Sabtu, 05 Juli 2014

Fanfic ROBSTEN: Heart of Stone


Heart of Stone (part 8) : I love Jack, but I'm Robert's girl. Yeah, I know I'm suck.

Kristen's PoV

Bingung. Ya, hanya itu yang bisa kurasakan saat ini. Semua rencanaku kacau balau. Well, tidak ada yang merencanakan kalau aku akan digigit anjing liar dan berakhir di desa ini. Tidak ada yang merencanakan kalau aku akan bertemu Rob dan membutuhkan bantuannya.

Tidak ada yang merencanakan kalau aku akan merasa nyaman berada di dekatnya.

Semenjak kejadian keramat itu, ada sesuatu dalam diriku yang berbeda. Entah aku sudah gila atau belum, tapi aku menyukai keberadaan Rob disisiku. Aku menyukai segala bentuk perhatiannya padaku, baik yang ia sadari ataupun tidak. Aku mendambakan segala sesuatu tentangnya, tidak pernah berkurang dan justru terus bertambah.

Perasaan ini sungguh aneh dan tidak masuk akal. Bagaimana bisa aku kecanduan dengan segala hal tentang Robert sementara aku mencintai Jack?

Oh, rasanya aku adalah orang yang paling serakah di dunia ini. Sudah mendapatkan pria yang sempurna, aku masih saja menginginkan pria lain. Masa bodohlah. Toh, hanya untuk beberapa hari saja aku akan bersamanya, setelah itu semuanya akan selesai. Kami tidak akan pernah bertemu lagi dan aku akan melupakannya.

Ya, aku harap akan semudah itu bagiku melupakannya.

Pada keesokan paginya, kuhabiskan waktuku bersama Lisa dan Sarah di ruang pengobatan.

Pada hari pertama, efek 'mati rasa' yang ditimbulkan morfin itu sudah mulai menghilang. Aku sampai mengerang berkali-kali sampai akhirnya 'dokter pribadiku' datang.

Aku girang bukan main saat Sarah menyingkirkan obat ramuan yang ia tempelkan di lukaku. Semakin lama, obat ramuan itu justru semakin membuat lukaku terasa panas. Sementara kakiku sudah bersih tanpa penutup, Sarah menyuguhiku sebuah pil seukuran gundu yang rasanya pahit seperti sayuran dicampur kopi.

Kucakar pergelangan tangan Rob saat ia membantuku menelan pil sialan itu. Hampir saja pil itu menyangkut di tenggorokanku, sebelum Rob mengisi ulang gelasku dengan air hangat.

Selama pengobatan, Rob diizinkan untuk menemaniku. Oh, bukan diizinkan namanya, kalau aku yang memaksanya untuk tetap disini. Aku tidak bisa melakukan ini semua tanpa dirinya disisiku.

Robert berkali-kali mengalihkan perhatianku sementara Lisa dan Sarah menjahit ulang jahitan lukaku yang terbuka. Mereka tidak bisa menggunakan morfin kali ini, sesuatu yang langka seperti morfin harus benar-benar dihemat untuk kepentingan genting lainnya.

Kedua telapak tangan Rob yang besar merengkuh wajahku, memaksaku untuk menatap matanya, bukannya proses jahitan luka yang mengerikan itu.

Kuperhatian bibirnya sementara ia bicara, "kau tahu tidak? Aku pernah mengalami luka yang lebih parah daripada kau, Kristen. Oh, bahkan mereka harus menyusun kembali tulangku untuk menjagaku tetap hidup. Dan waktu itu aku benar-benar sendirian. Andai aku memiliki seseorang untuk merengkuh wajahku seperti ini dan mengalihkan perhatianku dari penyusunan tulang yang menyakitkan itu. Andai saja waktu itu aku memilikimu..."

Ternyata, pil yang tadi kutelan menimbulkan khasiat yang sangat dahsyat. Mimpi itu sungguh aneh, Rob bilang padaku kalau dia menginginkan aku. Dia bilang, dia membutuhkan seseorang sepertiku untuk mengalihkan perhatiannya dalam keadaan-keadaan seperti ini.

Oh, ini mimpi kan?

Jikalau iya, akan kujawab dia; Aku disini sekarang. Aku bersamamu. Aku nyata. Akan kulakukan hal yang sama sepertimu jika keadaan kita terbalik, bodoh. Kau tidak sendirian. Dan aku milikmu, sekarang dan selamanya...

Oh, yeah. Untung saja ini cuma mimpi. Sayangnya rasa kantuk menenggelamkanku lebih dalam ke air sebelum aku bisa menjawabnya.

Tapi suara-suara lain mulai berlarian di kepalaku. Kedengarannya kedua suara itu berasal dari orang yang sama...
"Biarkan aku memberimu beberapa pertanyaan mudah. Siapa kau?"
"Kristen Stewart."
"Siapa cinta sejatimu?"
"Pangeran Jack."
"Lalu siapa Robert?"
"Dia milikku."
Kedua suara itu milikku. Baik yang bertanya maupun yang menjawab, keduanya adalah aku.

Aku tersentak saat merasakan kegelapan membawaku semakin dalam ke pusat bumi. Aku terjun bebas dari ketinggian sejuta kaki tanpa mengetahui betul apa yang akan kutemui di bawah sana.

Hari sudah terik. Desingan besi terdengar dari luar ruangan.

Mata kelabu Sarah adalah warna pertama yang kulihat semenjak aku membuka mata. Ruangan ini begitu terang. Bahkan warna kelabu mata Sarah kini hampir memutih, hampir seputih salju. Jam berapa sekarang? Berapa lama aku bermimpi?

"Hai, sayang. Tidurmu nyenyak?" Tanya Sarah kemudian terkekeh. Kukerutkan dahiku saat menatapnya, masih bingung dengan responku sendiri.

Ia duduk di kursi kumuh yang sering ditempati oleh Rob. Dengan sebelah tangan menyentuh ujung rambutku, ia tersenyum.

"Dimana Rob? Jam berapa sekarang? Apa yang terjadi?" Semburku tanpa berpikir.

"Dia baik-baik saja." Jawab Sarah. "Kau baik-baik saja. Kurasa sudah jam makan siang sekarang."

Nada bicara Sarah hampir sama dengan nada bicara Ibuku waktu virus demam menyerang istana dan aku menjadi salah satu korbannya.

Bukan karena aku merasakan ada yang berbeda dengan kamarku yang sekarang, dan bukan karena nada bicaranya yang mengingatkanku pada ibuku, tapi aku merasakan tubuhku terasa berbeda.

Aroma bunga fresia dan mawar merebak dalam penciumanku. Kuangkat tanganku perlahan-lahan, dan akhirnya aku tersadar kalau aku mendapat pakaian baru. Bagian yang terbaik adalah, tubuhku sudah bersih dan rambutku sudah rapi dengan bentuk kepangan kesamping.

"Oh, Mrs. Glory memberikan pakaian ini khusus untukmu, sayang. Kau boleh bercermin sekarang, jika kau mau tentu saja?" Tanya Sarah dengan ragu.

Kugantungkan kakiku di tepi kasur, dan aku dapat melirik celana baruku dari sudut mata. Dengan bantuan Sarah, aku sudah bisa berjalan ke depan cermin yang jaraknya satu meter dari kasurku.

Lalu pemandangan lain mulai menyita pikiranku saat ini. Siapa dia? Siapa wanita yang kulihat di cermin itu? Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Begitu kuat dan kokoh. Ia terlihat seperti pohon subur yang berdiri di tengah tanah gersang. Tidak peduli sekitar, pohon itu akan tetap berdiri kokoh di tempat yang salah ini sampai waktu mengikis. Tanpa air, tanpa apapun yang akan membantunya berdiri.

Dengan baju satin seputih gading, celana jins belel, dan sepatu boot berbulu, aku terlihat serasi jika disandingkan dengan Rob. Rambutku yang dibentuk menjadi satu kepangan dihias dengan bunga warna-warni seukuran melati. Ternyata aroma bunga fresia dan mawar yang tadi sempat kucium berasal dari sini.

"Aku yakin ini milikmu," suara parau Sarah mengalihkan perhatianku dari wanita yang berada di cermin itu.

Oh, tentu saja: Tas pinggang bermotif cantik yang berisi peta, kompas, dan peluit itu. Bagaimana bisa aku lupa dengan tas ini?

"Oh, ya. Aku hampir melupakan tas ini." Aku hampir tercekat saat mengatakannya.

Kuikat tas itu di pinggangku. Kelihatannya tas 'cantik' ini tidak cocok disandingkan dengan pakaianku yang kelewat 'sangar'.

"Kau suka?" Tanya Sarah.

Kuputar badanku untuk menatapnya. "Suka? Ini hebat, Sarah. Terima kasih banyak!" Kuraih ia kedalam pelukanku sampai kami berdua tidak bisa bernapas.

O-oh. Aku kelewat senang sekarang.

"Kau mau bertemu Rob? Dia sedang bersama Lisa di aula. Ayo." Kata Sarah sambil menggandeng tanganku.

Kutahan dia. "Kau yakin? Tidak pakai kursi roda?" Tanyaku, berharap cemas agar dia berkata tidak. Aku muak berlama-lama di kursi roda itu.

Ia menggeleng. "Tidak perlu. Kakimu bakal membaik jika terus dilatih. Oh, kecuali kau mau--"

"Kau tahu, Sarah?" Kusela kata-katanya. "Hari ini adalah hari terbaikku dalam sejarah. Ayo."

Sambil menyentakkan kepalanya ke belakang, ia tertawa keras-keras. "Kau berlebihan, Kristen. Sama saja seperti Rob!"

Entah mengapa, kurasa aku merindukan ibuku sekarang. Dan entah bagaimana, kehadiran Sarah cukup untuk menambal rasa rinduku padanya saat ini. Kupeluk lagi dirinya selama perjalanan menuju aula. Dengan tangan yang sudah berkeriput, ia membelai rambutku penuh kasih.

"Oh, lima tahun yang lalu, Lisa juga bergelayutan seperti ini di pelukanku. Dan kau, berapa umurmu sekarang?" Sarah sepertinya ibu yang sempurna. Selain penuh kasih sayang, dia juga akan selalu hadir untuk Lisa, kapanpun Lisa memintanya. Berbeda sekali dengan ibuku.

Aku tertawa dan mengangkat bahu. "Kakiku kan sedang sakit, Sarah." Tuturku sambil nyengir.

Ia mengangguk, "Oh, ya, ya. Tentu saja, Kristen." Desahnya sambil mencubit hidungku.

Dia benar, berapa umurku? Ha ha. Lucu sekali, Kris.

Begitu kami sampai di aula, semua mata tertuju pada pakaian baruku. Hanya saja, respon mereka tidak seantusias sebelumnya, dan aku bersyukur untuk itu. Hanya Mrs. Glory yang kini menghampiriku, ditambah dengan tatapan menggoda di matanya.

Wanita berambut keriting gantung yang sewarna merah jahe itu bertolak pinggang di hadapanku. Dia sama saja seperti yang lain, keriput dan hangat.

Kulepas pelukanku pada Sarah. "Terima kasih banyak, Mrs. Glory. Pakaian ini sangat cantik, sungguh."

Kemudian setelah terkekeh dan menurunkan kedua tangannya di sisi tubuh, ia memelukku. Anehnya, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Entah itu sama-sama atau apalah, tapi tidak ada sama sekali. Namun aku bisa merasakan pelukannya yang berbicara padaku.

"Hey, Kristen!" Suara seorang pria yang sangat merdu itu memecah pelukan kami. Kemudian dengan ditarik cucunya, Mrs. Glory memberi kecupan ringan di pipiku. Kuberi ia senyum terima kasih sebelum akhirnya kami berpisah.

Tangan Sarah langsung menyambar lenganku ketika lengan Mrs. Glory tidak menahanku lagi. Lalu dalam hitungan detik yang terasa lama, rambut perunggu itu muncul dari kerumunan.

Ini dia milikku. Ini dia pria yang memilikiku.

"Kecilkan sedikit suaramu, Rob." Kucubit pinggangnya saat ia tiba di hadapan kami.

"Hai, Mrs. Hawkins." Sapa Rob sekilas pada Sarah sambil melambaikan tangannya. "Kau bisa menyerahkannya padaku sekarang." Dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya, ia mengedipkan satu matanya pada Sarah.

Sebelum melepaskanku, Sarah mendesah dan mendengus. "Dasar kau Rob. Jaga dia, jangan sampai dia terjatuh, oke?" Ia menudingkan telunjuknya di depan mata Rob.

"Siap, bos!" Lalu dengan beberapa gerakan kecil ala tentara, Ia meletakkan tangannya di pinggangku. Seperti yang kuduga, aliran setrum itu menjalar lagi di tempat dia menyentuhku.

Setelah memberiku ciuman perpisahan di pipi, Sarah pergi menghampiri Lisa yang mulutnya sudah penuh dengan makanan.

Sambil menggiringku melewati kerumunan, ia mencengkeram pinggangku lebih kuat. "Kau tahu tidak, tanganku pas sekali di pinggangmu, Kris." Katanya sambil mengulurkan tangannya yang bebas padaku.

Kuraih tangannya sebagai tumpuan. "Diam kau, Rob. Sekarang ambilkan makanan untukku. Aku lapar sekali, sungguh."

Tapi ia malah terkekeh dan mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya. "Pakaian baru, huh?" Aku mengangguk sambil nyengir kuda. "Aku lebih suka kau dalam pakaian ini daripada dalam gaunmu yang kemarin. Maaf, tapi itu benar. Kau cantik sekali hari ini."

Entah bagaimana caranya, walaupun kami sedang berada di tengah kerumunan ini, dia masih bisa saja membuatku menunduk malu. Bahkan hanya dengan kata-kata pasaran yang sudah seribu kali kudengar; kau cantik sekali hari ini; hanya dia yang bisa membuat jantungku berdebar secepat ini.

Aku suka dengan caranya melihat sesuatu; aku suka dengan caranya menatapku.

"Rob, bisakah kau berhenti melakukan itu?" Kuputar kepalaku hingga membelakanginya.

"Apa?"

Bisakah kau berhenti membuat jantungku berdebar tak keruan? Bisakah kau berubah menjadi dirimu yang dulu lagi? Yang menjengkelkan setengah mati itu? Kumohon, semua ini akan lebih mudah jika kau bersikap seperti dulu.

Kutatap matanya.

"Bukan apa-apa. Lupakan saja. Rob, please, aku lapar."

"Oke, cantik."

Sialan kau, Rob. Kau ini sedang berusaha membuatku mati atau semacamnya ya?

---

Kami sengaja makan siang di taman sekalian menjaga Phillies. Ada seorang anak kecil bertubuh gempal dengan usia sekitar 5 tahunan yang begitu senang bermain dengan Phillies. Namanya Tyler. Walaupun masih belum bisa mengucapkan huruf R dengan benar, tapi ia sudah pandai betul menunggang kuda berbobot besar itu.

"Semenjak dia lahir, aku selalu mengajaknya berkuda bersamaku. Itulah hasilnya." Bisik Rob di telingaku sambil memakan rhubarb nya.

Tepat di sudut taman, ada sebuah bangku kayu yang dicat putih dan pas untuk dua orang, bahkan masih banyak jarak yang tersisa di antara kami. Aku baru memerhatikan kalau desa ini dikelilingi pagar kawat berduri yang sangat berguna untuk mencegah hewan buas masuk. Jadi, jelas saja mereka terlihat tidak takut sama sekali walaupun tinggal di hutan belantara ini.

"Hey, Rob, Mrs. Glory... yang memberikanku pakaian baru ini, eh," bagaimana cara mengatakannya? "Ada apa dengan dirinya?"

Matanya menyipit saat mengalihkan pandangannya dari Phillies dan Tyler kearahku. "Kedua anaknya jatuh cinta dengan warga yang berasal dari negeri Fownzley. Jadi karena tidak ada yang mengurus, anak sulungnya mengajaknya ke desa ini. Dia... mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan ke sini. Pita suaranya rusak karena ada banyak sekali air yang masuk ke dalam tenggorokannya. Untung saja dia masih hidup."

Tatapanku membeku pada wajah Rob yang muram. Bisa kubayangkan dia pasti berada disini saat kedua anak Mrs. Glory beserta pasangan mereka datang, dengan membawa satu orang tua yang sedang sekarat, Mrs. Glory.

"Oh, aku turut menyesal," desahku sambil menyentuh bahunya.

Kemudian ia mendongak dan menatap mataku. "Kondisimu kemarin lebih parah daripada kondisinya. Sekarang aku bisa merasakan apa yang dirasakan Naya Glory saat melihat orang yang dikasihinya terluka." Kemudian sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Tapi bisa kulihat kilauan di matanya berbeda, dan aku tidak mengetahui arti dari perbedaan itu.

Aku juga tidak mau mengetahui makna kiasan yang tersirat dalam kata-katanya barusan.

Kugenggam gelas susuku dengan kedua tangan lagi. Kau tidak boleh berkata begitu, Rob.

Berjam-jam kami berdiam diri di taman itu. Tidak ada satupun dari kami yang bicara, sementara aku berpura-pura memokuskan perhatianku pada Tyler dan Phillies yang sedang berjalan menelusuri pagar.

Saat langit menunjukkan hari sudah sore, untuk pertama kalinya Rob memandangku lagi.

"Kristen?"

"Ya?"

"Apa yang terjadi dengan pangeran sulung itu?" Kutatap matanya saat aku mengetahui arah pembicaraan ini. Kami terlalu jauh dari jangkauan orang-orang, jelas sekali Rob yakin tidak akan ada yang menguping pembicaraan kami.

"Aku tidak tahu. Tidak ada satupun dari kami yang tahu." Kuangkat bahuku. "Waktu itu, sekitar lima tahun yang lalu, terjadi kebakaran hutan besar-besaran. Seluruh hutan di negeri Onyxland sampai semenanjung Fownzley gosong terbakar. Dan kebetulan, pangeran sulung dan pasukannya sedang berkuda ke hutan saat kejadian tersebut. Pasukannya ditemukan dengan keadaan yang sulit untuk diidentifikasi, tapi tidak ada yang berhasil menemukan pangeran dan kudanya sampai sekarang."

Kutatap raut wajahnya dan kutunggu perubahan ekspresinya. "Kudanya? Maksudmu?"

Kupeluk kedua lututku erat-erat saat merasakan angin sepoi menghantam bulu kudukku. "Satu hari setelah kejadian, kuda pangeran kembali ke istana, tanpa seorangpun bersamanya. Dan ternyata, kuda yang gagah dan kuat itu tidak lagi sama tanpa pangeran. Merasa begitu kalut, akhirnya kuda pangeran kabur ke hutan untuk mencari tuannya." Kugantung kata-kataku.

"Lalu?"

Kutatap siluet kami yang membelakangi sinar matahari. Bahkan siluet Rob terlihat lebih indah daripada siluetku. "Hilang. Di telan bumi. Dia belum kembali sampai sekarang. Sama seperti pangeran."

Hening. Hanya embusan napasku yang bisa kudengar saat ini. "Lalu, kapan perang mulai terjadi?"

Kuletakkan daguku di lutut saat kilasan kenangan mengerikan itu menghantam otakku. "Tiga hari setelah kuda pangeran menghilang. Mimpi burukku dimulai dari sana."

Butuh beberapa detik baru tatapan Rob bisa fokus kembali. Cerita ini terlalu sulit dicerna oleh rakyat biasa sepertinya. "Mengapa Raja Onyxland berpikir kalau kerajaanmu yang menculik anaknya? Apa alasannya?"

Butuh beberapa detik juga buatku untuk mengingat-ingat kenangan yang selama ini berusaha kulupakan. "Jejak kaki kuda pangeran berakhir di sebelah timur istanaku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa kesitu. Memang cukup kuat untuk dijadikan alasan penyerangan. Tapi tetap saja, tidak ada bukti pasti yang menguatkan teori itu."

Suasana hening menyeruak lagi. Rupanya butuh beberapa menit buat Rob untuk mengerti masalah hidupku yang selama ini sudah berputar-putar dalam kepalaku. "Menurutmu, apa pangeran masih hidup?"

Kutatap matanya. "Aku rasa tidak. Kalau memang iya, dia pasti sudah kembali ke istananya, dan semua ini tidak akan terjadi."

"Kristen?"

"Ya?"

"Pernahkah kau berpikir kalau semua kekacauan ini disebabkan hanya karena satu orang? Perang, asal-muasal desa ini, dan kau. Semua masalah gila ini berpusat pada pangeran sulung itu." Tuturnya sambil menatap mataku. Dengan kedua siku yang ia tumpukan di kedua lututnya, matanya terlihat lebih indah dari sudut ini.

Aku tersenyum dan menggeleng padanya. "Jangan salahkan pangeran, Rob. Aku yakin dia juga tidak menginginkan semua ini terjadi."

Tapi ia malah tersenyum mengejek dan menggeleng. "Pangeran malang. Idiot. Tolol."

Kubalas tatapannya tanpa ikut terkekeh. "Raja Richard lah yang seharusnya disalahkan. Dia seharusnya bisa mengendalikan emosinya dan menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Bagaimana kalau pangeran sudah mati?"

"Bagaimana kalau pangeran masih hidup?"

"Berhentilah mencari kesalahan orang lain, Rob. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah, bagaimana caranya menghentikan perang tolol ini?" Oh, Robert benar-benar merusak hari terbaikku dalam sejarah. Di istana, topik ini sangat tabu untuk dibicarakan. Dan bagiku, topik ini sama saja dengan kematianku.

"Kristen?"

Bahkan dengan mendengarnya menyebut namaku saja sudah membuat bibirku gemetaran.

"Bisakah kau berhenti memanggilku dengan nada bicara itu?"

"Apa?"

Dengan nada bicara yang membuat keadaan ini semakin sulit buatku. Tidak bisakah kau memekik padaku lagi, Rob? Apa kau lupa caranya jadi menjengkelkan?

Aku menggeleng saat menatap matanya. "Lupakan saja. Apa?"

Mulutnya ragu-ragu saat menjawab, tapi tatapan matanya tidak pernah teralih dari bola mataku. "Kalau kau sudah kembali ke istana, maksudku ke Jack." Ia memutar bola matanya dan mendesah. "Aku tidak tahu apalagi yang akan kulakukan setelah itu. Aku muak hidup tanpa tujuan, tanpa arah, dan... tanpa seseorang disisiku. Tanpa kau." Ia terkekeh saat menilai ekspresiku. "Aku tahu, ini kedengaran konyol kan? Tapi, aku bersungguh-sungguh. Walaupun kadang-kadang kau menjengkelkan, maaf, tapi itu benar. Tapi, aku yakin aku akan merindukan sikap menjengkelkan itu. Aku akan merindukanmu."

Wah. Ternyata reaksi dari pil tadi benar-benar dahsyat. Apa sekarang aku bermimpi? Apa aku hanya berimajinasi dia mengatakan itu padaku? Tapi, reaksi dari jantungku mengatakan kalau ini nyata. Sebutkan kenyataan yang sudah kau ketahui kebenarannya, Kristen..

'Namaku Kristen Stewart. Dulunya aku seorang putri kerajaan. Aku bertemu pria di hutan. Dulunya dia menjengkelkan. Seharusnya sekarang dia masih menjengkelkan. Mengapa dia tidak menjengkelkan lagi saja? Aku harap dia bersikap begitu.'

Aku jadi teringat dengan mimpiku tadi pagi...

Mungkin selama ini aku salah, mungkin kenyataan yang benar adalah...

'Namaku Kristen Stewart. Aku mencintai pangeran Jack. Dan Robert adalah milikku.'

"Kristen, kau mau pergi? Maaf aku membuatmu jadi bosan. Ayo," ajak Rob sambil meraih telapak tanganku.

Aku menggeleng. "Tidak. Aku suka disini. Aku tidak bosan, hanya saja..." ujarku tercekat. Ada apa dengan diriku?

"Apa? Hanya saja apa?"

Hanya saja aku bingung dengan diriku sendiri. Aku membenci diriku sendiri.

"Kristen, bicaralah padaku. Maaf, mungkin kata-kataku barusan tidak enak didengar. Hari sudah gelap, Kristen. Lihat, bibirmu saja sudah gemetaran."

Ya, kata-katamu tadi memang sudah membuat hatiku berantakan, Rob. Rasanya menyebalkan jika kau tidak mengerti dengan perasaanmu sendiri. Dan kau, Rob, kau hanya membuat perasaan ini semakin buruk saja.

"Robert! Kristen!" Kepala kami sama-sama tersentak ke belakang saat mendengar suara Lisa memanggil nama kami dari balik pilar aula. "Sudah gelap. Bawa Phillies dan Tyler kembali kerumahnya."

Kutatap mata Robert yang terengah-engah untuk kesekian kalinya. Kemudian telapak tangan kami yang menyatu mengingatkanku kalau dia nyata. "Baiklah, kau bisa duduk sebentar disini sementara aku mengajak Phillies dan Tyler kembali ke aula. Jangan macam-macam, aku tidak mau kehilangan kau lagi."

Dingin mulai merasuki pori-pori tubuhku saat tangannya tidak lagi menggenggam tanganku. Kepergian Robert hanya menandakan kalau aku memang tidak suka jika ia berada jauh-jauh dari jangkauanku.

Tidak mau kehilangan aku lagi? Apa maksud dari kata-kata bodoh itu? Apa dia benar-benar berencana membuat kematianku lebih dekat atau semacamnya? Kumohon, Rob, berhentilah membuat keadaanku lebih sulit lagi.

Aku tidak mau membuat perpisahan kita lebih sulit nantinya. Biarkan aku saja yang menginginkan dirimu, jangan biarkan kau menginginkan diriku juga. Karena pada akhirnya, aku sudah menetapkan kepada siapa hatiku akan berlabuh.

---

Sarah memindahkanku dari kamar pengobatan ke kamar biasa. Rasanya senang sekali bisa keluar dari kamar yang membuatku terus teringat dengan luka sialan itu.

Dan seperti biasa, Rob tidak mau meninggalkanku sendiri di kamar ini. Bagian hatiku yang paling ujung sedang melompat kegirangan saat dia memutuskan untuk menemaniku.

Setelah makan malam dengan sisa rhubarb ditambah dengan daging kelinci bakar, Rob menyuruhku untuk segera tidur. Dia bilang, aku masih dalam tahap penyembuhan dan tidak boleh berlama-lama diluar seperti ini.

Lilin di kamarku yang baru lebih banyak dan harum. Desa ini tidak memiliki aliran listrik yang cukup untuk menerangi desa mereka pada malam hari. Dengan tangan Rob yang menggenggam tanganku, aku tidak akan takut walaupun berada di ruangan gelap gulita sekalipun.

Asalkan ada dirinya yang menjagaku, aku masih bisa mengingat bagaimana caranya melihat.

Pada malam harinya, aku mendapatkan mimpi yang sangat aneh.

Oh, aku berjanji tidak akan mau menelan pil sialan itu lagi.

Suara Rob yang selembut beledu terus terngiang-ngiang di otakku.

"Aku adalah orang yang paling bodoh di dunia ini. Mungkin Tuhan memang tidak menyukaiku dari awal aku terbangun di pantai itu. Aku tahu akan seperti apa semua ini berakhir, Kris. Kau akan bersamanya. Dan aku? Aku akan kembali menjadi orang tolol yang bergaul dengan kuda bercorak aneh. Luntang-lantung di dalam hutan, memburu kelinci dan kalkun, berkeliaran di Fodz. Dan menunggu kematian menjemputku. Sendirian. Aku muak dengan hidupku. Andai saja aku bisa membuatmu terus disini, bersamaku. Hanya kau yang berhasil membuatku meyakinkan diriku sendiri kalau aku ini berguna. Akan jadi apa aku setelah kau pergi nanti? Brengsek."

Selain suara embusan napasnya yang secepat kilat, tidak ada lagi suara yang dapat kudengar setelah itu. Hanya genggaman tangannya saja yang membuatku sadar kalau dia masih berada dalam mimpiku.

"Kau tahu, Kris? Jika aku cukup pintar, mungkin aku akan berbohong padamu dan membuatmu tinggal lebih lama di desa ini bersamaku. Tapi rasanya aku terlalu bodoh dan pengecut. Aku tidak mau memaksamu tinggal bersamaku. Pada intinya, aku tahu siapa yang akan hancur jika semua ini berakhir. Setidaknya, aku senang orang itu bukan kau. Tapi aku. Persetan dengan itu. Toh jika aku hancur, tidak akan ada orang yang bakal merindukanku. Tidak akan ada orang yang peduli denganku."

Aku tahu ini hanya mimpi. Tapi mimpi ini terasa terlalu nyata dalam kepalaku. Terasa terlalu menyakitkan dalam hatiku. Ternyata Rob juga menginginkanku sama seperti aku menginginkannya. Tak bisa kubayangkan jika posisi kami dibalik...

Aku mengantar pria yang kudambakan ke seorang wanita yang lebih dia cintai. Melihatnya mendambakan wanita itu setiap harinya. Dan membayangkan jika semua ini sudah berakhir, dia akan bahagia dan aku akan hancur.

Atau pada kenyataannya, aku yang akan bahagia di atas penderitaan orang yang... apa sebutan Rob bagiku?

Mungkin bisa dibilang, aku akan bahagia di atas penderitaan orang yang selama ini sudah menjagaku dengan segenap hatinya. Semua ini salahku. Aku tidak seharusnya membiarkan perasaan ini berlarut-larut. Begitu aku sudah bahagia bersama Jack nanti, akan ada satu hati yang kutinggal dalam keadaan hancur lebur disini.

Andai saja aku bisa dibelah menjadi dua bagian: seorang kekasih yang penuh cinta untuk Jack, dan seorang teman yang sangat hangat untuk Rob, atau mungkin kekasih juga.

Mimpiku bermetamorfosa menjadi sentuhan fisik. Begitu aku sadar apa yang telah kulakukan pada Rob, air mataku menggenang sebelum akhirnya menetes dari sudut mataku. Dan bisa kurasakan, bibir yang sering kulihat dan yang sudah selama ini kudambakan menyeka air kepedihan itu dengan lembut.

Darahku mendesis saat merasakan bibirnya di pelupuk mataku.

Aku tahu tidak seharusnya aku menginginkan lebih, tapi nafsu birahiku terlalu kuat untuk melawan akal sehatku. Toh, ini hanya mimpi kan? Tidak akan ada yang terjadi jika aku menciumnya di mimpiku.

Aku mendesah kesenangan saat bibir Rob mengikuti jalur air mata yang berhenti di telingaku. Kukeluarkan air mata itu dengan sekuat tenaga supaya bibirnya naik ke pelupuk mataku lagi.

Tapi kini ada perubahan saat bibirnya hendak bergerak keatas. Semuanya terjadi terlalu cepat. Aku tidak tahu kapan kepalaku bergerak, aku tidak tahu kapan bibirku mencari bibirnya, tapi bibir kami sudah bersatu sekarang.

Bercampur dengan rasa asin yang ditimbulkan air mataku, bisa kurasakan lidahnya menyentuh bibir atasku. Naluri manusiaku yang terlalu kuat, membuat tanganku yang tadinya tergeletak lemas diatas dada kini sudah bergerak melingkari lehernya. Tangan kanannya yang kokoh menarik punggungku hingga dadaku menempel erat di dadanya.

Desahan tertahan keluar dari mulutku saat bibirnya ragu-ragu menciumku. Kutekan kepalanya supaya ia tidak melepaskan ciuman kami. Ciuman yang semula penuh kepedihan dan keraguan itu kini telah berubah menjadi sesuatu yang panas dan bergairah. Rob ikut mendesah seiring dengan lidahku yang bermain di bibirnya. Tangan kiriku yang terlalu bebas dikunci oleh tangan Rob saat aku berusaha membuka baju satinnya.

"Aku bisa saja kehilangan akal sehat, Kristen." Desahnya di hidungku saat kami berhenti untuk mengambil napas.

Napasku memburu saat berusaha menjawabnya. Kutekan tengkuknya sebagai pegangan. "Aku sedang bermimpi. Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan sekarang."

Tetapi ia menghindar saat bibirku mencoba meraih bibirnya. "Ini yang kau inginkan? Memperkosaku?" Tapi ternyata bibirnya tidak berhenti disitu. Dengan kehangatan yang menjalar dari lidahnya, ia mencium lekukan di leherku. Sensasi geli sempat menjalar di leherku sebelum akhirnya sensasi itu berubah menjadi kecanduan.

"Kau." Kujawab dia sambil terengah. Kugerakkan pinggulku yang tertindih di bawah tubuhnya.

Sementara tangan kiriku masih terkunci, kujambak rambutnya hingga kini bibirnya berada di bibirku lagi. Aku tidak pernah mengetahui kalau berciuman dengan pria bisa semenyenangkan ini. Aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelum ini.

Dan walaupun ini hanya mimpi, ciuman Rob terasa memabukkan bagiku. Bibirnya yang hangat, aroma napas nya yang seharum bunga lilac membuat jantungku tidak berani berdetak saking mendambanya. Sentuhan tangannya yang menyentuh kulitku, tubuh kami yang menempel erat, tubuhku yang berada di bawahnya, lidahnya yang menggoda leherku, bisa kurasakan setiap lekukan tubuhnya yang kekar menekan tubuhku dari posisi ini. Kugerakkan lagi pinggulku saat bibirnya bermain di kerongkonganku. Andai aku diizinkan membuka baju satinnya...

"Kau akan menyesali perbuatanmu saat kau bangun nanti, Kristen." Kata Rob saat ia menyandarkan keningnya di dadaku. Rahangnya mengeras dan tangannya menahan pinggulku supaya berhenti.

"Tidak akan ada yang harus disesali, Rob. Ini hanya mimpi." Kutarik lagi kepalanya hingga bibir kami bersentuhan. Tapi bibirnya terkatup rapat, padahal aku masih menginginkan bibirnya menghisap bibirku lagi.

Air mata mulai keluar dari sudut mataku saat aku sadar kalau mimpi ini sudah berakhir.

"Hey, Kristen, saat aku menciummu, bibirmu, rasanya seperti stroberi. Bagaimana kau melakukannya?" Desahnya di bibirku yang membuka sebelum akhirnya ia beranjak untuk mencium air mataku lagi. "Jangan menangis. Aku suka bibirmu, tapi sudah cukup untuk malam ini. Percaya padaku, Kristen, kau tidak akan menyukainya jika kau sudah terbangun nanti. Biarkan aku melakukan semua ini dengan cara yang benar, oke? Tidak sekarang, melainkan saat kau sudah sadar nanti. Mencium orang yang sedang setengah tertidur, terasa tidak benar. Aku mau kau menciumku karena kau mau, bukan karena kau sedang dibawah pengaruh mimpi."

Ciuman ringan yang ia berikan di keningku terasa menyakitkan. Entah bagaimana, aku bisa merasakan kata selamat tinggal berteriak dari ciumannya.

"Jangan pergi, Rob." Pintaku sambil menyentuh bibirnya dengan ibu jariku.

"Tidak akan selama kau menginginkan aku disini." Bisiknya di keningku.

"Aku menginginkanmu selamanya." Aku balas berbisik.

"Bagus. Sekarang tidurlah, aku tidak mau kau kecapekan besok pagi." Tangannya yang selembut beludru dan senyaman kasur raja membelai pipiku sambil kembali terduduk di kursi kumuhnya lagi. Kurenggangkan pelukanku padanya dengan enggan.

"Aku sudah tidur, Rob. Aku kan sedang bermimpi." Aku memberengut saat ia melepaskan tangan kiriku yang menyangkut di dalam baju satinnya.

Dapat kudengar suaranya yang semenenangkan laut damai itu terkekeh saat mendengar kata-kataku. "Oh, ya, tentu saja, sekarang waktunya memimpikan hal yang lain, Kristen. Aku akan berada disini saat kau bangun nanti."

Naluri manusiaku sempat menjalar lagi saat ia mencium telapak tanganku, tapi rasa kantuk yang mulai menyerang membuatku mudah untuk mengabaikannya.

"Berjanjilah padaku," tuturku sambil menguap.

"Aku janji." Kata Rob kemudian terkekeh. "Terima kasih sudah memimpikanku, Kristen. Mimpi yang sangat menyenangkan."

Kujawab dia tepat sedetik sebelum kegelapan membuat mimpiku menghilang. "Terima kasih kembali. Akan lebih menyenangkan kalau kau tidak menghentikannya."

"Aku berjanji tidak akan menghentikannya jika kau masih mau menciumku saat kau sudah sadar nanti."

Mimpi yang aneh. Sekaligus menyenangkan, kalau boleh jujur. Mungkin, aku tidak bersungguh-sungguh saat menyatakan bahwa aku tidak akan mau menelan pil itu lagi. Kalau aku tahu khasiatnya bisa sehebat ini, aku rela-rela saja menelannya ratusan kali.