Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Heart of Stone


Heart of Stone (part 8) : I love Jack, but I'm Robert's girl. Yeah, I know I'm suck.

Kristen's PoV

Bingung. Ya, hanya itu yang bisa kurasakan saat ini. Semua rencanaku kacau balau. Well, tidak ada yang merencanakan kalau aku akan digigit anjing liar dan berakhir di desa ini. Tidak ada yang merencanakan kalau aku akan bertemu Rob dan membutuhkan bantuannya.

Tidak ada yang merencanakan kalau aku akan merasa nyaman berada di dekatnya.

Semenjak kejadian keramat itu, ada sesuatu dalam diriku yang berbeda. Entah aku sudah gila atau belum, tapi aku menyukai keberadaan Rob disisiku. Aku menyukai segala bentuk perhatiannya padaku, baik yang ia sadari ataupun tidak. Aku mendambakan segala sesuatu tentangnya, tidak pernah berkurang dan justru terus bertambah.

Perasaan ini sungguh aneh dan tidak masuk akal. Bagaimana bisa aku kecanduan dengan segala hal tentang Robert sementara aku mencintai Jack?

Oh, rasanya aku adalah orang yang paling serakah di dunia ini. Sudah mendapatkan pria yang sempurna, aku masih saja menginginkan pria lain. Masa bodohlah. Toh, hanya untuk beberapa hari saja aku akan bersamanya, setelah itu semuanya akan selesai. Kami tidak akan pernah bertemu lagi dan aku akan melupakannya.

Ya, aku harap akan semudah itu bagiku melupakannya.

Pada keesokan paginya, kuhabiskan waktuku bersama Lisa dan Sarah di ruang pengobatan.

Pada hari pertama, efek 'mati rasa' yang ditimbulkan morfin itu sudah mulai menghilang. Aku sampai mengerang berkali-kali sampai akhirnya 'dokter pribadiku' datang.

Aku girang bukan main saat Sarah menyingkirkan obat ramuan yang ia tempelkan di lukaku. Semakin lama, obat ramuan itu justru semakin membuat lukaku terasa panas. Sementara kakiku sudah bersih tanpa penutup, Sarah menyuguhiku sebuah pil seukuran gundu yang rasanya pahit seperti sayuran dicampur kopi.

Kucakar pergelangan tangan Rob saat ia membantuku menelan pil sialan itu. Hampir saja pil itu menyangkut di tenggorokanku, sebelum Rob mengisi ulang gelasku dengan air hangat.

Selama pengobatan, Rob diizinkan untuk menemaniku. Oh, bukan diizinkan namanya, kalau aku yang memaksanya untuk tetap disini. Aku tidak bisa melakukan ini semua tanpa dirinya disisiku.

Robert berkali-kali mengalihkan perhatianku sementara Lisa dan Sarah menjahit ulang jahitan lukaku yang terbuka. Mereka tidak bisa menggunakan morfin kali ini, sesuatu yang langka seperti morfin harus benar-benar dihemat untuk kepentingan genting lainnya.

Kedua telapak tangan Rob yang besar merengkuh wajahku, memaksaku untuk menatap matanya, bukannya proses jahitan luka yang mengerikan itu.

Kuperhatian bibirnya sementara ia bicara, "kau tahu tidak? Aku pernah mengalami luka yang lebih parah daripada kau, Kristen. Oh, bahkan mereka harus menyusun kembali tulangku untuk menjagaku tetap hidup. Dan waktu itu aku benar-benar sendirian. Andai aku memiliki seseorang untuk merengkuh wajahku seperti ini dan mengalihkan perhatianku dari penyusunan tulang yang menyakitkan itu. Andai saja waktu itu aku memilikimu..."

Ternyata, pil yang tadi kutelan menimbulkan khasiat yang sangat dahsyat. Mimpi itu sungguh aneh, Rob bilang padaku kalau dia menginginkan aku. Dia bilang, dia membutuhkan seseorang sepertiku untuk mengalihkan perhatiannya dalam keadaan-keadaan seperti ini.

Oh, ini mimpi kan?

Jikalau iya, akan kujawab dia; Aku disini sekarang. Aku bersamamu. Aku nyata. Akan kulakukan hal yang sama sepertimu jika keadaan kita terbalik, bodoh. Kau tidak sendirian. Dan aku milikmu, sekarang dan selamanya...

Oh, yeah. Untung saja ini cuma mimpi. Sayangnya rasa kantuk menenggelamkanku lebih dalam ke air sebelum aku bisa menjawabnya.

Tapi suara-suara lain mulai berlarian di kepalaku. Kedengarannya kedua suara itu berasal dari orang yang sama...
"Biarkan aku memberimu beberapa pertanyaan mudah. Siapa kau?"
"Kristen Stewart."
"Siapa cinta sejatimu?"
"Pangeran Jack."
"Lalu siapa Robert?"
"Dia milikku."
Kedua suara itu milikku. Baik yang bertanya maupun yang menjawab, keduanya adalah aku.

Aku tersentak saat merasakan kegelapan membawaku semakin dalam ke pusat bumi. Aku terjun bebas dari ketinggian sejuta kaki tanpa mengetahui betul apa yang akan kutemui di bawah sana.

Hari sudah terik. Desingan besi terdengar dari luar ruangan.

Mata kelabu Sarah adalah warna pertama yang kulihat semenjak aku membuka mata. Ruangan ini begitu terang. Bahkan warna kelabu mata Sarah kini hampir memutih, hampir seputih salju. Jam berapa sekarang? Berapa lama aku bermimpi?

"Hai, sayang. Tidurmu nyenyak?" Tanya Sarah kemudian terkekeh. Kukerutkan dahiku saat menatapnya, masih bingung dengan responku sendiri.

Ia duduk di kursi kumuh yang sering ditempati oleh Rob. Dengan sebelah tangan menyentuh ujung rambutku, ia tersenyum.

"Dimana Rob? Jam berapa sekarang? Apa yang terjadi?" Semburku tanpa berpikir.

"Dia baik-baik saja." Jawab Sarah. "Kau baik-baik saja. Kurasa sudah jam makan siang sekarang."

Nada bicara Sarah hampir sama dengan nada bicara Ibuku waktu virus demam menyerang istana dan aku menjadi salah satu korbannya.

Bukan karena aku merasakan ada yang berbeda dengan kamarku yang sekarang, dan bukan karena nada bicaranya yang mengingatkanku pada ibuku, tapi aku merasakan tubuhku terasa berbeda.

Aroma bunga fresia dan mawar merebak dalam penciumanku. Kuangkat tanganku perlahan-lahan, dan akhirnya aku tersadar kalau aku mendapat pakaian baru. Bagian yang terbaik adalah, tubuhku sudah bersih dan rambutku sudah rapi dengan bentuk kepangan kesamping.

"Oh, Mrs. Glory memberikan pakaian ini khusus untukmu, sayang. Kau boleh bercermin sekarang, jika kau mau tentu saja?" Tanya Sarah dengan ragu.

Kugantungkan kakiku di tepi kasur, dan aku dapat melirik celana baruku dari sudut mata. Dengan bantuan Sarah, aku sudah bisa berjalan ke depan cermin yang jaraknya satu meter dari kasurku.

Lalu pemandangan lain mulai menyita pikiranku saat ini. Siapa dia? Siapa wanita yang kulihat di cermin itu? Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Begitu kuat dan kokoh. Ia terlihat seperti pohon subur yang berdiri di tengah tanah gersang. Tidak peduli sekitar, pohon itu akan tetap berdiri kokoh di tempat yang salah ini sampai waktu mengikis. Tanpa air, tanpa apapun yang akan membantunya berdiri.

Dengan baju satin seputih gading, celana jins belel, dan sepatu boot berbulu, aku terlihat serasi jika disandingkan dengan Rob. Rambutku yang dibentuk menjadi satu kepangan dihias dengan bunga warna-warni seukuran melati. Ternyata aroma bunga fresia dan mawar yang tadi sempat kucium berasal dari sini.

"Aku yakin ini milikmu," suara parau Sarah mengalihkan perhatianku dari wanita yang berada di cermin itu.

Oh, tentu saja: Tas pinggang bermotif cantik yang berisi peta, kompas, dan peluit itu. Bagaimana bisa aku lupa dengan tas ini?

"Oh, ya. Aku hampir melupakan tas ini." Aku hampir tercekat saat mengatakannya.

Kuikat tas itu di pinggangku. Kelihatannya tas 'cantik' ini tidak cocok disandingkan dengan pakaianku yang kelewat 'sangar'.

"Kau suka?" Tanya Sarah.

Kuputar badanku untuk menatapnya. "Suka? Ini hebat, Sarah. Terima kasih banyak!" Kuraih ia kedalam pelukanku sampai kami berdua tidak bisa bernapas.

O-oh. Aku kelewat senang sekarang.

"Kau mau bertemu Rob? Dia sedang bersama Lisa di aula. Ayo." Kata Sarah sambil menggandeng tanganku.

Kutahan dia. "Kau yakin? Tidak pakai kursi roda?" Tanyaku, berharap cemas agar dia berkata tidak. Aku muak berlama-lama di kursi roda itu.

Ia menggeleng. "Tidak perlu. Kakimu bakal membaik jika terus dilatih. Oh, kecuali kau mau--"

"Kau tahu, Sarah?" Kusela kata-katanya. "Hari ini adalah hari terbaikku dalam sejarah. Ayo."

Sambil menyentakkan kepalanya ke belakang, ia tertawa keras-keras. "Kau berlebihan, Kristen. Sama saja seperti Rob!"

Entah mengapa, kurasa aku merindukan ibuku sekarang. Dan entah bagaimana, kehadiran Sarah cukup untuk menambal rasa rinduku padanya saat ini. Kupeluk lagi dirinya selama perjalanan menuju aula. Dengan tangan yang sudah berkeriput, ia membelai rambutku penuh kasih.

"Oh, lima tahun yang lalu, Lisa juga bergelayutan seperti ini di pelukanku. Dan kau, berapa umurmu sekarang?" Sarah sepertinya ibu yang sempurna. Selain penuh kasih sayang, dia juga akan selalu hadir untuk Lisa, kapanpun Lisa memintanya. Berbeda sekali dengan ibuku.

Aku tertawa dan mengangkat bahu. "Kakiku kan sedang sakit, Sarah." Tuturku sambil nyengir.

Ia mengangguk, "Oh, ya, ya. Tentu saja, Kristen." Desahnya sambil mencubit hidungku.

Dia benar, berapa umurku? Ha ha. Lucu sekali, Kris.

Begitu kami sampai di aula, semua mata tertuju pada pakaian baruku. Hanya saja, respon mereka tidak seantusias sebelumnya, dan aku bersyukur untuk itu. Hanya Mrs. Glory yang kini menghampiriku, ditambah dengan tatapan menggoda di matanya.

Wanita berambut keriting gantung yang sewarna merah jahe itu bertolak pinggang di hadapanku. Dia sama saja seperti yang lain, keriput dan hangat.

Kulepas pelukanku pada Sarah. "Terima kasih banyak, Mrs. Glory. Pakaian ini sangat cantik, sungguh."

Kemudian setelah terkekeh dan menurunkan kedua tangannya di sisi tubuh, ia memelukku. Anehnya, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Entah itu sama-sama atau apalah, tapi tidak ada sama sekali. Namun aku bisa merasakan pelukannya yang berbicara padaku.

"Hey, Kristen!" Suara seorang pria yang sangat merdu itu memecah pelukan kami. Kemudian dengan ditarik cucunya, Mrs. Glory memberi kecupan ringan di pipiku. Kuberi ia senyum terima kasih sebelum akhirnya kami berpisah.

Tangan Sarah langsung menyambar lenganku ketika lengan Mrs. Glory tidak menahanku lagi. Lalu dalam hitungan detik yang terasa lama, rambut perunggu itu muncul dari kerumunan.

Ini dia milikku. Ini dia pria yang memilikiku.

"Kecilkan sedikit suaramu, Rob." Kucubit pinggangnya saat ia tiba di hadapan kami.

"Hai, Mrs. Hawkins." Sapa Rob sekilas pada Sarah sambil melambaikan tangannya. "Kau bisa menyerahkannya padaku sekarang." Dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya, ia mengedipkan satu matanya pada Sarah.

Sebelum melepaskanku, Sarah mendesah dan mendengus. "Dasar kau Rob. Jaga dia, jangan sampai dia terjatuh, oke?" Ia menudingkan telunjuknya di depan mata Rob.

"Siap, bos!" Lalu dengan beberapa gerakan kecil ala tentara, Ia meletakkan tangannya di pinggangku. Seperti yang kuduga, aliran setrum itu menjalar lagi di tempat dia menyentuhku.

Setelah memberiku ciuman perpisahan di pipi, Sarah pergi menghampiri Lisa yang mulutnya sudah penuh dengan makanan.

Sambil menggiringku melewati kerumunan, ia mencengkeram pinggangku lebih kuat. "Kau tahu tidak, tanganku pas sekali di pinggangmu, Kris." Katanya sambil mengulurkan tangannya yang bebas padaku.

Kuraih tangannya sebagai tumpuan. "Diam kau, Rob. Sekarang ambilkan makanan untukku. Aku lapar sekali, sungguh."

Tapi ia malah terkekeh dan mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya. "Pakaian baru, huh?" Aku mengangguk sambil nyengir kuda. "Aku lebih suka kau dalam pakaian ini daripada dalam gaunmu yang kemarin. Maaf, tapi itu benar. Kau cantik sekali hari ini."

Entah bagaimana caranya, walaupun kami sedang berada di tengah kerumunan ini, dia masih bisa saja membuatku menunduk malu. Bahkan hanya dengan kata-kata pasaran yang sudah seribu kali kudengar; kau cantik sekali hari ini; hanya dia yang bisa membuat jantungku berdebar secepat ini.

Aku suka dengan caranya melihat sesuatu; aku suka dengan caranya menatapku.

"Rob, bisakah kau berhenti melakukan itu?" Kuputar kepalaku hingga membelakanginya.

"Apa?"

Bisakah kau berhenti membuat jantungku berdebar tak keruan? Bisakah kau berubah menjadi dirimu yang dulu lagi? Yang menjengkelkan setengah mati itu? Kumohon, semua ini akan lebih mudah jika kau bersikap seperti dulu.

Kutatap matanya.

"Bukan apa-apa. Lupakan saja. Rob, please, aku lapar."

"Oke, cantik."

Sialan kau, Rob. Kau ini sedang berusaha membuatku mati atau semacamnya ya?

---

Kami sengaja makan siang di taman sekalian menjaga Phillies. Ada seorang anak kecil bertubuh gempal dengan usia sekitar 5 tahunan yang begitu senang bermain dengan Phillies. Namanya Tyler. Walaupun masih belum bisa mengucapkan huruf R dengan benar, tapi ia sudah pandai betul menunggang kuda berbobot besar itu.

"Semenjak dia lahir, aku selalu mengajaknya berkuda bersamaku. Itulah hasilnya." Bisik Rob di telingaku sambil memakan rhubarb nya.

Tepat di sudut taman, ada sebuah bangku kayu yang dicat putih dan pas untuk dua orang, bahkan masih banyak jarak yang tersisa di antara kami. Aku baru memerhatikan kalau desa ini dikelilingi pagar kawat berduri yang sangat berguna untuk mencegah hewan buas masuk. Jadi, jelas saja mereka terlihat tidak takut sama sekali walaupun tinggal di hutan belantara ini.

"Hey, Rob, Mrs. Glory... yang memberikanku pakaian baru ini, eh," bagaimana cara mengatakannya? "Ada apa dengan dirinya?"

Matanya menyipit saat mengalihkan pandangannya dari Phillies dan Tyler kearahku. "Kedua anaknya jatuh cinta dengan warga yang berasal dari negeri Fownzley. Jadi karena tidak ada yang mengurus, anak sulungnya mengajaknya ke desa ini. Dia... mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan ke sini. Pita suaranya rusak karena ada banyak sekali air yang masuk ke dalam tenggorokannya. Untung saja dia masih hidup."

Tatapanku membeku pada wajah Rob yang muram. Bisa kubayangkan dia pasti berada disini saat kedua anak Mrs. Glory beserta pasangan mereka datang, dengan membawa satu orang tua yang sedang sekarat, Mrs. Glory.

"Oh, aku turut menyesal," desahku sambil menyentuh bahunya.

Kemudian ia mendongak dan menatap mataku. "Kondisimu kemarin lebih parah daripada kondisinya. Sekarang aku bisa merasakan apa yang dirasakan Naya Glory saat melihat orang yang dikasihinya terluka." Kemudian sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Tapi bisa kulihat kilauan di matanya berbeda, dan aku tidak mengetahui arti dari perbedaan itu.

Aku juga tidak mau mengetahui makna kiasan yang tersirat dalam kata-katanya barusan.

Kugenggam gelas susuku dengan kedua tangan lagi. Kau tidak boleh berkata begitu, Rob.

Berjam-jam kami berdiam diri di taman itu. Tidak ada satupun dari kami yang bicara, sementara aku berpura-pura memokuskan perhatianku pada Tyler dan Phillies yang sedang berjalan menelusuri pagar.

Saat langit menunjukkan hari sudah sore, untuk pertama kalinya Rob memandangku lagi.

"Kristen?"

"Ya?"

"Apa yang terjadi dengan pangeran sulung itu?" Kutatap matanya saat aku mengetahui arah pembicaraan ini. Kami terlalu jauh dari jangkauan orang-orang, jelas sekali Rob yakin tidak akan ada yang menguping pembicaraan kami.

"Aku tidak tahu. Tidak ada satupun dari kami yang tahu." Kuangkat bahuku. "Waktu itu, sekitar lima tahun yang lalu, terjadi kebakaran hutan besar-besaran. Seluruh hutan di negeri Onyxland sampai semenanjung Fownzley gosong terbakar. Dan kebetulan, pangeran sulung dan pasukannya sedang berkuda ke hutan saat kejadian tersebut. Pasukannya ditemukan dengan keadaan yang sulit untuk diidentifikasi, tapi tidak ada yang berhasil menemukan pangeran dan kudanya sampai sekarang."

Kutatap raut wajahnya dan kutunggu perubahan ekspresinya. "Kudanya? Maksudmu?"

Kupeluk kedua lututku erat-erat saat merasakan angin sepoi menghantam bulu kudukku. "Satu hari setelah kejadian, kuda pangeran kembali ke istana, tanpa seorangpun bersamanya. Dan ternyata, kuda yang gagah dan kuat itu tidak lagi sama tanpa pangeran. Merasa begitu kalut, akhirnya kuda pangeran kabur ke hutan untuk mencari tuannya." Kugantung kata-kataku.

"Lalu?"

Kutatap siluet kami yang membelakangi sinar matahari. Bahkan siluet Rob terlihat lebih indah daripada siluetku. "Hilang. Di telan bumi. Dia belum kembali sampai sekarang. Sama seperti pangeran."

Hening. Hanya embusan napasku yang bisa kudengar saat ini. "Lalu, kapan perang mulai terjadi?"

Kuletakkan daguku di lutut saat kilasan kenangan mengerikan itu menghantam otakku. "Tiga hari setelah kuda pangeran menghilang. Mimpi burukku dimulai dari sana."

Butuh beberapa detik baru tatapan Rob bisa fokus kembali. Cerita ini terlalu sulit dicerna oleh rakyat biasa sepertinya. "Mengapa Raja Onyxland berpikir kalau kerajaanmu yang menculik anaknya? Apa alasannya?"

Butuh beberapa detik juga buatku untuk mengingat-ingat kenangan yang selama ini berusaha kulupakan. "Jejak kaki kuda pangeran berakhir di sebelah timur istanaku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa kesitu. Memang cukup kuat untuk dijadikan alasan penyerangan. Tapi tetap saja, tidak ada bukti pasti yang menguatkan teori itu."

Suasana hening menyeruak lagi. Rupanya butuh beberapa menit buat Rob untuk mengerti masalah hidupku yang selama ini sudah berputar-putar dalam kepalaku. "Menurutmu, apa pangeran masih hidup?"

Kutatap matanya. "Aku rasa tidak. Kalau memang iya, dia pasti sudah kembali ke istananya, dan semua ini tidak akan terjadi."

"Kristen?"

"Ya?"

"Pernahkah kau berpikir kalau semua kekacauan ini disebabkan hanya karena satu orang? Perang, asal-muasal desa ini, dan kau. Semua masalah gila ini berpusat pada pangeran sulung itu." Tuturnya sambil menatap mataku. Dengan kedua siku yang ia tumpukan di kedua lututnya, matanya terlihat lebih indah dari sudut ini.

Aku tersenyum dan menggeleng padanya. "Jangan salahkan pangeran, Rob. Aku yakin dia juga tidak menginginkan semua ini terjadi."

Tapi ia malah tersenyum mengejek dan menggeleng. "Pangeran malang. Idiot. Tolol."

Kubalas tatapannya tanpa ikut terkekeh. "Raja Richard lah yang seharusnya disalahkan. Dia seharusnya bisa mengendalikan emosinya dan menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Bagaimana kalau pangeran sudah mati?"

"Bagaimana kalau pangeran masih hidup?"

"Berhentilah mencari kesalahan orang lain, Rob. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah, bagaimana caranya menghentikan perang tolol ini?" Oh, Robert benar-benar merusak hari terbaikku dalam sejarah. Di istana, topik ini sangat tabu untuk dibicarakan. Dan bagiku, topik ini sama saja dengan kematianku.

"Kristen?"

Bahkan dengan mendengarnya menyebut namaku saja sudah membuat bibirku gemetaran.

"Bisakah kau berhenti memanggilku dengan nada bicara itu?"

"Apa?"

Dengan nada bicara yang membuat keadaan ini semakin sulit buatku. Tidak bisakah kau memekik padaku lagi, Rob? Apa kau lupa caranya jadi menjengkelkan?

Aku menggeleng saat menatap matanya. "Lupakan saja. Apa?"

Mulutnya ragu-ragu saat menjawab, tapi tatapan matanya tidak pernah teralih dari bola mataku. "Kalau kau sudah kembali ke istana, maksudku ke Jack." Ia memutar bola matanya dan mendesah. "Aku tidak tahu apalagi yang akan kulakukan setelah itu. Aku muak hidup tanpa tujuan, tanpa arah, dan... tanpa seseorang disisiku. Tanpa kau." Ia terkekeh saat menilai ekspresiku. "Aku tahu, ini kedengaran konyol kan? Tapi, aku bersungguh-sungguh. Walaupun kadang-kadang kau menjengkelkan, maaf, tapi itu benar. Tapi, aku yakin aku akan merindukan sikap menjengkelkan itu. Aku akan merindukanmu."

Wah. Ternyata reaksi dari pil tadi benar-benar dahsyat. Apa sekarang aku bermimpi? Apa aku hanya berimajinasi dia mengatakan itu padaku? Tapi, reaksi dari jantungku mengatakan kalau ini nyata. Sebutkan kenyataan yang sudah kau ketahui kebenarannya, Kristen..

'Namaku Kristen Stewart. Dulunya aku seorang putri kerajaan. Aku bertemu pria di hutan. Dulunya dia menjengkelkan. Seharusnya sekarang dia masih menjengkelkan. Mengapa dia tidak menjengkelkan lagi saja? Aku harap dia bersikap begitu.'

Aku jadi teringat dengan mimpiku tadi pagi...

Mungkin selama ini aku salah, mungkin kenyataan yang benar adalah...

'Namaku Kristen Stewart. Aku mencintai pangeran Jack. Dan Robert adalah milikku.'

"Kristen, kau mau pergi? Maaf aku membuatmu jadi bosan. Ayo," ajak Rob sambil meraih telapak tanganku.

Aku menggeleng. "Tidak. Aku suka disini. Aku tidak bosan, hanya saja..." ujarku tercekat. Ada apa dengan diriku?

"Apa? Hanya saja apa?"

Hanya saja aku bingung dengan diriku sendiri. Aku membenci diriku sendiri.

"Kristen, bicaralah padaku. Maaf, mungkin kata-kataku barusan tidak enak didengar. Hari sudah gelap, Kristen. Lihat, bibirmu saja sudah gemetaran."

Ya, kata-katamu tadi memang sudah membuat hatiku berantakan, Rob. Rasanya menyebalkan jika kau tidak mengerti dengan perasaanmu sendiri. Dan kau, Rob, kau hanya membuat perasaan ini semakin buruk saja.

"Robert! Kristen!" Kepala kami sama-sama tersentak ke belakang saat mendengar suara Lisa memanggil nama kami dari balik pilar aula. "Sudah gelap. Bawa Phillies dan Tyler kembali kerumahnya."

Kutatap mata Robert yang terengah-engah untuk kesekian kalinya. Kemudian telapak tangan kami yang menyatu mengingatkanku kalau dia nyata. "Baiklah, kau bisa duduk sebentar disini sementara aku mengajak Phillies dan Tyler kembali ke aula. Jangan macam-macam, aku tidak mau kehilangan kau lagi."

Dingin mulai merasuki pori-pori tubuhku saat tangannya tidak lagi menggenggam tanganku. Kepergian Robert hanya menandakan kalau aku memang tidak suka jika ia berada jauh-jauh dari jangkauanku.

Tidak mau kehilangan aku lagi? Apa maksud dari kata-kata bodoh itu? Apa dia benar-benar berencana membuat kematianku lebih dekat atau semacamnya? Kumohon, Rob, berhentilah membuat keadaanku lebih sulit lagi.

Aku tidak mau membuat perpisahan kita lebih sulit nantinya. Biarkan aku saja yang menginginkan dirimu, jangan biarkan kau menginginkan diriku juga. Karena pada akhirnya, aku sudah menetapkan kepada siapa hatiku akan berlabuh.

---

Sarah memindahkanku dari kamar pengobatan ke kamar biasa. Rasanya senang sekali bisa keluar dari kamar yang membuatku terus teringat dengan luka sialan itu.

Dan seperti biasa, Rob tidak mau meninggalkanku sendiri di kamar ini. Bagian hatiku yang paling ujung sedang melompat kegirangan saat dia memutuskan untuk menemaniku.

Setelah makan malam dengan sisa rhubarb ditambah dengan daging kelinci bakar, Rob menyuruhku untuk segera tidur. Dia bilang, aku masih dalam tahap penyembuhan dan tidak boleh berlama-lama diluar seperti ini.

Lilin di kamarku yang baru lebih banyak dan harum. Desa ini tidak memiliki aliran listrik yang cukup untuk menerangi desa mereka pada malam hari. Dengan tangan Rob yang menggenggam tanganku, aku tidak akan takut walaupun berada di ruangan gelap gulita sekalipun.

Asalkan ada dirinya yang menjagaku, aku masih bisa mengingat bagaimana caranya melihat.

Pada malam harinya, aku mendapatkan mimpi yang sangat aneh.

Oh, aku berjanji tidak akan mau menelan pil sialan itu lagi.

Suara Rob yang selembut beledu terus terngiang-ngiang di otakku.

"Aku adalah orang yang paling bodoh di dunia ini. Mungkin Tuhan memang tidak menyukaiku dari awal aku terbangun di pantai itu. Aku tahu akan seperti apa semua ini berakhir, Kris. Kau akan bersamanya. Dan aku? Aku akan kembali menjadi orang tolol yang bergaul dengan kuda bercorak aneh. Luntang-lantung di dalam hutan, memburu kelinci dan kalkun, berkeliaran di Fodz. Dan menunggu kematian menjemputku. Sendirian. Aku muak dengan hidupku. Andai saja aku bisa membuatmu terus disini, bersamaku. Hanya kau yang berhasil membuatku meyakinkan diriku sendiri kalau aku ini berguna. Akan jadi apa aku setelah kau pergi nanti? Brengsek."

Selain suara embusan napasnya yang secepat kilat, tidak ada lagi suara yang dapat kudengar setelah itu. Hanya genggaman tangannya saja yang membuatku sadar kalau dia masih berada dalam mimpiku.

"Kau tahu, Kris? Jika aku cukup pintar, mungkin aku akan berbohong padamu dan membuatmu tinggal lebih lama di desa ini bersamaku. Tapi rasanya aku terlalu bodoh dan pengecut. Aku tidak mau memaksamu tinggal bersamaku. Pada intinya, aku tahu siapa yang akan hancur jika semua ini berakhir. Setidaknya, aku senang orang itu bukan kau. Tapi aku. Persetan dengan itu. Toh jika aku hancur, tidak akan ada orang yang bakal merindukanku. Tidak akan ada orang yang peduli denganku."

Aku tahu ini hanya mimpi. Tapi mimpi ini terasa terlalu nyata dalam kepalaku. Terasa terlalu menyakitkan dalam hatiku. Ternyata Rob juga menginginkanku sama seperti aku menginginkannya. Tak bisa kubayangkan jika posisi kami dibalik...

Aku mengantar pria yang kudambakan ke seorang wanita yang lebih dia cintai. Melihatnya mendambakan wanita itu setiap harinya. Dan membayangkan jika semua ini sudah berakhir, dia akan bahagia dan aku akan hancur.

Atau pada kenyataannya, aku yang akan bahagia di atas penderitaan orang yang... apa sebutan Rob bagiku?

Mungkin bisa dibilang, aku akan bahagia di atas penderitaan orang yang selama ini sudah menjagaku dengan segenap hatinya. Semua ini salahku. Aku tidak seharusnya membiarkan perasaan ini berlarut-larut. Begitu aku sudah bahagia bersama Jack nanti, akan ada satu hati yang kutinggal dalam keadaan hancur lebur disini.

Andai saja aku bisa dibelah menjadi dua bagian: seorang kekasih yang penuh cinta untuk Jack, dan seorang teman yang sangat hangat untuk Rob, atau mungkin kekasih juga.

Mimpiku bermetamorfosa menjadi sentuhan fisik. Begitu aku sadar apa yang telah kulakukan pada Rob, air mataku menggenang sebelum akhirnya menetes dari sudut mataku. Dan bisa kurasakan, bibir yang sering kulihat dan yang sudah selama ini kudambakan menyeka air kepedihan itu dengan lembut.

Darahku mendesis saat merasakan bibirnya di pelupuk mataku.

Aku tahu tidak seharusnya aku menginginkan lebih, tapi nafsu birahiku terlalu kuat untuk melawan akal sehatku. Toh, ini hanya mimpi kan? Tidak akan ada yang terjadi jika aku menciumnya di mimpiku.

Aku mendesah kesenangan saat bibir Rob mengikuti jalur air mata yang berhenti di telingaku. Kukeluarkan air mata itu dengan sekuat tenaga supaya bibirnya naik ke pelupuk mataku lagi.

Tapi kini ada perubahan saat bibirnya hendak bergerak keatas. Semuanya terjadi terlalu cepat. Aku tidak tahu kapan kepalaku bergerak, aku tidak tahu kapan bibirku mencari bibirnya, tapi bibir kami sudah bersatu sekarang.

Bercampur dengan rasa asin yang ditimbulkan air mataku, bisa kurasakan lidahnya menyentuh bibir atasku. Naluri manusiaku yang terlalu kuat, membuat tanganku yang tadinya tergeletak lemas diatas dada kini sudah bergerak melingkari lehernya. Tangan kanannya yang kokoh menarik punggungku hingga dadaku menempel erat di dadanya.

Desahan tertahan keluar dari mulutku saat bibirnya ragu-ragu menciumku. Kutekan kepalanya supaya ia tidak melepaskan ciuman kami. Ciuman yang semula penuh kepedihan dan keraguan itu kini telah berubah menjadi sesuatu yang panas dan bergairah. Rob ikut mendesah seiring dengan lidahku yang bermain di bibirnya. Tangan kiriku yang terlalu bebas dikunci oleh tangan Rob saat aku berusaha membuka baju satinnya.

"Aku bisa saja kehilangan akal sehat, Kristen." Desahnya di hidungku saat kami berhenti untuk mengambil napas.

Napasku memburu saat berusaha menjawabnya. Kutekan tengkuknya sebagai pegangan. "Aku sedang bermimpi. Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan sekarang."

Tetapi ia menghindar saat bibirku mencoba meraih bibirnya. "Ini yang kau inginkan? Memperkosaku?" Tapi ternyata bibirnya tidak berhenti disitu. Dengan kehangatan yang menjalar dari lidahnya, ia mencium lekukan di leherku. Sensasi geli sempat menjalar di leherku sebelum akhirnya sensasi itu berubah menjadi kecanduan.

"Kau." Kujawab dia sambil terengah. Kugerakkan pinggulku yang tertindih di bawah tubuhnya.

Sementara tangan kiriku masih terkunci, kujambak rambutnya hingga kini bibirnya berada di bibirku lagi. Aku tidak pernah mengetahui kalau berciuman dengan pria bisa semenyenangkan ini. Aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelum ini.

Dan walaupun ini hanya mimpi, ciuman Rob terasa memabukkan bagiku. Bibirnya yang hangat, aroma napas nya yang seharum bunga lilac membuat jantungku tidak berani berdetak saking mendambanya. Sentuhan tangannya yang menyentuh kulitku, tubuh kami yang menempel erat, tubuhku yang berada di bawahnya, lidahnya yang menggoda leherku, bisa kurasakan setiap lekukan tubuhnya yang kekar menekan tubuhku dari posisi ini. Kugerakkan lagi pinggulku saat bibirnya bermain di kerongkonganku. Andai aku diizinkan membuka baju satinnya...

"Kau akan menyesali perbuatanmu saat kau bangun nanti, Kristen." Kata Rob saat ia menyandarkan keningnya di dadaku. Rahangnya mengeras dan tangannya menahan pinggulku supaya berhenti.

"Tidak akan ada yang harus disesali, Rob. Ini hanya mimpi." Kutarik lagi kepalanya hingga bibir kami bersentuhan. Tapi bibirnya terkatup rapat, padahal aku masih menginginkan bibirnya menghisap bibirku lagi.

Air mata mulai keluar dari sudut mataku saat aku sadar kalau mimpi ini sudah berakhir.

"Hey, Kristen, saat aku menciummu, bibirmu, rasanya seperti stroberi. Bagaimana kau melakukannya?" Desahnya di bibirku yang membuka sebelum akhirnya ia beranjak untuk mencium air mataku lagi. "Jangan menangis. Aku suka bibirmu, tapi sudah cukup untuk malam ini. Percaya padaku, Kristen, kau tidak akan menyukainya jika kau sudah terbangun nanti. Biarkan aku melakukan semua ini dengan cara yang benar, oke? Tidak sekarang, melainkan saat kau sudah sadar nanti. Mencium orang yang sedang setengah tertidur, terasa tidak benar. Aku mau kau menciumku karena kau mau, bukan karena kau sedang dibawah pengaruh mimpi."

Ciuman ringan yang ia berikan di keningku terasa menyakitkan. Entah bagaimana, aku bisa merasakan kata selamat tinggal berteriak dari ciumannya.

"Jangan pergi, Rob." Pintaku sambil menyentuh bibirnya dengan ibu jariku.

"Tidak akan selama kau menginginkan aku disini." Bisiknya di keningku.

"Aku menginginkanmu selamanya." Aku balas berbisik.

"Bagus. Sekarang tidurlah, aku tidak mau kau kecapekan besok pagi." Tangannya yang selembut beludru dan senyaman kasur raja membelai pipiku sambil kembali terduduk di kursi kumuhnya lagi. Kurenggangkan pelukanku padanya dengan enggan.

"Aku sudah tidur, Rob. Aku kan sedang bermimpi." Aku memberengut saat ia melepaskan tangan kiriku yang menyangkut di dalam baju satinnya.

Dapat kudengar suaranya yang semenenangkan laut damai itu terkekeh saat mendengar kata-kataku. "Oh, ya, tentu saja, sekarang waktunya memimpikan hal yang lain, Kristen. Aku akan berada disini saat kau bangun nanti."

Naluri manusiaku sempat menjalar lagi saat ia mencium telapak tanganku, tapi rasa kantuk yang mulai menyerang membuatku mudah untuk mengabaikannya.

"Berjanjilah padaku," tuturku sambil menguap.

"Aku janji." Kata Rob kemudian terkekeh. "Terima kasih sudah memimpikanku, Kristen. Mimpi yang sangat menyenangkan."

Kujawab dia tepat sedetik sebelum kegelapan membuat mimpiku menghilang. "Terima kasih kembali. Akan lebih menyenangkan kalau kau tidak menghentikannya."

"Aku berjanji tidak akan menghentikannya jika kau masih mau menciumku saat kau sudah sadar nanti."

Mimpi yang aneh. Sekaligus menyenangkan, kalau boleh jujur. Mungkin, aku tidak bersungguh-sungguh saat menyatakan bahwa aku tidak akan mau menelan pil itu lagi. Kalau aku tahu khasiatnya bisa sehebat ini, aku rela-rela saja menelannya ratusan kali.


Fanfic ROBSTEN: heart of Stone

Heart of Stone (part 7) : Friend Zone

Robert's PoV

Sinar matahari yang mulai menembus pepohonan membuatku semakin tidak bisa tidur. Sudah semalam penuh mataku terjaga. Bagaimana bisa aku tidur dengan menghadapi kemungkinan bahwa jantungnya bisa berhenti berdetak kapan saja?

Ini semua salahku. Seharusnya aku tidak membiarkan gadis lemah ini berkeliaran sendiri di hutan. Andai saja kemarin aku menyuruhnya untuk tetap bersamaku, ia tidak harus menderita seperti ini.

Aku menunduk menatapnya yang masih meringkuk di dalam pelukanku. Hidungnya menempel tepat di rahang kiriku. Kedua tanganku memeluk tubuhnya sangat erat, tapi dia tidak memberontak.

Apa yang akan dia lakukan kalau tahu baahwa aku memeluknya seperti ini sepanjang malam?

Kuletakkan bibirku di puncak kepalanya. Ternyata aroma stroberi dan vanilla yang semalam memenuhi indra penciumanku adalah aroma rambutnya.

"Tubuhmu terlalu kecil untuk menanggung semua ini, Princess."

Lalu dengan sangat hati-hati, ragu, dan bingung, jemariku berlarian di rambut perunggunya. Aku tersenyum saat mendengar gumaman lirih keluar dari mulutnya. Ia selalu bergumam kesenangan seperti ini setiap kali tanganku menyentuhnya.

Tapi hanya dalam keadaan hancur seperti ini saja dia begitu. Mungkin saat ia sudah sembuh nanti, bukan lagi hidungnya yang menempel di rahangku, melainkan tinjunya.

Tubuhku menegang saat ia menggerakkan tangannya dari perutku menuju dadaku, kemudian naik hingga melingkari leherku lagi. Sesuatu yang berada di dalam perutku melilit, membuatku menahan nafas sampai rasa sakitnya hilang.

Apa dia tidak tahu penyebab sentuhannya padaku dalam posisi sedekat ini?

Aku menghembuskan nafas lega saat tangannya berhenti menjelajah.

Baiklah, aku menyerah. Sudah semalam penuh sentuhannya membuatku tersengat seperti kesetrum. Dan sudah semalaman juga aku berusaha tetap hidup.

Rasanya hari sudah cukup terang untuk segera membawanya ke desa itu.

Kuguncang pelan bahunya, "Princess?"

Matanya yang sayu hanya bergetar, tidak membuka. Kemudian kuguncang pelan lagi bahunya.

Begitu aku sadar kalau dia terlalu letih untuk bangun, akhirnya aku menyerah dan segera terduduk untuk mengecek lukanya. Tapi sepasang tangan mungil menyentuh lenganku. Begitu aku berbalik, dapat kulihat giginya bergemeletukan lagi.

"Aku hanya ingin mengecek lukamu sebentar saja, oke?" Tanyaku sambil merangkup wajahnya untuk memancarkan hangat tubuhku.

Ia sempat menyandarkan kepalanya di telapakku sebelum akhirnya mengangguk lemah.

Daun yarrow yang kemarin masih berwarna hijau segar mulai berubah memucat diatas lukanya. Sesuatu berlendir kuning menghiasi daun itu. Ternyata daun ini tidak terlalu banyak membantu. Hanya mengeluarkan nanahnya, tapi sama sekali tidak menutup lukanya.

Kemudian aku menyeret tubuhku untuk menyentuh dahinya. Suhu tubuhnya lebih panas dari yang terakhir kali kuingat. Tangannya langsung memegang tanganku erat-erat saat merasakan sentuhanku.

Kuposisikan bibirku tepat di samping telinganya. Setelah menyibakkan rambut yang menutupi telinganya, aku berbisik. "Dengar, kita sudah tidak punya banyak waktu lagi. Aku akan membawamu ke desa itu. Bukankah aku sudah berjanji padamu bahwa kau akan baik-baik saja? Ingat, aku tidak akan pernah mengingkari janjiku. Dan kau akan baik-baik saja jika kau juga mau berjanji satu hal padaku." Kuhirup udara banyak banyak sebelum melanjutkan kata-kataku. "Jaga jantungmu tetap berdetak sampai kita tiba disana, oke?"

Suaraku terdengar terlalu lirih untuk sekadar bisikan. Hampir saja aku kehabisan udara saat mengatakan kalimat yang terakhir.

Dia akan tetap hidup. Ya. Dia akan tetap hidup.

Kemudian setitik air mata keluar dari matanya yang tertutup. Bahkan untuk membuka matanya saja dia tidak mampu. Kuraup ia ke dalam pelukanku.

"Kau akan baik-baik saja."

---

Aku berkuda lebih cepat daripada biasanya. Lukanya sudah tidak bisa bertambah parah lagi jika kami terlalu banyak bergerak. Karena luka itu sudah kubebat dengan seuntai kain, aku tidak percaya lagi dengan daun yarrow itu. Dan lagipula, keadaannya tidak bisa lebih buruk lagi daripada sekarang.

Tangannya menggenggam bajuku lagi di tengah tengah perjalanan. Ia tidak mungkin bertahan jika berada di belakangku. Jadi, kubiarkan saja ia berada di dalam pelukanku dan membuat perutku melilit lagi seperti semalam.

Jarak antara kami dan desa itu sekitar 30 kilometer jauhnya. Mungkin untuk ukuran normal, butuh satu setengah hari untuk sampai disana dengan berkuda. Tapi ia tidak akan tetap hidup untuk satu setengah hari ke depan.

Angin yang menerpa wajahku terasa asing. Ranting yang menggores lenganku terasa menyenangkan. Tangan yang menggenggam bajuku terasa hangat. Hidung yang membelai leherku terasa nyaman.

Roda hidupku terasa terbalik sekarang.

Aku tidak seharusnya senang merasakan sentuhan dari anggota kerajaan yang serakah. Aku seharusnya merasakan perih yang amat sangat saat kulitku robek oleh ranting pohon. Aku seharusnya sudah akrab dengan terpaan angin ini.

Aku seharusnya. Aku seharusnya. Bukan aku yang seharusnya mengatur kehidupanku. Ada pepatah yang bilang, biarkan kehidupanmu mengalir seperti air dan kita lihat dimana akhirnya air itu akan berhenti.

Tapi aku tidak mau air itu berhenti disini. Aku ingin air kehidupanku tidak usah mengalir saja dari awal aku dilahirkan.

Oh, aku lupa. Aku bahkan tidak tahu siapa yang melahirkanku. Masa bodohlah.

Matahari sudah berada di atas kepala saat aku sampai di sebuah perkebunan teh milik desa itu. Nah, tinggal 5 kilometer lagi dan dia akan selamat.

Kupacu kudaku semakin cepat saking tidak sabarnya. Suara berdebum yang ditimbulkan oleh langkah Phillies terdengar begitu nyaring di telinga. Tidak ada kuda yang bisa berlari secepat ini selain dirinya.

Perjalanan 30 kilometer yang paling menegangkan selama hidupku. Dan yang paling aneh adalah, bukan nyawaku yang sedang kupertaruhkan, tapi nyawanya. Entah kenapa, kalau semua ini hanyalah mempertaruhkan nyawaku, aku rasa keadaan tidak akan menjadi semenegangkan sekarang.

Setelah melewati jalan setapak sempit yang ditutupi dengan akar akar gantung dan daun daun liar, kami masih harus melewati jembatan batu dulu untuk sampai kesana. Setelah melewati beberapa "pintu selamat datang", akhirnya langkah Phillies terhenti di tengah alun alun desa.

Aku sering ke desa ini. Aku ingat betul bagaimana bentuk rumah-rumah kayu mereka. Aku juga akrab dengan warga disini, mereka semua mengenalku. Oh, bahkan bukan akrab lagi. Mereka semua sudah kuanggap keluargaku sendiri, karena hanya mereka yang ada waktu aku membutuhkan seseorang.

Biasanya alun alun desa selalu ramai oleh warga di siang hari. Dan sekarang sudah lewat siang bolong. Tapi anehnya, suasana sangat sepi. Bahkan aku bisa mendengar suara daun yang bersentuhan dengan udara sekarang.

Aku berdiri kikuk disamping Phillies dengan Kristen dalam gendonganku. Dimana orang orang? Tidak biasanya suasana sesunyi ini.

"Mrs. Hormes?" Aku memekik. Tapi hanya suara jangkrik yang menyahutku. "Seseorang tolong kami!" Pekikku lagi.

Kepalaku tersentak ke samping saat mataku tanpa sengaja menangkap sebuah gerakan. Setelah menunggu beberapa detik yang terasa amat panjang, seorang anak kecil bertubuh gempal dengan gigi depan yang ompong menyeringai padaku.

Tapi ia tidak menyapaku dan malah berbalik memunggungiku, "sudah kubilang, kan? Itu cuma Robert!" Pekik Tyler. "Reaksi kalian berlebihan!"

Kemudian anak yang berambut pirang emas itu menghampiriku dengan seringai terpampang di wajahnya.

Ia menyisipkan jemarinya yang bengkak di rambut Phillies, "mereka takut dengan langkah kakimu, sobat." Katanya, kemudian Phillies terkekeh. Seakan akan dia mengerti saja ucapan Tyler.

Tapi bola mata yang berwarna biru laut itu kini menatapku dan Kristen, kedua alisnya menyatu.

"Ada apa, Rob?" Tapi bukan Tyler yang bicara. Suara itu lebih nyaring dan lebih jauh dari pendengaranku. Begitu aku berbalik, ternyata alun alun ini sudah kembali ramai. Dengan tanpa sengaja, mereka membentuk lingkaran yang melindungi aku dan Kristen.

Kujawab ibu Tyler dengan tatapan lemah, "tolong temanku, Mrs. Hormes. Kemarin sore dia kena cakar anjing liar di hutan." Kataku sambil mengangkat tubuh Kristen sedikit keatas.

Lalu aku bisa mendengar suara rintihan tertahan yang menggema di sekeliling lingkaran. Persis sama seperti suaraku kemarin saat melihat lukanya. Lalu tanpa kuduga-duga, ibu Tyler yang hampir berkeriput itu menimang nimang kaki Kristen yang terluka.

"Tolong dia," tuturku sepelan bisikan.

Tangan kurus Mrs. Hormes melambai di udara, dan kerubungan orang yang ingin melihat luka Kristen perlahan-lahan bubar. Bahkan Tyler, si anak kecil bertubuh gempal itu sudah membawa Phillies entah kemana.

"Bawa dia ke rumah keluarga Hawkins!" Perintah Mrs. Hormes.

Aku mengangguk dan, dengan ditemani Mrs. Hormes aku berlari ke rumah keluarga Hawkins yang tidak terlalu jauh dari alun alun. Seharusnya dari awal saja aku langsung kemari. Tidak usah menunggu lukanya tambah parah dulu baru aku bergerak.

Ini salahku lagi.

Begitu aku sampai di depan pintu besar yang terbuat dari kayu jati, tanpa mengetuk, seseorang sudah muncul dari dalam rumah. Itu Lisa. Dia anak keluarga Hawkins. Usianya baru empatbelas tahun, tapi bakat menyembuhkan sudah diwariskan oleh ibunya semenjak ia berusia sepuluh tahun.

Matanya yang sewarna awan kelabu menatap seseorang dalam gendonganku, "astaga, ada apa Rob?"

Kujawab dia dengan tergesa, "kena cakar. Anjing liar."

Kemudian tanpa basa basi lagi, ia membuka lebar pintunya hingga terlihat seisi rumah kayunya yang begitu hangat. Ibu Lisa yang berambut gelap itu sudah siap mengarahkan kami ke ruang pengobatan.

Lisa dan Ibunya. Dokter pribadi desa ini. Hanya mereka yang memiliki pengetahuan super tentang kedokteran diantara yang lain-lain. Mereka bahkan rela jasa mereka hanya dibalas dengan seekor kalkun.

"Apa yang terjadi?" Pekik Mrs. Hawkins sementara ia memberiku aba aba untuk menidurkan Kristen diatas kasur busa yang kelewat tipis untuk kasur orang sakit.

Kakinya yang terluka diberi penyangga dengan sesuatu yang empuk.

"Kemarin sore dia kena cakar anjing liar di hutan. Aku sudah memberinya daun Yarrow, tapi malamnya kondisinya makin buruk. Dia terus terusan limbung dan menggigil." Jelasku panjang lebar sambil berdiri kikuk mencari celah untuk melihat Kristen.

Matanya yang tadi hanya bergetar kini membuka dan dengan takut, ia mencari cari mataku. Tangannya bergerak gerak gelisah di samping tubuhnya, seperti sedang mencari cari bajuku untuk dijadikan pegangan seperti semalam.

Hampir saja aku menggapai tangannya saat Lisa mendorong dadaku untuk keluar. Awalnya aku memberontak, tapi kata-kata Mrs. Hawkins membuatku diam tak bergerak.

"Hanya itu yang kami butuhkan," katanya. "Sekarang keluarlah, Rob. Kau justru mengganggu pekerjaan kami." Matanya yang sama kelabunya seperti Lisa menatapku begitu memohon.

Aku berjinjit untuk melihat ke balik bahu Lisa yang sekarang sedang menyeretku keluar. Seharusnya sih tidak perlu, karena dia hanya setinggi dadaku.

"Dia akan baik-baik saja, kan?" Tanyaku pada Mrs. Hawkins.

Sebelum menjawab ia menghembuskan nafas pelan, "aku akan berusaha semampuku, nak." Kemudian ia membungkuk di samping Kristen. Aku bisa melihat tangannya yang sibuk dengan bermacam alat alat perak yang tidak kuketahui namanya.

Dengan kesal Lisa menyentakkan tanganku, "pergi sana, bodoh! Tunggu saja diluar! Aku tidak bisa bekerja kalau begini caranya!" Lalu saat aku bergeming di ambang pintu, ia menutup pintunya dengan kencang di depan hidungku.

Baiklah. Aku bisa menunggu. Lisa dan Ibunya akan menyembuhkan Kristen. Dan semuanya akan kembali normal. Aku sudah menepati janjiku padanya. Dia akan baik baik saja. Sekarang dia yang harus menepati janjinya padaku.

Jantungnya harus tetap berdetak.

Cobalah untuk duduk, Rob.

Kemudian aku menarik sebuah bangku yang terbuat dari rotan ke samping pintu, lalu kusandarkan bahuku dengan tegang di tembok kayu rumah Lisa.

Kupejamkan mataku dan berusaha berpikir jernih.

Dia akan selamat kan? Iya. Dia akan selamat. Mereka akan menjahit lukanya setelah memberi beberapa vitamin yang cukup ke dalam kakinya. Paling-paling kemungkinan terburuknya...

Tidak. Tidak ada kemungkinan terburuk. Dia akan selamat dengan utuh.

Aku melompat dari kursiku.

Aku tidak bisa diam saja seperti ini.

"Tenang, Rob..." suara seseorang membuatku tersentak dan langkahku sempat terhenti sebelum akhirnya aku mondar mandir lagi. Aku lupa kalau Mrs. Hormes ada disini.

Dengan senyum lemas tersungging di bibirnya, ia duduk di atas sofa yang busanya sudah menyembul keluar. Sambil bersandar, ia memangku seekor kucing jelek berbulu keemasan di pangkuannya.

Aku dapat merasakan bibirnya bergerak-gerak bicara padaku, tapi hanya dengungan saja yang bisa kudengar. Aku tidak bisa mendengar apa-apa.

Hari sudah gelap saat pintu 'hidup dan matiku' dibuka oleh Mrs. Hawkins. Berjam-jam aku mondar mandir di depan pintunya. Ekspresi Mrs. Hawkins yang tidak terbaca membuat keringatku semakin bertambah sekarang. Baiklah, satu jam lagi dan jantungku akan pecah saking seringnya dia melompat.

Kupegang bahunya yang kurus dengan kencang, "Bagaimana, Mrs. Hawkins? Dia baik-baik saja, kan?" Aku harus mengulang perkataanku berkali-kali sampai ia bisa mendengar suaraku yang kelewat parau.

"Tenanglah, Rob," katanya sambil tersenyum geli.

Baru saat itu bahuku bisa turun dan urat urat sarafku yang tegang bisa meleleh seperti cokelat. Tapi jantungku masih tidak bisa diam. Dia yang paling keras kepala. Belum ada kepastian, belum bisa
berhenti.

"Dia baik-baik saja," katanya lagi. Senyum lemah mengembang di sudut sudut kulit keriputnya. "Lukanya sudah kujahit dan kakinya sudah kuberi vitamin supaya dia bisa berjalan lagi. Tapi mungkin, dia tidak bisa merasakan kakinya sekarang. Kuberi dia morfin dengan ukuran kelewat banyak melihat kondisinya." Kemudian ia mengedipkan satu matanya padaku.

Lalu desahan lega campur suara tawa kecil keluar dari mulutku. Aneh.

Kakiku bergerak gerak gelisah ingin segera memasuki ruangan hidup dan matiku itu.

"Ia memanggilmu tadi," katanya.

Kuterobos pintu besar itu setelah mendengar kata-katanya. Tepat setelah itu aku bisa mendengar Mrs. Hawkins memekik saat aku berlari menembus tubuhnya yang menghalangiku untuk masuk ke ruangan itu.

"Dan Rob!" Panggilnya, lalu dengan enggan aku berbalik. "Dia tidak boleh kemana mana sampai 3 hari kedepan!"

Kuacungkan jempolku tinggi-tinggi ke arahnya, lalu aku berlari menuju kasur busa tadi. Sebelum terdengar suara pintu ditutup, aku bisa mendengar ia terkekeh dari sudut pintu.

Langkahku melambat begitu sampai di dalam ruangan. Hanya ada satu dokter disini, tidak ada Mrs. Hawkins.

Lebih dari segala sesuatu yang berada di ruangan itu, hanya ada satu yang benar-benar menarik perhatianku. Jantungku sudah bisa berdetak dengan normal lagi sekarang. Dia sehat dan cantik.

Kristen terbaring lemah di balik selimut yang menutupi tubuhnya, sementara kakinya yang luka tidak diselimuti melainkan ditutupi dengan sesuatu yang mirip ramuan.

Lisa yang sedang membereskan alat-alatnya berbalik lalu menjulurkan lidahnya saat ia melihatku masuk.

"Maaf, anak kecil," candaku sambil mengacak rambut peraknya. Tapi tetap saja, perhatianku masih tertuju pada pola napas Kristen.

Tapi dengan cepat Lisa melengos dan pergi ke sebuah lemari bercat putih di sudut ruangan. "Kau menyebalkan, Rob!" Katanya, tapi suaranya yang terdengar sambil menahan tawa membuatku terkekeh.

"Bukan cuma kau yang bilang begitu," lalu mataku menatap kelopak mata Kristen yang tertutup. Kuambil tangannya sambil duduk diatas kursi kumuh yang terletak di samping kepala kasurnya.

Tangannya. Mungil dan rapuh.

"Dia bahkan benci padaku," aku terkekeh sambil menunjuk Kristen dengan daguku. Lisa sudah berada di kaki ranjang sambil membereskan sesuatu disana.

"Oh, kalau begitu, dia sekutuku sekarang," katanya.

Tangan Kristen terasa tidak terlalu panas lagi dalam genggamanku. Kusapukan ibu jariku di atas telapaknya untuk mendengar gumaman itu. Tapi tidak ada lagi gumaman senang, tandanya ia sudah sembuh sekarang.

Entah mengapa aku tidak sepenuhnya senang dengan hal itu.

Kulipat tangan kiriku di samping kepalanya, lalu kuletakkan daguku disana supaya mataku bisa sejajar dengan matanya. Wajahnya yang menghadap ke arahku membuatku bisa merasakan embusan napasnya yang sehangat madu.

"Hm-hm!" Suara batuk Lisa yang terlalu dibuat buat menggema di ruangan. Lalu dengan enggan dan untuk pertama kalinya, kualihkan tatapanku dari hidung Kristen ke mata Lisa.

"Apa sih?" Kataku jengkel.

Ia menyeberangi kasur sambil sibuk lagi dengan teman-temannya. "Dia cantik."

Lalu sambil memerhatikan hidungnya lagi, sudut sudut mulutku terangkat membentuk senyuman. Baru kali ini aku memerhatikan betul hidungnya.

Aku suka hidungnya.

"Dimana kau menemukannya?" Kata Lisa lagi.

Sambil memerhatikan bibir merah yang penuh itu, kujawab dia, "menemukannya? Memangnya dia apa? Koleksi museum atau semacamnya?" Tanyaku jengkel.

Kudengar dia terkekeh, "oh, maaf. Bukan maksudku menghina pacar barumu, Rob. Tapi sungguh, dia cantik sekali. Kecantikannya pantas untuk dijadikan koleksi museum."

Seluruh dunia berputar saat semakin lama aku memerhatikan bibir merahnya itu. Lalu kugelengkan kepalaku kuat-kuat untuk menyingkirkan perasaan itu.

Catatan: jangan lagi-lagi memerhatikan bibirnya. Bibirnya memabukkan.

"Pacar?" Kataku sambil mendengus. "Aku bahkan baru bertemu dengannya dua hari yang lalu di hutan, Lisa. Oh ya, dan kami saling memekik kalau bicara dengan satu sama lain." Kuingatkan dia.

Hampir saja aku melepaskan genggamanku saat kulihat matanya bergetar ingin membuka, tapi akhirnya, nafasnya berubah teratur lagi. Gerakan kecilnya itu membuat sejumput rambutnya yang lepek dan berkeringat menghalangi pandanganku ke wajahnya. Kusibakkan rambut itu dengan sangat hati-hati.

"Kau tidak bisa berbohong padaku, Rob. Aku tahu kau mencintainya. Kelihatan sekali dari caramu menatap dan menyentuhnya."

Tapi jariku malah berhenti di atas kelopak matanya yang selembut beledu. Dan telapak tanganku malah terjatuh di pipinya yang kemerahan. Apakah aku sudah mati? Lantas kalau belum, mengapa ada seorang bidadari di dalam genggamanku? Demi tuhan, aku yakin tidak ada wanita yang lebih cantik daripada dirinya. Mengapa aku baru memerhatikannya sekarang?

"Tuh, kan." Suara Lisa mengagetkanku. Kujatuhkan tanganku di kasur busa itu lagi dengan enggan. "Jangan jadi pengecut, Rob. Jangan waktu dia sedang tidur saja kau berani menyentuhnya penuh arti seperti itu. Itu namanya tidak sopan, tahu. Kutantang kau untuk menciumnya saat dia sudah sembuh nanti, berani tidak?"

Lalu kutegakkan tubuhku dan berputar menghadapnya yang sudah ingin keluar dari ruangan. "Jangan sok tahu, anak kecil."

Merasa kesal, akhirnya dia mengangkat dagunya tinggi tinggi padaku. "Jangan sembarangan kau. Umurku ditambah sepuluh tahun karena bisa menyembuhkan orang, tahu. Itu artinya aku seumuran denganmu."

Kuputar bola mataku, "Ya. Dan umurmu juga dikurangi tiga tahun karena suka menggosip. Itu artinya kau masih anak kecil, my litle princess Lisa!"

Lalu ia mendesah sebelum akhirnya keluar ruangan juga. Tapi aku masih bisa mendengar ia menggerutu dari sini. "Aku akan bilang padanya kalau kau mencintainya saat dia bangun nanti! Dan suatu saat kau akan berterima kasih padaku."

Sambil terkekeh dan menggeleng, kuletakkan daguku di tempat semula lagi. Tidak banyak waktu yang kumiliki untuk menikmati pemandangan ini. Dia akan bangun beberapa menit lagi.

Entah kenapa, mataku yang seharusnya sudah mengantuk tidak juga mau menutup. Hanya ada kami berdua di kamar ini. Dan entah mengapa, jantungku serasa tidak mau bekerja sama lagi sekarang. Semakin lama kuperhatikan wajahnya, semakin aku sadar juga kalau ternyata selama ini aku brengsek. Saraf-saraf ototku kaku saat merasakan tangannya menggenggam tanganku lebih erat.

Kutegakkan bahuku dan kutunggu hingga matanya terbuka. Tapi, tunggu, tunggu dulu. Rasanya ada yang salah...

Uh-oh. Tangan kami, tangan kami. Apa akan lebih baik jika dia tidak usah tahu kalau aku menggenggamnya? Tapi... dia menggenggam tanganku erat sekali. Lalu dengan beberapa gerakan kecil, mata hijaunya akhirnya bertemu mataku. "Rob?" Bisiknya.

"Hai," sahutku secepat satu tarikan napas.

Tubuhku membeku saat tangannya meremas tanganku lebih erat lagi, bahkan ia menyelipkan jari-jarinya diantara jariku. Tapi tatapannya beralih ke seantero ruangan.

"Kita dimana?" Tanyanya akhirnya.

Aku berdeham. "Kita ada di desa itu, Princess. Keadaanmu tadi pagi benar-benar mengerikan," kataku sambil mengernyitkan hidung.

Lalu ia melihat ke bawah kakinya sebelum akhirnya ia menatapku. "Aku tidak bisa merasakan kakiku," rengeknya.

Aku terkekeh pelan, "Mrs. Hawkins bilang, dia memberimu banyak sekali morfin, jadi jelas saja kau tidak bisa merasakan kakimu sekarang."

Lalu entah apa yang terjadi, atau apa yang baru saja terjadi, aku tidak tahu, kusapukan ibu jariku di atas telapaknya, lalu kugenggam tangan kanannya dengan kedua tanganku.

Ia mendesah lega saat mendengar kata-kataku, lalu matanya menatap mataku lagi begitu hangat.

Perutku. Perutku. Melilit lagi.

"Terima kasih, Rob," katanya sambil tersenyum.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Ada lima petasan di samping matanya. Sinarnya begitu terang hingga menyilaukan mataku. Tapi aku tidak bisa bergerak, saraf sarafku kaku. Jantungku rasanya juga berhenti berdetak saat ini.

Apa ada yang punya alat kejut jantung?

Baiklah, bodoh. Berhenti bersikap seperti orang idiot. Buka mulutmu, jawab perkataannya. Tapi mulutku juga tidak bisa bergerak. Ada petasan tepat didepan mataku.

"Err-ss-ama-sama," sahutku dengan segala kemampuan yang kupunya.

"Berapa lama aku harus berada disini?" Tanyanya sambil bergerak-gerak gelisah ingin duduk, tapi buru buru aku berdiri dan mendorong bahunya.

"Jangan banyak bergerak, Princess. Kira-kira baru tiga hari lagi kau dibolehkan pergi." Kataku.

"Tiga hari?" Matanya membelalak. Kuanggukan kepalaku kecil sambil menatap matanya. "Semakin lama kita disini, semakin lama kita bisa sampai ke danau, Rob."

Danau itu lagi. Mengapa dia selalu merusak hariku dengan mengingat tentang danau itu lagi, sih? Tidak bisakah dia menganggapku ada?

Rahangku mengeras seketika, lalu aku berdiri kaku di samping kasurnya. "Persetan dengan danau itu. Kesehatanmu adalah satu-satunya yang harus kita pikirkan sekarang."

Kulangkahkan kakiku satu langkah ke belakang, merasa bahwa ada sebuah pembatas tak kasat mata yang memaksa kami untuk berjauhan sekarang. Kubalikkan tubuhku untuk meninggalkan ruangan, sebelum akhirnya aku sadar apa yang telah kulakukan. Kuhempaskan tubuhku di kursi kumuh itu lagi. Masa bodoh dengan pembatasnya.

"Maaf. Aku memang brengsek." Kulipat kedua tanganku diatas kasurnya dan kusembunyikan wajahku disana. "Aku tidak seharusnya bicara begitu di depan orang sakit, ya kan?"

Lalu kudengar dia terkekeh pelan, "ternyata kau baru tahu ya kalau selama ini kau brengsek?" Tanyanya. Tangan kanannya menepuk rambut belakangku pelan.

Kutatap dia dari sela-sela tanganku, "sialan kau," tapi aku malah ikutan terkekeh bersamanya.

"Baiklah, oke. Tiga hari rasanya tidak lama-lama amat." Katanya setelah menghembuskan napas panjang. Jemarinya masih berada di rambutku. "Aku juga ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang desa ini. Jadi... tiga hari. Aku seharusnya senang, tidak?"

Begitu aku teringat sesuatu, kuangkat kepalaku kemudian kugenggam tangannya yang menepuk rambutku tadi dengan tangan kananku. Sementara tangan kiriku sudah menopang kepalaku untuk menatapnya.

"Dengar, Princess. Warga desa ini tidak akan suka kalau mereka tahu bahwa seorang putri kerajaan sedang menginap di desa mereka. Jadi, jangan bertingkah layaknya seorang putri, oke?" Ucapku sepelan embusan napas.

Kedua alisnya menyatu saat menatap mataku. "Harusnya kau mengatakan hal itu pada dirimu sendiri, Rob. Selama ini kan kau yang selalu bertingkah layaknya aku seorang putri. Bahkan sampai satu detik yang lalu kau masih memperlakukanku seperti seorang putri." Katanya.

Oh, yeah. Dia benar.

Aku terkekeh pelan, "oke, oke. Maaf. Akan kuusahakan untuk tidak memanggilmu 'tuan putri yang mulia' lagi, oke?"

Ia menutup matanya dan mendesah, "kau memang brengsek." Lalu suara tawa kami sama sama menggema di seantero ruangan.

Tapi suasana berubah hening saat kami mendengar ada sebuah ketukan di pintu. Dalam jeda beberapa detik, rambut hitam Mrs. Hawkins menyembul dari pintu ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang sedang menghampiri kami.

"Oh, dia sudah bangun ternyata," katanya sambil menatap Kristen.

Kuputar bahuku untuk menatap Mrs. Hawkins yang sudah berdiri di sampingku. "Mrs. Hawkins, ini Kristen. Dan, Kristen, ini Mrs. Hawkins. Dia dan anaknya yang sudah mengobatimu."

Tatapan mata Kristen berubah cerah saat mendengar kata-kataku. "Oh, terima kasih, Mrs. Hawkins. Aku berhutang padamu." Katanya.

Tapi Mrs. Hawkins malah mengangkat tangannya tak acuh. "Ah, aku melakukannya dengan senang hati, sayang. Oh, ya, panggil aku Sarah, ok?" Kristen mengangguk saat mendengar kata-katanya. "Tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia tidak membawamu tepat waktu." Katanya sambil menyenggol sikuku.

Begitu aku mendongak untuk menatap matanya, bisa kurasakan kalau daritadi dia memerhatikan tangan kami yang menyatu. Sebelum menggeser kursiku lebih jauh, kulepas genggamanku padanya. Perlu lima kali dehaman kikuk sampai suasana kembali normal.

Apa yang akan dipikirkannya?

"Errr," gumam Mrs. Hawkins. "Rob, seperti biasa, makan malam kami adakan di aula utama. Kalian berdua belum makan, kan?" Katanya.

"Aku rasa Rob sudah makan, ya? Terakhir kita makan kan kemarin." Kata Kristen sambil menatap mataku.

Hampir saja aku berbohong padanya sebelum Mrs. Hawkins menginterupsi. "Semenjak kalian sampai, dia tidak mau makan, Kris. Dia mengkhawatirkan keadaanmu."

Kutatap matanya dengan tatapan menuduh, sebelum akhirnya aku memandang Kristen dengan malu.

"Wah," hanya itu yang bisa Kristen ucapkan.

Aku tahu, aku tahu. Aku aneh, ya?

"Sudah, sudah. Ayo, kalian harus makan malam. Kutunggu kalian di aula, oke?" Kata Mrs. Hawkins hendak meninggalkan ruangan sebelum aku menahannya.

"Tunggu dulu, bagaimana caranya Kristen pergi ke aula, Mrs. Hawkins?"

---

"Rob, siapa dia?" Tanya Heidi, seorang ibu muda padaku saat kami sampai di aula.

"Wah, kau harus memperkenalkannya padaku, Rob!" Seru Dree, seorang pria bertubuh jangkung padaku.

"Sumpah, kalian sangat cocok jika bersama!" Kata-kata itulah yang paling banyak sekaligus paling menjengkelkan yang menghantam kami, saat aku dan Kristen memasuki aula untuk makan malam.

Dengan bantuan kursi roda milik mendiang ayah Lisa, Kristen senang sekali akhirnya dia bisa keluar dari ruangan itu. Tapi tetap saja malam ini adalah malam teraneh bagi kami.

"Pasangan kekasih?" Bisik Kristen padaku saat kami dihantam pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Matanya yang begitu bingung campur geli membuatku ingin segera pergi saja dari aula ini.

Apakah mereka tidak bisa menjaga sikap mereka sedikit saja saat di depan Kristen? Di depan wanita keturunan bidadari ini?

Kugaruk tengkukku yang tidak gatal. "Aku rasa mereka jadi gemar menggosip semenjak aku pergi," aku balas berbisik di telinganya. Tapi sikap kami ini justru membuat orang-orang di aula semakin tertarik untuk menggoda kami.

Masih membungkuk, aku mendesah. "Maaf, sungguh. Biasanya mereka menyenangkan, asal kau tahu."

Tapi Kristen malah terkekeh dan menoleh ke belakang padaku, "mereka menyenangkan, Rob. Aku suka mereka."

Makan malam itu sungguh lucu tapi hangat. Sudah lama sekali semenjak ada pengunjung baru di desa ini selain aku. Jadi, maklum saja banyak sekali orang yang ingin nengobrol dengan Kristen tentang kabar negeri Fownzley.

"Wah, kau cantik sekali, Kristen. Bagaimana caranya supaya rambutmu bisa seindah itu?" Kata-kata dari anak umur lima tahun, Casey Adams, benar-benar meluluhkan hati Kristen.

Ia juga menerima banyak tanda ucapan selamat datang dari anak-anak di desa ini. Kebanyakan, mereka memberi bunga dandellion dan bunga rue pada Kristen. Tapi ada juga yang memberinya batu kerikil tidak berbentuk, yang tanpa sengaja terjatuh ke selokan saat anak itu memberikannya pada Kristen. Sungguh tidak berguna. Tapi tetap saja Kristen memasang senyum kudanya itu.

Aku selalu mendampinginya kemanapun ia pergi. Dan setiap kali itu juga dia selalu menoleh ke arahku dengan tatapan bermacam-macam, seperti: 'wah, dia lucu sekali, Rob'; 'oh, aku jadi malu'; 'lihat, Rob? Mereka menyenangkan'; 'astaga, sepasang kekasih? Huek'.

Tapi ada satu tatapan yang membuat lututku bergetar. Begitu dalam dan hangat: 'terima kasih telah memperkenalkanku pada mereka, Rob'. Di saat itulah untuk pertama kalinya aku merasa seperti orang normal.

Sesuatu yang berada di dalam perutku melilit lagi. Tapi asal kalian tahu, aku suka rasa sakit itu.

Percakapan dengan Lisa lah yang paling melekat di otaknya. Kebanyakan dari percakapan mereka membicarakan aku, tapi tak ada satupun dari mereka yang merasa perlu berhati-hati dalam bicara. Mereka tidak menganggapku ada.

"Err, kau harus tahu, Kristen, Rob pernah berkuda sambil tidur suatu malam. Dan sayangnya, dia hanya menabrak pohon, bukan gunung." Celoteh Lisa.

"Oh, ya, dia juga pernah jatuh dari atas pohon karena tertidur saat menunggu buruannya, Kristen."

"Kau tahu tidak, kalau Rob pernah salah menukar pakaiannya di Fodz?" Kristen menggeleng. "Dia pernah menukar kalkunnya dengan pakaian wanita, Kristen. Dan mau tidak mau, dia harus memakai pakaian itu."

"Bayangkan kalau rambutnya panjang sebahu!"

"Dia pernah berciuman dengan Phillies, kau tahu?"

"Oh, kau tahu tidak? Alis dan bulu matanya pernah gundul saat bermain denganku!"

Kubenamkan wajahku di meja makan sambil mendengkur. Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk menghentikan celotehan Lisa. Kristen malah kegirangan saat Lisa menceritakan semua aibku padanya.

Dasar bocah akhir zaman.

"Aku suka Lisa." Kata Kristen saat kami memasuki ruangan pengobatannya lagi. Kambing adalah menu utama makan malam kami hari ini. Dan hampir semua orang sudah berbicara dengan Kristen di aula tadi. Aku hanya bisa lalalolo sambil mengikuti pembicaraan mereka.

Kuputar bola mataku dan mendengus. "Dia cerewet, Kris, astaga."

Rumah keluarga Hawkins kelewat sepi di malam hari begini. Hanya suara jangkrik dan suaranya yang bisa kudengar.

Ia berbalik dan mendongak menatapku yang sudah teler saat mendorong kursi rodanya. "Hm, aku membayangkan kalau rambutmu tumbuh panjang sebahu!" Katanya kemudian terbahak-bahak.

Sialan Lisa.

Kuangkat kedua tanganku menyerah. "Aku waktu itu cuma mau mengikuti model saja, Kris. Jangan salahkan aku, dan itu juga berdasarkan saran Lisa. Aku tahu, aku tahu, aku konyol." ujarku tidak jelas.

Ia sudah mulai berhenti tertawa saat kami sampai di dalam ruangan. Begitu aku menggendongnya dari kursi roda ke kasur, dia memelukku sekali lagi.

Astaga. Kristen, bisakah kau berhati-hati sedikit saja? Perutku. Melilit lagi!

"Terima kasih, Rob. Tadi adalah makan malam paling hangat yang pernah kualami. Aku senang berada disini. Akhirnya aku tahu kalau aku seharusnya senang berada di desa ini. Terkadang melanggar peraturan itu baik, ya?" Bisiknya di telingaku.

Tubuhku membeku di ambang kasur dan kursi rodanya. Kata-katanya membuatku ingin terus menggendong dan merasakan pelukannya ini. Tapi setelah membenamkan bibirku di rambutnya, kubaringkan dia di atas kasur.

"Aku tahu ini berbeda untukmu," aku terkekeh. "Makanannya, kasurnya, rumahnya," kuangkat bahuku sambil tersenyum. "Tapi aku yakin mereka sangat senang dengan kehadiranmu disini. Kembali kasih, Princess."

Ia mengerang dan menutup matanya. "Kristen, Rob. Panggil aku Kristen."

Aku terkekeh sambil menghempaskan tubuhku di kursi rotan di sampingnya. "Oke. Kristen."

"Aku suka Lisa." Ulangnya lagi.

Aku mengerang dan kubenamkan wajahku di kasurnya. "Aku tahu. Pasti karena dia sudah membeberkan aibku padamu, ya?"

Ia terkekeh. Suara tawa paling renyah yang pernah kudengaar. "Hmm, bukan begitu juga sih. Lebih tepatnya karena dia sudah menceritakan segala tentangmu padaku." Kutatap matanya untuk memastikan bahwa pendengaranku tidak salah. "Oh, ayolah, Rob. Aku sudah memberitahumu tentang hidupku yang membosankan di istana itu kan? Tapi aku belum mendengar ceritamu."

Kusandarkan tubuhku di sandaran kursi, lalu kutatap matanya lekat-lekat. "Percayalah, kau tidak mau mendengarnya, Kris."

"Aku mau," ia bersikeras dan berguling ke samping untuk mendengar ceritaku.

Aku mendesah pasrah dan kuhempaskan kedua tanganku di sisi tubuhku. "Sudah malam, kau harus tidur."

"Bagus. Ceritamu bakalan jadi dongeng penghantar tidur buatku." Katanya masih bersikeras.

Aku mengerang dan menyerah. "Baiklah. Apa yang ingin kau ketahui?"

Ia menggigit bibir bawahnya, "err, kau tinggal dimana?"

"Di hutan. Di sini. Aku tidak punya tempat tinggal tetap." Kataku sambil menutup mata. Mataku sudah dua watt sekarang.

"Keluargamu?"

Mataku membelalak saat mendengar pertanyaannya. Mengapa tak terpikirkan olehku kalau dia pasti menanyakan hal itu padaku?

Baiklah, aku harus jawab apa?

"Errr, eh, semua warga disini adalah keluargaku." Oke, aku tidak sepenuhnya bohong padanya.

Dia memutar bola matanya dan mendesah. "Orang tuamu, maksudku."

Aku berdeham untuk mencairkan suasana. "Mereka... mereka, sudah meninggal." Baiklah, kalau yang ini aku berbohong.

"Oh," ekspresi Kristen barubah kecut saat mendengar kata-kataku. Maaf, Kris.

"Maaf, aku tidak bermaksud..."

"Tidak, tidak apa-apa. Dari dulu mereka tidak terlalu dekat dengan diriku. Yang penting sekarang, aku punya mereka." Kuangkat bahuku sambil menatap tanah.

Ia mendesah, "kau beruntung sekali, Rob. Kau masih punya mereka, sedangkan aku? Dari dulu aku selalu sendirian."

Kudongakkan kepalaku untuk menatap matanya. "Jack?"

Ia mengangkat bahunya dengan lemas, "dia bahkan tidak sedang bersamaku disini sekarang."

Kusunggingkan senyumku padanya. "Setidaknya aku akan bersamamu untuk empat hari kedepan, heh?"

Ia terkekeh dan mengangguk, "Ya. Empat hari yang panjang."

Terjadi keheningan yang aneh di antara kami. Tatapan kami saling bertemu, dan senyum kami sama-sama terbentuk di wajah masing-masing. Aneh?

"Lebih baik sekarang kita tidur." Kataku dan kuletakkan kepalaku diatas kasurnya.

"Kau tidur dimana?" Tanyanya.

"Aku tidur disini. Siapa yang tahu kalau nanti malam kondisimu akan bertambah parah?" Tanyaku sambil mengangkat bahu. Walaupun kemungkinannya kecil, sih.

"Oh, ayolah, Rob. Tulangmu bakal rontok kalau kau tidur dengan posisi begini."

Kuangkat kepalaku untuk tersenyum dan menatap matanya, "aku tidak peduli. Jangan harap aku bakal meninggalkanmu sendirian di ruangan ini. Kau tahu tidak bagaimana perasaanku saat melihatmu menggigil seperti kemarin?"

Uh-oh. Apa yang baru saja kukatakan?

Sial. Aku tahu kata-kataku tadi pasti bermakna ambigu bagi siapapun yang mendengarnya. Tapi aku hanya tidak ingin meninggalkannya sendirian, itu saja. Tidak ada bentuk perhatian lain.

Dalam hitungan detik yang panjang, pipinya tersemu sambil menatapku malu. Oh, astaga. Seperti apa wajahku sekarang?

Buru buru kubenamkan wajahku di kasurnya. Bodoh, bodoh.

"Tidur, Kristen." Suaraku teredam busa kasurnya yang sudah kumal itu. Kupukul jidatku sekali lagi seperti orang sinting, padahal aku idiot.

Setelah beberapa detik hanya terdengar suara jangkrik, dia berbisik ragu-ragu padaku. "Kau juga, Rob."

Oke. Aku rasa perutku sudah mau pecah sekarang. Kugigit bibirku supaya tidak teriak. Baru setelah aku merasakan ada cairan asin di mulutku, kulepas gigitanku dan mendesah.

Aku tidak bisa tidur kalau begini caranya.

Hari ini adalah hari yang paling membingungkan dalam hidupku, well, sekaligus menyenangkan. Entah kenapa perutku selalu melilit setiap kali Kristen tersenyum atau menyentuhku. Tapi anehnya, aku suka rasa sakit itu.

Semua ini terasa aneh dalam waktu yang sama. Aku peduli terhadapnya, tapi aku tidak boleh suka padanya. Dan rasanya konyol sekali membayangkan kami sebagai sepasang kekasih. Tidak, itu sama sekali tidak benar.

Kami hanya teman. Ya, dan selamanya kami akan menjadi teman.

Fanfic ROBSTEN: Heart of Stone

 

Heart of Stone (part 6) : I think I'd have a heart attack!

Kristen's PoV

Entah kenapa selama ini aku merasa bahwa aku akan mati hanya karena faktor usia dan hal sepele lainnya. Tapi aku salah besar. Karena kenyataannya, aku akan mati dalam keadaan terkoyak, sama sekali tidak utuh. Ternyata hidup lebih sulit daripada yang kubayangkan. Sekarang aku sadar kalau waktu adalah emas. Sayangnya tidak banyak lagi waktu yang tersisa untukku di bumi ini.

Entah kenapa semua tujuan hidupku terasa asing di kepalaku sekarang. Semuanya justru terlihat konyol. Rasanya konyol mempertaruhkan cinta sejatimu jika pada akhirnya kau akan mati detik ini juga.

Atau, aku yang mati.

Aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi. Semuanya membeku dan tidak bisa digerakkan. Entah penyebabnya karena anjing jelek ini, atau memang karena aku sudah mati.

Mataku kunang-kunang. Hitam, kuning, dan abu-abu di beberapa tempat. Rasanya seperti ada seseorang yang ingin mencungkil bola mataku dari rongganya.

"Princess!" Seru sebuah suara yang sangat familier di telingaku.

Rasanya aneh. Sedetik yang lalu aku hanya bisa mendengar geraman anjing liar yang mematikan. Tapi sekarang, hanya suara itu yang membuatku yakin kalau aku masih hidup.

"Princess!" Seru suara itu lagi.

Lalu aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi aku baru sadar kalau ternyata suara geraman itu sudah tidak ada. Dan sudah tidak ada lagi anjing yang menerkamku telak telak. Melainkan sekarang, ada sebuah tangan yang menggenggam tanganku begitu eratnya.

Begitu hangat, begitu nyaman.

"Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?!"

Entah pendengaranku benar atau tidak, tapi suara itu terdengar seperti suara Robert. Tapi nadanya yang begitu mengkhawatirkanku, membuatku ragu kalau itu benar-benar dirinya. Bukankah dia kesal padaku?

Kufokuskan pandanganku, butuh usaha yang sangat besar untuk melakukannya. Lalu kemudian aku hampir tersentak. Itu benar dirinya. Mana ada orang yang memiliki mata seindah itu selain dirinya? Tapi kini matanya ternoda kecemasan yang begitu kentara.

"Hati-hati..." ujarku. Suaraku lebih parau daripada orang yang sedang sekarat. Padahal aku sedang sekarat sekarang. "Ada anjing liar di hutan ini..."

"Tentu saja!" Katanya. "Sudah berapa kali aku bilang begitu?"

Nada suaranya sungguh aneh. Aku tidak pernah mendengar suara secemas ini sebelumnya.

Kemudian sesuatu yang berada di kakiku membuatku meringis. Entah apa yang terjadi disana, tapi rasanya sungguh perih. Lebih perih daripada disayat dengan mata pisau. Rasanya daging yang berada di dalam kakiku sedang ditusuk tusuk oleh ujung batu tajam. Ditambah lagi dengan ribuan semut merah yang berkerubung disana.

Kemudian tangannya menyibakkan rambut yang menutupi mataku, "ada apa? Mana yang sakit? Kau baik-baik saja? Apa? Mana yang sakit?" Pekiknya.

Berani sumpah, rasanya pendengaranku rusak setelah kejadian tadi.

Dengan sekuat tenaga aku menjawab, "kakiku..."

Lalu aku mendengar suara erangan tertahan. Entah itu suaraku atau suaranya, tapi rasanya aku tidak bersuara seperti itu.

Sedetik kemudian, tangan hangat yang menggenggam tanganku hilang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggapai-gapainya. Karena aku tahu tangan hangat itu milik siapa.

Kemudian luka yang ada di kakiku serasa di tekan. Seharusnya sentuhan seringan itu tidak akan menimbulkan rasa sakit yang separah ini sekarang. Kugigit lidahku keras-keras supaya tidak teriak.

"Demi tuhan, kau harus belajar untuk mendengarkan omonganku, Princess. Lihat apa yang terjadi akibat ulahmu sendiri. Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tidak pergi terlalu jauh ke dalam hutan?" Tanyanya.

"Maaf..." ucapku sepelan embusan napas. "Apa yang terjadi? Apa aku kena gigit? Apa aku kena rabies?"

Ia menggeleng, "bukan, kau hanya kena cakar mereka."

Lalu ia mengikatkan seuntai kain diatas lukaku yang menganga. Aku tidak berani untuk melihatnya, tapi dari sini, lukaku terlihat begitu mencolok.

Kemudian ia bangkit untuk mendudukkanku di sebuah batang besar. Ia menyentuhku dengan sangat hati-hati, seperti tubuhku bakal pecah jika ia menggenggamku erat-erat. Kutatap matanya sekali lagi, dan api kecemasan masih tergambar jelas disana.

"Tunggu disini sebentar, oke? Aku akan mencari air dulu." Katanya. Lalu mata hijaunya menatap mataku begitu menusuk, "jangan bergerak!" Katanya kemudian menghilang di balik semak-semak.

Sementara aku menunggunya sampai kembali, kuberanikan diri untuk mengecek lukaku sekali lagi. Dan benar saja. Ternyata daging kakiku menyembul keluar. Dan kerubungan semut yang kurasakan tadi ternyata adalah pasir dan kerikil yang menancap disana. Kugigit lidahku lagi.

Kakiku yang luka terlihat lebih kurus daripada kaki yang satunya. Aku rasa daging yang ada di kaki kananku sudah menghilang saat di cakar oleh anjing jelek tadi. Jika luka itu tidak segera ditutup, aku yakin nanti malam kakiku bakalan busuk.

Kemudian beberapa detik setelahnya, Robert datang dengan sebotol air jernih dan segenggam daun daunan. Dengan sangat hati-hati, ia menyingkirkan pasir dan kerikil itu dengan air dan potongan gaunku. Beberapa kali aku meringis saat ia mencungkil kerikilnya. Sementara ia bekerja, pikiranku beradu tombak.

Apa yang terjadi padanya? Pasti ada sesuatu yang sangat parah terjadi sampai ekspresinya begitu kalut. Apa yang bisa membuatnya begitu? Apa Phillies diserang anjing liar juga? Atau karena dia tidak mendapat buruan yang enak?

"Dimana Phillies?" Tanyanya tanpa menatap mataku.

Ternyata Phillies penyebabnya.

"Seharusnya dia masih berada di tempat kita meninggalkannya tadi." Kemudian pikiranku melayang ke kuda malang itu. Bagaimana kalau dia diserang anjing liar juga? Tidak ada seseorang seperti Robert yang akan menolongnya. Astaga.

"Phillies!" Pekikku. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?"

Dengan sedikit terbesit kegelian, matanya menatap mataku. "Dia lebih jago menjaga dirinya sendiri daripada kau, Princess." Tapi kemudian matanya tidak fokus lagi.

Gelembung kelegaan menyeruak di dalam rusukku. Dia benar. Aku yang lemah disini.

Kemudian ia memasukkan dedaunan yang dibawanya tadi ke dalam mulutnya. Setelah beberapa detik di kunyah, ia menempelkan daun itu di atas lukaku.

"Apa itu?" Tanyaku saat aku merasakan sensasi dingin yang menusuk tulang.

"Yarrow. Tumbuhan ini tumbuh dimana-mana, tapi cukup berguna. Cara ini pernah berhasil pada luka bakarku tempo hari. Semoga saja juga berhasil pada lukamu," suaranya masih terdengar tegang di telingaku yang sepertinya rusak.

Setelah selesai, ia berlutut di sampingku. Matanya menatapku begitu lekat hingga terasa memabukkan. Kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya ragu-ragu saat ingin menyibakkan rambut yang menutupi mataku. "Bagaimana rasanya? Apa lebih baik?"

Awalnya rasanya dingin. Tapi semakin kesini, sensasi itu menghilang dan menyebarkan sensasi lain yang lebih buruk. Perih dan panas di setiap bagian yang terluka parah, tapi lalu menghilang sebelum akhirnya muncul lagi.

"Ya," aku berbohong.

Kemudian matanya mencair dan mendengus, "aku pernah memakai daun itu sebelum kau, Princess. Dan aku tahu seperti apa rasanya. Rasanya buruk, ya, kan?" Ia mengerutkan hidungnya.

Lalu aku menjawab, "lalu untuk apa kau bertanya?"

Ia mengangkat bahunya dengan tegang, "cuma mengecek. Tapi tenang saja,khasiatnya berbanding terbalik dengan sensasinya. Kau akan sembuh."

Demi Tuhan, rasanya aku juga mengalami gegar otak.

"Apa kau bisa berjalan? Kita harus menyusul Phillies. Dia tidak senang ditinggal terlalu lama." Ujarnya setelah mengangkut dua ekor hewan yang mirip ayam di tangan kanannya. "Kita sarapan kalkun hari ini."

Ia membungkuk di sampingku, memegang pinggangku dengan lembut dan mendorong bahuku untuk membantuku berjalan. Kupegang bahunya erat-erat, merasa canggung karena berposisi sedekat ini dengannya.

"Rasanya sudah jam makan siang sekarang," gumamku pada diri sendiri. Tapi aku merasakan tubuhnya bergetar karena tertawa.

Lalu kucoba menyeret kaki kananku yang terluka, berusaha sedikit mungkin untuk bergerak. Tapi aku malah meringis saat tidak sengaja menyeret kakiku begitu kencang. Hampir saja aku tersungkur ke depan jika tidak karena tangannya yang menjagaku.

"Ini tidak akan berhasil," katanya.

"Ya." Aku setuju padanya. "Lebih baik kau meninggalkan ak--aww! Apa-apaan kau?" Pekikku saat aku merasakan kakiku tidak menapak lagi di tanah. Sekarang tanganku yang tadinya hanya memegang bahunya erat-erat, sudah bergerak melingkari lehernya. Jarak wajah kami yang hanya berkisar beberapa sentimeter membuat pipiku memanas dan ingin segera memberontak.

Tapi aku sadar apa yang sedang dilakukannya. Aku tidak mungkin berhasil sampai ke tempat Phillies jika berjalan terpincang pincang seperti itu.

Ia menatap mataku, "ada angin apa kau sampai memintaku untuk meninggalkanmu? Asal kau tahu, aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini."

Embusan napasnya yang seharum bunga lilac menerpa indra penciumanku. Buru-buru aku menunduk sebelum ia melihat pipiku yang memerah. Astaga. Ada apa sih dengan pipiku? Bisakah cowok ini bersikap menjengkelkan saja? Apa dia harus menebar pesonanya dalam keadaan seperti ini?

Beberapa detik aku merasakan tatapannya di wajahku, dan beberapa detik juga jantungku bereaksi aneh. Ada apa dengan jantungku? Pacuannya saat ini berbeda dengan saat aku bertatapan dengan Jack. Jadi tidak mungkin aku gugup dengan tatapannya yang begitu intim terasa. Kali ini pacuannya lebih keras dan cepat.

Mungkin karena aku terserang penyakit jantung juga setelah kejadian tadi.

Kemudian ia mendesah dan mulai berjalan menelusuri hutan. Rasanya baru kali ini aku memerhatikan mayat mayat anjing berdarah yang bergeletakan di tanah. Di masing-masing jantung mereka, ada sesuatu berbentuk runcing yang menancap disana. Tidak diragukan lagi, Robert yang membunuh mereka semua dan menyelamatkan nyawaku.

Aku berhutang lagi padanya.

Kuhantamkan tangan kiriku yang bebas ke wajahku saat menyadari hal itu. Aku yakin ia pasti sudah menganggap aku sinting sekarang.

"Bukannya kau senang sekali berada jauh-jauh dariku?" Tanyaku. Suaraku terdengar tidak begitu jelas karena masih teredam oleh telapak tanganku.

Tapi ternyata pendengarannya terlalu bagus. "Dalam keadaan seperti ini?" Ia memutar bola matanya. "Kau pikir aku ini cowok macam apa?"

"Oh," gumamku. "Jadi kau sudah menjelma menjadi manusia bertanggung jawab sekarang?" Tanyaku dan mendongak menatap matanya.

"Terserah kau mau menyebutku apa." Ujarnya tak acuh.

"Bagaimana kalau daun itu tidak berguna? Bagaimana kalau keadaanku semakin parah? Apa kau--"

Ia menggertakan giginya, "kau akan sembuh. Bisakah kau beranggapan seperti itu saja?"

Aku mendesah dan mencubit bahunya, "kau kebiasaan betul memotong pembicaraan orang. Asal kau tahu, jika kau tinggal di istana, kau akan di karantina selama satu hari di ruangan penuh buku kesopanan!"

Lalu ia tertawa, "beruntung betul aku tidak tinggal di istana! Hal mengerikan seperti apalagi yang ada disana?"

Aku mendengus, "setidaknya di istana tidak ada anjing liar."

"Ya! Dan selama itu juga kau selalu dikurung seperti hewan buas disana. Heran juga aku, bisa-bisanya kau masih waras selama ini," katanya kemudian tertawa lagi.

Itu sebabnya aku pergi, bodoh. Aku bisa saja sudah menggila jika sekarang masih berada di istana.

"Diam, kau!" Omelku. "Tinggal di alam liar ini juga sama ngerinya, kok. Heran juga aku, bisa-bisanya kau masih hidup selama ini," kuikuti kata-katanya barusan dan terkikik di akhir kalimat. Tapi aku langsung berhenti saat merasakan nyeri di kakiku muncul lagi.

"Jangan banyak bergerak!" Titahnya saat mendengar rintihan tertahanku. "Aku tidak pernah diserbu anjing liar selama bertahun-tahun. Sudah kubilang, kau ini seperti magnet bahaya. Setiap ada bahaya yang beradius 500 mil darimu, pasti bahaya itu akan menarikmu seperti magnet."

Sialan.

Kucubit lagi bahunya, "taukah kau bahwa 'sudah kubilang' itu memiliki teman?" Tanyaku. Ia mengangkat alisnya lalu aku melanjutkan, "namanya 'tutup mulutmu'!"

Kemudian ia terkekeh, "tapi sungguh, kau benar-benar tidak pernah keluar dari istana?" Tanyanya.

Kutatap matanya yang masih menatapku geli, lalu kuputuskan saja untuk menjawab pertanyaannya. "Belum pernah, sampai kemarin." Kuangkat bahuku.

"Jadi kalau kau tidak kabur dari istana, seumur hidup kau bakal dikurung disana?" Asumsinya.

Kugelengkan kepalaku kuat-kuat, "tidak, bukan begitu! Aku diizinkan keluar setelah hari penobatanku. Kira kira satu setengah tahun lagi dari sekarang, saat ulang tahunku yang ke-21. Dan banyak sekali syarat yang harus kupenuhi untuk menjadi Ratu." Kuakhiri kalimatku dengan ekspresi jijik.

Kemudian ekspresinya berubah murung, "jadi kau akan memimpin negeri ini?" Aku mengangguk. "Wah. Sial betul kalau begitu," katanya.

Sudut-sudut mulutku terangkat membentuk senyuman, jalan pikiranku sama dengannya. "Cuma kau yang berkata begitu. Yang lain lain sih bakal bilang, 'wah beruntung sekali kau!' Atau 'wah selamat ya!'" Ucapku dengan ekspresi yang di lebih-lebihkan. "Andai nasibku bisa ditukar dengan salah satu dari mereka."

Entah apa yang terjadi padanya, atau apa pengaruh kata-kataku terhadapnya, tapi kini ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras seperti batu, matanya sudah membeku menjadi es hijau lagi.

Hilang sudah cowok yang membuatku jantungan tadi.

"Kalau besok keadaanmu bertambah parah," ujarnya mengalihkan pembicaraan. "Kita akan berkuda ke sebuah desa yang berada di perbatasan negeri ini dan Onyxland. Desa itu cuma berpopulasi 300 orang, tapi aku yakin salah satu dari mereka ada yang bisa menyembuhkanmu." Katanya.

Desa di perbatasan? Desa macam apa itu?

Setelah mendengar perkataannya, entah mengapa aku merasa dikhianati. Bagaimana bisa aku menjadi seorang putri tapi aku sama sekali tidak mengetahui negeriku dengan sangat baik? Aku sama sekali tidak tahu tentang desa yang berada di hutan belantara ini.

Kemudian aku mendesah kesal, "Ya Tuhan! Apa masih ada lagi sesuatu yang tidak kuketahui tentang hutan ini? Desa macam apa itu? Siapa yang memerintah mereka?" Pekikku.

"Tidak ada yang memerintah mereka, mereka adalah desa yang bebas. Sebenarnya desa itu hanyalah perkumpulan lebih dari sepasang kekasih yang berasal dari negeri Fownzley dan Onyxland. Larangan pasangan seperti itu untuk bersatu hampir sama kuat seperti larangan sepasang kekasih yang berbeda agama dilarang bersatu. Tapi yang ini, hanya beda negeri. Sepertinya ada semacam peraturan yang melarang sepasang kekasih macam itu bersatu, ya? Buktinya mereka sampai rela tinggal di perbatasan hanya untuk menikah. Dan jumlahnya lebih dari seratus pasang." Katanya panjang lebar.

Satu lagi hal yang sangat aneh yang tidak kuketahui tentang negeriku sendiri. Aku bahkan tidak tahu ada peraturan semacam itu.

"Pasti karena perang yang kau bilang itu, ya?" Gumamnya padaku, sementara aku hanya bisa menganga seperti orang idiot.

"Jadi maksudmu, mereka membangun desa mereka sendiri? Hanya untuk bersatu?" Tanyaku.

"Ya. Seperti kau dan cinta sejatimu." Katanya tanpa menatap mataku. Tapi aku bisa melihat ekspresinya yang berubah jijik.

"Sebenarnya aku sama sekali tidak tahu tentang peraturan itu. Tapi masuk akal jika ayahku membuat peraturan semacam itu. Dia pasti takut kalau ada mata-mata..." gumamku pada diri sendiri. "Jadi kita akan kesana?"

"Hanya kalau keadaanmu semakin memburuk. Kita harus memutari hutan ini jika ingin sampai kesana." Tuturnya.

"Apa hanya aku satu-satunya orang yang tidak tahu tentang ini?" Dengusku kesal. Kutatap matanya lekat-lekat, berusaha menunjukkan kekesalanku supaya dia mau menceritakan lebih banyak lagi.

Lalu ia berdecak kesal, "tentu saja tidak! Semua orang yang tidak pernah ke hutan tidak tahu sama sekali tentang desa itu. Begitu juga dengan kau dan anggota kerajaan lainnya. Mungkin cuma aku satu-satunya rakyat Fownzley yang mengetahui semua ini. Mereka banar-benar pintar menyembunyikan diri mereka sendiri," Ujarnya.

Jadi bukan cuma aku yang merasa di khianati.

"Lalu mengapa kau memberitahuku tentang semua ini jika ternyata desa itu semacam perkumpulan rahasia?" Tanyaku dongkol. Kucakar jari tanganku dengan kuku jariku sendiri saking dongkolnya.

"Kau tidak akan memberitahu anggota kerajaan yang lainnya kan, jika mereka bisa menolongmu untuk bertahan hidup? Lagipula, sebenarnya apa yang mereka lakukan sama persis dengan apa yang kau lakukan sekarang. Jadi tidak mungkin kau menkhianati kaummu sendiri. Aku yakin itu." Tuturnya tanpa menatap mataku.

Dia benar. Tidak ada perbedaan antara aku dan mereka. Kami sama-sama ingin bersatu dengan cinta sejati kami di sebuah tempat yang berbeda. Bukan di Onyxland atau Fownzley...

Akhirnya aku tahu kemana aku dan Jack nanti akan melarikan diri. Ternyata sudah banyak pasangan terlarang seperti kami di negeri ini. Masalahnya adalah, apa aku akan tetap hidup sampai besok pagi dengan kaki yang hilang dagingnya begini?

"Memberitahu anggota kerajaan lainnya? Apa maksudmu? Memangnya kau lupa kalau aku tidak akan kesana lagi?" Tanyaku tak acuh sambil menunduk menatapi jariku yang memerah.

"Oh, ya, benar. Aku lupa kalau nanti kau bakal tinggal di Onyxland. Ya, pokoknya kau tidak boleh menceritakan hal ini pada siapapun, oke?" Tanyanya sambil menunduk menatapku.

Aku mengerutkan dahiku dan membalas tatapannya, "memangnya aku pernah bilang padamu kalau aku bakal tinggal di Onyxland? Aku dan Jack bahkan sama sekali tidak tahu kemana kami akan kabur setelah ini..."

Kini giliran dirinya yang mengerutkan dahi, "bukannya kau memang bakal tinggal disana? Memangnya kau mau kabur lagi setelah bertemu dengan Jack-mu itu?"

Kurasakan pohon yang tadinya berjalan di sekeliling kami tiba-tiba berhenti. Atau, dia yang berhenti berjalan.

"Ya! Tentu saja. Orang tuanya juga tidak merestui hubungan kami, seperti orang tuaku. Jadi setelah semua masalah ini selesai, kami bakal pergi berdua saja, bersembunyi dari orang-orang." Aku mencebik dan melirik ke balik bahunya, berusaha memastikan kalau kami sudah sampai atau belum. "Apa kita sudah sampai?"

Ia menggeleng untuk mengenyahkan pikirannya dan memelukku lebih erat, memaksaku untuk menatap matanya lagi. Lalu aku menatapnya dengan canggung, berusaha memusatkan tatapanku ke alisnya. Matanya membuat penyakit jantungku kambuh lagi.

Ternyata dia berbakat untuk membuatku hampir mati jantungan kapan saja dia mau.

"Jadi kau akan pergi ke antah berantah?" Tanyanya akhirnya.

"Errr," kugigit bibirku. "Apa sih masalahmu?" Kuputuskan untuk tidak menjawabnya dan menghindari tatapannya.

Jantungku berpacu tidak keruan lagi seperti tadi. Ada apa sih dengan jantungku? Tenanglah, jantung.

Ia menggeleng dan bisa kurasakan pohon di sekeliling kami berjalan lagi. "Aku kira kau akan tinggal di istana Onyxland dan... tidur di atas emas." Ia mengangkat bahunya.

Lalu tawaku menggema di seantero hutan, membuat kakiku sakit lagi dan aku tidak peduli. "Sudah tidak ada tempat bagi kami lagi, kau tahu." Tuturku sambil masih terkikik. "Dan selama ini kami sudah cukup dimanjakan oleh emas. Mungkin sekarang saatnya untuk hidup mandiri..."

Ia menggeleng lagi, tatapannya tidak fokus saat memandang tanah. "Ya, aku hanya mengira kalau... sudahlah. Itu tidak penting."

Kuseka air mata yang menyembul di pelupuk mataku dan mengangguk, "ya. Itu bukan urusanmu."

Lalu setelah satu menit lagi ia berjalan, aku mulai mengenal pohon-pohon yang kami lewati. Dan tidak lama setelahnya, aku bisa melihat Phillies sedang memakani rerumputan di dekat kakinya. Ia mendengking lega saat melihat kami muncul.

Keadaannya sehat walafiat. Jelas tidak ada anjing liar yang menyerangnya sepertiku.

Kemudian dia mendudukkanku di sandaran batu besar, sementara ia menghilang sebentar untuk mengambil kayu bakar. Lalu tak lama setelahnya, ia datang dengan beberapa buah kelapa muda di bahunya.

"Wah, rasanya kita bakal pesta ya siang ini? Apa ayam aneh itu enak?" Telunjukku menuding dua ekor ayam hitam aneh yang ada di sebelah semak-semak.

Setelah menumpuk kayu bakar itu menjadi berbentuk limas bantet, ia menyeka keringatnya dan terkekeh pelan.

"Itu bukan ayam aneh, tapi kalkun. Rasanya hampir sama seperti daging ayam, sih. Kau belum pernah makan kalkun sebelumnya, ya?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Pengalaman pertamaku, kalau begitu."

Sambil memutar ujung kayu vertikal di atas kayu yang berposisi horizontal, matanya menatap kakiku sekilas. Aku jadi teringat dengan luka sialan itu lagi.

"Bagaimana kakimu? Bilang padaku kalau kau merasa nyeri lagi atau apa, ya." Ujarnya.

Kulipat kedua tanganku di dada, "nyerinya bertambah parah jika kau mengingatkanku begitu terus." Aku berkilah.

Ia memutar bola matanya dan mendesah.

Pengetahuannya begitu banyak tentang bertahan hidup di hutan. Dia bisa berburu, membuat api, memenangkan pertarungan dengan manusia, membunuh enam ekor anjing liar sekaligus, dan masih banyak lagi kelebihan kelebihan lainnya. Aku tidak tahu bagaimana keadaanku sekarang jika tempo hari aku tidak meminta bantuannya.

Mungkin aku sudah gila sekarang. Atau lebih parah lagi, mati.

Setelah kenyang, kami memutuskan untuk berkuda ke arah sumber mata air. Kami bisa membersihkan diri dan mengisi ulang persediaan air kami disana. Dan sungguh, tubuhku sudah lengket sekali sekarang.

Butuh waktu berjam-jam untuk sampai di tempat sejauh dua kilometer dengan caranya berkuda yang tidak lebih cepat daripada kemampuanku berlari.

"Apa kau tidak bisa berkuda lebih lambat lagi daripada ini?" Tanyaku jengkel di sela-sela lari siput kami.

Ia menjawab, "lukamu bakal bertambah parah kalau kita banyak bergerak!"

Nada suara aneh itu muncul lagi di setiap kata-katanya. Membuat jantungku hampir pecah saking kerasnya dia meloncat.

"Persetan dengan lukaku. Lebih cepat sampai lebih baik!" Aku berkeras.

Sebenarnya aku berbohong tentang lukaku. Seiring waktu berjalan, luka di kakiku semakin perih dan panas. Sementara kulit-kulit yang mengelupas disisinya terasa semakin gatal. Ingin sekali aku menyelupkan luka sialan ini di dalam air dingin.

"Bisakah kau memikirkan kesehatanmu saja dan tidak usah ikut campur dengan caraku berkuda? Kita akan sampai dan kau akan sembuh. Tenang saja!" Ia memekik.

Lalu kugigit lidahku supaya tidak membalas berteriak. Dan kukencangkan lagi peganganku supaya tanganku tidak menggaruk luka yang terasa sangat gatal seperti di gigit ulat bulu.

Aku mendesah lega saat kami tiba di danau. Airnya tidak terlalu banyak, dan kedalamannya tidak terlalu dalam. Tempat ini lebih terlihat seperti lembah atau rawa daripada danau. Tepat di sekeliling genangan air itu, terlihat bunga-bunga primrose dan dandellion yang membentuk semacam pagar.

Tapi aku tidak bisa mengagumi keindahan danau ini. Penglihatanku tercemar warna merah lagi.

Dan ternyata dia benar. Semakin banyak aku bergerak, semakin terasa sakit pula luka yang ada di kakiku. Mencuci muka dan menyisir rambutku hanya bisa terbang di anganku saja. Tepat setelah aku turun dari punggung Phillies, aku limbung dan hampir jatuh ke tanah. Kesehatanku yang terlalu buruk tidak memungkinkanku untuk memikirkan sekadar kecantikan.

Hari sudah gelap saat ia menyuruhku beristirahat. Penglihatanku kembali berkunang-kunang. Sementara kepalaku terasa sakit sekali, begitu juga dengan seluruh bagian tubuhku.

Bahkan kilau mata hijau yang paling kusukai itu terlihat sewarna merah darah oleh mataku ini. Berkali-kali aku limbung dalam posisi duduuk. Bahkan saat duduk pun aku bisa limbung.

Mataku yang sayu terasa berat sekali, tapi aku tidak bisa tidur. Badanku terentak-entak karena kedinginan. Sensasi dingin yang tadinya hanya di betisku yang luka, semakin lama menjalar dengan cepat ke seluruh sel sel tubuhku. Dan semakin jauh sensasi itu menjalar, semakin dingin pula rasanya.

Dan semakin keras aku berusaha untuk tidur, nyeri di kepalaku terasa semakin sakit. Rasanya seperti aku habis terbentur tembok baja dengan sangat keras. Dan benjol yang pasti diakibatkannya menerorku saat ini. Membuatku bergerak-gerak gelisah karena kepalaku yang serasa di tiban beton.

Aku bisa merasakan bahwa Robert melingkarkan jaketnya di bahuku, berusaha menimbulkan kehangatan sebanyak mungkin untukku. Bahkan, perapian pun sudah dibuat. Tapi itu semua tidak cukup.

Aku kedinginan dari luar dalam.

Kugulung tubuhku seperti bola, berusaha memeluk diriku sendiri sementara tubuhku masih terentak-entak kedinginan.

Sampai tengah malam aku masih terjaga dengan tubuh mengentak-entak. Bulu kudukku sudah berdiri sempurna. Bibirku sudah sepucat mayat. Mungkin sebentar lagi sensasi dingin itu akan membekukan jantungku juga.

Jadi penyakit jantungku tidak bisa kambuh lagi saat melihat matanya.

Tapi tidak lama setelah itu, aku tahu kalau jantungku masih berfungsi. Bagaimana itu tidak berfungsi jika aku bisa merasakan bahwa sekarang jantungku sedang meloncat minta keluar dari rusuknya saat ada sepasang tangan yang melingkari tubuhku. Dan sedetik setelahnya, ada sesuatu menyusup di bawahku. Begitu nyaman dan hangat.

Kugerakkan kepalaku sedikit untuk mengambil posisi nyaman, dan ternyata gerakan itu memunculkan sesuatu yang lain. Tangan yang tadinya hanya melingkariku kini bergerak kecil untuk menciptakan sentuhan hangat. Membentuk berbagai pola di atas jaket dan rambutku.

Aku tidak peduli siapa atau apa yang sedang memelukku sekarang. Tidak bisa dipungkiri kalau aku membutuhkan pelukan itu. Kulingkarkan tanganku di lehernya, dan tubuhnya memelukku semakin erat. Embusan napasnya yang hangat menyapu puncak kepalaku.

Aku sedang berada di surga antah berantah...

Ya. Itu sebutanku untuk tempat yang paling nyaman di dunia ini.

Tidak diragukan lagi, melihat dari kondisiku yang semakin memburuk, besok Robert pasti bakalan membawaku ke desa itu.

Dan satu-satunya tugasku adalah, berusaha menjaga jantungku tetap berdetak sampai besok.

Tapi bisa dibilang tugas itu terlalu mudah bagiku sekarang. Sentuhan yang ada di lenganku benar-benar membuat jantungku melompat-lompat dan tidak mau berhenti. Ternyata bukan hanya matanya saja yang membuat penyakit jantungku kambuh, melainkan semua hal yang berhubungan dengannya membuatku terasa terjun bebas dari surga ke tujuh.

Bahkan dalam keadaan seperti ini pun serangan jantungku masih berlanjut.

Aneh. Jika aku kena serangan jantung, lantas mengapa aku belum mati?