Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Heart of Stone

Heart of Stone(Part 2) : The Runaways

Kristen Stewart's PoV

Aku tidak pernah merasa cocok dimanapun aku berada. Bahkan tidak di istanaku sendiri. Aku hanya putri aneh, kikuk, dan paling tidak bisa berdiplomasi. Aku tidak pernah dibangga banggakan oleh guru keputrianku karena memang aku hanya seorang murid biasa, membosankan. Aku tidak pernah membuat Mom bangga di bidang masak. Aku tidak pernah mengalahkan siapapun bermain catur karena otakku yang berjalan lambat. Aku tidak pernah membuat guru renangku bangga karena kaki dan tanganku yang tidak bisa berkoordinasi di kolam renang. Tubuhku lumayan ideal, tapi tetap saja tidak atletis. Kulitku putih kemerahan, tapi tetap saja bukan gelap eksotis. Warna rambutku cokelat kemerahan seperti perunggu, tapi tetap saja bukan pirang secantik emas. Kalau bukan karena aku ini seorang putri, mungkin tidak akan ada yang mau berteman denganku karena ketidaksupelanku ini. Dan kalau bukan karena ayah dan ibuku yang sudah seperti dewa dewi, tidak mungkin aku memiliki paras yang seperti ini. Tapi tetap saja...
Aku tidak pernah berkilau dimanapun.
Hidupku juga aneh. Selalu dipenuhi oleh kengerian istana dimana-mana. Bukan berarti itu hantu atau semacamnya, tapi lebih parah daripada itu. Sesuatu yang membuatmu merasa jengkel sekaligus ketakutan disaat yang sama. Perang. Perang antarnegeri yang sudah tidak bisa dihindari lagi. Perang yang sesungguhnya sangat tidak berguna. Perang yang alasannya masih tidak jelas dan tidak terbukti. Perang yang selalu meresahkan rakyatku.
Beberapa tahun yang lalu, perang pertama itu terjadi. Perang itu dimulai oleh seorang Raja dari negeri seberang, Raja Richard dari negeri Onyxland yang datang di malam pekat bersama seluruh prajuritnya. Suara meriam yang memecah kesunyian malam membuatku terlonjak dari tidur. Dia menuduh kerajaanku menculik anak sulungnya, pangeran yang suatu saat akan dinobatkan menjadi raja. Mungkin memang ada beberapa bukti yang menguatkan tuduhannya, tapi kebenaran berkata lain. Orangtua atau bahkan seluruh anggota kerajaanku tidak pernah berbuat sekeji itu kepada kerajaan yang selama ini tidak pernah mencari ribut. Tapi toh, predikat itu telah mereka hancurkan pada malam mengerikan itu, pada malam itu sampai sekarang.
Otakku berlarian, mengejar kenangan yang masih terpatri kuat di otak lemahku ini. Aku bergidik, membayangkan betapa horornya malam itu.
Hidupku bisa dibilang selalu dipenuhi oleh perang mematikan, tapi bukan berarti aku bisa terbiasa karenanya. Bulu kudukku selalu meremang kalau perang itu terjadi lagi. Membayangkan siapa milikku yang bakal pergi. Aku bergidik lagi.
Bahkan kejadian itu belum lama berselang. Baru dua hari yang lalu kerajaan Onyxland menyerang kerajaanku secara tiba tiba. Dan perang terjadi begitu saja. Untungnya, prajurit prajurit kerajaanku selalu siap siaga. Kami selalu melaksanakan formasi bertahan, bukan menyerang. Keluargaku tak pernah mau menyerang terlebih dulu, selalu bertahan dan bertahan jika mereka menyerang. Ayahku tidak mau memakan umpan pancingan yang salah sasaran. Menurutnya, dengan menyerang terlebih dulu, kerajaan kami justru terlihat bersalah di mata orang lain. Kami tidak ingin mencari ribut. Tapi entah mengapa pada hari itu, ada sedikit yang berbeda...
Mungkin ini saatnya aku memberontak.
"Selamat sore, Yang Mulia," suara salah seorang pelayan membuat langkahku terhenti dan membalas senyumnya.
Dengan cara yang sangat sopan, ia berlalu sambil menunduk. Langkahku kembali mondar-mandir di depan pintu ruang utama kerajaan. Prajurit yang seperti patung dan tidak pernah bergerak selalu menunggu di belakang pilar dan tidak jauh dari pintu. Itulah sebabnya mengapa aku tidak takut mereka bakal menanyakan penyebab keresahanku hari ini.
Aku harus berani, harus berani, batinku menguatkan. Tapi keringat sebesar biji jagung yang menetes dari keningku benar benar menyangkalnya. Sudah lebih dari sepuluh menit aku berkelakuan seperti idiot begini. Ekspresi orang orang yang melaluiku membuatku mengerti kalau aku memang tampak seperti orang idiot.
Aku tidak bisa hidup bergelimang ketakutan seperti ini lagi. Aku sudah cukup memakan pahitnya menjadi seorang putri. Aku selalu dikekang, seperti singa liar yang sangat kelaparan di istana yang justru terasa seperti kandang baja bagiku. Mungkin hampir semua gadis di negeri ini ingin menjadi seorang putri. Tapi bukan aku. Well, yeah, aku memang aneh. Aku sudah muak hidup seperti ini terus, hanya bisa berpangku tangan di tengah tengah kekonyolan perang yang sedang terjadi.
Tapi bukan aku satu satunya manusia kikuk yang merasa seperti ini.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa tidak sendirian. Ternyata ada dua singa liar yang sudah siap untuk mengoyak habis kandangnya. Tapi sayangnya, kandang kami berjauhan. Oh, tidak, lebih parah dari berjauhan. Kami dilarang bersatu. Kami dilarang bersekutu, atau bahkan berteman.
Bagaimana tidak, jika ternyata satu singa liar itu adalah anak bungsu Raja Richard, adik dari si pangeran sulung yang menghilang, sekaligus anak dari orang yang merusak kedamaian hidup negeriku.
Siapa yang menyangka kalau ternyata kami sama sama merasa seperti orang tolol yang berpangku tangan disaat yang lain lain berperang? Kami lah jantung mereka. Kami pangeran dan putri mereka. Kami yang seharusnya berinisiatif untuk menyudahi peperangan antar orang tua kami yang konyol dan tidak berguna ini.
Pangeran Jack, sudah cukup dewasa untuk melihat permasalahan ini dengan benar. Bahkan lebih dewasa daripada ayahnya. Kami sadar kalau perang yang berkelanjutan seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah dan membuat si pangeran sulung kembali ke istananya. Tidak mungkin. Dia sudah menghilang selama lebih dari lima tahun...
Suara derak pintu yang dibuka mengagetkanku, otomatis aku menghentikan langkah dan berbalik. Di hadapanku, tampak pintu cokelat krem berlapis emas di bagian pinggir dengan setinggi tiga kali tubuhku terbuka secara sangat perlahan. Well, tentu saja, pikirku. Bobotnya yang sebesar itu pasti penyebabnya.
Tepat setelah pintu ternganga lebar, aku dapat melihat kedua orang tuaku di tahta mereka masing-masing dari balik punggung Mr. Connor, penasihat kerajaan kami. Sekarang tepat pukul tiga sore. Biasanya orang tuaku sedang mendapatkan laporan tentang keadaan negeri dari beberapa anak buahnya. Seperti perdana menteri, penasihat kerajaan, panglima perang, dan menteri menteri lainnya. Jadi aku tidak kaget sama sekali saat melihat ruang utama dipenuhi beberapa orang dewasa.
"Princess?" Suara parau mr. Connor memaksa mataku berhenti menjelajah, dan membuatku teringat pada keringat sebesar biji jagung ku tadi. Ia menurunkan kacamata tebalnya, melirikku dengan ekspresi sama seperti yang lain lain. Seolah olah aku ini idiot. Alisnya terangkat, membuat kerutan di dahinya semakin terlihat jelas.
Beberapa pasang mata menatap ke arahku, begitu juga orang tuaku dan para pelapornya. Sial. Keringatku pasti sudah sebesar biji salak sekarang. Mata mata keheranan masih memojokkanku, benar benar menjengkelkan. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, berusaha berdeham untuk membersihkan tenggorokanku. Aku yakin suaraku pasti terdengar seperti burung yang meracau saat aku bicara nanti.
"Aku... ingin bicara sendiri dengan... kalian... boleh?" Tanyaku kepada orang tuaku yang masih menatapku sambil bergeming. Bahkan mereka juga melihatku seperti idiot.
Suaraku malah lebih buruk daripada tikus keselek.
Setelah menunggu beberapa detik yang rasanya lama sekali, akhirnya mata mereka mencair, berusaha merespons ucapanku. Syukurlah, ternyata masih ada sisi normal yang mereka lihat dari keadaanku yang idiot begini.
Ibuku berdeham, "tentu," suaranya jauh lebih lembut daripada suaraku. Seperti suara lady di berbanding tikus keselek. "Ada apa sayang?" Aku melangkah masuk melalui mr. Connor yang masih bergeming di ambang pintu dengan kacamatanya yang merosot, kemudian melayangkan pandangan kepada orang tuaku.
"Sebenarnya... sedikit pribadi, mom." Aku mengernyit, memberi pandangan sekilas kearah orang orang. Tepat setelah aku berada dekat dengannya, ia menyuruh yang lain lain keluar setelah meminta persetujuan ayahku. Sebenarnya, bagian ujung hatiku yang paling kecil menginginkan penolakannya. Aku merasa benar benar tidak siap mendengar respons mereka nanti. Tidak. Tidak hari ini.
Tapi aku sudah terlanjur mencintainya. Aku sudah tidak sabar untuk segera mengoyak kandang baja ini. Rasanya taringku sudah cukup tajam untuk melakukannya. Ditambah lagi, aku ditemani oleh orang yang kucintai. Oleh singa liar yang juga menginginkan hal yang sama denganku. Oleh singa liar yang juga sudah mencintaiku sebesar aku mencintainya.
'Aku mencintainya, dad, mom. Aku mencintai pangeran Jack, anak dari raja Richard. Dia sempat melamarku dua hari yang lalu, saat perang terakhir terjadi. Aku ingin segera menikah dengannya. Aku meminta restu kalian untuk pernikahan kami.'
Ingin sekali aku mengatakan satu bait kata yang terdengar mudah itu, tapi aku tahu apa yang bakal terjadi. Mereka akan melarangku habis habisan untuk tidak menikah dengannya, tidak salah lagi. Mereka tidak bakal mau merestui pernikahan kami. Tidak mungkin. Mereka bahkan tidak pernah tau kalau aku pernah bertemu dengannya. Pasti mereka akan benar benar menganggapku idiot setelah ini. Atau mungkin mereka tidak akan ragu-ragu memasukkan satu jadwal lagi ke jadwal harianku yang sudah sesak. Jadwal terapi ke dokter kejiwaan.
Aku tahu betul itu.
"Nah," suara ibuku yang sehalus beledu bernyanyi lagi. "Ada apa sih, sayang?" Tanyanya, kemudian ia melayangkan pandangan ke seluruh ruangan yang sudah kosong. Rasanya aku seperti berubah menjadi panglima perang yang akan melaporkan kalau negeri ini diserang ribuan babon raksasa, yang sekarang sedang memproses penyerangannya dengan membakar tanah kami. Aku bergidik. Padahal hanya tatapan ayah dan ibuku yang memojokkanku sekarang, tapi rasanya jauh lebih parah daripada tadi.
"Kristen Jaymes Stewart?" Ayah mencondongkan tubuh kearahku, matanya menuding keringatku yang sekarang rasanya sudah sebesar biji mangga. "Tidak baik membuat ayahmu menunggu," tukasnya. Biasanya dia selalu berperan sebagai ayah ayah lainnya jika berbicara denganku. Baru kali ini ia berbicara seperti seorang raja di depan mataku.
'Nah', adalah kata yang tepat untuk situasi ini. Aku sudah cukup mengerti bagaimana respons mereka nanti. Aku sudah cukup tahu apa yang bakal mereka lakukan setelah mendengar ungkapanku. Tapi mengapa aku harus takut? Rasanya waktu dua hari sudah cukup untuk menimbang-nimbang. Ini saatnya aku diusir dari istana. Atau setidaknya, itu bagian yang paling buruk.
Pertanyaannya masih sama: mengapa aku harus takut jika aku sudah tahu respon mereka nanti? Bukankah itu bagus? Dengan begitu, aku tahu apa yang harus kulakukan untuk kedepannya. Dan pada akhirnya, rencanaku kabur dari istana tidak bakal sia-sia. Aku tidak perlu menunggu mereka mengusirku dari sini, sepertinya aku bisa pergi dengan hormat.
Inilah saatnya. Meninggalkan istanaku.
Aku angat bicara. "Dad, Mom, mula-mula aku ingin bertanya..." aku harus pelan pelan menunjukkannya kepada mereka. Harus sedetail mungkin agar mereka bisa mengerti, walaupun itu sebuah mukjizat. Mata mereka menatapku, menunggu. Aku beringsut maju, semakin dekat dengan mereka. "Kalian ingat tidak, penyerangan kerajaan Onyxland dua hari yang lalu?" Tanyaku. Aku bergidik mengingat hal mengerikan itu. Kami semua bergidik. Mereka mengangguk keheranan.
Aku bicara lagi. "Apa kalian menyadari perbedaan penyerangan mereka yang kemarin dengan yang sebelum-sebelumnya?" Aku bertanya lagi, hatiku mengkeret, takut takut mereka telah menyadari apa maksudku sebenarnya.
Kali ini ayahku angkat bicara, suaranya sedikit tegang karena penasaran. "Ya, tapi... apa sih maksudmu, Kris?"
Aku memberengut. "Jawab saja, please." Alis mereka bertaut, kemudian saling bertatapan sebelum menatapku lagi.
"Well," kata ayahku, mengalah. Ia tidak ingin mendebatku lagi. Ia tahu betul bagaimana sifatku. "Penyerangan mereka kemarin lusa," ia berhenti ragu-ragu, menatap ibuku di sampingnya. Bahu mereka sama sama tegang. Ibuku tersenyum memberikan semangat. "Sedikit lebih kuat daripada sebelumnya," sambungnya. "Tapi kita berhasil meredamkan perang itu lagi. Tidak usah khawatir, nak." Ia salah menangkap maksudku. Bukan itu sebenarnya maksudku, tapi bisa dibilang itu adalah hal bagus. Bahuku merileks, keringatku sudah kering sekarang. Tapi mungkin sekarang bibirku malah pucat pasi seperti mayat.
"Tidak, bukan itu." Aku cepat cepat menyergahnya. Walaupun itu hal bagus, tapi tetap saja pemberitahuan ini tidak bisa ditunda lebih lama lagi. "Apa Dad tahu mengapa penyerangan mereka sedikit lebih kuat?"
Ayahku mendesah. "Kristen... apa yang--"
"Please, Dad." Aku memotong kata katanya lagi, memohon.
"Kurasa, mereka sedikit lebih kuat karena anak bungsu mereka ikut andil dalam penyerangan kali ini. Dia hampir sama kuatnya dengan kakaknya. Tapi jelas, dia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kakaknya." Suasana sunyi senyap. Ayahku telah selesai bicara. Sedangkan aku tidak bisa berkata-kata.
"Nah, Dad, itu kata kuncinya. Dia..." suaraku menghilang, mataku tidak bisa terfokus, membayangkan pertemuanku dengan pangeran Jack dua hari yang lalu... di lorong paviliun yang sepi, dia sempat menyekapku waktu itu. Tapi langsung meminta maaf karena menyadari perbuatannya yang salah. Dan disitulah, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan. Itu kali pertama ada seorang pangeran yang memperlakukanku seperti... akulah putrinya.
"Dia apa? Kristen! Cepat katakan apa maksudmu atau," suara ayahku yang berat terputus, dan digantikan oleh suara sehalus beledu yang mengalun bagaikan instrumen. Aku merasakan sesuatu menekan bahuku lembut. Mataku kembali terfokus, itu tangan ibuku. Dia merangkulku dengan sikap penuh kasih.
"Jelaskan apa maksudmu, sayang," tangan satunya memegang daguku, memaksa mataku menatap matanya yang tersenyum menyemangati. Beruntung betul ayahku mendapatkan istri seperti dirinya.
Keteguhan membara secara tiba tiba di jantungku. Rasa itu terus mengalir dari ujung kepala sampai ujung kaki diikuti dengan keberanian. Seketika rasa takut dan ngeri hilang begitu saja. Rasanya beban yang daritadi kubawa mondar mandir hilang sudah, terbawa bersama belitan ribuan tali balon yang digunting dari tubuhku.
Aku menatap matanya dengan mantap. Seakan akan, hanya ada aku dan ibuku di ruangan ini, dengan emosi yang kuat akan keberanian. Bukannya keingintahuan yang begitu besar hingga menimbulkan kemarahan seperti emosi ayahku sekarang. Aku mengabaikannya.
"Aku mencintainya, Mom. Aku mencintai pangeran Jack. Aku mencintai anak bungsu raja Richard."
Suasana hening menyeruak ke seluruh ruangan. Suasana teraneh yang pernah kualami. Semuanya sepi, aku tidak bisa mendengar apa-apa. Bahkan tidak suara hembusan napas kami bertiga, kami semua menahan napas. Tapi anehnya, keheningan itu memekakan telingaku. Takut jika keadaan ini berlangsung lebih lama lagi, gendang telingaku bakal pecah, hancur berkeping-keping. Aku tertarik untuk menutup telinga dengan kedua tanganku, tapi tidak bisa. Rasanya ada tali baja yang mengikatku agar tetap diam. Barulah aku sadar kalau kedua tangan ibuku mencengkeram lenganku, padahal detik sebelumnya ia masih bersikap lembut padaku. Sekarang dia membeku, membeku seperti es.
Suara tawa ayah menggema ke seluruh ruangan, menjadi satu satunya suara yang terdengar. Suaranya menggelegar seperti petir. Begitu kerasnya sampai kini suaranya yang menggangguku.
Aku dan ibuku sama sama menatapnya, shock. Tatapanku seperti tatapan lega karena ternyata reaksinya berbanding jauh dengan perkiraanku sebelumnya. Sedangkan tatapan ibuku seperti tatapan tidak percaya, seakan akan ayahku sudah gila.
Sudut mulutku terangkat, ikut terkekeh walaupun tidak ingin. Reaksinya tentu menyenangkan, itu jelas. Tapi terlalu tidak masuk akal. Justru reaksi ibuku yang masuk akal, walaupun sama sekali tidak menyenangkan. Tanganku masih berada dibawah tangan Mom yang membeku, semakin lama semakin keras. Kaget juga aku cengkeramannya bisa sekeras ini, padahal ia terlihat terlalu wanita dari sisi luar. Aku memberontak, bergerak gerak gelisah dari dalam cengkeramannya. Tapi ia tidak juga beranjak, matanya menatapku tidak percaya.
Suara tawa ayah terhenti, aku sedikit mencondongkan tubuh kearahnya, meminta bantuan. Lucu sekali. Padahal tadi aku yang meminta bantuan pada ibuku.
"Ayolah, Jules. Ajarkan anakmu bagaimana caranya membuat lelucon!" Ia tertawa lagi, tapi malah terdengar seperti berpura-pura. Barulah aku sadar kalau ternyata daritadi tawanya hanyalah tawa yang dipaksakan, bukan reaksi dari ungkapanku. "Yang tadi itu sangat bagus," ia melanjutkan sambil memutar bola matanya.
Lelucon? Bagaimana bisa ia menganggapku hanya bercanda? Apa ekspresiku seperti orang yang sedang ingin bercanda sekarang?
Tentu saja. Tidak mungkin reaksinya seperti itu jika dia menganggapku serius. Tapi aku memang serius, itu masalahnya! Bagaimana caranya mengatakan ini dengan benar? Bagaimana caranya membuat mereka mengerti apa maksudku sebenarnya?
Cengkeraman ibuku mengendur, semakin mengendur sampai akhirnya lepas juga. Ia mundur beberapa langkah, tatapannya masih tidak percaya. Oh! Benar! Pantas saja hanya reaksinya yang masuk akal tadi. Hanya dia yang menganggapku berkata serius. Di satu sisi, aku merasa lega ia telah membebaskanku dari cengkeramannya yang menyakitkan. Tapi di sisi lain, aku merasa takut menghadapinya sekarang. Perasaan takut itu datang lagi. Menguasai diriku dari luar dalam.
"Kau hanya membuang-buang waktu kami, Kristen. Masih banyak tugas yang harus kami lakukan daripada mendengar leluconmu yang jelek itu." Perintah ayah, turun dari kursi tahta dan hendak keluar ruangan, memanggil yang lain lain untuk kembali.
Ibuku pulih dari kekagetan, tangannya terulur kearah ayahku, memaksanya untuk berhenti. Langkah ayahku goyah, matanya menatap ekspresi ibuku yang menurutnya ganjil untuk suasana seperti ini. Kaget, bukannya tertawa seperti dirinya. Akhirnya, dengan sangat perlahan, ia menghampiri ibuku, menggapai tangannya dan berbalik menghadapku. Ibuku mengkeret di belakang punggungnya.
Aku menatap ayahku dengan tatapan seserius mungkin, berusaha meyakinkannya. Sudut sudut mulutnya yang tadinya terangkat membentuk senyuman, kini menurun membentuk seringaian. Terdengar suara geraman dari dadanya. Matanya membeku, dari warna hijau daun menjadi warna hijau lumut, begitu gelapnya sampai aku tidak bisa melihat warna hijau lagi disana.
"Ternyata laporan dari pelayan wanita tua itu benar," ibuku berbisik, perhatianku teralih seluruhnya padanya. "Dia benar benar melihat Kristen dan si pangeran bungsu berbincang saat penyerangan dua hari yang lalu. Penglihatannya tidak salah... tapi bagaimana bisa..." suaranya tercekat.
"Bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu, Kristen?" Kata ayahku dari balik giginya yang terkatup rapat, berdiri dengan sikap defensif di depan ibuku. Seakan-akan aku ini adalah bahaya besar yang bisa menghantam mereka kapan saja. "Anak bungsu dari raja Richard?!" Bentaknya. Ini pertama kalinya ia benar benar membentakku dengan suara setinggi itu. Suaranya lebih menggelegar daripada petir. Lebih tinggi daripada dengkingan kuda. Lebih menaikkan bulu kuduk daripada suara anjing yang sedang sekarat.
"Tunggu!" Aku menyela, mengangkat kedua tanganku, telapak menghadap atas. "Aku tahu semua ini susah dimengerti! Tapi tolong Dad, Mom... aku mencintainya. Aku tidak bisa hidup di tengah tengah perang konyol ini. Aku ingin membangun hidupku sendiri dengannya. Di tanah kami sendiri, bukan di tanah kalian, bukan di tanah mereka." Aku menggeleng-geleng cepat. Walaupun aku tahu apa yang bakal terjadi, aku tetap takut menghadapi mereka. Aku tetap berusaha meyakinkan mereka, walaupun hasilnya pasti nihil. Sekilas, rasanya aku memiliki indra keenam, bisa melihat masa depanku yang mengerikan itu.
"Oh! Kau ingin perang tolol ini selesai?!" Bentak ayahku dengan kasar. "Mengapa tidak kau bilang sendiri pada pangeranmu itu? Bukankah dia yang selalu memulai penyerangan, hah?!"
Aku hendak berbicara, menyergahnya bahwa itu salah. Bukan pangeran Jack yang menyerang kami selama ini, melainkan ayahnya. Pangeran Jack bahkan tidak mau perang tolol ini berlarut-larut. Itulah sebabnya aku berada disini sekarang, bersiap-siap menghadapi berbagai cemooh dari orang tuaku. Kami hanya ingin bebas. Tapi kata-kata ibuku tersembur lebih cepat, membuatku kembali terbungkam dan terfokus padanya.
"Kristen..." ibuku berbisik, jauh lebih lembut daripada ayahku. "Mom masih tidak mengerti... bagaimana kau bisa mencintainya?" Ia melangkah ke samping untuk melihatku dengan jelas, tanpa terhalang tubuh Dad.
Aku angkat bicara. Inilah yang kuinginkan. Membuat mereka berhenti sebentar saja untuk mendengarkan ceritaku. Jadi apalagi yang kutunggu? "Ceritanya panjang, tapi... Aku bisa memperpendeknya jika kalian mau mencoba untuk mendengarkan." Aku berhenti, menatap mata ibuku yang menunggu, kemudian bicara lagi. "Pada penyerangan itu... aku memang mengobrol dengannya, Mom. Ternyata dia juga tidak mau perang ini terjadi. Tapi keputusan ayahnya tidak bisa di ganggu gugat. Dia semakin tidak berdaya, dia tidak bisa melakukan apa-apa..." ayahku hendak bicara, tapi buru-buru aku melanjutkan. "Dan pada hari itu, dia melamarku. Ternyata dia juga mencintaiku sebesar aku mencintainya, Dad, Mom. Dia berjanji, kalau kami menikah, dia akan membawaku pergi dari sini. Pergi dari sana. Pergi ke sebuah tempat dimana hanya ada aku dan dia di dalamnya. Bukankah dengan pernikahan kami, semuanya akan kembali normal? Kerajaan kita dan mereka akan berdamai! Saatnya menyudahi perang ini, Dad." Aku berhenti, menahan napas menunggu reaksi mereka.
Ibuku yang angkat bicara. "Tapi sayang, tidak ingatkah kau apa yang dilakukan ayahnya pada keluarga kita?" Suaranya masih selembut beledu, walaupun matanya sekeras batu.
"Dia cinta sejatiku, mom. Aku tidak peduli apa yang telah dilakukan ayahnya. Jack tidak sebejat itu!" Suaraku naik satu oktaf, mata ibuku langsung berubah mencair saat mendengar kata kataku. Air mata keluar dari sudut matanya. Aku maju satu langkah, menyesali perkataanku tadi.
Tapi langkah ayahku lebih cepat daripada aku. Gerakannya lebih cepat daripada aku. Aku melihat telapak tangannya yang besar melayang di udara, sebelum akhirnya tamparannya menghantamku. Rasa sakitnya lebih sakit daripada dicambuk. Rasanya panas di pipiku menjalar ke seluruh tubuhku, membawa secercah rasa amarah dari sana. Membuat air mataku menggenang, begitu juga dengan amarahku yang rasanya sudah meluap-luap. Aku mendengar suara ibuku yang terkesiap.
Ia menamparku.
"Cinta sejati?!" Ayahku membuang ludah, jijik. "Tahu apa kau tentang cinta sejati, Kristen?!" Ia menjulang tinggi diatasku yang masih menggulung di lantai. Tanganku memegang pipiku yang kemerahan. Rasa anyar seperti campuran garam dan besi keluar dari sudut sudut mulutku.
"Aku tetap mencintainya. Aku ingin menikah dengannya." Kataku dari sela sela gigi yang terkatup rapat. Amarah menguasaiku sepenuhnya. Kalau memang mereka tidak ingin merestui kami, apa mereka harus memerlakukanku seperti ini?
"Oh, bagus kalau begitu. Kau bukan anakku lagi!"
Kata-katanya mengiris hatiku. Membuat hatiku yang tinggal setengah menjadi seperempat, seperdelapan, seperenambelas, dan hilang. Amarahku lenyap. Digantikan dengan perasaan sedih bercampur limbung. Aku mendongak menatapnya, berharap ada secercah ekspresi menyesal disana. Tapi harapanku sia sia.
Ternyata aku salah. Ternyata kemungkinan terburuknya bukan diusir dari istana, melainkan tidak diakui sebagai anak. Ternyata ayahku sekejam itu. Sekarang namaku bukan lagi Kristen Stewart; hanya Kristen Jaymes, gadis malang yang tidak diakui oleh orang tuanya. Refleks, aku memegang dadaku yang kosong, kehampaan seketika menarikku lebih dalam.
"John!!!" Ibuku memekik saat itu juga. Ia maju selangkah, mencondongkan tubuh kearahku dari balik tubuh ayah. Ekspresinya sama sepertiku. Tapi aku yakin, rasa sakitnya tidak ada apa-apanya dibandingkan aku. Aku yakin, hatinya pasti masih tetap utuh menjadi sebuah kesatuan. Hanya ekspresinya saja yang menyayat hati.
Suasana kembali hening. Tidak ada suara apa-apa selain hembusan napas kami bertiga. Entah apa yang terjadi, tapi aku merasa sesuatu hilang begitu saja. Aku tidak tahu persis bagaimana suasana hatiku sekarang. Tidak ada amarah. Tidak ada kekecewaan. Tidak ada kesedihan. Hampa.
Akhirnya ibuku membuka mulut. "Kristen... sayang... jangan dengarkan kata kata Dad--"
"Tidak, Mom," selaku cepat-cepat.
Aku sudah tahu jawabannya. Aku sudah tahu kalau mereka tidak akan merestui aku dan pangeran Jack menikah. Semuanya sudah selesai. Di istana ini, setidaknya. Masih ada masa depan yang lebih indah menungguku. Aku akan hidup berdua dengan pangeran Jack, tanpa embel-embel raja atau ratu, tidak sama sekali. Akhirnya rencanaku kabur dari istana tidak akan sia-sia. Aku memang harus pergi. Aku tidak bisa berada disini lagi.
"Dad benar." Lanjutku, sambil berusaha berdiri. "Aku akan pergi dari sini. Aku akan meninggalkan masa laluku yang konyol ini. Semuanya sudah berakhir." Kataku dengan mantap. Ekspresi ayah masih tetap sama, kaku dan keras, tidak ada tanda-tanda penyesalan disana. Ibuku terkesiap. Ia menepis tangan ayah yang menghalangnya untuk berjalan ke arahku. Tepat setelah aku memunggungi mereka, tanganku ditarik.
Aku berbalik. "Apa maksudmu, sayang?" Kata ibuku, cengkeramannya kuat tapi lembut, berbeda dengan yang pertama tadi. Ia menoleh ke arah ayahku yang masih bergeming. "John?!" Tanyanya, berharap cemas pada ayahku supaya ia melarangku pergi.
"Biarkan saja dia, Jules. Itu keputusannya sendiri. Dia sudah besar, seharusnya dia tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Dia sudah punya tanggung jawab sendiri." Titah ayahku, menyindirku dengan segala kata kata pedasnya.
Ayah benar. Aku memang bisa memutuskan mana yang baik dan mana yang tidak. Ayah benar. Aku memang sudah memiliki tanggung jawab sendiri. Dan inilah aku, sedang berusaha melakukan tanggung jawabku. Aku harus mengakhiri perang tolol ini, itulah tanggung jawabku. Keputusanku semakin bulat. Aku harus segera menyelesaikannya.
Mata kebiruan ibuku menatapku berharap, air mata menggenang di matanya. Aku memeluknya.
"Kau tidak harus pergi, sayang. Pikirmu kau mau hidup di mana kalau tidak di istana?" Godanya sambil terisak.
"Aku sudah memikirkannya, Mom. Tenang saja." Kataku. Pangeran Jack akan menjemputku nanti, batinku melanjutkan. Aku melepaskan pelukannya, memberinya kecupan terakhir sebelum pergi. Tangisan ibuku semakin menjadi-jadi saat aku memegang gagang pintu sebesar gaban itu.
"Kristen, kau tidak serius ingin pergi kan, nak?" Ia mendengus. "Tentu saja tidak. Ayolah, leluconmu memang buruk sekali sayang!"
Aku menatapnya sekilas yang sedang berada di pelukan ayah, hendak menahannya untuk lari menghambur ke arahku. Aku tahu betul watak ayahku yang satu itu, sangat sangat keras kepala. Tidak heran mengapa aku juga keras kepala. Aku menatap ibuku sekilas, menggumamkan kata 'good bye' dan menghilang dari balik pintu. Aku tidak perlu membuka pintu itu lebar-lebar, toh, badanku semungil lidi kok.
Begitu tiba di luar ruangan, lagi lagi aku melihat prajurit yang bak patung itu, tak pernah bergerak dan selalu membatu. Tapi aku bersyukur, setidaknya tidak ada yang perlu menatap air mataku yang menderas sekarang.
Nah, disinilah akhirnya. Semua sudah berakhir. Benar benar berakhir. Aku bukan lagi putri kerajaan, bukan lagi anak dari Raja dan Ratu. Aku tidak lagi memegang tanggung jawab yang begitu berat di kedua tanganku yang mungil. Aku harus terus mengingat kalau aku bukan putri lagi, aku bukan apa-apa. Harusnya aku senang salah satu keinginanku telah terwujud, tapi mengapa air mataku terus saja menderas? Mengapa rasanya sulit sekali menerima kenyataan yang satu ini?
Aku berlari dan terus berlari, tersaruk-saruk karena gaunku yang panjang dan rumit ini. Rasanya sudah jauh sekali aku berlari, tapi mengapa aku masih berada di dalam istana? Atau lebih tepatnya, di dalam kamarku sendiri. Mengapa langkahku menuntunku kesini? Apa yang aku butuhkan disini?
Berpikir, Kristen, berpikir! Perintahku pada diri sendiri. Aku berdiri kikuk di tengah ruangan, menatap semua barang dikamarku, berharap mendapat petunjuk. Aku kan akan kabur dari sini, tentu saja aku membutuhkan sesuatu. Tapi isi kepalaku terasa terlalu hampa untuk berpikir. Tidak ada apa-apa lagi disana. Demi tuhan, aku membutuhkan petunjuk! Tepat di atas nakas berlapiskan emas di bagian pinggir, aku melihat sebuah miniatur globe di samping kaca pembesar. Tiba-tiba aku merasakan sebuah bohlam lampu terlontar dari dalam kepalaku.
Aku akan pergi dari istana. Pergi untuk yang pertama kalinya. Aku memang tidak pernah diizinkan keluar kawasan istana sebelum hari penobatanku, atau setidaknya, saat aku menjadi putri. Sekarang aku sudah bebas. Aku sudah bebas pergi kemanapun aku mau. Aku bukan lagi gadis kutu buku yang hanya bisa berdiam diri di kamarnya. Aku bukan lagi orang tolol yang berpangku tangan di tengah tengah perang konyol. Aku akan pergi menyelesaikan perang ini. Lantas apa yang kubutuhkan? Apa yang orang normal butuhkan untuk berpergian?
Aku mengambil peta dan kompas di dalam lemari penelitianku.
Sesuatu menggugah perhatianku saat ingin keluar ruangan. Sesuatu berbentuk seperti peluit, memiliki panjang sekitar 10 cm, bertekstur kasar seperti karang, berpostur kuat dan gagah seperti baja menarik perhatianku. Aku beranjak ke tengah kasurku, meraihnya dan menelitinya sebentar. Biasanya sesuatu yang aku taruh tepat di tengah kasurku adalah sesuatu yang penting. Aku jadi teringat; sesuatu ini adalah barang yang diberikan pangeran Jack pada hari itu...
"Jika kau menerima lamaranku, my princess, pergi dari istanamu. Temui aku di danau Onyx, tiup benda ini, dan secepat mungkin aku akan menemuimu. Aku akan pergi dari istanaku, menemuimu. Aku juga memiliki satu yang seperti ini. Jika kau meniup benda ini, benda milikku juga akan berbunyi, menandakan bahwa kau memanggilku. Aku akan tiba disana secepat yang aku bisa, aku harap kau mau menungguku sebentar saja. Aku akan tetap menunggumu untuk menerima lamaranku..."
Kata kata itu terngiang di telingaku, suaranya sedikit berbeda karena ingatanku yang tidak begitu baik. Rasanya seperti mendengar suara dari video tape. Suara aslinya jauh lebih bagus.
"Panggil yang lain untuk menutup gerbang! Sang putri kabur dari istana!"
Tatapanku kembali terfokus saat mendengar suara itu. Jantungku terpompa sangat kencang. Oh tidak! Aku hanya punya waktu beberapa detik lagi. Aku memegang benda tadi kuat-kuat, peta dan kompas aku surukkan ke tas kecil yang kuikatkan di pinggang.
Berusaha sekuat mungkin supaya tidak terlihat, aku berlari lewat lorong tersembunyi menuju gerbang. Aku sudah merancanakan semua ini dengan mantap, jadi aku tahu kemana seharusnya aku pergi. Aku tersaruk-saruk saat berlari. Pasti gaun Reem Acra Bridal Couture ini sebabnya. Di tambah lagi barbara bui printed pumps ini, sepatu yang memiliki heels setinggi 10 cm. Seharusnya aku memikirkan hal ini dari awal. Bagaimana bisa rencana pelarianku berhasil dengan busana yang tidak mendukung seperti ini?
Aku bersembunyi di balik pilar berwarna perak saat melihat penjaga gerbang sudah hampir berhasil menutupnya. Aku tidak mungkin sampai tepat waktu kesana. Yang ada, tubuhku malah terbelah dua karena melakukan itu.
Tidak masalah, aku memiliki rencana B jika rencana A ku tidak memungkinkan.
Aku memandang lubang yang berada di seberang tempatku berdiri sekarang. Lubang itu dapat mengantarku untuk keluar dari istana ini. Well, memang tidak senyaman lewat gerbang sih, tapi kan sekarang yang penting adalah keluar dari sini. Jadi, gorong-gorong tidak masalah bagiku. Lubang itu cukup kecil, tidak mungkin ada prajurit yang cukup muat melewatinya. Jadi, tidak mungkin ada yang mengikutiku lewat sini.
Aku memegang erat benda pemberian Jack tadi, kemudian membungkuk siap menerjang. Dan tepat setelah seorang prajurit melihat dan meneriakkan namaku, aku berlari sekencang mungkin ke arah lubang. Begitu sudah dekat, aku memasukkan kakiku dulu sebelum kepala, menghindari benturan yang kira kira bakal terjadi.
Begitu sampai di dasar, aku merasakan kakiku menapak di tanah basah. Tapi begini jauh lebih baik daripada jika airnya setinggi pinggang. Aku bergidik membayangkan kira kira ada binatang apa saja yang ada di dalam gorong gorong segelap ini. Heels ku menancap di tanah basah saat aku berusaha berjalan. Aku melihat sinar di bagian ujung gorong-gorong ini, jadi aku tahu kemana harus pergi. Aku mengangkat tinggi tinggi gaunku, hingga terpampang jins hitam ketatku yang dipasangkan penata busana istana padaku. Berjalan disini menggunakan high heels jauh lebih susah daripada kelas renangku yang menjengkelkan. Aku menyesal selalu mengeluh di kelas itu, padahal masih banyak yang jauh lebih sulit dibandingkan renang. Tapi toh, aku tidak akan kembali ke kelas itu lagi kok.
Sinar matahari rendah yang mengintip dari balik batu menyilaukan mataku, membuatku kembali ke dunia nyata. Aku mengangkat kedua kakiku dari sepatu yang sudah tidak bisa dibebaskan lagi dari tanah, sudah terlalu dalam terbenam karena aku yang tidak juga beranjak. Sepatu itu sebenarnya hanya kotor, tidak lecet. Para penata busana di istana pasti menginginkan yang terbaik untuk kupakai, jadi itu masuk akal saja bagiku. Kini aku bertelanjang kaki saat memanjat bongkahan batu besar hingga sampai ke luar gorong gorong.
Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan, menyipitkan mataku karena silau akan cahaya matahari. Inilah kali pertama aku merasa sebebas ini. Berkeliaran di luar istana seperti layaknya gadis-gadis normal lainnya. Tidak ada yang mengikutiku, tidak ada yang memerintahku untuk kembali ke istana. Tidak sama sekali.
Aku membuka mataku secara perlahan, menurunkan kedua tanganku dengan hati-hati. Butuh waktu beberapa detik untuk menyesuaikan mata dengan pemandangan ini. Di sebelah timur dari tempatku berdiri aku bisa melihat genangan air kecil yang dikelilingi pasir putih dan pohon kelapa yang melambai-lambai, bahkan aku masih bisa melihat ujungnya. Pasir putih itu terasa lembut di telapak kakiku yang telanjang.
Aku masih berdiri kikuk di tempatku keluar dari gorong-gorong tadi, mengedarkan pandangan ke seantero negeri. Tepat di sebelah selatan, di balik punggungku, aku dapat melihat keramaian desa yang menenteramkan hati. Pemandangan desa pertama yang pernah kulihat. Ternyata aku berada di atas bukit berpasir yang berada di perbatasan antara istana dan desa. Aku berbalik ke sebelah utara, melihat istanaku yang megah dari kejauhan. Kemudian berbalik lagi ke sebelah selatan, melihat rakyatku yang berbahagia dan menari-nari dengan aktivitasnya masing-masing.
Sungguh perbandingan yang sangat jauh; kemegahan yang rasanya dingin, berbanding dengan kesederhanaan yang rasanya jauh lebih hangat. Aku melihat istanaku dari sudut mata. Megah, hebat, indah, dan cantik. Sangat berbanding nol dengan kepribadianku. Lalu aku melihat desaku dari sudut mata. Sederhana, ramai, dan damai. Anehnya, kenyataan itu juga berbanding nol dengan diriku. Aku sama sekali tidak megah, hebat, cantik, ataupun, sederhana, ramai dan damai. Aku ini rumit, aneh, dan jelek. Pantas saja aku berdiri di antara mereka. Aku sangat berbeda dengan mereka semua. Aku tidak termasuk dalam dunia apapun. Tidak termasuk dalam faksi apapun.
"Princess!" Aku terperangah saat sebutanku di sebut-sebut. Seharusnya aku tahu kalau mereka akan menemukanku disini. Atau lebih parahnya mengejarku. Aku tercekat, mendongak ke arah utara dan melihat beberapa prajurit dengan kudanya muncul dari gerbang istana, berkuda secepat mungkin ke arahku. Tapi mereka masih terlampau jauh dari diriku, kira kira 1 km jauhnya. Aku akan lolos jika aku berkuda. Tapi aku tidak punya kuda. Dan aku tidak terlalu pandai menunggang kuda!
Butuh satu detik untuk memikirkan semuanya. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, aku berlari menuruni bukit berpasir, tersaruk-saruk. Aku cukup cepat sampai ke desa karena kakiku yang panjang. Tapi tidak cukup cepat menghindari kejaran pasukan berkuda jika aku hanya berlari terus seperti ini. Tepat setelah melihat kuda berwarna putih yang sedang berdiri di sebelah tumpukan jerami, aku meloncat ke punggungnya, buru buru menarik tali kekangnya agar tidak memberontak. Pemiliknya, yaitu pria seusiaku, sepertinya rela-rela saja jika kudanya aku ambil. Ia malah mengedipkan matanya saat tatapan kami bertemu. Sekilas aku bersyukur karena ternyata penampilanku tidak buruk-buruk amat saat menyadari tatapannya yang terpukau ke arahku.
Aku langsung melajukan kudaku saat menyadari bahwa mereka sudah hampir sampai di tempatku. Aku sungguh sungguh menyesal saat beberapa kedai di sepanjang desa berantakan karena tertabrak laju kudaku yang acak-acakan. Sudah kubilang, aku tidak pandai menunggang kuda. Tapi untungnya, kurasa, semoga saja, tidak ada satupun rakyat yang tertabrak olehku. Aku melihat ekspresi rakyat yang takjub saat mereka tahu bahwa mereka sedang melihat putri mereka untuk pertama kalinya. Tapi mereka salah, aku bukan putri mereka lagi. Lagipula, penampilanku tidak terlihat seperti seorang putri saat ini;
Mana ada sih putri yang bertelanjang kaki? Bergaun putih kotor dan, aku yakin, kepangan rambutku acak-acakan. Oh, dulu ada putri yang seperti itu; aku.
Aku cukup bangga kepada diri sendiri saat melihat rumah rumah rakyat sudah sekecil semut saat aku berbalik untuk mengecek. Tapi rasa bangga itu seketika lenyap saat melihat prajurit kerajaan masih berada di belakangku, 100 meter jauhnya, mengejarku. Buru-buru aku melaju lagi, kini sedikit tidak berhati-hati karena aku tahu hanya pohon yang akan kutabrak disini, bukan lagi kedai rakyat. Jelas pohon lebih menyakitkan fisikku jika aku menabrak salah satu dari mereka, tapi itu tidak ada apa apanya dibandingkan jika aku menabrak rakyatku sendiri.
Untung saja aku sudah mempelajari peta menuju danau Onyx sebelum ini. Aku memang harus menyusuri hutan, tapi untungnya, ada jalan setapak yang akan menuntunku kesana. Jadi aku tahu kemana harus pergi. Tapi kuda putih yang sewarna gaunku itu tidak mau berkoordinasi, tepat setelah masuk ke dalam hutan, dia malah berbelok ke arah kanan, menghambur keluar dari jalan setapak.
"Tidak! Ayo kembali!" Semburku cepat cepat sambil menarik narik tali kekangnya, memaksanya untuk menuruti kemauanku. Aku tidak mengerti; apa yang dilakukan penunggang kuda untuk berbelok ke arah kiri? Menarik tali kekangnya yang di sebelah kiri, kan? Tapi mengapa kuda ini malah melaju semakin cepat saat aku melakukannya?
Jantungku tidak pernah berpacu lebih cepat daripada sekarang ini sebelumnya. Rasanya dengan kecepatan seperti ini, aku bukan lagi berkuda, melainkan terbang. Semuanya terlihat buram dari sudut sudut mataku yang berair, menahan sakit ranting yang menghujam bahu dan lenganku yang telanjang. Sudah bermenit-menit aku berkuda gila-gilaan seperti ini, sampai akhirnya aku melihat sesuatu menghampiri kami dengan kecepatan super. Refleks, aku menarik tali kekangnya secara tiba-tiba, membuatnya terlonjak kaget dan aku tersungkur ke tanah. Aku sempat terjungkir balik satu putaran di tanah berbatu, kepalaku rasanya pening sekali saat akhirnya aku telentang diatas tanah, menyerah. Aku tidak bisa berlari menjauh lagi. Mungkin memang takdirku sudah ditentukan oleh Tuhan. Aku harus menjadi orang tolol.
Oh, yeah. Seharusnya aku bisa hidup dengan itu.
Tepat setelah aku mendeklarasikan diri bahwa aku sudah tidak sanggup lagi, aku menyadari sesuatu yang ganjil. Aku menelengkan kepalaku ke samping, menatap ribuan daun yang bergoyang goyang tertiup angin. Aku sudah terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Dimana aku sekarang?
Aku setengah terduduk, meregangkan otot-otot tubuhku. Begitu membuka telapak tangan kananku, aku merasakan nyeri yang begitu pedih. Ternyata aku mendekap barang yang diberikan pangeran Jack terlalu kencang sedari tadi. Teksturnya yang sekasar karang dan tanganku yang menggenggamnya terlalu kencang membuat telapakku merah-merah kebiruan, seperti memar. Bahkan di beberapa sisi, aku dapat melihat kulitku yang sobek. Barang itu terlepas begitu saja dari tanganku, berguling menjauh dariku.
Begitu aku terduduk sepenuhnya, aku merasakan rasa nyeri itu semakin pedih. Jauh lebih pedih daripada kakimu tergores karang di lautan, dan kau mengangkatnya dari laut asin, membiarkannya terhempas angin. Air mata sebesar biji jagung keluar dari mataku, benar-benar ironis.
Tatapanku teralih saat mendengar langkah kaki yang berlari ke arahku. Kini hanya sepasang kaki, bukan puluhan. Jauh lebih mengerikan daripada prajurit-prajurit yang akhirnya menemukanku. Siapa dia? Apa jangan-jangan ada orang hitam menyeramkan yang tubuhnya absurd dan berwajah abstrak yang menghuni hutan belantara ini? Oh, demi Tuhan! Aku belum mau mati sekarang! Jikalau dia bukan makhluk menyeramkan seperti perkiraanku, lantas mana ada orang yang cukup waras untuk berkeliaran di hutan ini selain aku?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar