download novel terbaru dan terpopuler, download novel indonesia terbaru ebook, download novel gratis, download novel cinta, download novel teenlit terbaru, download novel remaja terbaru, novel cinta, novel remaja, kumpulan novel, novel gratis, novel terbaru, cerita novel, contoh novel
Sabtu, 05 Juli 2014
Fanfic ROBSTEN: Heart of Stone
Heart of Stone (Bab 5): His Name Is Robert
Kristen's PoV
Baunya tengik. Aku tidak bisa bernapas di tempat sebau ini. Rasanya saraf-saraf yang berada di hidungku masih waras dan menolak segala bebauan aneh yang merasuki indra penciumanku. Semakin lama aku menahan napas, semakin cepat aku tahu kalau aku bakal mati.
Kepalaku tersentak, seperti berusaha mengangkat kepalaku dari tindihan beton dan menghirup udara segar untuk pertama kalinya. Kepalaku terkulai hingga telentang, membuat sinar matahari menembus ke dalam retinaku.
Itu hanya bau tanah. Aku hanya tertidur bertelungkup tadi. Hidungku terbenam beberapa sentimeter di dalam tanah berpasir, masih untung aku tidak mati kehabisan napas. Aku bergelung ke samping, memutuskan untuk tidur lagi sampai sesuatu membuat mataku membelalak.
Perutku keroncongan. Bibirku pecah-pecah karena dehidrasi. Akhirnya, gelombang kelaparan dan kehausan yang kubenam dalam-dalam semalam ternyata muncul juga. Perutku kosong melompong, tidak ada isi daging atau bahkan manis-manisan disana.
Harusnya aku makan daging kijang matang menjijikkan itu semalam.
Aku tidak sadar kalau ternyata aku sedang meringkuk seperti bola. Kedua tanganku memegangi perut yang sudah kosong. Dan lidahku berusaha membasahi seluruh permukaan bibirku yang kering. Tapi cara ini tidak juga berhasil, aku kelaparan dan dehidrasi disaat yang sama.
"Menyesal tidak bergabung denganku pada makan malam?" Aku mendengar suara geli seorang pria dari balik tubuhku, cukup jauh untuk bisa kudengar. Aku tahu betul suara siapa itu, satu-satunya nada bicara menghina yang ditujukan padaku seumur hidupku. Dan hanya cowok tolol itu yang bisa membuatku tidak menghajar wajahnya.
Kau berutang padanya, kau berutang padanya. Kata-kata itu terus menggaung di kepalaku setelah terjadi perang kecil-kecilan kemarin sore.
"Jijik membayangkan aku memakan binatang berdarah-darah yang kulihat saat ajal menjemputnya," ujarku masih meringkuk. Lalu aku melanjutkan, "tapi lebih jijik lagi jika aku mati kelaparan di tengah hutan sialan ini. Kau benar." Suara gelegak tawa mengisi seantero hutan. Aneh membayangkan ekspresi cowok berhati batu itu tertawa selepas ini.
"Kalau begitu, cepat bangun. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini, sebelum prajurit-prajuritmu bangun dan menemukan kita," ajaknya.
Aku masih mengantuk. Tidak bisa, beri aku waktu sepuluh menit lagi.
Tidak butuh waktu lama untuk mengenyahkan perasaan ngantukku. Membayangkan makan dan minum di istana membuatku sedikit menyesal telah kabur dari sana. Oh, tidak tidak, aku juga masih bisa makan dan minum di hutan, kok. Walaupun makanan terlezat yang ada di sini hanyalah daging kijang bakar tanpa bumbu.
Kuhempaskan kedua tanganku di tanah, berhadapan lurus dengan langit, dan memandang langit biru untuk pertama kalinya dari luar istana. Aku bisa mendengar suara riak air dari kejauhan, menilik dari kemampuanku mendengarnya, sepertinya itu air terjun. Yang paling mencolok adalah suara burung hummingbird yang sedang menunjukkan kebisaan bernyanyi mereka. Aku jadi ingat...
Aku pernah membuat seekor burung melengking keras saat ia mendengar aku bernyanyi sekitar tiga tahun yang lalu. Semenjak saat itu aku tidak pernah berani menyanyi lagi.
Tapi suara lain mengganggu pendengaranku. Sangat dekat sehingga suara kicauan burung hummingbird tidak terdengar lagi olehku.
Sruk, sruk. Sruk, sruk.
Aku menelengkan kepalaku ke samping, menautkan kedua alisku dan menemukannya. Cowok tolol itu sedang mengasah ujung sebuah ranting tipis dengan belatinya. Ia duduk di atas akar pohon, berada di samping kuda anehnya, dan berada sejauh dua meter dari tempatku. Berani sumpah, wajahnya sangat familier bagiku. Entah dimana aku pernah melihatnya, tapi dia sangat tampan berada di bawah siraman cahaya matahari. Jika ia tidak tolol dan menjengkelkan, mungkin banyak sekali wanita yang mengejar-ngejar dirinya.
Aku teringat sesuatu, kemudian mataku mencari-cari entah darah atau tanda-tanda kesakitan di wajahnya, tapi tidak ada sama sekali.
Jadi dia tidak jatuh dari atas pohon.
"Bagaimana rusukmu? Aman? Tidak jatuh? Sayang sekali kau tidak jatuh dari atas pohon," gumamku akhirnya, suaraku kelewat lantang untuk ukuran orang yang sedang kelaparan dan dehidrasi.
"Aku juga kaget saat melihat kau tidak berguling ke perapian semalam. Padahal bakal lebih seru kalau kau terpanggang disana, setidaknya aku punya menu sarapan yang baru," katanya, nyengir sambil menggosok kayu panjang itu lagi.
Sialan.
"Sarapan apa pagi ini?" Tanyaku. Suara perutku terdengar lagi saat aku membayangkan menu sarapan pagi kami hari ini. Aku harap jawabannya bakal daging kijang bakar lagi. Daging, daging. Tubuhku butuh asupan kalori sekarang.
Ia mendengus. "Kadal. Kau suka?"
Susah payah aku menelan air liurku yang terakhir, membayangkan aku memakan binatang melata yang menjijikkan dan bertekstur seperti karet. Seharusnya aku tidak bisa memilih-milih makanan saat aku sedang kelaparan seperti ini. Apapun yang bisa dimakan akan aku makan jika perutku bisa berhenti berbunyi. Tapi kadal...
"Tidak ada menu lain?" Tanyaku, hampir meringis. Sudut-sudut mulutnya terangkat hingga membentuk senyum simpul, bolak-balik memandangku lalu kayunya. "Sejujurnya, kadal salah satu binatang yang paling menjijikkan di dunia," erangku.
Tidak bisa. Aku tidak bisa makan kadal. Membayangkannya saja... rasanya tidak mungkin. Membayangkan aku memotong daging kakinya yang mungil dan berkaret, memakan dagingnya yang alot seperti kikil...
Kuputuskan untuk mati kelaparan saja.
Aku bangkit berdiri, saking cepatnya hingga aku hampir limbung dan jatuh ke tanah sebelum sepasang lengan kekar menangkapku. Aku tidak perlu melihat siapa yang menekan bahu dan pinggulku, aku mau muntah sekarang. Sisa sisa makananku yang kemarin bergumul di dalam perutku beradu sebelum semuanya keluar.
Entah kapan aku membungkuk di balik semak-semak, tapi aku tidak memuntahi bajunya sekarang. Tidak ada noda muntahan yang muncrat ke gaunku. Tanganku memegang erat batang pohon besar, sementara semua yang berada di perutku kini hilang dan tidak bersisa.
Itu jatah makananku untuk setidaknya beberapa jam kedepan.
"Sialan. Aku kehilangan cadangan makananku untuk hari ini." Gumamku pelan sambil masih membungkuk.
"Setahuku itu muntahan, bukan cadangan makanan." Bisiknya dari balik bahuku.
Napasku tersengal, lalu aku menyeka cairan yang berada di mulutku dengan lengan jaket. Baunya menjijikkan, seperti kotoran anak bayi atau sebangsanya. "Diam kau, bodoh." Tukasku.
Butuh kekuatan yang sangat besar untuk berdiri tegak, tidak ada apa-apa lagi yang bisa menopang perutku untuk berdiri. Sesuatu menyentuh sikuku, membuatku berbalik seketika dan menemukan sebuah botol plastik bening yang ia sodorkan kepadaku. Bukan botolnya yang menarik perhatianku, bukan kebaikannya memberiku botol ini yang menarik perhatianku, tapi airnya...
Hampir saja aku lompat kegirangan jika tidak karena aku sadar bahwa kondisi perutku dalam keadaan fatal. "Air!" Pekikku. Aku menyambar botol air yang berada di tangannya dengan kecepatan super, membuatnya meringis saat kuku jariku yang patah menggores telapaknya.
Air ini tawar. Air ini air biasa. Air ini cuma air mentah. Tapi air ini adalah air yang paling enak yang pernah kucicipi. Satu botol penuh sebesar 1 kilogram kutenggak habis sampai tetes terakhir.
Hampir saja aku lupa kalau aku tidak sendiri saat dia berkata, "Sebenarnya itu air simpananku. Kau tidak boleh menghabiskannya," tapi aku tidak merasakan ada sepasang tangan yang merebut botol itu dari tanganku. "Tapi, yasudahlah."
"Trims. Air ini sangat membantu!" Pekikku. Aku tidak sadar kalau sekarang aku sedang berlutut di tanah, menikmati setiap air yang berada di botol ini.
"Kita impas lagi. Sebenarnya aku cuma bercanda tentang kadal tadi," ia nyengir sambil menggaruk tengkuknya, kemudian berjalan mundur kearah kudanya.
Butuh waktu satu detik untuk meresapi maksudnya. Bercanda? Bercanda. Aku tidak bakal mati kelaparan hari ini. Tapi aku sudah membuang cadangan makanan yang berada di perutku tadi. Andai saja dia tidak berbohong, setidaknya sayur-sayuran hijau yang kumakan di istana masih bersarang di perutku sekarang.
Kutatap matanya setajam yang kubisa. "Bercanda?" Tanyaku dari sela-sela gigi yang terkatup rapat. "Bagus sekali."
"Impas, ingat?" Ia menunjuk botol kosong yang berada di tanganku, membuatku bungkam dan menuangkan air yang sudah habis ke dalam mulutku lagi. Masa bodohlah. Yang penting aku tidak bakal mati kehausan hari ini.
"Lebih baik kita cepat-cepat pergi dari sini. Aku yakin, dalam hitungan menit prajuritmu bakal bangun dan mampu menguping kita." Katanya.
Suasana hening menyeruak. Ia bersandar di punggung kudanya, sementara aku hanya bisa menatapnya bingung.
"Kau lapar, bukan? Ayo, aku jamin menu sarapan pagi ini bakalan enak."
"Aku tidak yakin enak-mu dengan enak-ku sama. Kau pernah makan daging kadal sebelumnya?" Tanyaku.
"Sekali. Dua kali. Tidak begitu buruk, kok. Rasanya seperti lemak ayam."
Entah apa yang berada di dalam perutku sekarang--yang setahuku sudah habis tak bersisa--beradu lagi, membuatku muntah-muntah lagi di tanah kering.
---
Setelah acara muntah-muntahan itu, butuh beberapa menit untukku membayangkan hal-hal yang positif. Sampai-sampai ia harus memaksaku untuk segera pergi dari sini, dan akhirnya aku setuju. Selain karena perutku yang sudah berteriak minta diisi, ngeri juga membayangkan prajuritku bangun dan bisa menguping kami.
Kami memutuskan untuk pergi dari jangkauan prajuritku dulu, baru habis itu kami berburu.
Ia juga memberitahuku bahwa jarak kami dengan danau Onyx sekitar 50 kilometer. Jadi kemungkinan, jika tidak ada halangan, butuh empat hari lamanya untuk sampai disana. Empat hari bersama cowok tolol ini?
Aku harap aku tetap waras untuk setidaknya empat hari kedepan.
Akhirnya, setelah beberapa ratus meter pergi dari jangkauan prajuritku, kami memutuskan untuk berhenti dan berburu. Dan asal kalian tahu saja, ia berkuda seratus kali lebih cepat daripada kecepatanku kemarin--yang hampir membuatku mati tercabik-cabik oleh ranting. Jadi tidak membutuhkan waktu lama untuk menempuh jarak seratus meter.
Sekarang aku dan dirinya sedang berada di antara pohon-pohon berlumut yang susah dibedakan, sementara kudanya ia tinggalkan di belakang pohon beringin. Aku tidak tahu apa yang sedang kami lakukan sekarang, berjalan di tengah hutan hujan sambil berjingkat-jingkat. Atau sebenarnya, hanya dia yang berjalan tanpa suara. Kayu runcing yang tadi ia gosok ternyata adalah anak panah, yang sekarang sudah terpasang rapi di busur peraknya. Entah apa yang ia bidik, tapi aku harap itu adalah sesuatu yang bisa kami makan.
Oh. Kami sedang berburu. Wah. Pemburuan pertamaku.
"Apa?" Tanyaku saat ia membalikkan tubuhnya dan melototiku. Karena ia berhenti, jadi terpaksa aku berhenti juga.
"Suara kakimu membuat buruanku kabur dalam radius 200 mil, Princess." Ia mendesah.
"Salahkan gaunku," aku berbohong. Aku bukanlah orang yang pandai berbohong, tapi karena dia baru mengenalku tidak lebih dari dua hari, jadi aku harap dia memercayai kata kataku.
Tapi kedua alisnya terangkat, "Oh, begitu?"
Baiklah. Kuputuskan kalau ketidakpiawaianku berbohong berlaku bagi semua orang. Entah kepada ibuku atau orang asing ini. "Oke, oke. Maaf," kuangkat kedua tanganku.
Ia berbalik, kemudian berjalan tanpa suara lagi setelah mewanti-wantiku. Aku berada beberapa sentimeter di belakangnya, berjalan se-tidakbersuara mungkin yang kubisa.
Tapi aku tidak bisa.
Ia berbalik lagi, kini kepalaku terantuk bahunya yang besar karena ia berhenti secara tiba-tiba. "Mengapa kau tidak bersama Phillies--maksudku kudaku saja dan memetik beri atau buah lain yang bisa kita makan nanti? Demi tuhan, kalau begini caranya kita tidak bakal kenyang."
Kudongakkan kepalaku setinggi-tingginya hingga menemukan kilau warna hijau di matanya. "Mana aku tahu kalau buah yang ada di hutan ini bisa dimakan asal petik? Memangnya kau lupa ya kalau aku tidak pernah keluar dari istana?" Pekikku di depan wajahnya.
Matanya yang sebelumnya kesal mendadak berubah serius, menanti penjelasanku selanjutnya. "Aku tidak pernah tau kalau kau..."
"Bukannya kita sedang berburu?" Selaku.
"Oh, ya, benar. Berburu." Ia membalikkan badannya lagi, menatap lurus kedepan dengan busur dan anak panah yang sudah siap ditembakkan. "Bukan kita. Tapi aku." Kemudian ia berbalik lagi menghadapku, "kau, pergi. Cari Phillies dan petik semua buah yang bisa kau temukan di dekat situ," titahnya. "Dan jangan jauh-jauh. Kau tidak mau mati digerogoti anjing liar yang kelaparan kan?"
Jadi buah disini bisa kami makan... Lalu mengapa semalam aku tidak makan buah? Idiot.
Phillies. Tentu saja kuda aneh itu punya nama.
Anjing liar. Berapa kali aku harus memberitahunya kalau tidak ada hewan sebuas itu di hutan ini?
"Jangan makan buah-buahan yang kau temui sebelum mendapat izin dariku. Mengerti?" Lanjutnya, matanya terlihat lebih cekung didalam rongganya saat ini.
Perhitungan juga dia. Tidak mau ditinggal kenyang lebih dulu olehku. Padahalkan makanan yang bakal kumiliki hanya buah, makanan penutup, bukan sebuah makanan yang cukup untuk membuatmu kenyang.
Kukertakkan gigiku, "tidak ada anjing liar."
'Namaku Kristen Stewart. Umurku 19 tahun. Aku seorang putri yang kabur dari istananya. Lalu aku bertemu pria asing di hutan. Namanya Robert, aku tidak tahu nama marganya. Dia hampir mati hanya untuk menolongku. Dia tampan, menawan, tapi hatinya dingin, sekeras batu, dia juga perhitungan soal makanan. Aku membencinya. Dia menjengkelkan. Cowok tolol.'
"Mengerti?" Ia mengingatkanku lagi, nada suaranya tidak sabar sekarang.
Aku berbalik, berjalan ke arah kami meninggalkan Phillies dengan kepala menunduk sambil bergumam. "Ya. Lagipula siapa yang mau berjingkat-jingkat seperti orang tolol?"
Buru-buru aku berlari dengan kedua kakiku sebelum anak panah buatannya menancap di punggungku. Tapi aku malah tertawa. Lucu juga sendirian dengan orang asing di hutan belantara. Aku yakin, jika aku masih di istana sekarang, paling-paling aku hanya sedang main piano. Atau baca buku. Atau menonton siaran berita. Atau makan. Makan...
"Hey, Phillies." Sapaku pada kuda bercorak aneh yang sedang terduduk diatas rerumputan. Bangga juga aku bisa mengetahui namanya. Mendengar namanya dipanggil, ia mendongak dan mendengking menyambutku.
"Apa majikanmu selalu segila itu? Kasihan sekali dirimu," aku bergidik sambil mengelus kepalanya yang berambut. "Sudah bercorak aneh, tinggal berdua pula dengan makhluk paling menjengkelkan di dunia. Aku seharusnya bersyukur jika melihat nasibmu. Trims, buddy..." kukulum senyumku yang paling menawan untuk hewan yang paling malang didunia.
Lalu aku bertolak pinggang, jelalatan di antara semak-semak, mencari buah yang paling memungkinkan untuk kumakan. "Nah, sekarang beritahu aku mana saja buah yang bisa dimakan," kataku. "Aku tidak mau mati keracunan buah hari ini."
Aku tersenyum lagi. Rasanya aneh. Baru kali ini aku memiliki banyak pilihan untuk mati: kedinginan, kelaparan, dehidrasi, jadi santapan anjing liar, sampai keracunan buah. Aku tidak terbiasa hidup tidak berkecukupan selama ini. Tapi ini yang kumau. Sekarang aku tahu sebesar apa perjuangan yang harus dilakukan seseorang untuk memenuhi keinginannya. Hanya untuk mendapatkan makanan...
---
Aku harap stroberi dan buah beri yang jumlahnya sedikit ini bisa dimakan. Entah yang berwarna hitam itu termasuk beri atau bukan, tapi aku mengikuti sarannya: Jangan makan buah-buahan yang kau temui sebelum mendapat izin dariku. Mengerti?
"Mengerti." Gumamku pelan. Walaupun terlambat, akhirnya aku mengerti apa maksud dari perkataannya. Oke, dia tidak perhitungan soal makanan. Dia hanya terlalu tidak tega untuk membiarkanku mati keracunan buah di hutan ini.
Aku jijik merasa bersalah padanya.
Kulipat kakiku disamping Phillies, bersandar di batang pohon beringin dan kugelindingkan buah stroberi berwarna merah terang itu di telapakku. Buah ini terlihat segar, tidak ada belatungnya. Apa boleh kumakan, ya? Rasanya buah ini tidak berbahaya. Aku sering makan stroberi selama di istana. Tapi yang disana lebih besar, lebih merah dan ada manis-manisannya. Makan tidak ya...
Kelihatannya stroberi ini sama sekali tidak berbahaya.
Begitu kumakan stroberi yang pertama, kutunggu satu menit. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit. Aku tidak kejang-kejang. Betul, kan? Sama sekali tidak berbahaya. Walaupun rasanya pahit tanpa gula pemanis atau cokelat cair, stroberi itu tetap terasa enak di perutku yang lapar.
Kumakan semua stroberi yang kupunya sampai habis. Tapi dia tidak juga kembali. Sudah berkali-kali juga aku mengitari area ini, mencari sebanyak mungkin beri yang bisa kutemukan. Sudah jam berapa sekarang? Mengapa lama sekali? Mengapa sarapanku lama sekali?
Melihat keadaan matahari, sepertinya sudah jam makan siang sekarang.
Semua stroberi di kawasan ini sudah botak kupetiki. Tapi perutku masih meminta lebih. Dengan segala naluriah pemburu yang kupunya, kulangkahkan kakiku mengikuti semak-semak stroberi yang menjalar semakin jauh dari tempat Phillies berada. Setiap kutelusuri jalannya, setiap itu juga semak semak di belakangku botak.
Stroberi adalah buah favoritku sekarang.
Entah sudah seberapa jauh aku masuk ke dalam hutan. Begitu aku sadar kalau sudah saatnya untuk kembali, aku merasa ada sesuatu yang salah. Sepertinya aku tidak menebang dedaunan semak yang itu tadi. Aku tidak melakukan apapun selain menelusuri semak dan memetik stroberi.
Lalu mengapa semak yang itu botak?
Sebuah suara dahan yang patah mengagetkanku, membuatku tersentak sebelum kemudian aku tersadar. Aku tidak sendirian di hutan ini.
Oke, makhluk jenis apa yang bakal kutemui sekarang? Manusia normal? Hewan buas? Atau manusia abstrak? Atau...
Jangan. Jangan prajuritku lagi. Mereka seharusnya tidak bisa menemukanku sekarang. Tidak mungkin mereka datang lagi untukku.
Tapi sebuah suara yang aneh membuatku ragu kalau itu mereka. Suara aneh itu terdengar seperti geraman buas, berasal benar-benar dari dalam dada. Di antara suara geraman itu ada setitik dengusan. Dengusan yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Dengusan yang tentu saja bukan berasal dari seekor kuda.
Dengusan yang terdengar liar dan mematikan.
Kuambil sebuah ranting pohon yang berada di dekat telapak kakiku dengan sangat pelan, siapa tau aku membutuhkan benda ini. Dengan segenap keberanian yang kumiliki, aku memasang kuda-kuda dan mengacungkan ranting temuanku sebagai alat perlindungan.
Sepasang bulatan kecil yang sejajar dengan pinggangku mengintip dari balik pohon, menunggu antuisi yang tepat untuk menyerangku. Bulatan kecil yang tadinya hanya sepasang itu bertumbuh, tersebar dimana-mana. Ada dua. Tiga. Lima. Enam.
Ada enam ekor anjing liar.
Dari sekian banyak kemungkinanku untuk mati, ternyata kematian yang paling menyeramkanlah yang akan kuterima. Menjadi santapan anjing liar.
Akan seperti apa ya dunia setelah aku mati? Apa mereka akan menemukan jasadku? Atau mereka hanya akan menemukan potongan gaunku yang sudah tercabik-cabik? Apa yang akan dilakukan Jack jika mengetahui kalau aku mati pada perjalananku menuju kebahagiaan kami? Apa dia akan memutuskan untuk menyusulku? Untuk mati?
Ini dia. Para penyerangku sudah menunjukkan dirinya. Cakar mereka kotor, bulu mereka botak, bahkan pitak di beberapa tempat akibat luka bakar atau korengan. Salah satu dari mereka ada yang matanya cuma satu, atau ada yang kupingnya tinggal setengah. Monster-monster ini yang akan menghantarkanku ke kematian. Memerangkapku dari segala arah.
Pernah suatu hari aku terjatuh dari anak tangga kelima dan mendarat dengan punggungku. Seluruh isi paru-paruku tersentak dan megap megap membutuhkan udara. Seperti itulah rasanya. Seperti itulah rasanya dikelilingi enam ekor anjing liar jelek di tengah hutan belantara. Seperti ada seseorang yang memukul punggungmu dengan pemukul bisbol.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku harus diam tak bergerak lalu melindungi diri jika mereka menyerang? Atau berlari secepat mungkin dari sini sebelum mereka menyerang? Tidak ada bedanya.
Karena pada akhirnya aku akan mati.
Aku harus lari. Aku harus pergi dari sini. Aku harus tetap hidup. Aku bisa melakukannya.
Kematian bukanlah takdir bagiku, tapi kematian adalah sebuah pilihan.
Dan aku memutuskan untuk tidak mati dikoyak oleh anjing liar.
Aku berlari secepat melayang saat kabur dari kejaran mereka. Semua angin yang tadinya hanya sepoi-sepoi telah berubah menjadi angin puting beliung yang menerpa wajahku. Sensasinya meresap sampai kedalam tulang-tulang.
Heran betul aku saat menyadari bahwa sudah sejauh ini aku tidak juga terjatuh. Instingku untuk melompat timbul seketika saat melihat akar pohon yang muncul ke permukaan. Dengan sangat cepat aku menghindari pohon-pohon yang seukuran raksasa.
Tapi kecepatanku tidak akan pernah bisa menandingi kecepatan lari enam ekor anjing liar. Suara geraman dan langkah berat menusuk pendengaranku. Aku tidak berani untuk melihat ke belakang.
Tak kusadari bahwa tubuhku gemetar sekarang. Seluruh tulangku bergetar hebat. Sementara napasku sudah habis. Paru-paruku sakit. Aku harus berhenti dan menghirup napas sebentar. Rasanya seperti ada gumpalan duri yang menyumbat semua lubang pernapasanku.
Aku berusaha teriak, tapi tenggorokanku tercekat. Aku tidak bisa bernapas. Aku tidak bisa bernapas. AKU TIDAK BISA BERNAPAS!
Aku tahu kalau kematian sudah berada di depan mataku sekarang. Ada sebuah perbedaan antara menyerah dan tahu bahwa kau sudah memberikan yang terbaik. Mungkin sekarang saatnya bagiku untuk berhenti berusaha karena aku telah melakukan yang terbaik. Setidaknya aku sudah berusaha.
Aku tahu bahwa ajalku tidak akan jauh lagi.
Aku terjungkir di atas tanah berbatu, mendarat dengan punggungku sehingga rasanya seluruh dunia memojokkanku ke dalam kematian. Dadaku naik turun dengan sangat cepat, megap megap mencari udara.
Tubuhku tersentak hebat saat merasakan ada lebih dari satu sayatan yang mengoyak betisku. Rasanya seperti disayat oleh mata pisau yang sangat tajam dikalikan seratus. Tenggorokanku yang tersumbat membuatku tidak bisa berteriak sehingga tubuhku kejang-kejang.
Tepat satu detik setelah itu, suara geraman buas mereka terasa terlalu dekat denganku. Suara mereka terdengar seperti lonceng kematian di telingaku yang tersumbat.
Satu detik setelahnya, tubuhku dihantam telak oleh salah satu dari mereka yang matanya hilang satu. Buru buru kuambil sebongkah batu dan kupukulkan berkali-kali di tengkorak kepalanya. Tapi dia masih bertahan.
Taringnya yang tajam hanya berada beberapa sentimeter dari wajahku. Dalam jarak sedekat ini, baru kusadari ternyata matanya yang bolong mengeluarkan nanah kuning yang lengket serta lebih dari satu belatung menggeliat minta keluar dari sana.
Aku teriak. Suaraku telah kembali. Aku teriak. Belatung itu membuatku ingin muntah lagi. Tapi kukatupkan bibirku rapat rapat sebelum salah satu dari belatung itu menyelinap masuk ke dalam rahangku yang terbuka lebar.
Aku akan mati. Mereka akan memakan otakku sebelum kemudian memakan bagian tubuhku yang lainnya.
Aku harap Robert ada disini sekarang...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar