Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: heart of Stone

Heart of Stone (part 7) : Friend Zone

Robert's PoV

Sinar matahari yang mulai menembus pepohonan membuatku semakin tidak bisa tidur. Sudah semalam penuh mataku terjaga. Bagaimana bisa aku tidur dengan menghadapi kemungkinan bahwa jantungnya bisa berhenti berdetak kapan saja?

Ini semua salahku. Seharusnya aku tidak membiarkan gadis lemah ini berkeliaran sendiri di hutan. Andai saja kemarin aku menyuruhnya untuk tetap bersamaku, ia tidak harus menderita seperti ini.

Aku menunduk menatapnya yang masih meringkuk di dalam pelukanku. Hidungnya menempel tepat di rahang kiriku. Kedua tanganku memeluk tubuhnya sangat erat, tapi dia tidak memberontak.

Apa yang akan dia lakukan kalau tahu baahwa aku memeluknya seperti ini sepanjang malam?

Kuletakkan bibirku di puncak kepalanya. Ternyata aroma stroberi dan vanilla yang semalam memenuhi indra penciumanku adalah aroma rambutnya.

"Tubuhmu terlalu kecil untuk menanggung semua ini, Princess."

Lalu dengan sangat hati-hati, ragu, dan bingung, jemariku berlarian di rambut perunggunya. Aku tersenyum saat mendengar gumaman lirih keluar dari mulutnya. Ia selalu bergumam kesenangan seperti ini setiap kali tanganku menyentuhnya.

Tapi hanya dalam keadaan hancur seperti ini saja dia begitu. Mungkin saat ia sudah sembuh nanti, bukan lagi hidungnya yang menempel di rahangku, melainkan tinjunya.

Tubuhku menegang saat ia menggerakkan tangannya dari perutku menuju dadaku, kemudian naik hingga melingkari leherku lagi. Sesuatu yang berada di dalam perutku melilit, membuatku menahan nafas sampai rasa sakitnya hilang.

Apa dia tidak tahu penyebab sentuhannya padaku dalam posisi sedekat ini?

Aku menghembuskan nafas lega saat tangannya berhenti menjelajah.

Baiklah, aku menyerah. Sudah semalam penuh sentuhannya membuatku tersengat seperti kesetrum. Dan sudah semalaman juga aku berusaha tetap hidup.

Rasanya hari sudah cukup terang untuk segera membawanya ke desa itu.

Kuguncang pelan bahunya, "Princess?"

Matanya yang sayu hanya bergetar, tidak membuka. Kemudian kuguncang pelan lagi bahunya.

Begitu aku sadar kalau dia terlalu letih untuk bangun, akhirnya aku menyerah dan segera terduduk untuk mengecek lukanya. Tapi sepasang tangan mungil menyentuh lenganku. Begitu aku berbalik, dapat kulihat giginya bergemeletukan lagi.

"Aku hanya ingin mengecek lukamu sebentar saja, oke?" Tanyaku sambil merangkup wajahnya untuk memancarkan hangat tubuhku.

Ia sempat menyandarkan kepalanya di telapakku sebelum akhirnya mengangguk lemah.

Daun yarrow yang kemarin masih berwarna hijau segar mulai berubah memucat diatas lukanya. Sesuatu berlendir kuning menghiasi daun itu. Ternyata daun ini tidak terlalu banyak membantu. Hanya mengeluarkan nanahnya, tapi sama sekali tidak menutup lukanya.

Kemudian aku menyeret tubuhku untuk menyentuh dahinya. Suhu tubuhnya lebih panas dari yang terakhir kali kuingat. Tangannya langsung memegang tanganku erat-erat saat merasakan sentuhanku.

Kuposisikan bibirku tepat di samping telinganya. Setelah menyibakkan rambut yang menutupi telinganya, aku berbisik. "Dengar, kita sudah tidak punya banyak waktu lagi. Aku akan membawamu ke desa itu. Bukankah aku sudah berjanji padamu bahwa kau akan baik-baik saja? Ingat, aku tidak akan pernah mengingkari janjiku. Dan kau akan baik-baik saja jika kau juga mau berjanji satu hal padaku." Kuhirup udara banyak banyak sebelum melanjutkan kata-kataku. "Jaga jantungmu tetap berdetak sampai kita tiba disana, oke?"

Suaraku terdengar terlalu lirih untuk sekadar bisikan. Hampir saja aku kehabisan udara saat mengatakan kalimat yang terakhir.

Dia akan tetap hidup. Ya. Dia akan tetap hidup.

Kemudian setitik air mata keluar dari matanya yang tertutup. Bahkan untuk membuka matanya saja dia tidak mampu. Kuraup ia ke dalam pelukanku.

"Kau akan baik-baik saja."

---

Aku berkuda lebih cepat daripada biasanya. Lukanya sudah tidak bisa bertambah parah lagi jika kami terlalu banyak bergerak. Karena luka itu sudah kubebat dengan seuntai kain, aku tidak percaya lagi dengan daun yarrow itu. Dan lagipula, keadaannya tidak bisa lebih buruk lagi daripada sekarang.

Tangannya menggenggam bajuku lagi di tengah tengah perjalanan. Ia tidak mungkin bertahan jika berada di belakangku. Jadi, kubiarkan saja ia berada di dalam pelukanku dan membuat perutku melilit lagi seperti semalam.

Jarak antara kami dan desa itu sekitar 30 kilometer jauhnya. Mungkin untuk ukuran normal, butuh satu setengah hari untuk sampai disana dengan berkuda. Tapi ia tidak akan tetap hidup untuk satu setengah hari ke depan.

Angin yang menerpa wajahku terasa asing. Ranting yang menggores lenganku terasa menyenangkan. Tangan yang menggenggam bajuku terasa hangat. Hidung yang membelai leherku terasa nyaman.

Roda hidupku terasa terbalik sekarang.

Aku tidak seharusnya senang merasakan sentuhan dari anggota kerajaan yang serakah. Aku seharusnya merasakan perih yang amat sangat saat kulitku robek oleh ranting pohon. Aku seharusnya sudah akrab dengan terpaan angin ini.

Aku seharusnya. Aku seharusnya. Bukan aku yang seharusnya mengatur kehidupanku. Ada pepatah yang bilang, biarkan kehidupanmu mengalir seperti air dan kita lihat dimana akhirnya air itu akan berhenti.

Tapi aku tidak mau air itu berhenti disini. Aku ingin air kehidupanku tidak usah mengalir saja dari awal aku dilahirkan.

Oh, aku lupa. Aku bahkan tidak tahu siapa yang melahirkanku. Masa bodohlah.

Matahari sudah berada di atas kepala saat aku sampai di sebuah perkebunan teh milik desa itu. Nah, tinggal 5 kilometer lagi dan dia akan selamat.

Kupacu kudaku semakin cepat saking tidak sabarnya. Suara berdebum yang ditimbulkan oleh langkah Phillies terdengar begitu nyaring di telinga. Tidak ada kuda yang bisa berlari secepat ini selain dirinya.

Perjalanan 30 kilometer yang paling menegangkan selama hidupku. Dan yang paling aneh adalah, bukan nyawaku yang sedang kupertaruhkan, tapi nyawanya. Entah kenapa, kalau semua ini hanyalah mempertaruhkan nyawaku, aku rasa keadaan tidak akan menjadi semenegangkan sekarang.

Setelah melewati jalan setapak sempit yang ditutupi dengan akar akar gantung dan daun daun liar, kami masih harus melewati jembatan batu dulu untuk sampai kesana. Setelah melewati beberapa "pintu selamat datang", akhirnya langkah Phillies terhenti di tengah alun alun desa.

Aku sering ke desa ini. Aku ingat betul bagaimana bentuk rumah-rumah kayu mereka. Aku juga akrab dengan warga disini, mereka semua mengenalku. Oh, bahkan bukan akrab lagi. Mereka semua sudah kuanggap keluargaku sendiri, karena hanya mereka yang ada waktu aku membutuhkan seseorang.

Biasanya alun alun desa selalu ramai oleh warga di siang hari. Dan sekarang sudah lewat siang bolong. Tapi anehnya, suasana sangat sepi. Bahkan aku bisa mendengar suara daun yang bersentuhan dengan udara sekarang.

Aku berdiri kikuk disamping Phillies dengan Kristen dalam gendonganku. Dimana orang orang? Tidak biasanya suasana sesunyi ini.

"Mrs. Hormes?" Aku memekik. Tapi hanya suara jangkrik yang menyahutku. "Seseorang tolong kami!" Pekikku lagi.

Kepalaku tersentak ke samping saat mataku tanpa sengaja menangkap sebuah gerakan. Setelah menunggu beberapa detik yang terasa amat panjang, seorang anak kecil bertubuh gempal dengan gigi depan yang ompong menyeringai padaku.

Tapi ia tidak menyapaku dan malah berbalik memunggungiku, "sudah kubilang, kan? Itu cuma Robert!" Pekik Tyler. "Reaksi kalian berlebihan!"

Kemudian anak yang berambut pirang emas itu menghampiriku dengan seringai terpampang di wajahnya.

Ia menyisipkan jemarinya yang bengkak di rambut Phillies, "mereka takut dengan langkah kakimu, sobat." Katanya, kemudian Phillies terkekeh. Seakan akan dia mengerti saja ucapan Tyler.

Tapi bola mata yang berwarna biru laut itu kini menatapku dan Kristen, kedua alisnya menyatu.

"Ada apa, Rob?" Tapi bukan Tyler yang bicara. Suara itu lebih nyaring dan lebih jauh dari pendengaranku. Begitu aku berbalik, ternyata alun alun ini sudah kembali ramai. Dengan tanpa sengaja, mereka membentuk lingkaran yang melindungi aku dan Kristen.

Kujawab ibu Tyler dengan tatapan lemah, "tolong temanku, Mrs. Hormes. Kemarin sore dia kena cakar anjing liar di hutan." Kataku sambil mengangkat tubuh Kristen sedikit keatas.

Lalu aku bisa mendengar suara rintihan tertahan yang menggema di sekeliling lingkaran. Persis sama seperti suaraku kemarin saat melihat lukanya. Lalu tanpa kuduga-duga, ibu Tyler yang hampir berkeriput itu menimang nimang kaki Kristen yang terluka.

"Tolong dia," tuturku sepelan bisikan.

Tangan kurus Mrs. Hormes melambai di udara, dan kerubungan orang yang ingin melihat luka Kristen perlahan-lahan bubar. Bahkan Tyler, si anak kecil bertubuh gempal itu sudah membawa Phillies entah kemana.

"Bawa dia ke rumah keluarga Hawkins!" Perintah Mrs. Hormes.

Aku mengangguk dan, dengan ditemani Mrs. Hormes aku berlari ke rumah keluarga Hawkins yang tidak terlalu jauh dari alun alun. Seharusnya dari awal saja aku langsung kemari. Tidak usah menunggu lukanya tambah parah dulu baru aku bergerak.

Ini salahku lagi.

Begitu aku sampai di depan pintu besar yang terbuat dari kayu jati, tanpa mengetuk, seseorang sudah muncul dari dalam rumah. Itu Lisa. Dia anak keluarga Hawkins. Usianya baru empatbelas tahun, tapi bakat menyembuhkan sudah diwariskan oleh ibunya semenjak ia berusia sepuluh tahun.

Matanya yang sewarna awan kelabu menatap seseorang dalam gendonganku, "astaga, ada apa Rob?"

Kujawab dia dengan tergesa, "kena cakar. Anjing liar."

Kemudian tanpa basa basi lagi, ia membuka lebar pintunya hingga terlihat seisi rumah kayunya yang begitu hangat. Ibu Lisa yang berambut gelap itu sudah siap mengarahkan kami ke ruang pengobatan.

Lisa dan Ibunya. Dokter pribadi desa ini. Hanya mereka yang memiliki pengetahuan super tentang kedokteran diantara yang lain-lain. Mereka bahkan rela jasa mereka hanya dibalas dengan seekor kalkun.

"Apa yang terjadi?" Pekik Mrs. Hawkins sementara ia memberiku aba aba untuk menidurkan Kristen diatas kasur busa yang kelewat tipis untuk kasur orang sakit.

Kakinya yang terluka diberi penyangga dengan sesuatu yang empuk.

"Kemarin sore dia kena cakar anjing liar di hutan. Aku sudah memberinya daun Yarrow, tapi malamnya kondisinya makin buruk. Dia terus terusan limbung dan menggigil." Jelasku panjang lebar sambil berdiri kikuk mencari celah untuk melihat Kristen.

Matanya yang tadi hanya bergetar kini membuka dan dengan takut, ia mencari cari mataku. Tangannya bergerak gerak gelisah di samping tubuhnya, seperti sedang mencari cari bajuku untuk dijadikan pegangan seperti semalam.

Hampir saja aku menggapai tangannya saat Lisa mendorong dadaku untuk keluar. Awalnya aku memberontak, tapi kata-kata Mrs. Hawkins membuatku diam tak bergerak.

"Hanya itu yang kami butuhkan," katanya. "Sekarang keluarlah, Rob. Kau justru mengganggu pekerjaan kami." Matanya yang sama kelabunya seperti Lisa menatapku begitu memohon.

Aku berjinjit untuk melihat ke balik bahu Lisa yang sekarang sedang menyeretku keluar. Seharusnya sih tidak perlu, karena dia hanya setinggi dadaku.

"Dia akan baik-baik saja, kan?" Tanyaku pada Mrs. Hawkins.

Sebelum menjawab ia menghembuskan nafas pelan, "aku akan berusaha semampuku, nak." Kemudian ia membungkuk di samping Kristen. Aku bisa melihat tangannya yang sibuk dengan bermacam alat alat perak yang tidak kuketahui namanya.

Dengan kesal Lisa menyentakkan tanganku, "pergi sana, bodoh! Tunggu saja diluar! Aku tidak bisa bekerja kalau begini caranya!" Lalu saat aku bergeming di ambang pintu, ia menutup pintunya dengan kencang di depan hidungku.

Baiklah. Aku bisa menunggu. Lisa dan Ibunya akan menyembuhkan Kristen. Dan semuanya akan kembali normal. Aku sudah menepati janjiku padanya. Dia akan baik baik saja. Sekarang dia yang harus menepati janjinya padaku.

Jantungnya harus tetap berdetak.

Cobalah untuk duduk, Rob.

Kemudian aku menarik sebuah bangku yang terbuat dari rotan ke samping pintu, lalu kusandarkan bahuku dengan tegang di tembok kayu rumah Lisa.

Kupejamkan mataku dan berusaha berpikir jernih.

Dia akan selamat kan? Iya. Dia akan selamat. Mereka akan menjahit lukanya setelah memberi beberapa vitamin yang cukup ke dalam kakinya. Paling-paling kemungkinan terburuknya...

Tidak. Tidak ada kemungkinan terburuk. Dia akan selamat dengan utuh.

Aku melompat dari kursiku.

Aku tidak bisa diam saja seperti ini.

"Tenang, Rob..." suara seseorang membuatku tersentak dan langkahku sempat terhenti sebelum akhirnya aku mondar mandir lagi. Aku lupa kalau Mrs. Hormes ada disini.

Dengan senyum lemas tersungging di bibirnya, ia duduk di atas sofa yang busanya sudah menyembul keluar. Sambil bersandar, ia memangku seekor kucing jelek berbulu keemasan di pangkuannya.

Aku dapat merasakan bibirnya bergerak-gerak bicara padaku, tapi hanya dengungan saja yang bisa kudengar. Aku tidak bisa mendengar apa-apa.

Hari sudah gelap saat pintu 'hidup dan matiku' dibuka oleh Mrs. Hawkins. Berjam-jam aku mondar mandir di depan pintunya. Ekspresi Mrs. Hawkins yang tidak terbaca membuat keringatku semakin bertambah sekarang. Baiklah, satu jam lagi dan jantungku akan pecah saking seringnya dia melompat.

Kupegang bahunya yang kurus dengan kencang, "Bagaimana, Mrs. Hawkins? Dia baik-baik saja, kan?" Aku harus mengulang perkataanku berkali-kali sampai ia bisa mendengar suaraku yang kelewat parau.

"Tenanglah, Rob," katanya sambil tersenyum geli.

Baru saat itu bahuku bisa turun dan urat urat sarafku yang tegang bisa meleleh seperti cokelat. Tapi jantungku masih tidak bisa diam. Dia yang paling keras kepala. Belum ada kepastian, belum bisa
berhenti.

"Dia baik-baik saja," katanya lagi. Senyum lemah mengembang di sudut sudut kulit keriputnya. "Lukanya sudah kujahit dan kakinya sudah kuberi vitamin supaya dia bisa berjalan lagi. Tapi mungkin, dia tidak bisa merasakan kakinya sekarang. Kuberi dia morfin dengan ukuran kelewat banyak melihat kondisinya." Kemudian ia mengedipkan satu matanya padaku.

Lalu desahan lega campur suara tawa kecil keluar dari mulutku. Aneh.

Kakiku bergerak gerak gelisah ingin segera memasuki ruangan hidup dan matiku itu.

"Ia memanggilmu tadi," katanya.

Kuterobos pintu besar itu setelah mendengar kata-katanya. Tepat setelah itu aku bisa mendengar Mrs. Hawkins memekik saat aku berlari menembus tubuhnya yang menghalangiku untuk masuk ke ruangan itu.

"Dan Rob!" Panggilnya, lalu dengan enggan aku berbalik. "Dia tidak boleh kemana mana sampai 3 hari kedepan!"

Kuacungkan jempolku tinggi-tinggi ke arahnya, lalu aku berlari menuju kasur busa tadi. Sebelum terdengar suara pintu ditutup, aku bisa mendengar ia terkekeh dari sudut pintu.

Langkahku melambat begitu sampai di dalam ruangan. Hanya ada satu dokter disini, tidak ada Mrs. Hawkins.

Lebih dari segala sesuatu yang berada di ruangan itu, hanya ada satu yang benar-benar menarik perhatianku. Jantungku sudah bisa berdetak dengan normal lagi sekarang. Dia sehat dan cantik.

Kristen terbaring lemah di balik selimut yang menutupi tubuhnya, sementara kakinya yang luka tidak diselimuti melainkan ditutupi dengan sesuatu yang mirip ramuan.

Lisa yang sedang membereskan alat-alatnya berbalik lalu menjulurkan lidahnya saat ia melihatku masuk.

"Maaf, anak kecil," candaku sambil mengacak rambut peraknya. Tapi tetap saja, perhatianku masih tertuju pada pola napas Kristen.

Tapi dengan cepat Lisa melengos dan pergi ke sebuah lemari bercat putih di sudut ruangan. "Kau menyebalkan, Rob!" Katanya, tapi suaranya yang terdengar sambil menahan tawa membuatku terkekeh.

"Bukan cuma kau yang bilang begitu," lalu mataku menatap kelopak mata Kristen yang tertutup. Kuambil tangannya sambil duduk diatas kursi kumuh yang terletak di samping kepala kasurnya.

Tangannya. Mungil dan rapuh.

"Dia bahkan benci padaku," aku terkekeh sambil menunjuk Kristen dengan daguku. Lisa sudah berada di kaki ranjang sambil membereskan sesuatu disana.

"Oh, kalau begitu, dia sekutuku sekarang," katanya.

Tangan Kristen terasa tidak terlalu panas lagi dalam genggamanku. Kusapukan ibu jariku di atas telapaknya untuk mendengar gumaman itu. Tapi tidak ada lagi gumaman senang, tandanya ia sudah sembuh sekarang.

Entah mengapa aku tidak sepenuhnya senang dengan hal itu.

Kulipat tangan kiriku di samping kepalanya, lalu kuletakkan daguku disana supaya mataku bisa sejajar dengan matanya. Wajahnya yang menghadap ke arahku membuatku bisa merasakan embusan napasnya yang sehangat madu.

"Hm-hm!" Suara batuk Lisa yang terlalu dibuat buat menggema di ruangan. Lalu dengan enggan dan untuk pertama kalinya, kualihkan tatapanku dari hidung Kristen ke mata Lisa.

"Apa sih?" Kataku jengkel.

Ia menyeberangi kasur sambil sibuk lagi dengan teman-temannya. "Dia cantik."

Lalu sambil memerhatikan hidungnya lagi, sudut sudut mulutku terangkat membentuk senyuman. Baru kali ini aku memerhatikan betul hidungnya.

Aku suka hidungnya.

"Dimana kau menemukannya?" Kata Lisa lagi.

Sambil memerhatikan bibir merah yang penuh itu, kujawab dia, "menemukannya? Memangnya dia apa? Koleksi museum atau semacamnya?" Tanyaku jengkel.

Kudengar dia terkekeh, "oh, maaf. Bukan maksudku menghina pacar barumu, Rob. Tapi sungguh, dia cantik sekali. Kecantikannya pantas untuk dijadikan koleksi museum."

Seluruh dunia berputar saat semakin lama aku memerhatikan bibir merahnya itu. Lalu kugelengkan kepalaku kuat-kuat untuk menyingkirkan perasaan itu.

Catatan: jangan lagi-lagi memerhatikan bibirnya. Bibirnya memabukkan.

"Pacar?" Kataku sambil mendengus. "Aku bahkan baru bertemu dengannya dua hari yang lalu di hutan, Lisa. Oh ya, dan kami saling memekik kalau bicara dengan satu sama lain." Kuingatkan dia.

Hampir saja aku melepaskan genggamanku saat kulihat matanya bergetar ingin membuka, tapi akhirnya, nafasnya berubah teratur lagi. Gerakan kecilnya itu membuat sejumput rambutnya yang lepek dan berkeringat menghalangi pandanganku ke wajahnya. Kusibakkan rambut itu dengan sangat hati-hati.

"Kau tidak bisa berbohong padaku, Rob. Aku tahu kau mencintainya. Kelihatan sekali dari caramu menatap dan menyentuhnya."

Tapi jariku malah berhenti di atas kelopak matanya yang selembut beledu. Dan telapak tanganku malah terjatuh di pipinya yang kemerahan. Apakah aku sudah mati? Lantas kalau belum, mengapa ada seorang bidadari di dalam genggamanku? Demi tuhan, aku yakin tidak ada wanita yang lebih cantik daripada dirinya. Mengapa aku baru memerhatikannya sekarang?

"Tuh, kan." Suara Lisa mengagetkanku. Kujatuhkan tanganku di kasur busa itu lagi dengan enggan. "Jangan jadi pengecut, Rob. Jangan waktu dia sedang tidur saja kau berani menyentuhnya penuh arti seperti itu. Itu namanya tidak sopan, tahu. Kutantang kau untuk menciumnya saat dia sudah sembuh nanti, berani tidak?"

Lalu kutegakkan tubuhku dan berputar menghadapnya yang sudah ingin keluar dari ruangan. "Jangan sok tahu, anak kecil."

Merasa kesal, akhirnya dia mengangkat dagunya tinggi tinggi padaku. "Jangan sembarangan kau. Umurku ditambah sepuluh tahun karena bisa menyembuhkan orang, tahu. Itu artinya aku seumuran denganmu."

Kuputar bola mataku, "Ya. Dan umurmu juga dikurangi tiga tahun karena suka menggosip. Itu artinya kau masih anak kecil, my litle princess Lisa!"

Lalu ia mendesah sebelum akhirnya keluar ruangan juga. Tapi aku masih bisa mendengar ia menggerutu dari sini. "Aku akan bilang padanya kalau kau mencintainya saat dia bangun nanti! Dan suatu saat kau akan berterima kasih padaku."

Sambil terkekeh dan menggeleng, kuletakkan daguku di tempat semula lagi. Tidak banyak waktu yang kumiliki untuk menikmati pemandangan ini. Dia akan bangun beberapa menit lagi.

Entah kenapa, mataku yang seharusnya sudah mengantuk tidak juga mau menutup. Hanya ada kami berdua di kamar ini. Dan entah mengapa, jantungku serasa tidak mau bekerja sama lagi sekarang. Semakin lama kuperhatikan wajahnya, semakin aku sadar juga kalau ternyata selama ini aku brengsek. Saraf-saraf ototku kaku saat merasakan tangannya menggenggam tanganku lebih erat.

Kutegakkan bahuku dan kutunggu hingga matanya terbuka. Tapi, tunggu, tunggu dulu. Rasanya ada yang salah...

Uh-oh. Tangan kami, tangan kami. Apa akan lebih baik jika dia tidak usah tahu kalau aku menggenggamnya? Tapi... dia menggenggam tanganku erat sekali. Lalu dengan beberapa gerakan kecil, mata hijaunya akhirnya bertemu mataku. "Rob?" Bisiknya.

"Hai," sahutku secepat satu tarikan napas.

Tubuhku membeku saat tangannya meremas tanganku lebih erat lagi, bahkan ia menyelipkan jari-jarinya diantara jariku. Tapi tatapannya beralih ke seantero ruangan.

"Kita dimana?" Tanyanya akhirnya.

Aku berdeham. "Kita ada di desa itu, Princess. Keadaanmu tadi pagi benar-benar mengerikan," kataku sambil mengernyitkan hidung.

Lalu ia melihat ke bawah kakinya sebelum akhirnya ia menatapku. "Aku tidak bisa merasakan kakiku," rengeknya.

Aku terkekeh pelan, "Mrs. Hawkins bilang, dia memberimu banyak sekali morfin, jadi jelas saja kau tidak bisa merasakan kakimu sekarang."

Lalu entah apa yang terjadi, atau apa yang baru saja terjadi, aku tidak tahu, kusapukan ibu jariku di atas telapaknya, lalu kugenggam tangan kanannya dengan kedua tanganku.

Ia mendesah lega saat mendengar kata-kataku, lalu matanya menatap mataku lagi begitu hangat.

Perutku. Perutku. Melilit lagi.

"Terima kasih, Rob," katanya sambil tersenyum.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Ada lima petasan di samping matanya. Sinarnya begitu terang hingga menyilaukan mataku. Tapi aku tidak bisa bergerak, saraf sarafku kaku. Jantungku rasanya juga berhenti berdetak saat ini.

Apa ada yang punya alat kejut jantung?

Baiklah, bodoh. Berhenti bersikap seperti orang idiot. Buka mulutmu, jawab perkataannya. Tapi mulutku juga tidak bisa bergerak. Ada petasan tepat didepan mataku.

"Err-ss-ama-sama," sahutku dengan segala kemampuan yang kupunya.

"Berapa lama aku harus berada disini?" Tanyanya sambil bergerak-gerak gelisah ingin duduk, tapi buru buru aku berdiri dan mendorong bahunya.

"Jangan banyak bergerak, Princess. Kira-kira baru tiga hari lagi kau dibolehkan pergi." Kataku.

"Tiga hari?" Matanya membelalak. Kuanggukan kepalaku kecil sambil menatap matanya. "Semakin lama kita disini, semakin lama kita bisa sampai ke danau, Rob."

Danau itu lagi. Mengapa dia selalu merusak hariku dengan mengingat tentang danau itu lagi, sih? Tidak bisakah dia menganggapku ada?

Rahangku mengeras seketika, lalu aku berdiri kaku di samping kasurnya. "Persetan dengan danau itu. Kesehatanmu adalah satu-satunya yang harus kita pikirkan sekarang."

Kulangkahkan kakiku satu langkah ke belakang, merasa bahwa ada sebuah pembatas tak kasat mata yang memaksa kami untuk berjauhan sekarang. Kubalikkan tubuhku untuk meninggalkan ruangan, sebelum akhirnya aku sadar apa yang telah kulakukan. Kuhempaskan tubuhku di kursi kumuh itu lagi. Masa bodoh dengan pembatasnya.

"Maaf. Aku memang brengsek." Kulipat kedua tanganku diatas kasurnya dan kusembunyikan wajahku disana. "Aku tidak seharusnya bicara begitu di depan orang sakit, ya kan?"

Lalu kudengar dia terkekeh pelan, "ternyata kau baru tahu ya kalau selama ini kau brengsek?" Tanyanya. Tangan kanannya menepuk rambut belakangku pelan.

Kutatap dia dari sela-sela tanganku, "sialan kau," tapi aku malah ikutan terkekeh bersamanya.

"Baiklah, oke. Tiga hari rasanya tidak lama-lama amat." Katanya setelah menghembuskan napas panjang. Jemarinya masih berada di rambutku. "Aku juga ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang desa ini. Jadi... tiga hari. Aku seharusnya senang, tidak?"

Begitu aku teringat sesuatu, kuangkat kepalaku kemudian kugenggam tangannya yang menepuk rambutku tadi dengan tangan kananku. Sementara tangan kiriku sudah menopang kepalaku untuk menatapnya.

"Dengar, Princess. Warga desa ini tidak akan suka kalau mereka tahu bahwa seorang putri kerajaan sedang menginap di desa mereka. Jadi, jangan bertingkah layaknya seorang putri, oke?" Ucapku sepelan embusan napas.

Kedua alisnya menyatu saat menatap mataku. "Harusnya kau mengatakan hal itu pada dirimu sendiri, Rob. Selama ini kan kau yang selalu bertingkah layaknya aku seorang putri. Bahkan sampai satu detik yang lalu kau masih memperlakukanku seperti seorang putri." Katanya.

Oh, yeah. Dia benar.

Aku terkekeh pelan, "oke, oke. Maaf. Akan kuusahakan untuk tidak memanggilmu 'tuan putri yang mulia' lagi, oke?"

Ia menutup matanya dan mendesah, "kau memang brengsek." Lalu suara tawa kami sama sama menggema di seantero ruangan.

Tapi suasana berubah hening saat kami mendengar ada sebuah ketukan di pintu. Dalam jeda beberapa detik, rambut hitam Mrs. Hawkins menyembul dari pintu ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang sedang menghampiri kami.

"Oh, dia sudah bangun ternyata," katanya sambil menatap Kristen.

Kuputar bahuku untuk menatap Mrs. Hawkins yang sudah berdiri di sampingku. "Mrs. Hawkins, ini Kristen. Dan, Kristen, ini Mrs. Hawkins. Dia dan anaknya yang sudah mengobatimu."

Tatapan mata Kristen berubah cerah saat mendengar kata-kataku. "Oh, terima kasih, Mrs. Hawkins. Aku berhutang padamu." Katanya.

Tapi Mrs. Hawkins malah mengangkat tangannya tak acuh. "Ah, aku melakukannya dengan senang hati, sayang. Oh, ya, panggil aku Sarah, ok?" Kristen mengangguk saat mendengar kata-katanya. "Tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia tidak membawamu tepat waktu." Katanya sambil menyenggol sikuku.

Begitu aku mendongak untuk menatap matanya, bisa kurasakan kalau daritadi dia memerhatikan tangan kami yang menyatu. Sebelum menggeser kursiku lebih jauh, kulepas genggamanku padanya. Perlu lima kali dehaman kikuk sampai suasana kembali normal.

Apa yang akan dipikirkannya?

"Errr," gumam Mrs. Hawkins. "Rob, seperti biasa, makan malam kami adakan di aula utama. Kalian berdua belum makan, kan?" Katanya.

"Aku rasa Rob sudah makan, ya? Terakhir kita makan kan kemarin." Kata Kristen sambil menatap mataku.

Hampir saja aku berbohong padanya sebelum Mrs. Hawkins menginterupsi. "Semenjak kalian sampai, dia tidak mau makan, Kris. Dia mengkhawatirkan keadaanmu."

Kutatap matanya dengan tatapan menuduh, sebelum akhirnya aku memandang Kristen dengan malu.

"Wah," hanya itu yang bisa Kristen ucapkan.

Aku tahu, aku tahu. Aku aneh, ya?

"Sudah, sudah. Ayo, kalian harus makan malam. Kutunggu kalian di aula, oke?" Kata Mrs. Hawkins hendak meninggalkan ruangan sebelum aku menahannya.

"Tunggu dulu, bagaimana caranya Kristen pergi ke aula, Mrs. Hawkins?"

---

"Rob, siapa dia?" Tanya Heidi, seorang ibu muda padaku saat kami sampai di aula.

"Wah, kau harus memperkenalkannya padaku, Rob!" Seru Dree, seorang pria bertubuh jangkung padaku.

"Sumpah, kalian sangat cocok jika bersama!" Kata-kata itulah yang paling banyak sekaligus paling menjengkelkan yang menghantam kami, saat aku dan Kristen memasuki aula untuk makan malam.

Dengan bantuan kursi roda milik mendiang ayah Lisa, Kristen senang sekali akhirnya dia bisa keluar dari ruangan itu. Tapi tetap saja malam ini adalah malam teraneh bagi kami.

"Pasangan kekasih?" Bisik Kristen padaku saat kami dihantam pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Matanya yang begitu bingung campur geli membuatku ingin segera pergi saja dari aula ini.

Apakah mereka tidak bisa menjaga sikap mereka sedikit saja saat di depan Kristen? Di depan wanita keturunan bidadari ini?

Kugaruk tengkukku yang tidak gatal. "Aku rasa mereka jadi gemar menggosip semenjak aku pergi," aku balas berbisik di telinganya. Tapi sikap kami ini justru membuat orang-orang di aula semakin tertarik untuk menggoda kami.

Masih membungkuk, aku mendesah. "Maaf, sungguh. Biasanya mereka menyenangkan, asal kau tahu."

Tapi Kristen malah terkekeh dan menoleh ke belakang padaku, "mereka menyenangkan, Rob. Aku suka mereka."

Makan malam itu sungguh lucu tapi hangat. Sudah lama sekali semenjak ada pengunjung baru di desa ini selain aku. Jadi, maklum saja banyak sekali orang yang ingin nengobrol dengan Kristen tentang kabar negeri Fownzley.

"Wah, kau cantik sekali, Kristen. Bagaimana caranya supaya rambutmu bisa seindah itu?" Kata-kata dari anak umur lima tahun, Casey Adams, benar-benar meluluhkan hati Kristen.

Ia juga menerima banyak tanda ucapan selamat datang dari anak-anak di desa ini. Kebanyakan, mereka memberi bunga dandellion dan bunga rue pada Kristen. Tapi ada juga yang memberinya batu kerikil tidak berbentuk, yang tanpa sengaja terjatuh ke selokan saat anak itu memberikannya pada Kristen. Sungguh tidak berguna. Tapi tetap saja Kristen memasang senyum kudanya itu.

Aku selalu mendampinginya kemanapun ia pergi. Dan setiap kali itu juga dia selalu menoleh ke arahku dengan tatapan bermacam-macam, seperti: 'wah, dia lucu sekali, Rob'; 'oh, aku jadi malu'; 'lihat, Rob? Mereka menyenangkan'; 'astaga, sepasang kekasih? Huek'.

Tapi ada satu tatapan yang membuat lututku bergetar. Begitu dalam dan hangat: 'terima kasih telah memperkenalkanku pada mereka, Rob'. Di saat itulah untuk pertama kalinya aku merasa seperti orang normal.

Sesuatu yang berada di dalam perutku melilit lagi. Tapi asal kalian tahu, aku suka rasa sakit itu.

Percakapan dengan Lisa lah yang paling melekat di otaknya. Kebanyakan dari percakapan mereka membicarakan aku, tapi tak ada satupun dari mereka yang merasa perlu berhati-hati dalam bicara. Mereka tidak menganggapku ada.

"Err, kau harus tahu, Kristen, Rob pernah berkuda sambil tidur suatu malam. Dan sayangnya, dia hanya menabrak pohon, bukan gunung." Celoteh Lisa.

"Oh, ya, dia juga pernah jatuh dari atas pohon karena tertidur saat menunggu buruannya, Kristen."

"Kau tahu tidak, kalau Rob pernah salah menukar pakaiannya di Fodz?" Kristen menggeleng. "Dia pernah menukar kalkunnya dengan pakaian wanita, Kristen. Dan mau tidak mau, dia harus memakai pakaian itu."

"Bayangkan kalau rambutnya panjang sebahu!"

"Dia pernah berciuman dengan Phillies, kau tahu?"

"Oh, kau tahu tidak? Alis dan bulu matanya pernah gundul saat bermain denganku!"

Kubenamkan wajahku di meja makan sambil mendengkur. Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk menghentikan celotehan Lisa. Kristen malah kegirangan saat Lisa menceritakan semua aibku padanya.

Dasar bocah akhir zaman.

"Aku suka Lisa." Kata Kristen saat kami memasuki ruangan pengobatannya lagi. Kambing adalah menu utama makan malam kami hari ini. Dan hampir semua orang sudah berbicara dengan Kristen di aula tadi. Aku hanya bisa lalalolo sambil mengikuti pembicaraan mereka.

Kuputar bola mataku dan mendengus. "Dia cerewet, Kris, astaga."

Rumah keluarga Hawkins kelewat sepi di malam hari begini. Hanya suara jangkrik dan suaranya yang bisa kudengar.

Ia berbalik dan mendongak menatapku yang sudah teler saat mendorong kursi rodanya. "Hm, aku membayangkan kalau rambutmu tumbuh panjang sebahu!" Katanya kemudian terbahak-bahak.

Sialan Lisa.

Kuangkat kedua tanganku menyerah. "Aku waktu itu cuma mau mengikuti model saja, Kris. Jangan salahkan aku, dan itu juga berdasarkan saran Lisa. Aku tahu, aku tahu, aku konyol." ujarku tidak jelas.

Ia sudah mulai berhenti tertawa saat kami sampai di dalam ruangan. Begitu aku menggendongnya dari kursi roda ke kasur, dia memelukku sekali lagi.

Astaga. Kristen, bisakah kau berhati-hati sedikit saja? Perutku. Melilit lagi!

"Terima kasih, Rob. Tadi adalah makan malam paling hangat yang pernah kualami. Aku senang berada disini. Akhirnya aku tahu kalau aku seharusnya senang berada di desa ini. Terkadang melanggar peraturan itu baik, ya?" Bisiknya di telingaku.

Tubuhku membeku di ambang kasur dan kursi rodanya. Kata-katanya membuatku ingin terus menggendong dan merasakan pelukannya ini. Tapi setelah membenamkan bibirku di rambutnya, kubaringkan dia di atas kasur.

"Aku tahu ini berbeda untukmu," aku terkekeh. "Makanannya, kasurnya, rumahnya," kuangkat bahuku sambil tersenyum. "Tapi aku yakin mereka sangat senang dengan kehadiranmu disini. Kembali kasih, Princess."

Ia mengerang dan menutup matanya. "Kristen, Rob. Panggil aku Kristen."

Aku terkekeh sambil menghempaskan tubuhku di kursi rotan di sampingnya. "Oke. Kristen."

"Aku suka Lisa." Ulangnya lagi.

Aku mengerang dan kubenamkan wajahku di kasurnya. "Aku tahu. Pasti karena dia sudah membeberkan aibku padamu, ya?"

Ia terkekeh. Suara tawa paling renyah yang pernah kudengaar. "Hmm, bukan begitu juga sih. Lebih tepatnya karena dia sudah menceritakan segala tentangmu padaku." Kutatap matanya untuk memastikan bahwa pendengaranku tidak salah. "Oh, ayolah, Rob. Aku sudah memberitahumu tentang hidupku yang membosankan di istana itu kan? Tapi aku belum mendengar ceritamu."

Kusandarkan tubuhku di sandaran kursi, lalu kutatap matanya lekat-lekat. "Percayalah, kau tidak mau mendengarnya, Kris."

"Aku mau," ia bersikeras dan berguling ke samping untuk mendengar ceritaku.

Aku mendesah pasrah dan kuhempaskan kedua tanganku di sisi tubuhku. "Sudah malam, kau harus tidur."

"Bagus. Ceritamu bakalan jadi dongeng penghantar tidur buatku." Katanya masih bersikeras.

Aku mengerang dan menyerah. "Baiklah. Apa yang ingin kau ketahui?"

Ia menggigit bibir bawahnya, "err, kau tinggal dimana?"

"Di hutan. Di sini. Aku tidak punya tempat tinggal tetap." Kataku sambil menutup mata. Mataku sudah dua watt sekarang.

"Keluargamu?"

Mataku membelalak saat mendengar pertanyaannya. Mengapa tak terpikirkan olehku kalau dia pasti menanyakan hal itu padaku?

Baiklah, aku harus jawab apa?

"Errr, eh, semua warga disini adalah keluargaku." Oke, aku tidak sepenuhnya bohong padanya.

Dia memutar bola matanya dan mendesah. "Orang tuamu, maksudku."

Aku berdeham untuk mencairkan suasana. "Mereka... mereka, sudah meninggal." Baiklah, kalau yang ini aku berbohong.

"Oh," ekspresi Kristen barubah kecut saat mendengar kata-kataku. Maaf, Kris.

"Maaf, aku tidak bermaksud..."

"Tidak, tidak apa-apa. Dari dulu mereka tidak terlalu dekat dengan diriku. Yang penting sekarang, aku punya mereka." Kuangkat bahuku sambil menatap tanah.

Ia mendesah, "kau beruntung sekali, Rob. Kau masih punya mereka, sedangkan aku? Dari dulu aku selalu sendirian."

Kudongakkan kepalaku untuk menatap matanya. "Jack?"

Ia mengangkat bahunya dengan lemas, "dia bahkan tidak sedang bersamaku disini sekarang."

Kusunggingkan senyumku padanya. "Setidaknya aku akan bersamamu untuk empat hari kedepan, heh?"

Ia terkekeh dan mengangguk, "Ya. Empat hari yang panjang."

Terjadi keheningan yang aneh di antara kami. Tatapan kami saling bertemu, dan senyum kami sama-sama terbentuk di wajah masing-masing. Aneh?

"Lebih baik sekarang kita tidur." Kataku dan kuletakkan kepalaku diatas kasurnya.

"Kau tidur dimana?" Tanyanya.

"Aku tidur disini. Siapa yang tahu kalau nanti malam kondisimu akan bertambah parah?" Tanyaku sambil mengangkat bahu. Walaupun kemungkinannya kecil, sih.

"Oh, ayolah, Rob. Tulangmu bakal rontok kalau kau tidur dengan posisi begini."

Kuangkat kepalaku untuk tersenyum dan menatap matanya, "aku tidak peduli. Jangan harap aku bakal meninggalkanmu sendirian di ruangan ini. Kau tahu tidak bagaimana perasaanku saat melihatmu menggigil seperti kemarin?"

Uh-oh. Apa yang baru saja kukatakan?

Sial. Aku tahu kata-kataku tadi pasti bermakna ambigu bagi siapapun yang mendengarnya. Tapi aku hanya tidak ingin meninggalkannya sendirian, itu saja. Tidak ada bentuk perhatian lain.

Dalam hitungan detik yang panjang, pipinya tersemu sambil menatapku malu. Oh, astaga. Seperti apa wajahku sekarang?

Buru buru kubenamkan wajahku di kasurnya. Bodoh, bodoh.

"Tidur, Kristen." Suaraku teredam busa kasurnya yang sudah kumal itu. Kupukul jidatku sekali lagi seperti orang sinting, padahal aku idiot.

Setelah beberapa detik hanya terdengar suara jangkrik, dia berbisik ragu-ragu padaku. "Kau juga, Rob."

Oke. Aku rasa perutku sudah mau pecah sekarang. Kugigit bibirku supaya tidak teriak. Baru setelah aku merasakan ada cairan asin di mulutku, kulepas gigitanku dan mendesah.

Aku tidak bisa tidur kalau begini caranya.

Hari ini adalah hari yang paling membingungkan dalam hidupku, well, sekaligus menyenangkan. Entah kenapa perutku selalu melilit setiap kali Kristen tersenyum atau menyentuhku. Tapi anehnya, aku suka rasa sakit itu.

Semua ini terasa aneh dalam waktu yang sama. Aku peduli terhadapnya, tapi aku tidak boleh suka padanya. Dan rasanya konyol sekali membayangkan kami sebagai sepasang kekasih. Tidak, itu sama sekali tidak benar.

Kami hanya teman. Ya, dan selamanya kami akan menjadi teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar