Suara tembakan membahana dari belakangku, suara peluru yang berdesing dan bubuk mesiu membaur di udara di iringi dengan suara kaca pecah di sekitarku. Rob menarik tanganku lebih erat dan menyeretku bersamanya.
Tidak akan pernah melepaskanku.
"Mereka akan menangkap kita!" Serunya dan aku mulai ketakutan. Kaki ku gemetar dan aku tahu aku akan jatuh. Tapi tangan Rob memegang tanganku dengan erat sebelum lututku menyentuh tanah.
"Kau harus lari, Kristen. Ku mohon!"
Dor!
Belum sempat aku berlari suara letusan itu terdengar lagi. Tidak ada kaca yang pecah ataupun sesuatu yang meletus di sekitarku. Aku memandang Robert dan Robert balik memandangku dengan ekspresi khawatir. Terkejut.
Beberapa detik kemudian ada rasa panas dan perih yang menjalar keseluruh tubuhku, lalu mencapai titiknya di jantungku. Aku tersentak saat merasakan ada sesuatu yang mengalir dan terasa begitu hangat di balik bajuku. Lalu waktu berputar dengan perlahan. Semua buram, berputar-putar,
***
Aku terbangun dengan berteriak, duduk tegak dengan tangan memeluk selimut di dadaku. Aku sendirian di ranjang ini. Aku baru menyadari di mana aku berada ketika ia datang menerjang ke kamar tidur dengan bola mata yang
melotot. Aku mulai menangis saat aku melihatnya. Melihat Robert baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan setengah telanjang: hanya memakai celana jins dan bertelanjang dada. Isak tangisku semakin keras ketika ia duduk di tempat tidur dan memelukku.
Tubuhnya hangat. Menenangkan.
"Ya Tuhan, Kristen. Tidak apa-apa aku disini." Dia mengguncang ku di dadanya. Memberikan ku ketenangan oleh tangannya yang mengusap punggungku dengan gerakan lembut. "Kau hanya bermimpi buruk, itu saja."
Aku tahu aku bermimpi buruk. Sangat buruk. Peluh mengucur di pori-pori pelipisku, mengalir dengan deras dan menghilang di balik kausku. Helaian rambut yang terurai kusut menempel di dahi, basah dan lepek. Aku benci bangun dalam keadaan seperti ini.
Terlihat begitu menakutkan.
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu bermimpi buruk, tapi suara teriakanmu membuatku hampir semaput." Katanya ketika ia mengendurkan pelukannya.
Oh jangan di lepas! Aroma alami tubuhnya membuatku kecanduan. Apalagi untuk pertama kalinya—semenja
Tidak. Aku tidak pernah baik-baik saja. Aku takut. Maksudku, mimpi itu seperti kenyataan. Dengan konyolnya aku menyentuh dadaku, tepat di jantung dan bernapas dengan lega ketika jantungku masih berdetak, masih utuh di tempatnya.
Aku mengangguk dan sedikit mendongakkan kepala. Bulan purnama di luar jendela membuat bayangan di wajahnya. Dia sangat tampan dengan rambut perunggunya yang berantakan, jenggotnya menipis—yang ku asumsikan baru saja di cukur karena aku melihat ada sisa krim di rahangnya.
Entah setan apa yang merasuki diriku, aku mengangkat tanganku untuk menghapus krim di rahangnya dengan jari-jariku, menyetuhnya dengan perlahan dan mengangumi betapa keras dan kuat rahangnya. Aku tahu tindakan ini bodoh. Konyol. Terlalu berani dan terlalu awal untuk memulai. Tapi aku tidak pernah merasa senyaman ini bersama seorang pria. Apalagi Robert adalah pria asing yang beberapa hari ini baru ku kenal.
"Kau habis bercukur?" Tanyaku.
Dia mendengus. "Ya. Setidaknya hampir selesai jika saja kau tidak berteriak seperti orang yang kesurupan." Oh, nada bicaranya menghina sekali.
Aku menghapus air mataku dengan kesal dan mengatakan kepadanya bahwa aku minta maaf. Aku bersungguh-sung
Aku menggosok wajahku. Menyingkirkan anak rambut yang menempel di wajahku dan mengangkatnya sampai ke ubun-ubun. "Aku minta maaf." Kataku sembari mengelap ingusku dengan punggung tanganku.
"Hei, tidak ada yang harus meminta maaf atau dimaafkan. Kau hanya bermimpi buruk, Kristen. Itu normal." Robert meraih kotak tissue di samping nakas yang isinya tinggal setengah dan menyerahkannya kepadaku. "Apakah kau ingin menceritakan padaku apa yang terjadi di dalam mimpimu?"
Yang aku mimpikan adalah kau dan aku. Berlari dengan kencang dan aku tertembak. Mati terkapar dengan darah yang mengalir kesegala arah. Tapi aku tidak ingin orang lain tahu apa yang aku mimpikan. Apalagi jika salah satu pemerannya adalah dirinya sendiri. Jadi aku menggeleng dan berkata, "Tidak," sambil mengambil empat lembar tissue dan mengeluarkan ingusku, situasi ini benar-benar menjijikan dan memalukan.
"Baik." Ia mengangguk. "Tidak apa-apa. Ketika kau merasa nyaman ataupun siap, kau dapat menceritakannya
Aku melihat kesekeliling, ruangan ini sangat gelap, hanya cahaya rembulan yang masuk melalui kaca jendela yang terbuka. Mataku mendapati selimut yang tergeletak di sofa bed putih di tepi ruangan yang sudah di sulap menjadi matras. Sepanjang perjalanan di koridor menuju kamar motel, kami membicarakan tentang pengaturan posisi tidur. Dan disinilah aku, diranjang yang empuk dengan ukuran king size, dan bersyukur karena Rob menemukan sofa bed yang terlihat nyaman untuknya tertidur.
"Kau ingin tidur kembali?"
Aku tidak yakin apakah aku bisa menutup mata lagi setelah mimpi buruk ini. Tahun-tahun berlalu, tapi ingatanku tentang kematian tidak pernah benar-benar hilang. Kadang-kadang, ketika aku sudah mulai lupa, kenangan itu mulai muncul sendiri dalam bentuk yang abstrak di kepalaku. Tapi pada akhirnya aku mengangguk dan meringsut kembali kedalam selimut. Robert bangkit berdiri dan entah bagaimana aku merasa ada sesuatu yang hilang.
Kehangatan.
"Aku akan menyalakan lampunya jika kau mau. Katakan saja padaku jika kau membutuhkan sesuatu."
Aku mengangguk dan pura-pura memejamkan mata.
Beberapa detik kemudian, dalam pejaman mataku aku merasakan cahaya yang silau. Lalu pintu kamar mandi tertutup dan aku mendengar kran air terbuka dan suara air mengalir di dalam pipa. Sepuluh menit kemudian, air dimatikan, dan lantai berderak ketika Rob melangkah keluar dari kamar mandi.
Aku berpura-pura tertidur.
Memejamkan mata serapat mungkin dan menenangkan nafasku, memalsukannya. Setelah beberapa saat aku mendengar derit sofa ketika ia menaikinya, dan suara selimut yang di rentangkan. Beberapa menit kemudian aku mendengar suara dengkuran pelan, mengintip dengan satu mataku, Rob tidur dengan tangan menyilang di dada, kakinya sedikit menggantung di udara, selimut hanya menutupi perutnya sampai kebawah dan ia memakai kaus hitam panjang. Aku tahu udara malam di Denver sangat dingin, dan tanpa kusadari aku gemetaran.
Sejam berikutnya aku masih
terjaga. Karena frustrasi aku bangkit duduk, melirik jam di atas nakas aku mendesah ketika jarum jam mulai menunjukan pukul satu malam. Aku tahu aku tidak bisa tidur lagi. Aku butuh obat tidur. Atau pil penenang yang bisa membuat aku tertidur nyenyak dalam waktu hitungan detik.
Menapaki kaki ku ke lantai kayu yang dingin, aku berjalan ke arah jendela. Pemandangan kota Denver sungguh luar biasa indah dengan cahaya lampu dari bangunan-bangun
Ketika senja mulai beranjak, saat itulah satu persatu bintang mulai menampakkan diri, berkedip kepada setiap insan yang menatapnya seolah sedang menggodanya. Bukan hanya bintang dan bulan, terkadang ada benda langit asing malam yang turut bersinar selayaknya bintang yang lain. Ayahku pernah mengatakan bahwa planet-planet dalam tata surya akan terlihat diantara bintang-bintang
Walaupun gelap tapi langit akan selalu penuh dengan cahaya. Terang. Bersinar.
Ada sepercik rasa iri ketika langit yang gelap itu berkedip-kedip dan memancarkan warna yang begitu terang, bulan sabit melingkar di ujung dengan rasi bintang di dekatnya—Memanc
Sama seperti aku sekarang.
"Kenapa kau masih terjaga?"
Aku terlonjak kaget ketika mendengar suara Robert yang tenang. Berputar, aku mendapati dia duduk dengan tegak di sofa. Matanya menangkap mataku dan aku hanya bisa menunduk.
Sejak kapan ia terbangun?
"Aku tidak tahu." Kataku. Lalu berbalik dan berharap bintang serta benda langit yang lain akan menghilang.
"Kau tahu kau akan aman."
Tidak di dalam mimpiku.
"Aku hanya tidak bisa tidur."
"Setelah mimpi burukmu?"
Aku mengangguk. Tidak mengalihkan pandanganku dari langit.
Aku mendengarnya bangkit dari sofa dan berjalan kearahku—berhen
Jantung. Ada apa ini?
"Kau tahu? Selama ini aku juga pernah mengalami hal yang sama. Selama berbulan-bulan lamanya aku selalu mencari cara untuk keluar dari mimpi buruk itu. Semakin aku mencari, jalan itu akan semakin menjauh. Tak ada jalan keluar. Tak ada cara untuk menghindar. Aku hanya bisa melihat satu-satunya akhir dari masa depanku. Absurd. Aku hanya harus tetap bermimpi, lalu mengikuti kemana alur mimpi itu mengalir. Sampai pada akhirnya aku akan menemukan titik cahaya dimana aku bisa terbangun. Mimpi itu adalah sebuah permainan, kau tahu? Semakin kau takut, kau akan semakin terjerumus masuk ke dalam mimpi buruk itu." Katanya, mengambil napas panjang sebelum bergeser ke sampingku, menyilangkan tangannya di dadanya dan matanya terfokus pada satu titik lampu neon di kejauhan. "Kau punya pilihan, Kris. Kau hanya perlu melupakannya. Atau kau harus melawannya."
Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi ada sebagian kata-katanya yang bisa ku jabarkan.
Semakin takut aku pada mimpi itu, maka mimpi itu akan semakin menjerumuskanku
Aku menatapnya dan menelan ludah sebelum bersuara, walaupun suaraku terdengar begitu samar-samar. "Diantara pilihan itu, kau lebih memilih yang mana?"
Mata kami saling bertemu, dan aku terkejut melihat betapa lembut tatapannya. "Yang ke dua."
Melawan? "Kenapa?"
Ia mengangkat bahu, kedua tangannya yang menyilang di dadanya kini berpindah dan masuk kedalam saku celananya.
"Aku tidak tahu. Semua tergantung dengan apa yang ada di dalam hatimu. Toh pemikiran seseorang itu berbeda-beda, kan?"
Ya. Dia benar.
Sampai beberapa saat kami hanya berdiri terdiam. Garis-garis lampu yang ada di bawah kami berkedip memperlihatkan keindahan lampu-lampu neon yang berhamparan di kota Denver. Tiba-tiba saja suhu menjadi hangat, angin tidak lagi menggoda helaian rambutku. Aku mendesah, merasa canggung dengan kondisi ini.
"Kenapa kau tidak tidur kembali?" Aku memulai.
"Pertanyaan yang sama. Kenapa kau tidak pergi tidur kembali?"
Aku memutar bola mataku. "Seperti yang tadi ku bilang, aku tidak bisa tidur."
"Karena mimpimu?" Ia bergerak. Mundur kebelakang dan berbaring di sofa bed yang empuk.
Tiba-tiba cahaya kilat yang jatuh kebumi menyilaukan mataku di ikuti suara guntur dan gemuruh yang kencang membuat kaca-kaca jendela bergetar dan aku menjerit dan melompat kebelakang.
Suara gemuruh itu terus menerus menakuti bintang dan bulan. Seolah-olah mengaraknya untuk pergi agar bisa menguasai langit.
Langit itu sendiri. Ketakutan.
Kilatan datang dan guntur berkumandang. Suaranya menggelegar membuat kaca jendela tak henti-hentinya bergetar. Aku menutup telingaku dan dengan cepat melompat dan merangkak masuk kedalam selimut. Meringkuk seperti janin yang butuh di lindungi.
Tiba-tiba lampu padam, dan Achluophobiaku kumat lagi. Aku harus menggigit buku jari-jariku agar tidak mengeluarkan suara jeritan yang mengerikan. Jadi kubenamkan kepalaku di bantal dan berusaha meredam suara isakan.
"Kristen, kau baik-baik saja?"
Tidak. Tidak dengan suara petir, halilintar, kilat atau semua gemuruh itu. Apalagi disini sangat gelap. Tak ada penerangan sama sekali kecuali kilatan cahaya dari petir yang menyambar.
Tubuhku berkeringat dan gemetar. Buku-buku jariku terasa perih karena ku gigit dengan kencang. Air mata mengalir dan menetes di bantal ketika suara 'duar' kencang menghantam bumi dengan suara yang luar biasa memekakan hingga hampir memecahkan kaca.
Tuhan. Peluk aku.
"Kristen?"
Aku melirik ke arah Robert. Dia duduk dengan tegak, selimut tipis menutupi perut kebawahnya. Aku bisa melihat garis kekhawatiran di wajahnya, meskipun di dalam kegelapan. Hujan turun dengan deras dan angin mulai berhembus dengan kencang, menabrak dinding motel seolah-olah ingin menerobos masuk dengan paksa. Aku berharap tidak akan ada badai. Badai bukan berarti angin ribut biasa. Kekuatan anginnya dapat mencabut pohon besar dari akarnya, meruntuhkan jembatan, dan menerbangkan atap bangunan dengan mudah.
Aku melirik lagi kearah Robert. Guntur semakin menjadi-jadi dan sebuah kilatan dengan cahaya terang menerangi pandanganku.
"Kau takut?"
Aku tidak boleh berbohong dalam situasi seperti ini. Maka aku menjawab "Ya" dengan susah payah.
Rob menggeser tubuhnya ke satu sisi, dan menyingkap selimutnya lalu berkata, "Ke sini"
Bukan waktunya untuk berdebat dengan hati dan pikiran. Menjadi aman dari pelukan seseorang itulah yang harus di pentingkan sekarang. Jadi tanpa malu-malu aku keluar dari selimut, berjalan dengan cepat kearahnya dan melompat masuk lalu meringkuk di dalam selimut tipis dan hangat yang menjalar dari panas tubuhnya. Kubaringkan kepala di atas tanganku, menghembuskan nafas panjang lalu mengeluarkan hembusan udara keluar.
Bernafaslah, Kristen. Dengan tenang.
"Umurmu dua puluh empat, bukan?" Tanyanya.
Aku mengangguk. "Kenapa?"
Ia tertawa. "Dua puluh empat tahun tapi kau malah takut pada petir. Bocah sekali"
"Hei! Astraphobia bisa di alami oleh siapapun, Rob. Anak kecil, remaja, ataupun dewasa. Jangan mencemoohku." Aku memutar bola mataku dan memukul dadanya. Salah tingkah.
Tentu saja dadanya keras dan bidang...
Keheningan menyelimuti kami. Kecuali suara gemuruh yang menyebalkan. Aku mendongak, menatapnya yang sedang bernafas, berkedip dan berusaha untuk tenang. Dia sedikit gelisah lalu melihat ke arahku. "Kau percaya padaku, Kris?”
Apakah aku percaya padanya? Aku tidak tahu. Kami baru saja bertemu, dan aku tidak tahu harus percaya pada pria asing atau sebaliknya. Tapi aku malah menjawab kata, "Ya" tanpa berpikir untuk kedua kalinya.
“Kemarilah,” dia berkata, menarikku mendekat ke arahnya. Jantungku bergemuruh dan menjadi tegang untuk beberapa saat sebelum membaringkan kepalaku di atas bahunya. Lengan kiriku berada di atas dadanya, sedangkan yang kanan terhimpit di bawah.
"Seorang teman boleh berpelukan, kan?" Itu bukan sebuah pertanyaan. Tapi lebih tepatnya adalah sebuah pernyataan. Aku meringsut mendekat ketika suara petir menggelegar.
Hai langit, jantungku juga tak kalah bergemuruh nya dari pada dirimu. Seandainya kau bisa mendengarnya.
"Tentu, asalkan kau bisa menjaga tanganmu dan jangan pernah melakukan hal yang macam-macam pada diriku." Kataku, mengangkat wajahku sambil melotot kearahnya.
Dia tertekeh. "Aku tidak akan pernah macam-macam."
"Siapa tahu." Kataku sambil mengangkat bahuku.
"Sumpah pramuka." Ia mengangkat dua jarinya ke udara dan aku tertawa. "Aku akan menusuk matamu jika aku terbangun dalam keadaan tidak utuh."
Tubuhnya bergetar ketika ia tertawa terbahak-bahak,
Aku terkekeh lalu ia terdiam. "Aku tidak akan pernah menyakiti seseorang yang berada di sekitarku. Temanku. Kau. Tidak akan pernah." Bisiknya ke rambutku, dan aku menggigil. Gemetar. Gugup. Semua di aduk jadi satu.
"Ya. Teman." Aku memaksakan diriku untuk mengatakannya.
Ia mengangguk dan memeluk pinggangku. Tuhan. Tangannya yang dingin menyentuh kaus tipisku. Mengirimkan seseuatu yang menggelitik ke tububku.
"Kita harus tidur." Katanya.
Aku menarik napas dan meringsut mendekat ketubuhnya. Mengistirahatka
Gemuruhnya tak kalah kencang dengan gemuruh jantungku.
Dia membungkus selimut di atas kami. Tidak ada lagi perbincangan setelah itu. Robert dan aku tidur bersama di matras hangat dengan berpelukan. Dan aku aman, walau guntur dengan sengaja menakutiku dengan dentuman suara yang nyaris menulikan telinga, kilatan petir yang seakan-akan membutakan mata. Tapi sekali lagi aku aman.
Dia benar. Mimpi itu bukanlah sesuatu untuk di takuti. Tapi untuk di lupakan, atau mungkin untuk di lawan.
***
"Jadi apa warna kesukaanmu?"
"Abu-abu. Kau?"
Suaraku di tenggorokanku, tetapi ketika ia menatap kearahku dan aku menangkap bola mata cerahnya, aku berkata tanpa berpikir, "Hijau"
Ya ampun! Sumpah deh, yang ingin ku katakan sebenarnya adalah merah. Merah. Bukan hijau!
Dia menyeringai.
Aku memutar bola mataku. "Giliranku, bagaimana dengan kartun favorite?"
Senyum di bibirnya redup di gantikan dengan katupan bibirnya yang keras, sekeras batu. Ia menunduk, memandangi burger keju deluxe dengan ekstra acar yang belum ia sentuh.
Kami sekarang berada di restoran cepat saji yang tak jauh dari motel tempat dimana kami menginap. Pagi-pagi sekali kami bangun dan bersyukur bahwa di luar sangat terang. Setidaknya matahari dapat mengeringkan jalanan yang basah oleh genangan air. Setelah tidur satu ranjang dengan keadaan saling memeluk satu sama lain, sikap Robert tidak ada yang berubah, sama seperti sebelumnya—ding
Ia bangun terlebih dahulu—terlihat
Pria brengsek.
"Rob, kau oke?" Tanyaku dengan hati-hati.
Ia menggeleng. "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu."
Kami sedang melakukan tanya jawab persahabatan. Masing-masing di antara kami harus menjawab apapun itu pertanyaan yang menyangkut dengan diri kami. Well, ini adalah salah satu cara agar kami bisa lebih dekat satu sama lain.
Aku berhasil mengetahui umurnya yang sekarang telah memasuki dua puluh delapan tahun, warna kesukaannya yang abu-abu—persis dengan warna matanya yang hijau ke abu-abuan—dan sekarang dia tidak bisa menjawab pertanyaan tentang kartun Favoritenya.
Aneh bukan? Diam-diam semua orang menyukai film kartun.
"Semua orang pernah mengalami masa-masa kecil, Rob. Ayahku dulu pernah sempat tergila-gila pada tokoh kartun Sharky and George. Dan ku pikir kau juga mengalami hal yang sama." Kataku sambil bermain-main dengan sedotan sodaku.
Ia menegang. Sialan! Apa yang salah dengan kata-kataku?
"Seandainya aku ingat."
Aku mengangkat alis.
"Kau lupa? Hei, Rob. Umur mu baru dua puluh delapan tahun dan ingatanmu seperti pria paruh baya yang umurnya hampir menginjak delapan puluh tahun." Aku tertawa, mengambil kentang goreng dari wadah dan mencoleknya ke dalam saus sambal.
"Oh, ya?" Ia menatapku dengan tatapan garang ketika aku baru saja memasukan kentang goreng kedalam mulutku yang sekarang setegah jalan, "Bagaimana jika kau tidak mengingat satu pun kenangan yang pernah kau alami di dalam hidupmu? Masa kecilmu? Remaja? Kau sekolah dimana atau siapa orang tuamu? Di mana kau tinggal dan apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu!"
Oh-uh! Apa maksudnya? Maksudku, dia sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi pada dirinya? Dia hilang ingatan? Oh Tuhan!
"Rob," Aku menyentuh tangannya yang dingin di atas meja, "Maksudmu kau amnesia?"
Dia memejamkan matanya. Lalu mengangguk dengan gerakan perlahan, "Semacam itu."
"Sudah berapa lama?"
"Aku tidak tahu. Tapi aku terbagun dengan ingatan yang hilang sekitar tiga bulan yang lalu."
Bernafas, Kristen. "Ketika kau terbangun, mungkin kau menemukan sesuatu yang bisa menghubungkanmu
"Aku terbagun dalam keadaan telanjag."
Sialan.
Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutku. Masih banyak sekali pertanyaan yang terngiang di kepalaku, tapi aku tidak tahu harus memulainya dari mana.
Sampai beberapa saat kami hanya terdiam. Tiba-tiba saja pelayan wanita memakai kaus dengan belahan dada yang rendah berdiri diantara kami dan dia berdeham, "Permisi, girl and gentleman, apakau kau yang memesan kentang goreng dengan milk shake, jus jeruk dan burger original?"
Ya Tuhan. Nadanya begitu menjijikan. Wanita itu membelakangiku.
"Tidak. Aku tidak memesan pesanan itu, maaf." Kataku lalu menyedot sodaku.
Si jalang itu melirikku dengan tatapan yang menyebalkan sebelum kembali menatap Robert dengan senyuman yang terlalu lebar sehingga bisa saja membuat giginya kering. "Bagaimana dengamu, boy?"
"Tidak." Jawabnya tanpa melihat kearah jalang itu, dan tangannya mengenggam tanganku di atas meja dan dia menyeringai.
Dua orang dapat memainkan permainan yang sama bukan?
Gadis itu mendecak kesal dan setelah itu segalanya terjadi begitu cepat.
Suara pecahan gelas terdengar di telingaku dan serpihannya tergeletak di mejaku. Berkeping-kepin
Jus jeruk dengan campuran warna merah kental. Darah. Darah. Darah.
Jalang itu melotot, menunduk untuk melihat kearah dadanya dan darah segar mengalir dari sana. Lalu ia ambruk, membentur meja dengan suara gedebuk kencang dan darah terciprat kemana-mana.
Aku berteriak dengan amat sangat mengerikan ketika suara letusan itu terdengar lagi dan memecahkan tiang-tiang di sekitar kami. Beberapa detik kemudian toples kaca yang berisikan bola-bola mainan di meja belakangku meledak dan aku terjungkal kedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar