigi dan segala macamnya yang kubutuhkan. Mengingat aku kabur dari rumah sakit tanpa membawa tas ranselku. Oh aku juga membelikan pisau cukur dan krim untuk Rob. Ia perlu bercukur.
Ia memasukkan kunci ke starter dan mobil meraung hidup.
"Aku akan tidur disana." Katanya. "Selama ini kepalaku selalu sakit. Jadi ku pikir tidur dengan kasur yang empuk dapat meredakan Vertigoku." Lanjutnya.
Aku sangat setuju dengan rencananya. "Ide yang bagus," kataku sambil mengambil sebotol mineral dingin dan membuka penutup botalnya "Aku perlu mandi, berendam dengan air hangat dan menggosok gigiku sekitar satu jam penuh." Oh membayangkan berendam dengan air hangat dan busa dengan aroma Vanilla dan Lavender membuat aku menggeliat tak berdaya. Tubuhku sudah bau, mengingat sudah beberapa hari ini aku tak mandi.
"Persetan dengan air hangatnya. Aku hanya ingin tidur." Katanya ketika ia berbelok ke arah papan besar yang menunjukan tanda O'Ceans motel sekitar dua kilo meter dari tempatku sekarang.
"Terserah padamu lah" Aku mencibir padanya. Dan meneguk setengah botol mineralku.
Beberapa menit kemudian kami masuk ke sebuah tempat parkir kecil di sebuah motel yang tadi ku lihat. Kami keluar dari mobil lalu meregangkan kaki dan mengambil tas dan belanjanku di kursi belakang mobil.
Kami memasuki lobi motel dengan cahaya yang terang. Beberapa orang baru masuk kedalam pintu ganda dan aku mendesah kecewa ketika melihat antrian panjang.
Setelah kurang lebih sepuluh menit mengantri dengan Rob yang sudah menguap sedari tadi, giliran kami yang memesan.
"Dua kamar dengan tempat tidur untuk satu orang. Kamar yang berdampingan jika kau punya," kata Robert dan segera mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celananya.
Aku mengambil dompetku di saku celanaku—menyes
"Aku yang bayar."
"Aku bisa membayar kamarku sendiri." Kataku sambil mengeluarkan kartu Amex yang telah kukuras delapan puluh dollar untuk memberi keperluanku ini.
"Tidak perlu, aku yang bayar, please"
"Jangan keras kepala. Aku bisa membayarnya sendiri."
Ia memutar bola matanya, "Biarkan aku menjadi seorang gentleman, oke?"
Aku membelalakan mata dan tertawa. Dari mana gagasan itu ia dapat?
Aku terkikik dan mengangkat tangan, tanda menyerah. "Baik. Silahkan, gentleman"
Si gadis muda—sekitar dua puluhan dengan rambut pirang platina yang yang diikat kebelakang membentuk
sanggul dibagian belakang, Ia memakai maskara tebal yang menambah sinar matanya yang tajam, eyeshadow gradasi pink-ungu dipoles sangat tipis. Bibirnya penuh dengan sepuhan lipstik keunguan. Oh betapa anehnya dia?
kepalanya menatap ke arah kami dengan pandangan kosong. Lalu mengintip lewat kaca di belakang kami untuk melihat penampilannya. Dan mengedipkan matanya kearah Robert.
Dasar jalang.
Dia kembali mengetik keyboard-nya untuk melihat kamar apa saja yang masih tersedia.
Aku memandangi kuku ku yang cat nya sudah luntur. Aku butuh Manicure esok.
Tap, tap, tap, klik, klik, tap, tap, tap, klik, klik. Tangan wanita itu bolak-balik antara keyboard dan mousenya.
Uh, mengapa lama sekali?
"Maaf, Tuan." Hah? Hanya Tuan? Aku? Oh gadis ini menyebalkan.
"Tempat yang tersisa hanya ada satu kamar. Fasilitas air hangat, ranjang besar, lemari pendingin dan jendela megarah ke arah pemandangan kota Denver." Lanjutnya.
Apa? Satu kamar? Oke. Aku pikir Robert tidak akan mengambil kamarnya. Di Denver pasti masih banyak motel-motel yang masih menyediakan dua kamar terpisah.
Tidak perlu dikhawatirkan.
Tenang Kris.
Tapi ketika aku mendongak untuk melihat kearahnya,
Ia melihat ke arahku.
Aku melihat ke arahnya.
Jeda yang panjang.
Lalu gadis itu berdeham dan Robert mengeluarkan segepok uang dollar dari dompetnya.
"Kami ambil,"
O-oh?
Apa?
Tidak salah dengar kan?
Tidak mungkin!
Satu kamar dengan pria ini? Pria asing yang baru ku kenal dua hari yang lalu, pria yang baru kutahu namanya beberapa jam yang lalu dan sekarang satu kamar denganku?
Bersamaan dengan itu, gadis itu mengambil uang dari tangan Rob dan menyerahkan kunci dan kartu padanya.
Aku hanya bisa memandang dengan ekspresi bengong seperti korban selamat dari ledakan nuklir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar